Chapter 32
Selamat datang di chapter 32
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like this
❤❤❤
________________________________________________
Betapa dia merindukan gadis itu dengan teramat sangat
~Galaxy Andromeda~
________________________________________________
Jakarta, 11 September
05.00 p.m.
Galaxy tidak banyak bicara. Hanya mengangguk lalu pergi ke kamarnya untuk ganti baju sebelum berangkat ke rumah sakit. Saat akan keluar, sepasang iris cokelat terang laki-laki itu tidak sengaja melihat kamera yang tergeletak di rak setinggi dadanya dan terletak tepat di samping pintu. Ada juga deker kepala merah milik Bintang yang bersebelahan dengan kamera tersebut.
Langkahnya terhenti untuk mengambil dan menyalakan alat optik digital yang mengusik pikirannya. Foto Bintanglah yang pertama kali tampil, sedang menduduki bola basket sambil minum. Menilik dari sejarahnya, foto tersebut diambil sedetik sebelum Bintang menyemburkan air yang baru saja diteguknya karena pelatih meneriaki gadis itu.
“Hei Bintang! Jangan didudukin bolanya! Nanti kempes!” teriak pelatih dari kejauhan. Saat itu posisi Galaxy sedang berada di depan loker pemain dan kebetulan sedang mengambil handuk kecil serta sebotol air mineral. Mendengar suara teriakan tersebut, dia kontan melihat apa yang sedang terjadi dan segera mengambil kamera di loker dekat dia berdiri karena melihat sesuatu yang bagus untuk difoto.
Setelah ciuman di ruang musik, Galaxy memang sering membawa kameranya ke mana pun. Tujuannya tentu ingin memotret Bintang secara candid. Itu pula yang saat itu dia lalukan, membidik kamera ke arah Bintang yang sedang terlihat dan terdengar menjawab protes pelatih.
“Bentar Pak, capek duduk bawah terus.” Masih dengan posisi yang sama, gadis itu lantas meneguk air mineral dari botol dan saat itulah Galaxy mengambil foto Bintang secara diam-diam.
Menyadari pelatih yang geram dan berjalan ke arah gadis itu, Bintang praktis menyemburkan air mineral yang baru diteguk lalu secepat kilat beranjak dari bola yang diduduki untuk kabur.
“Ampun Pak, iya saya berdiri nih!” teriak gadis itu sambil berlari.
Kedua sudut bibir Galaxy terangkat sendiri membentuk sebuah senyum pasca mengingatnya. Digesernya layar pada kamera dan memperlihatkan foto Bintang yang lain. Gadis itu sedang menggiring bola ke arah ring sebelum menembakkan benda bulat membal tersebut. Foto selanjutnya, Bintang tampak sedang menunduk. Satu tangan gadis itu memegangi anak rambut pada bagian depan dan satu tangan yang lain memegangi lutut. Matanya fokus ke arah ring dan mulutnya terengah tanda kelelahan.
Lalu foto-foto selanjutnya terus menampilkan Bintang dengan berbagai macam pose, baik di lapangan sewaktu latihan atau di kantin mbok Sarmi yang diam-diam mau pun terang-terangan Galaxy ambil.
Dulu Galaxy memang sangat memaksakan diri untuk berlatih basket demi mendekati Bintang agar Aira cemburu dan melihatnya sebagai laki-laki. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tidak ada suatu keterpaksaan lagi. Karena Bintang melatihnya dengan sangat menyenangkan, jadi Galaxy mulai menyukai basket dengan sendirinya tanpa alasan-alasan tersebut.
Ah, melihat foto-foto ini dan mengingat objek serta waktu kejadiannya, betapa dia merindukan gadis itu dengan teramat sangat.
Meski demikian, Galaxy tidak berani menghubungi lewat telepon atau bertemu dengan Bintang secara langsung. Selama di sekolah pun, lebih sering menghindari tempat-tempat yang biasanya di lewati gadis tomboy tersebut. Semua dia lakukan karena masih tidak siap dan tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika bertemu dengan gadis itu.
Memang benar semua yang terjadi merupakan hasil dari buah kesalahannya karena berniat buruk di permulaan. Namun, tidakkah ada sedikit saja rasa cinta yang tertanam di hati gadis itu untuk Galaxy setelah usahanya yang begitu keras mendekati gadis itu? Kalau dipikir-pikir dengan jawaban Bintang yang hanya menganggapnya sebagai teman, sepertinya memang tidak.
Beberapa waktu lalu Galaxy juga melihat gadis itu bersikap biasa saja dan bisa tertawa dengan teman-teman basket yang berada di kantin mbok Sarmi. Itu membuatnya marah. Kenapa rasanya Galaxy sendiri yang sakit hati?
Semestinya dia cepat sadar diri. Zhardian salah. Gadis itu tidak memberinya lampu hijau. Akan tetapi memang dari dulu Bintang tidak menganggapnya penting akan semua hal yang Galaxy lakukan sehingga sewaktu memintanya menunjukkan tempat makanan kesukaannya, gadis itu jelas asal bicara. Termasuk saat semua rahasia busuk Galaxy terungkap. Mungkin itulah penyebab banyak laki-laki di sekolah yang lebih memilih mengurungkan niat untuk mendekati Bintang.
Dia dandan loh ... benak Galaxy mengingatkan. Namun dengan cepat otaknya berpikir itu wajar karena perempuan.
Senyum yang tadinya menghiasi wajah Galaxy berganti dengan cemberut. Hebat sekali gadis itu. Dapat membuatnya merasakan berjuta perasaan dalam sekali waktu. Campuran antara cinta, rindu, marah, sakit hati, benci dan yang lainnya.
Galaxy ingin melupakan Bintang. Namun semakin keras berusaha melakukannya, sosok Bintang semakin menyusupi hati, otak dan seluruh tubuh Galaxy yang serentak meneriakkan amat merindukan gadis itu.
“Astaga Dek, ayo nanti keburu antriannya panjang dan jadwal dokternya udah habis.” Suara Aira yang membuka pintu dan menyebulkan kepala mengejutkan Galaxy.
Kamera yang semula masih berada di tangan laki-laki itu pun sekarang diletakkan pada tempatnya kembali, sejajar dengan deker kepala merah.
Sembari keluar kamar, Galaxy menanggapi Aira. “Gue ke rumah sakit sakit sendiri aja ya. Lo kan ada latihan vocal.”
“Tapi Dek, guru vocalnya—”
“Gue lagi pengin sendirian,” potong laki-laki yang tingginya mengancam itu.
Akhirnya Aira hanya bisa memejamkan mata dan melepas napas berat yang singkat. Padahal dia ingin mengatakan sudah membatalkan janji dengan guru vocal untuk memgantarnya ke rumah sakit dengan mengemudikan mobil sendiri, bahkan dia sudah berganti pakaian. Ya sudah tidak apa-apa. Adiknya sepertinya memang butuh sendirian.
Sejujurnya Aira juga tidak menyangka Galaxy akan menjadi seperti ini. Ternyata benar adanya bila laki-laki itu menyukai Bintang. Pertanda dari perubahan sikap drastis yang ditunjukkan oleh adik tirinya tersebut.
“Ya udah hati-hati Dek.”
Jakarta, 11 September
05.10 p.m.
“Ja, lo kagak salah alamat kan?” tanya Bintang kepada Barja melalui sambungan telepon.
Gadis itu sedang berdiri di depan pagar yang sangat tinggi dari sebuah rumah mewah dengan gaya futiristik usai turun dari ojek daring. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri dan dimenangkan oleh sisi egonya, hasilnya dia memutuskan untuk mengantar jersey tim ke rumah Galaxy sendirian.
Mulanya Bintang ingin mengabari laki-laki itu lebih dulu tapi hatinya tidak siap menerima penolakan. Dia juga berpikir ingin menggunakan jasa antar paket tapi terkesan tidak sopan. Gadis itu juga sempat meminta Barja mengantarnya ke rumah Galaxy. Akan tetapi kata sahabatnya sedang ada urusan.
Padahal Bintang yakin itu hanya alasan saja karena seingat Bintang tadi, Barja juga mengatakan Aira sedang les vocal, yang berarti tidak ada di rumah.
Be positive Tang, hati gadis itu mengingatkan. Mugkin karena itu juga Barja memberi kesempatan pada Bintang agar bisa bertemu dan bicara empat mata dengan Galaxy.
Well, setidaknya dengan datang ke rumah Galaxy—kemungkinan besar—dia bisa melihat dan memastikan laki-laki itu baik-baik saja meski akhirnya—tidak menutup kemugkinan juga akan diusir.
“Kenapa Tang?” Suara Barja terdengar di ujung.
“Beneran yang pagernya tinggi banget ini? Terus ada taman bunga sama taneman yang muterin rumah gedhe ini?” Bintang kembali memastikan dengan menerangkan apa yang sedang dilihatnya sekarang.
“Bener Tang.”
Bintang mendesah keras. Tidak menyangka kalau Galaxy sekaya ini. Pasalnya laki-laki itu tidak pernah memberitahu tentang di mana tempat tinggalnya dan bagaimana status sosialnya. Memang, itu justru bagus berarti Galaxy tidak sombong. Akan tetapi maksud Bintang, dengan adanya kenyataan yang sekarang, semakin dia berpikir ke belakang, semakin mustahil bila Galaxy mendekatinya yang hanya dari kalangan sederhana dengan sifat yang tidak ada bagus-bagusnya. Bahkan laki-laki itu mengajaknya naik kendaraan umum seperti KRL. Pasti Galaxy sangat memaksakan diri.
Mendadak kepercayaan dirinya untuk memberikan jersey tim pun luntur.
“Halo Tang?” Suara Barja menarik dirinya kembali ke dunia nyata.
Ngomong-ngomong Barja lumayan percaya diri untuk mendekari Aira. Andai saja Bintang memiliki secuil kepercayaan diri dan keberanian terebut, mungkin saja dia sudah melakukkan apa yang dikatakan sahabatnya tempo hari sepulang dari makan seblak mercon mang Uung.
“Ya, Ja?”
“Gue tutup dulu ya?”
“Oke, thanks Ja.”
“Sama-sama Tang.”
Menurunkan ponsel dari telinga, Bintang berpikir ingin pulang saja dan menitipkan jersey Galaxy pada Zhardian ketika tiba-tiba seseorang mengintip dari celah pembuka pagar sehingga mengejutkannya.
“Neng Bintang?” tanya orang tersebut.
Bintang sempat terlonjak tapi cepat mengontrol diri kemudian menoleh ke arah sumber suara tersebut. Sepasang iris hitamnya menyipit dengan kepala yang dimiringkan beberapa derajat sembari memikirkan orang yang tahu namanya dan sedang membukakan pagar tinggi di depannya. Kalau tidak salah ingat, itu orang yang menjemput Galaxy di rumah sakit dan mengantarnya pulang.
“Pak Jono?” gumamnya.
“Masuk aja Neng, tapi den Galaxy-nya baru aja pergi lima menit yang lalu.”
Perkataan pak Jono tentang Galaxy mendebarkan hati Bintang. Dia telat selangkah. Mau tak mau Bintang memaksakan senyum. Ya sudah, mumpung ada pak Jono, sebaiknya dia menyerahkan jersey itu melewati supir pribadi keluarga Galaxy. Jadi, dia mengikuti pak Jono yang menggiringnya masuk. “Saya nggak lama Pak, sebenernya cuma mau ngasih—”
“Guk! Guk! Guk! Guk!”
“Aaarrggghhh!” teriak Bintang sambil berlari mengitari taman bunga di sekeliling pagar dalam rumah megah itu saat tiba-tiba ada seekor anjing berbulu putih menggonggong dan berlari ke arahnya. Pak Jono lantas ikut berlari untuk berusaha mengejar anjing tersebut.
Jakarta, 11 September
05.15 p.m.
Aira yang baru selangkah masuk rumah usai melihat Galaxy pergi naik taksi daring pun terkejut bukan main mendengar suara seseorang berteriak di sertai Lyno yang menggonggong. Ah, pasti ada orang asing yang bertamu, pikir Aira. Mengingat Lyno memang galak pada orang asing. Memang seperti itu dan sepertinya dia tidak perlu turun tangan karena biasanya pak Jono sudah bisa mengatasi hal ini.
Namun saat teriakan itu melewati teras depan pintu utama tempat di mana dia berdiri, Aira kontan berbalik dan melotot mendapati Bintang dikejar Lyno dan di belakangnya ada pak Jono yang kesusahan mengejar mereka.
“Aaarrrggghhh! Tolong saya Pak! Anjingnya mau gigit saya!” teriak Bintang masih sambil berlari terbirit-birit mengitari taman bunga.
“Guk! Guk! Guk!” Lyno terus menggonggongi Bintang sambil berlari mengejar orang asing yang pernah dilihat di ponsel Galaxy beberapa waktu lalu.
“Lyno! Sini Lyno!” teriak Aira pada akhirnya memutuskan untuk turun tangan sambil tergesa menuruni undakan yang tidak terlalu banyak lalu merentangkan tangan untuk menyambut anjing medium greed berbulu putih itu.
Tidak lama kemudian Lyno berbalik arah dan berlari ke arah Aira. Ditangkap lalu digendongnya anjing itu sambil melihat Bintang yang masih mengenakan pakaian latihan dengan ransel di punggung dan memegangi bola basket yang ada dalam kantung, kini sudah berhenti, menunduk sambil memegangi dadanya menggunakan tangan yang bebas karena ngos-ngosan. Tidak jauh dari sana, pak Jono juga terlihat ngos-ngosan.
“Hah ... hah ... haduh ... capekmya ngalah-ngalahin latihan basket ... hah ... hah ....”
Dengan perasaan tidak enak hati, Aira pun berjalan mendekati Bintang. “Sorry, anjing Gala emang galak sama orang yang belum pernah ketemu sama dia.”
“Guk! Guk!” Lyno menggonggong dan memberontak dalam gendongan Aira sementara Bintang yang ngos-ngosan refleks mundur-mundur.
“Wow! Easy Buddy!” kata Aira sambil mengelus bulu seputih salju milik Lyno yang masih terus menatap Bintang.
Bintang baru menyadari jika yang sedari tadi bicara dengannya itu adalah Aira. Kakak tiri Galxy sekaligus orang yang disukai laki-laki itu. Bintang jadi tersenyum masam melihat penampilan Aira yang sangat cantik. Tidak salah bila Galaxy mengidap sindrom sister compleks. Apa lagi mendapat pemandangan indah begini setiap saat bukan? Pasti Galaxy sangat senang.
Bitang lantas membandingkannya dengan penampilannya sekarang yang buluk serta bahu keringat karena latihan basket. Timbullah suatu penyesalan. Kenapa tadi tidak pulang, mandi dulu, dan mungkin berdandan sedikit baru ke sini.
Buat apa Tang? Dalam benaknya bertanya demikian. Toh dia hanya ingin menyerahkan jersey tim, lalu mungkin bisa melihat keadaan Galaxy.
Dia tadi hanya berpikir selagi niat, makanya tergesa datang ke sini sebelum niat itu menjadi luntur karena berbagai macam hal. Namun, kenapa Aira ada di rumah?
Mengalihkan hal tersebut, Bintang melihat Aira meminta Pak Jono yang sudah bernapas normal mengambil alih Lyno.
“Thanks udah nyelametin gue dari anjing.”
“Iya.” Sambil menepuk-nepuk baju serta tangannya yang terkena rontokan bulu Lyno, Aira bertanya, “Lo mau ketemu Gala? Dia lagi ke rumah sakit ngecek kondisi tangannya.”
Bintang menggeleng pelan. Merasa telat selangkah karena sedih sekaligus mengelak. “Oh, tadi udah dibilangin pak Jono. Lagian nggak ketemu juga nggak masalah kok.”
Acara menepuk-nepuk selesai, Aira mendongak menatap Bintang sebab tingginya hanya seleher gadis tomboy itu. “Nggak masalah?” tanyanya sambil menaikkan kedua alis pertanda bingung. “Terus? Ke sini ngapain kalau nggak pengin ketemu Gala?”
Bintang mengapit bola di betisnya lalu melepas ransel untuk mengambil jersey Galaxy dan menyerahkannya pada Aira. “Ini, punyanya adik lo.” Entah kenapa masih enggan memyebut nama Galaxy. Lidahnya tidak bisa melakukannya.
“Apaan ini?” tanya Aira sambil membolak-balik jersey itu yang masih dalam plastik bening.
“Kostum basket. Btw gue cabut dulu yak.”
Kala Bintang akan melangkah, Aira menghentikannya. “Bintang, jangan pulang dulu. Mumpung lo di sini, ayo duduk dulu. Kebetulan ada yang pengin gue omongin sama lo, mumpung Gala lagi nggak di rumah.”
Jantung Bintang kontan lebih giat bekerja. Apa yang kira-kira akan dikatakan Aira padanya? Apa sesuatu yang buruk seperti menjauhi Galaxy? Mengingat terakhir kali mereka bicara, Aira dalam keadaan marah dan memintanya melakukan itu. Sekarang pun dia sudah tidak berkomunikasi dengan Galaxy. Apakah masih kurang? Apa dia harus benar-benar hilang ditelan bumi sehingga Aira bisa tenang?
_______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman ttemin
With Love
©®Chacha Elcipster
👻👻👻
3 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top