Chapter 33
Selamat datang di chapter 33
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Semua orang bebas menyukai dan disukaii siapapun
Begitu pula dengan laki-laki itu
~Cecilia Bintang~
_______________________________________________
Jakarta, 11 September
05.20 p.m.
Untuk beberapa alasan, Bintang berpikir jika Aira ingin bicara serius mengenai Galaxy. Lalu dia juga berpikir seharusnya mengucapkan permintaan maaf secara pribadi kepada perempuan itu. Jadi dia menurut dan mengikuti langkah Aira melewati taman bunga menuju gazebo yang terdapat kolam ikan di bawahnya. Mereka harus melewati jalanan setapak dulu untuk mencapai tempat santai itu.
Tanpa sadar Bintang melihat-lihat sekitar rumah megah itu. Designnya unik dan sangat futuristik. Memang hanya berlantai dua dengan bentuk sederhana tapi kelihatan mewah dan megah.
“Gue heran, lo udah tahu adik gue cidera tangan tapi masih tetep ngasih jersey tim buat basket,” kata Aira yang saat ini sudah duduk manis di gazebo setelah membenahi dress yang dipakainya sambil memangku jersey Galaxy.
Meski membahas sesuatu yang sensitif, tapi dari cara dan nada bicara perempuan itu tidak kelihatan emosi seperti waktu di kelas. Setidaknya Bintang bisa tenang sedikit. Itu berarti mereka akan bicara dengan kepala dingin.
Bintang pun mengikuti Aira duduk dan meletakkan bola dalam kantung di sebelahnya. Gadis itu menunduk, menatap pantulan dirinya di kolam ikan dengan kaki-kaki menggantung yang di ayun-ayunkan. “Pelatih yang nunjuk dia jadi pemain cadangan,” jawabnya.
“Gala jadi pemain cadangan? Kok bisa?” tanggap Aira.
“Iya, dia cepet belajar makanya sampe bisa jadi pemain cadangan dalam waktu singkat.” Bintang berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan sebelum melanjutkan. “Btw, gue minta maaf gara-gara gue, dia jadi cidera kayak gitu. Gue baru tahu dia pianis dan mau ngadain konser tunggal akhir-akhir ini.” Gue juga nggak pengin dia cidera, lanjut Bintang dalam hati lalu dia mendengar Aira mengbuskan napas.
“Sebenernya, gue yang harusnya minta maaf.”
Bintang refleks memutar kepala menghadap Aira. “Buat?”
“Buat semuanya,” jawab Aira sambil menoleh ke arah Bintang yang duduk di sebelahnya. “Harusnya gue ngomong ke lo dari awal, biar ini nggak kejadian termasuk cidera Gala. Tapi gue takut, selain itu juga mikir, pasti lo nggak bakalan percaya. Jadi gue minta bantuan Barja buat bilangin ke lo, seenggaknya kata temen kan lebih didengerin daripada kata orang asing.”
“Bukan salah lo kok,” kata Bintang sendu dan sudah kembali menatap sepatunya. Berpikir, ternyata Aira tidak sejahat yang dia duga. Malah kakak tiri Galaxy itu terkesan peduli terhadap Galaxy maupun dirinya.
“Soal semua yang lo denger waktu di ruang musik, gue harap lo nggak salah paham.”
Nggak salah paham? Termasuk soal lo nyuruh dia nyium lo dan dia udah maju selangkah mau ngelakuin itu? Semua orang yang liat plus denger juga bakalan salah paham. Bintang berkata dalam hati tapi tanpa sadar malah mengungkapkannya lewat verbal.
“Bintang, gue cuma ngetes Gala dan dia cuma mau bikin gue gentar. Dia nggak bakalan nyium gue soalnya dia suka sama lo.” Gadis tomboy itu kontan memutar kepala menghadap Aira karena kaget menjawab pertanyaannya.
Bintang hanya bergeming dan kembali menunduk sambil mencoba meredakan jantungnya yang berkejaran akibat perkataan Aira. Sudah dua orang yang berkata demikian. Haruskan dia percaya? Kenapa rasanya ada sebuah kegamangan yang menghampiri kalau harus mempercayai ungkapan Barja dan Aira secepat itu? Lagi pula, bila Galaxy menyukainya, kenapa tidak mengatakannya sendiri? Sudah jelas sekali bila laki-laki itu hanya mempermainkan perasaannya untuk membuat Aira cemburu.
Meski sangat iri dengan Aira, rasanya Bintang juga tidak bisa membenci perempuan itu hanya karena disukai Galaxy. Semua orang bebas menyukai dan disukaii siapapun. Begitu pula dengan laki-laki itu, pikir Bintang.
“Em, ini rahasia ya, sebenernya gue suka sama Barja, jadi lo nggak perlu khawatir soal Gala.” Bintang kembali tersenyum masam sambil melihat Aira yang malu-malu. “Btw, Bintang ... mumpung Gala lagi nggak di rumah, yok kita touring kamarnya!”
“Ya?”
Jakarta, 11 September
05.30 p.m.
Cantik tapi gila. Itulah pikiran Bintang ketika tangannya ditarik Aira masuk rumah dan menuju kamar Galaxy.
“Ra, jangan deh! Ngapain coba?” seloroh Bintang. Tidak enak hati tapi juga penasaran. Jadi hanya setengah-setengah saat berusaha mencegah Aira. Padahal jelas sekali dia bisa menolak dengan tegas dan mepepaskan diri dengan mudah dari perempuan feminin itu.
“Nggak apa-apa, jangan sungkan-sungkan. Bokap sama nyokap lagi nggak ada kok, cuma ada pekerja doang.”
Lagi-lagi Bintang hanya tersenyum masam. Merasa canggung saat dia dan Aira sudah di depan kamar Galaxy yang berada di lantai dua usai mereka melewati ruang keluarga yang terdapat piano besar di atas karpet bulu putih. Kata Aira itu piano kesayangan Galaxy. Saking sayangnya sampai-sampai diberi pernak-pernik seperti lampu warna-warni yang bisa dikontrol lewat ponsel saat akan menyalakannya.
Setelah dipikir-pikir, betapa sangat minim pengetahuannya tentang Galaxy sementara laki-laki itu sendiri malah mengetahui semua tentang dirinya dengan baik.
Bunyi derat pertanda Air amembuka pintu kamar Galaxy, membuat jantung Bintang berdenyut lebib giat. Hal yang pertama kali dia rasakan adalah aroma parfum laki-laki itu yang begitu kuat, menyeruak menabrak indra pembaunya. Aroma yang dia rindukan, batinnya seiring dengan debaran jantung yang memukul kian kencang. Maka dari itu Bintang tidak ingin rugi sehingga menghidu aroma campuran antara kayu dan pinus itu dalam-dalam. Memastikan tidak ada satu pun celah dalam paru-paru yang kosong. Semuanya harus terisis oleh aroma khas Galaxy.
Melangkah masuk, berikutnya Bintang melihat jendela kaca yang setinggi langit-langit dan selebar dinding dengan tirai abu terang serta putih yang transparan. Kasur yang biasanya digunakan Galaxy tiduran sambil video call Bintang menghadap jendela tersebut. Di setiap panggilan, dia hanya melihat bagian sandarannya karena Galaxy tidak pernah menunjukan isi kamarnya. Bintang hanya tidak menyangka kamar Galaxy seluas ini. Kalau tidak salah hitung, mungkin lebih luas dari ruang tamu rumahnya.
Kasur itu sendiri bersebelahan dengan nakas. Ada juga meja belajar sebelah rak kaca yang memajang berbagai piala dan medali kontes piano. Sisi sebelah kiri kasur terdapat rak buku. Ada juga TV kabel besar dan sound system berbentuk tinggi yang mengapit TV tersebut.
Bintang melihat ada dua pintu lagi yang saling berselahan di kamar Galaxy. Kata Aira, itu closet dan kamar mandi.
“Lo nggak pengin ngecek kameranya?” Suara Aira yang sudah meletakkan jersey Galaxy di nakas menghentikan kegiatan Bintang melihat dan memilih buku pada rak Galaxy yang kebanyakan tentang piano.
Mengembalikan buku yang baru saja diambilnya, Bintang berjalan ke tempat Aira berdiri di sebelah rak tinggi yang terletak di sebelah pintu masuk kamar Galaxy. Deker kepala merah miliknya tidak sengaja terlihat sekilas olehnya. Ah, ternyata laki-laki itu masih menyimpannya. Bohong bila sedikit-banyak perasaan Bintang tidak senang.
“Nih, isinya foto lo doang.” Aira menyerahkan kamera Galaxy pada Bintang lalu duduk di kursi belajar sambil berputar-putar pelan. Sedangkan Bintang memilih duduk di kasur. Dilihatnya isi kamera itu yang memperlihatkan fotonya.
“Em gue kan udah ngaku nih perasaan gue ke Barja kayak gimana. Lo nggak mau cerita gitukah, gimana persaan lo ke adik gue sekarang?” tanya Aira penasaran.
Beberapa waktu lalu jelas sekali bila Bintang menyukai Galaxy, tapi setelah mendengar semua rahasia tersebut Aira tidak bisa membaca raut wajah Bintang. Pada dasarnya orang yang cemburu akan marah-marah, atau minimal bernada menyindir, tetapi tidak dengan Bintang kala bertanya implusif soal kesalahanpahaman tadi. Nadanya tenang. Terlalu tenang hingga orang bisa beranggapan bahwa gadis itu hanya menanggapi seadanya dan asal-asalan. Aira juga lupa tidak menanyakannya pada Barja.
“Nggak tahu,” jawab gadis tomboy itu jujur.
Memang benar adanya bila Bintang tidak tahu perasaannya. Kadang dia merasa membenci Galaxy atas segala kebusukan laki-laki itu, kadang juga sesuatu di dalam hatinya berkata bahwa dia sangat merindukan pemilik iris cokelat terang dan penyuka crème brulé itu. Merindukan senyumnya, merindukan recokannya, merindukan mengobrol dengannya, merindukan aroma khasnya, merindukan genggaman tangan besar nan hangatnya, merindukan pelukannya dan segala yang ada pada diri laki-laki itu.
Lalu saat tersadar semua hal tersebut bukanlah bertujuan untuk mendapatkan hatinya, Bintang seperti ditarik kembali pada kenyataan dan dia mendapati perasaannya membenci laki-laki itu. Siklus berputar itu terus berulang sampai-sampai dia tak mampu menafsirkan lagi seluruh perasaannya pada Galaxy.
“Emang adik gue kurang ganteng ya?” Suara Aira terdengar lagi. Bertepatan dengan itu gerakan Bintang yang sedang melihat foto-fotonya pun berhenti karena mendapati sesuatu.
“Bukan kurang ganteng Ra, tapi kurang ajar! Kok gue baru tahu dia selfie sambil nyium gue?! Masudnya apa coba?!” Bintang ngedumel sendiri.
Sedangkan Aira tertawa sambil menutupi mulutnya menggunakan tangan. Itu pasti foto mereka sewaktu di bus, pikir Aira. Dulu dia marah pada Galaxy sebab memanfaatkan Bintang. Sekarang, saat semuanya sudah terungkap, Aira malah semakin merasa bersalah terhadap dirinya sendiri karena tidak bertindak cepat waktu itu. Oleh karenanya, saat ini dia berusaha menebus kesalahan dengan sedikit memberi bocoran pada Bintang tentang perasaan maupun tempat pribadi Galaxy.
Setelah kekehannya berhenti, Aira baru menjawab, “Kan udah gue bilang kalau dia suka sama lo. Dia sendiri yang bilang ke gua. Ya tapi wajar sih, kalau lo masih ragu. Soalnya kan Gala kayak gitu. Gue kalau jadi lo juga pasti susah buat percaya.”
“Jaja juga bilang kek gitu. Lo janjian satu suara ya ama si Jaja?” tanya Bintang sambil menatap Aira yang juga menatapnya.
“Ih, enggak tuh. Cuma kebetulan aja, Bintang ....”
Astaga, Bintang baru menyadari perubahan topik tentang Barja bisa membuat Aira merona seperti tadi sewaktu di gazebo. Benar adanya bila Aira menyukai Barja.
Hmmm ... Barja bisa jingkrak-jingkrak kalau mendengar dan melihat ini.
Jakarta, 11 September
05.3p p.m.
“Kalau diginikan masih sakit?” tanya dokter sambil memutar pelan pergelangan tangan Galaxy yang cidera usai membuka bebatnya.
“Enggak Dok,” jawab Galaxy jujur.
Melihat wajah sang pasien yang tidak ada perubahan, dokter pun menyimpulkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lebih lanjut. Karena ini merupakan kasus cidera ringan, jadi biasanya waktu penyembuhannya juga tidak seberapa lama. Pria paruh baya berkacamata yang berprofesi sebagai dokter itu pun mengangguk lalu menyudahi sesi pemeriksaan.
“Oke, saya rasa nggak ada masalah. Tapi tetep hati-hati ya kalau mau buat olahraga, jangan terlalu keras dulu. Pelan-pelan dulu, baru bertahap nambah beban olahraganya,” terang dokter lagi.
Galaxy mengangguk paham. Apabila olahraga saja boleh, itu berarti dia juga sudah boleh bermain piano. Betapa hal tersebut membuatnya lega. Setidaknya konser tunggalnya tidak akan ditunda atau dibatalkan.
Ngomong-ngomong tentang olahraga, pikiran Galaxy mengarah ke basket dan bayangan gadis itu menyusupi dirinya dengan cepat. Belum lagi tentang uji tanding pasca konser tunggalnya sebentar lagi dan dia terpilih menjadi pemain cadangan. Haruskah dia ikut? Hampir dua minggu ini Galaxy tidak mengkuti latihan karena menghindari Bintang. Akan tetapi tentu dia tidak akan mengungkapkan alasan tersebut pada pelatih. Bagaimanapun cidera tangan merupakan alasan yang bagus saat ini.
Satu embusan napas keluar dari hidung Galaxy yang mancung. Dilihatnya pergelangan tangan yang dilingkari arloji. Sudah hampir jam enam sore menjelang malam. Gadis itu pasti sudah selesai latihan basket dan pulang.
Usai merampungkan urusannya di rumah sakit, Galaxy memutuskan untuk pergi ke suatu tempat dengan tujuan menjernihkan pikirannya yang tiba-tiba keruh karena bayangan Bintang. Namun entah kenapa dia malah pergi ke toko bunga D'Lule a.k.a. rumah gadis itu.
Laki-laki itu tidak ingin masuk, menyapa mamanya Bintang atau membeli bunga. Hanya ingin memandangi tempat tersebut dari luar. Sebagian kecil hatinya berharap bisa menjumpai Bintang di sana meski hanya dapat memandangi gadis tomboy itu dari kejauhan.
Senja telah berganti malam. Berarti Galaxy sudah berdiri sedikit jauh dari toko bunga itu selama beberapa menit. Mungkin gadis itu sudah pulang dan istirahat, pikirnya. Mengingat kebiasaan Bintang memang seperti itu. Ketika tangannya merogoh kantung jin untuk mengambil ponsel yang akan dia gunakan memesan taksi daring, suara mesin motor memicu Galaxy untuk menoleh.
Bintang baru pulang dari latihan basket. Galaxy dapat dengan jelas melihat kaus oblong, celana basket, dan sepatu yang dikenakan gadis itu. Ada juga ransel dan bola dalam kantung yang dipegang Bintang ketika turun dari ojek daring.
Gerakan Galaxy terhenti, wajahnya terpekur tapi jantungnya berlomba-lomba bertalu dalam rongga dadanya ketika melihat gadis itu tersenyum. Betapa dia merindukan senyum gadis itu yang hanya diperuntukkan baginya. Lalu rasa cemburu dan api kemarahan merayapi tubuh Galaxy.
Dia tahu Bintang hanya berusaha beramah-tamah dengan seseorang yang berjasa mengantarnya ke rumah, tapi bisa tidak gadis itu tidak senyum sampai masuk rumah? Seolah-olah menandakan sedang bahagia, dan bahagia itu tanpa dirinya.
Galaxy mengepalkan tangannya erat-erat. Bagaimana mungkin gadis itu tampak bahagia tanpa dirinya?! Kenyataan tersebut benar-benar membuatnya ingin menarik gadis itu lalu ... lalu apa? Memeluknya? Mengatakan bahwa dia merindukan gadis itu dengan teramat sangat?
Galaxy menddngkus kesal mendapati kenyataan bahwa dia bukan siapa-siapa Bintang. Bahkan dia juga benci disebut-hanya sebatas-teman. Kendatipun itu menyatakan.
Sialan gadis itu. Kenapa selalu membuatnya kelimpungan seperti ini?
_______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman ttemin
With Love
©®Chacha Elcipster
👻👻👻
3 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top