Chapter 35

Selamat datang di chapter 35

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everone

Hope you like this

❤❤❤

______________________________________________

Sudah berapa lama dia tidak melihat senyum laki-laki itu?

~Cecilia Bintang~

______________________________________________

Jakarta, 4 Oktober
06.55 p.m.

“Aduh! Nggak usah dorong-dorong dong!” gerutu Bintang sembari berhenti dadakan karena punggungnya didorong oleh Bulan dan kedua sahabat kakak perempuannya agar masuk gedung tempat konser tunggal Galaxy.

Ini merupakan pemaksaan bagi gadis itu. Dipkasa mengenakan atasan hitam dengan lengan transparan yang menggembung di bagian pundak, dipaksa mengenakan mekap yang natural tapi memikiat dan paksaan itu segalanya bersumber dari konser tunggal piano Galaxy Andromeda.

Meskipun Bintang sangat ingin melihat laki-laki itu dalam keadaan apa pun termasuk bermain piano, tapi dia tidak menginginkan hadir dan merusak suasana konser ini bagi Galaxy. Akan tetapi, geng kakak perempuannya ini sangat luar biasa kuat, sehingga Bintang kuwalahan dalam memberontak.

Oh, tidak hanya Bulan dan geng kakak perempuannya yang ikut andil dalam pemaksaan ini, pacar kakaknya juga dengan senang hati mengantar ke degung ini. Sekarang orangnya sedang memarkir Rubicon hitamnya.

“Eh, jangan berhenti di tengah jalan,” celetuk Bulan sambil menarik lengan Bintang agar menepi sehingga tidak menghalangi orang yang berlalu-lalang akan masuk gedung.

Ngomong-gomong Bintang juga tidak menyangka kalau banyak orang yang hadir untuk menonton konser ini dan tentu saja menganakan pakaian sesuai kode yang tertera di undangan. Sementara dirinya, selain mengenakan atasa hitam tersebut dan bukannya dipadukan dengan rok, malah mengenakan celana kain hitam kombinasi putih. Selain waktu yang semakin mendesak, baik dia mau pun kakaknya tidak memiliki gaun sesuai dengan kode tersebut. Jadi geng kakaknya itu melakukan sedikit improfisasi, padu padan untuk outfit Bintang.

Bohong bila gadis tomboy itu merasa tidak suka dengan apa yang dikenakannya sekarang. Bagaimanapun itu jauh lebih manusiawi daripada mengenakan gaun satin hitam seperti yang Aira kenakan. Itu sama sekali bukan gayanya.

Dari tempat Bintang berdiri, dia melihat pacar kakaknya berjalan mendekat dengan membawa buket tanaman min yang sudah dibungkus rapi oleh kakaknya untuk Bintang berikan pada Galaxy usai konser tersebut.

“Nih, udah buruan masuk sana, keburu dimulai loh konsernya.” Bulan mendesak sambil memberikan tanaman min yang dia rebut dari Satria itu pada Bintang.

“Tapi gue nggak minat Kak ...,” seloroh gadis itu. Mendorong kembali tanamannya.

Tiba-tiba teman kakaknya yang ngondek mengambil tanaman tersebut dan berkata, “Oke kalau gitu gue yang masuk.”

“Hei! Mau ke mana lo?!” pekik Satria, Bulan, dan sahabat perempuanya sambil menggaet kerah kaus polo laki-laki ngondek itu kemudian mengambil buket tanaman min lantas memberikannya pada Bintang lagi.

“Udah! Sana!” pekik kakaknya sambil berkacak pinggang.

Dengan wajah kuyu, akhirnya Bintang menuruti ide semua orang yang menurut mereka adalah terbaik, berlawanan dengan perasaannya yang tak karuan.

Jakarta, 4 Oktober
07.00 p.m.

Ruangan itu sangat luas, dengan panggung di tengah yang memancarkan beberapa lampu sorot dari bawah. Ada juga yang dari atas, mengarah pada piano besar di tengah-tengah panggung dan dilengapi deretan kursi membentuk huruf U yang mengeliling tempat pertunjukan tersebut.

Pria berseragam putih dengan vest hitam mengarahkan Bintang pada tempat duduknya sesuai undangan dan betapa kaget gadis itu ketika mendapat duduk di kursi VVIP yang terletak tepat di jajaran kursi depan panggung.

Kedua iris hitam Bintang menjelajah sekeliling untuk mencari keberadaan Barja dan Aira, tapi bukannya mereka yang dia temukan. Melainkan beberapa pasang mata yang meliriknya terang-terangan sebab merasa aneh—bukan gaun sesuai kode—sekaligus takjub akan baju modis yang dia kenakan.

Bintang mengembuskan napas pelan sambil menata posisi duduknya lebih tegak ketika penerangan dalam ruangan itu mulai disetel redup. Hanya bagian piano yang terang-benderang sehingga memberi kesan fokus pada sang pianis.

Saat MC membacakan susunan acara, beberapa saat kemudian Galaxy berjalan keluar dari balik tirai besar yang terletak di belakang menuju tengah panggung. Lampu sorot atas mengikuti laki-laki itu dan jantung Bintang memukul kencang. Serentak dengan tepuk tangan dari para penikmat musik klasik yang duduk dengan rapi di kursinya masing-masing.

Iris Bintang tak pernah meninggalkan sosok Galaxy. Berpikir, malam ini laki-laki itu tampak menawan dengan balutan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu yang terpotong menyesuaikan bentuk tubuhnya yang tegap dan gagah.

Mata Bintang mengikuti Galaxy yang sekarang sudah duduk di kursi tanpa lengan dan punggung depan piano besar tersebut. Posisi piano itu sendiri menyamping, jadi Bintang hanya bisa meliht setengah senyum laki-laki itu saat melambaikan tangan untuk menyapa penonton. Ketika pandangan laki-laki itu hampir mencapai tempat duduknya, Bintang menoleh ke sembarang arah seraya menutupi wajah menggunakan buket tanaman min.

Semoga Galaxy tidak melihatnya, harap gadis itu dalam hati.

Mengembalikan tanaman di posisi bangkuannya sepeeti semula dan fokus ke depan, Bintang melihat jari-jemari Galaxy mulai menekan beberapa tut. Sementara pandangan laki-laki itu pada secarik kertas di hadapannya yang berada di atas piano. Dari kejauhan jelas tidak tampak apa tulisan tersebut. Namun Galaxy seolah berusaha menerjemahkan rangkaian-rangkaian tulisan itu ke dalam dentingan piano yang lembut namun tegas dan kuat. Lalu berubah cepat dan menggebu-gebu.

Mata cokelat terang laki-laki itu sesekali terpejam menikmati jajaran tut yang dia tekan dan mainkan. Galaxy tampak bersinar. Menjadikan Bintang merasa pemilik tubuh bongsor itu menjadi kian jauh untuk dia gapai sekaligus membuat dadanya mengahat.

Dentingan demi dentingan mengalun menggema memenuhi ruang megah tersebut. Mulanya pelan, kadang kala cepat, bernada rendah mau pun tinggi. Pada satu waktu dentingan-dentingan itu berubah sangat cepat dan enerjik. Seperti kemarahan yang dituangkan dalam bentuk nada.

Setiap orang menikmati instrumen yang menggema di seluruh penjuru gedung itu. Nada yang seolah diberi nyawa pada setiap jajaran tut yang ditekan Galaxy. Hingga mencapai akhir dari sentuhan itu, suara tepuk tangan membuat sang pianiw menoleh, berdiri lalu mengangguk pada semua orang.

Jakarta, 4 September
08.30 p.m.

Sudah selesai. Lampu-lampu dalam ruangan itu sudah dinyalakan terang kembali. Bintang menunduk sembari melihat sandal cepernya dengan jantung kembali berdebar keras. Membiarkan orang-orang di sekelilingnya bertepuk tangan lalu berhamburan keluar. Dia ingin mengikuti jejak-jejak mereka tapi entah kenapa tubuhnya seolah dipaku di tempat. Masih belum puas melihat laki-laki itu kendati dari jauh.

Pengelihatan Bintang berpindah ke arah panggung dan melihat beberapa orang memberi ucapan selamat dengan memberi buket bunga serta berjabat tangan dengan Galaxy. Ada juga yang ikut berfoto dengan laki-laki itu yang tampak tersenyum.

Sudah berapa lama Bintang tidak melihat senyum Galaxy?

Gadis tomboy itu menggeleng samar sembari memejamkan mata kemudian memutuskan untuk beranjak dari sana mengikuti gerombolan orang yang berjalan menuju pintu keluar. Pada saat masih berada di posisi tepi panggung, Bintang mendengar ada yang menyapanya.

“Udah gue duga itu lo, Tang.”

Dia pun menoleh ke arah Barja yang memanggil bersama Aira yang tampak berbinar.

“Bintang, lo dateng juga. Kalau gitu kebetulan gue mau ke panggung ngasih ini ke Gala, yok sekalian.” Seloroh Aira sembari menggaet lengan Bintang yang bebas, tidak membawa buket bunga dan berusaha menyeret tubuh bongsor itu meski kesusahan.

“Eh, Ra, gue nitip aja ini, gue mau pulang dulu eh—gue entar dimarahin ibu Suri Erlin ....” Bintang salah tingkah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia ingin menemui Galaxy, di sisi yang lain kegamangan merayapi tubuhnya dan memerintah untuk secepat kilat keluar dari gedung itu.

“Nggak apa-apa, Gala pasti seneng Tang.”

“Ja ... Ja ... Ja ... tolongin gue Ja!”

Bukannya menolong melepas gaetan tangan Aira, Barja malah ikut mendorong punggung Bintang menuju panggung. Meski tubuhnya sama tinggi dengan Bintang, tapi untuk urusan kekuatan, bisa dibuktikan bila Barja lebih kuat. Jadi Bintang pun terdorong hingga mencapai sejumlah anak tangga dan terpaksa dia tapaki untuk naik panggung.

“Ra ... gue nitip aja astaga!” Sembari berusaha diam di tempat tapi tak berhasil, sesekali pandangan Bintang melihat ke arah Galaxy yang masih tampak menjabat tangan beberapa orang dan tampak berfoto.

“Udah, nggak apa-apa, ayok!”

Jakarta, 4 September
08.35 p.m.

“Selamat Nak,” ucap papa Galaxy smbari memeluk tubuh anaknya ala lelaki. Berikutnya Zhardian lalu mama tiri Galaxy yang ramah.

“Mama bangga sama kamu, Gala. Eh, di mana kakak kamu ya? Kok belum ke sini?”

Mamanya celingukan. Galaxy pun ikut menyisir setiap tempat untuk mencari keberadaan Aira. Pada saat dia melihat ke sisi sebelah kanannya, jantung Galaxy terasa berhenti sesaat sebelum kembali berdetak sepuluh kali lipat lebih kencang kala matanya bertemu dengan sosok Bintang yang sedang digeret Aira.

“Nah itu dia.” Terdengar suara sang mama memekik lalu menghampiri.

Galaxy menghiraukannya, hanya terpekur di tempat. Mengabaikan segala aktivitas orang-orang sembari mengamati gerakan Bintang yang terseok karena geretan Aira dan Barja hingga mendekatinya. Lalu suara-suara di sekelilingnya seolah membisu saat tatapan Galaxy bersirobok dengan sepasang iris hitam Bintang. Hanya debaran jantungnyalah yang dapat didengar oleh dirinya sendiri, sebelum suara Aira yang keras menarik kesadarannya kembali.

“Pa, ini temen-temenku sama Gala, namanya Barja, Bintang sama Zhardian. Boleh ya mereka foto bareng kita?”

“Oh, temen-temen kamu sama Gala? Tentu boleh. Ayo kita foto sekarang.” Pria paruh baya berwajah khas bule yang sangat faseh berbahasa Indonesia itu menggiring istri, Galaxy yang mendadak jadi pendiam, Aira, Barja, Zhardian yang berwajah tegang dan terakhir Bintang ke tengah panggung untuk foto bersama.

Betapa ngeri rasanya kala gadis itu berada di sekeliling keluarga Galaxy yang ramah karena tanpa bisa dia cegah, pikirannya berkelana dan membayangkan akan dihujat sebab dirinyalah yang menyebabkan Galaxy cidera beberapa waktu lalu. Namun beruntungnya kecemasan itu tak terbukti.

Bukan hanya itu saja. Melihat perubahan raut wajah laki-laki itu yang semula tersenyum kemudian berubah datar saat dia memberikan buket tanaman min membuat Bintang semakin tidak percaya diri. Dadanya begitu nyeri. Sesuai dengan dugaannya kalau Galaxy tidak senang melihatnya.

“Habis ini Zhardian, Barja sama Bintang ikut makan malam ya? Jarang-jarang Gala sama Aira bawa temen.”

“Ya?” Baik Bintang mau pun Galaxy sama-sama memekik sambil membelalakkan mata karena kaget.

Jakarta, 4 September
08.15 p.m.

Mereka tiba di salah satu restoran langganan Aira beberapa saat kemudian. Berlawanan dengan ramainya suasana di malam minggu, Bintang hanya berdiam diri hingga menit ke tiga puluh untuk bertahan bersama keluarga Galaxy. Masih beruntung Barja dan Zhardian ikut bersamanya, kalau tidak, mungkin Bintang bisa mati saat itu juga.

Galaxy pun demikian, hanya berusaha menyendok makanannya dengan normal saat papa dan mamanya menceritakan masa-masa kecilnya dengan Aira kepada Bintang, Barja dan Zhardian. Hingga pertanyaan mamanya membuat Galaxy kaget.

“Gala, kok dari tadi kamu diem aja?”

“Aku permisi dulu.”

“Loh, mau ke mana?” tanya sang mama yang mewakili seluruh orang yang ada si meja makan itu.

Mendengar decitan kursi yang digeser, Bintang yang semula menunduk konsentrasi menggulung pasta pun mengangkat kepala  menatap laki-laki itu yang sudah berjalan memutari meja untuk kemudian menuju kusinya dan betapa terkejut mendapati Galaxy menarik tangannya.

“Ayo,” ajak laki-laki itu yang menatapnya penuh intimidasi.

Bintang gelagapan dan bingung. Pengelihatannya sempat menjelajah semua orang di meja itu sebab merasa tidak enak. “Tapi—”

“Ck! Ayo!” ucap Galaxy dengan nada rendah tetapi penuh penekanan sembari menyentak cekalan tangannya. Bintang pun terpaksa berdiri. Sembari meminta maaf, dia mengambil tas kecil milik kakaknya yang dia bawa lalu tergesa mengikuti Galaxy.

Barja yang akan beranjak dihentikan Aira. “Biarin, biar urusan mereka kelar,” bisiknya. Zhardian yang bisa mendengar itu juga mengangguk setuju.

Sementara papa dan mamanya  tersenyum penuh arti. “Wah Ma, anak-anak kita sudah besar ya?”

Jakarta, 4 September
08.55 p.m.

Sepanjang sumsum tulang belakang Bintang terasa dingin. Rasa itu kemudian merayap dan menyebar ke seluruh tubuhnya membentuk rasa takut sekaligus nyaman akan genggaman Galaxy sampai mereka tiba di depan elevator penghubung antara restoran yang terletak di roof top dan lobi. Hingga berada di dalam besi kotak tersebut dan menelepon pak Jono, Galaxy masih belum mengatakan apa pun mau pun melepas genggaman tangannya.

Dentingan halus elevator membawa meraka keluar. Bintang mengikuti Galaxy bertemu pak Jono.

“Kunci mobilnya mana Pak?”

Baik Bintang dan Pak Jono sama-sama terperanjat atas perkatan Galaxy. Bintang hanya bergeming, sementara pak Jono berusaha menolak. “Den, jangan biar saya yang nganter aja mau ke mana?”

“Mana kunci mobilnya?” kekeh Galaxy sembari mengulurkan tangannya yang bebas.

“Nanti saya yang dimarahin tuan sama nyonya.”

“Ck!” Mendengar Galaxy berdecak sebal, pak Jono pun akhirnya memberikan kunci dan memberitahu di mana tempat parkir mobil tersebut.

Sekali lagi Bintang menurut ketika Galaxy menyeretnya ke parkiran mobil. “Masuk,” titah laki-laki itu dengan nada serius sambil membukakan pintu mobil untuknya usai menyentak genggaman mereka dengan sangat kasar.

Bintang seperti diterbangkan lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping. Gadis itu pun jadi tidak berani membantah dan hanya melaksanan perintah Galaxy untuk duduk dan mengenakan seat belt. Sementara laki-laki itu sendiri berjalan mengitari mobil sambil melepas satu kancing tuksedo kemudian duduk di kursi kemudi.

Bintang tidak berani memandang dan bertanya pada Galaxy tentang tujuan mereka ketika adik kelas itu melajukan mobilnya membelah kota Jakara yang sedikit padat.

Tak butuh waktu lama bagi Bintang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang dia simpan dalam benaknya begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan D’Lule.

Galaxy Andromeda mengantarnya pulang di tengah makan malam. Itu berarti secara tidak langsung laki-laki itu mengusirnya secara halus.

Sembari menahan hatinya yang berdenyut nyeri tak terkira, Bintang melepas seat belt sambil mengucapkan terima kasih.

“Berhenti pasang muka kayak gitu, gue muak liatnya.”

Sederet kalimat yang yang diucapkan Galaxy seolah membunuhnya. Bintang yakin saat ini seluruh darahnya terkumpul di kaki sehingga menyebabkan wajahnya kehilangan warna.

Demi kerang ajaib! Ingin sekali rasanya Bintang menendang mulut laki-laki itu. Apa ini merupakan sifat asli Galaxy yang selama ini dikenalnya ramah dan hangat dengan pancaran mata polos?

Pancaran mata polos yang menipu.

Sorry, nggak bakalan lagi.” Alih-alih melaksanakan apa yang dipikirannya, hanya kalimat itu yang mampu Bintang katakan sebelum membuka pintu mobil dan melesat keluar.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

3 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top