Chapter 26

Selamat datang di chapter 26

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like this

❤️❤️❤️

____________________________________________

I’m worry about you, not because you’re a pianist or a basketball player, or your another talent—wahtever, I don’t care
I’m worry about you, just because you’re Galaxy Andromeda

~Cecilia Bintang~
______________________________________________

Jakarta, 28 Agustus
05.01 p.m.

“Duh, gimana nih Ja?!” Bintang mondar-mandir mirip strika di koridor rumah sakit bersama Barja Agritama dan Zhardian yang duduk di depan ruang pemeriksaan, sedang menunggu Galaxy diperiksa dokter bersama dengan pelatih sebagai wali laki-laki itu. Mereka juga masih mengenakan pakaian yang digunakan untuk latihan tadi kerena terburu-buru ke sana.

Begitu mendengar Galaxy kesakitan akibat tidak tepat menangkap bola yang tiba secara dadakan, pelatih kontan bertindak membawa anak didiknya tersebut ke rumah sakit terdekat. Bintang, Barja dan Zhardian memaksa ikut.

“Tang, lo bisa duduk nggak sih? Gue juga bingung.”

“Emangnya lo bingung apa Ja?”

Barja tidak menjawab, lebih tepatnya belum siap. Bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan pada Aira nanti? Kenapa mengurus hal kecil seperti menjauhkan Galaxy dari Bintang saja dia tidak becus?

Bukan tidak becus, Barja hanya bergerak secara perlahan. Karena terlalu perlahan, sampai-sampai dia tidak sadar sudah kehabisan waktu dan Galaxy terburu sudah cidera, bahkan dengan cara yang tidak dia duga sebelumnya.

Beruntungnya Bintang tidak benar-benar menuntut jawaban dari Barja karena sibuk dengan kekhawatirannya sendiri.

Untuk beberapa waktu yang singkat, bunyi berderat dari pintu ruang pemeriksaan yang terbuka kontan menyentak Bintang maupun Barja serta Zhardian untuk sama-sama menoleh ke arah sumber suara tersebut. Gadis itu segera menghampiri, Barja dan Zhardian pun ikut berdiri mengikutinya.

Bintang melotot saat melihat pergelangan tangan Galaxy dibebat. “K-Kiddo? Lo nggak apa-apa?” tanyanya menuntut.

Galaxy tersenyum lebar. Walau terasa nyeri, dia merasa senang karena gadis itu ternyata  mengkhawatirkannya.

“Kata dokter, Galaxy perlu istirahat selama dua minggu, terus entar dilihat perkembangannya lagi.” Pelatih menjawab pertanyaan dari Bintang sambil menepuk bahunya pelan. Barja dan Zhardian yang sudah berdiri di belakang gadis itu ikut mendengarkan.

“Maksudnya lihat perkembangan? Belum bisa dipastiin sembuh dalam waktu dekat, Pak?”

Pelatih dapat melihat jelas raut wajah kekhawatiran Bintang. “Udah kamu tenang aja Tang. Sekarang lebih baik saya ke apotek nebus resep dokter terus antar Galaxy pulang dulu.”

“Saya ikut Pak,” kata Bintang, Barja dan Zhardian secara bersamaan. Mengejutkan pelatih.

“Makasih Pak, tapi saya takut ngerepotin. Saya telepon orang rumah aja buat minta jemput.” Galaxy berusaha menolak secara halus. Selain memang tidak ingin merepotkan, tentu saja dia juga tidak ingin Barja ke rumahnya. Belum lagi, katanya hari ini Aira sudah pulang. Galaxy tidak ingin ada kekacauan lagi.

“Maaf ya Kiddo, gara-gara gue—”

“Bukan salah Kakak. Emang gue aja yang belum jago nangkep bola hehe ... niatnya jadi pahlawan buat Kakak, malah payah jadinya.” Laki-laki itu memotong kalimatnya. Betapa Bintang ingin melempari adik kelas tersebut menggunakan semua bola yang ada di GOR SMA Geelerd. Bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini Galaxy malah tertawa. Memangnya apa yang lucu? Tidak ada yang sedang melawak sekarang.

Beberapa menit kemudian, selagi menunggu tebusan obat berupa salep di apotek rumah sakit, Galaxy menelepon pak Jono. Bintang, Barja, Zhardian dan pelatih hanya mengamati dari jauh sambil duduk di kursi depan apotek tersebut. Tempatnya sedikit jauh karena kursi-kursi yang berada tepat di depan apotek sudah penuh.

Setelahnya laki-laki itu pun ikut duduk bersebelahan dengan Bintang. Lalu mengatakan pada semuanya bila jemputannya akan segera tiba beberapa menit lagi karena suatu kebetulan rumahnya dekat sini.

Bintang menunduk menatap sepatu basketnya. Kenapa rasanya hatinya gelisah memikirkan Galaxy? Bagaimana kalau laki-laki itu belum sembuh selama dua minggu kedepannya? Seandainya saja laki-laki itu tidak menyelamatkannya tadi, pasti tangan Galaxy baik-baik saja dan Bintang tidak perlu merasa secemas ini.

Bae ...” panggil Galaxy sambil menyenggol kaki gadis itu. Bintang masih bergeming. “Tangan gue yang sakit, kok Kakak yang sedih?”

Bintang menatap Galaxy. Merasa aneh karena laki-laki itu memanggilnya Bae. Ternyata pak pelatih dan Barja sedang tidak ada. Tinggal Zhardian yang ikut menatapnya. Tidak heran bila Galaxy memanggil demikian. Kenapa Bintang tidak menyadari kepergian Barja dan pelatih? Apa sedalam itu pikirannya hingga membuatnya tidak sadar akan sekitarnya?

“Ya gimana ya Kiddo ....”

“Kakak khawatir karena konser itu?”

“Lo pikir gue khawatir karena itu?” Bintang kembali bertanya dengan raut wajah tak percaya. Meskipun itu termasuk dalam daftar kekhawatirannya, tapi yang utama Bintang mengkhawatirkan Galaxy bukan karea laki-laki itu seorang pianis yang cidera dan tidak bisa memainkan piano dalam waktu dekat, pemain basket atau seseorang dengan profesi yang lain—dia tidak peduli. Melainkan karena laki-laki itu adalah Galaxy Andromeda. Seseorang yang sudah menjadi penghuni hatinya.

“Terus?” tanya Galaxy. Sebelum Bintang menjawab, ponsel laki-laki itu lebih dulu menginterupsi. Dengan cepat Galaxy mengangkat panggilan tersebut yang berasal dari supir yang bekerja di rumahnya. Mengabarkan sudah tiba di parkiran rumah sakit dan sedang menunggu di lobi.

“Obatnya udah jadi Gal,” gumam Zhardian ketika melihat pak pelatih dan Barja berjalan dari depan loket apotek menuju tempat dia, Bintang dan Zhardian duduk. Tepat saat Galaxy memutus sambungan telepon.

Galaxy kontan berdiri. Bintang serta sahabatnya mengikuti dirinya berjalan ke pelatih dan Barja yang mengambilkan obat untuknya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia berinisiatif izin pada pelatih untuk sekalian mengantar Bintang pulang. Pelatih pun mengizinkannya.

“Gal, gue ikut ke rumah lo ya?” pinta Zhardian sebab khawatir kalau Galaxy tidak bisa menjelaskannya pada Aira. Namun laki-laki itu menolak.

“Nggak apa-apa Zhar, beneran gue nggak apa-apa. Lo ikutan balik ke sekolah aja.” Galaxy menjawab kekhawatiran Zhardian.

“Tang, lo nggak pulang bareng gue aja?” Tiba-tiba Barja menawari.

“Kak Barja harus balik ke sekolah dulu baru nganterin kak Bintang. Bukannya malah ribet?” Galaxy menimpali pertanyaan Barja.

“Galaxy bener Ja, biar Bintang dianter sama Galaxy aja, kamu sama Zhardian ikut saya balik ke sekolah,” ujar pelatih.

Padahal tadi niatnya Barja ingin menjalankan rencana yang telah dia susun selanjutnya agar Bintang menjauhi Galaxy dengan alasan kuat tentang cidera tangan, tapi kalau sudah pelatih yang mengatakannya, Barja jelas tidak bisa melawan.

Lambaian tangan singkat dari Bintang dan Galaxy pada pelatih, Barja dan Zhardian menjadi pertanda mereka sudah meniaki mobil jemputan Galaxy. Pak Jono yang mengetahui tangan anak majikannya dibebat, praktis bertanya, “Den ... tangannya—”

“Nggak apa-apa Pak, tolong rahasiain dari orang rumah ya?” potong Galaxy cepat.

“Tadi tuan sama nyonya baru pulang dari New Jersey, non Aira juga baru pulang dari Jogja. Hari ini ngajak makan malem bareng Den. Mumpung lagi kumpul semua.”

Galaxy sontak mendesah keras lalu memandang ke luar jendela. Menatap lampu-lampu yang sudsh mulai menyala sebab langit sudah malam.

Bintang yang sedari tadi duduk bersama Galaxy di kursi tengah kontan menoleh pada laki-laki itu. Kalau dipikir-pikir selama mengenal Galaxy, dia sama sekali belum pernah mendengar cerita tentang keluarga adik kelas itu selain Aira. Lalu mendapati sikap laki-laki itu yang berubah saat membicarakan keluarganya membuat Bintang bertanya-tanya, apakah Galaxy memikirkan keluarganya akan memarahinya karena cidera? Pasti.

“Kiddo ...” panggil Bintang dengan suara lirih sambil memegangi pergelangan tangan Galaxy yang dibebat.

Galaxy yang kaget karena kedapatan melamun sontak menampilkan senyum. “Jangan khawatir Kak, ini bakalan cepet sembuh. Gue kan kuat,” kata laki-laki itu sambil menunjukkan otot triseb dan bisepnya bermaksud menghibur, tapi kekhawariran pada wajah manis itu tetap tidak luntur sedikit pun.

Kalau Bintang belum pernah mengalami cidera, mungkin dia akan bisa terkecoh oleh pengalihan Galaxy dan merasa—setidaknya—sedikit tenang. Masalahnya untuk ukuran pemain basket, dia pernah beberapa kali mengalami cidera seperti itu dan tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sembuh lalu kembali ke performa maksimal.

Galaxy meraih tangannya yang dingin. Lalu keheningan mulai tercipta karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tidak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan toko bunga D’Lule.

“Makasih Pak, makasih Kiddo,” ucap Bintang kemudian meluncur turun.

I’ll call you, Bae.”

“Iya, Hati-hati di jalan. Kabarin kalau udah sampe.”

Jakarta, 29 Agustus
06.50 a.m.

Galaxy Andromeda tidak meneleponnya. Bahkan terhitung sejak tadi malam, membaca pesannya pun tidak. Berkali-kali Bintang mencoba menghubungi laki-laki itu, tapi hasilnya nihil. Ada apa sebenarnya? Apa Galaxy baik-baik saja? Apa ini terkait cidera dan konser tunggal laki-laki itu? Apakah akan dibatalkan? Berapa kira-kira biaya yang dibayar untuk kerugian tersebut? Apakah orangtuanya marah karena itu?

Kekhawatiran itu bertambah ketika sudah hampir jam tujuh pagi, laki-laki itu tidak datang menjemputnya. Jadi Bintang harus naik ojek daring ke sekolah.

Seakan itu belum cukup, ketika jam istirahat pertama, Bintang yang berencana ke kelas Galaxy untuk mengecek keadaan laki-laki itu, lebih dulu dikejutkan oleh kedatangan Aira. Mulanya dia dan semua penghuni kelas berpikir gadis cantik itu akan menemui Barja, tapi nyatanya dengan raut wajah sama sekali tidak ramah, Aira berdiri di depan bangku Bintang.

“Lo ... bisa nggak sih? Jauhi adik gue?! Gara-gara lo adik gue cidera!” selorohnya. Untuk ukuran wajah yang emosi, Aira masih tampak cantik. Sangat malah, suaranya juga merdu. Dilengkapi sikap anggun nan feminim kendatipun sedang marah-marah. Tidak heran jika Barja menyukainya.

Sejenak Bintang merasa konyol. Bagaimana bisa dulu dia membandingkan dirinya yang seperti petasan banting dengan Aira yang secantik bidadari? Jelas jauh beda.

Bintang bersumpah, seandainya dia laki-laki, pasti dia akan jatuh cinta pada kakak Galaxy ini dalam sekali pandang.

Mengesampingkan fakta tersebht, Bintang mengernyit untuk menemukan sesuatu yang aneh pada Aira. Dia yakin ada yang aneh, tapi apa? Cepat sadar, Bintang mengerjab. Bukan itu masalahnya sekarang. Astaga bisa-bisanya gadis itu malah gagal fokus.

Barja yang melihat Aira bediri di depan bangku Bintang kontan melompat serta menerjang apa saja untuk segera bisa mencapai sana supaya bisa menenangkan Aira.

“Ra ... Ra ... Ra ... tenang dulu Ra, biar aku yang ngomong sama Bintang.” Barja mencengkram kedua bahu Aira dan kakak Galaxy itu memberontak.

Secara tidak langsung, tingkah laku mereka pun mengundang mata penghuni kelas XI IPS 1 dan beberapa orang anggota Bintang Fans Club.

“Enggak Ja, kamu nggak bisa, udah aku kasih waktu seminggu kamu nggak bisa bikin dia jauhin adikku! Gara-gara dia adikku jadi terkilir! Gimana kalau Gala nggak bisa main piano lagi?!”

Bintang sontak terkejut bukan main. Apa karena hal ini Galaxy bertengkar dengan kakaknya? Karena dirinya?

“Pertama sorry to say, adik lo yang deketin gue sendiri. Kedua, kalian pikir gue seneng lihat dia cidera kayak gitu?! Gue juga nggak mau dia cidera! Dan gue udah berusaha hindarin itu dengan berhenti ngelatih dia basket! Iya, emang bener gara-gara gue dia cidera! Tapi lo nggak bisa egois kayak gitu!” Lalu Bintang menghadap Barja. “Lo juga Ja, gue nggak nyangka lo ada niat buat nurutin keinginan dia!” kata Bintang sambil menunjuk-nunjuk Aira tanpa memutus tatapan matanya yang dia harap menusuk pada sahabatnya.

“Tang, tenang dulu Tang gue bisa jelasin ...” sergah Barja, gantian memegangi siku Bintang. Takut kalau iblis betina itu ngamuk. Aira jelas tidak akan menang.

Namun perempuan yang dia lindungi itu seperti tidak menggubrisnya dan malah berteriak, “Lo salah kalau mikir gue egois! Lo pikir, ini cuma tentang hubungan antara adik gue sama piano? Enggak! Ini juga tentang—” Aira berhenti bicara untuk menatap Barja dan Bintang secara bergantian. Mimik mukanya yang semula emosi berubah sendu.

“Tentang apa?” tuntut Bintang.

Barja yang melihat perubahan drastis di wajah itu pun ikut menuntut sebab menyadarinya sesuatu yang aneh. Barja pikir, Aira sudah menceritakan semua padanya sehingga dia bersedia membantu Aira memisahkan Bintang dan Galaxy walaupun itu bertentangan dengan hatinya, tapi kenapa sekarang mendadak ada alasan lain? “Tentang apa lagi Ra kalau bukan cuma hubungan antara Gala sama piano?”

Jakarta, 29 Agustus
10.03 a.m.

WA Official BFC

BintangQ :

Hot news! Hot news! Aira Mentari, kakaknya dek Gala kelen yg imut, lucu, gemesin itu lagi marahin idola kita! Siapkan pasukan sluuurrr! Kita maju rame-rame!
#TimBintangGalaxySelamanya #Bintang #CeciliaBintang
#Idolaku #BFC

Indro(RajendraRoger)OfficialBFC:

@SilviaRengganisOfficialBFC : Sil ayo ke sono! #BBF #Timoleng

SilviaRengganisOfficialBFCI :

Yg lain jangan gegabah! Tunggu kabar dari gue ama @Indro(RajendraRoger)OfficialBFC
#BintangGalaxy #BintangQ #Bintangkecil #dilangityangbiru #amatbanyakmenghias #angkasa

BintangSelamanya :

Jadilah fans yang bijak guys! Jangan anarkis! Kita tunggu laporan kak min @SilviaRengganisOfficialBFC ama @Indro(RajendraRoger)OfficialBFC #timnetral #bintangselamanya #timabuabu #timhore #timuwu #uwu

SobatAmbyar :

Btw, permasalahannya apa sih? #timoleng #timpindahhaluan #timBintangGalaxy #timhiphiphurahura #uwu #semalemakungilernggaksayang

BintangQ :

@SobatAmbyar Scroll ke atas dan baca!
#TimBintangGalaxySelamanya #Bintang #CeciliaBintang
#Idolaku #BFC

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

20 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top