Chapter 23
Selamat datang di chapter 23
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like this
❤️❤️❤️
____________________________________________
Galaxy seperti bisa ular
Dapat melukai sekaligus dapat menyembuhkan luka yang dibuatnya sendiri
~Cecilia Bintang~
_____________________________________________
Jakarta, 19 Agustus
11. 05 a.m.
Sudah Galaxy duga sebelumnya kalau kakak kelas itu tidak akan cepat menjawab. Baiklah, tampaknya dia memang harus bersabar lagi. Bagaimana pun dia tidak ingin terburu-buru. Dia ingin gadis itu benar-benar menyukainya tanpa ada rasa keraguan sedikit pun.
Bintang menurut ketika Galaxy kembali menggenggam tangannya dan berjalan menaiki eskalator yang membawa mereka ke bioskop. Dirasa tidak tahan dengan rasa penasarannya, dia pun memutuskan untuk bertanya. Lagi pula tidak ada salahnya bukan memastikan?
“Kiddo ...” panggilnya. Gumaman yang menjadi jawaban laki-laki itu dapat dia dengar. Jadi Bintang melanjutkan. “Lo pernah main piano di sekolah nggak?”
“Pernah, kenapa Kak?”
Mereka melangkah melewati pintu bioskop yang di bukakan petugas menuju loket. Akhir pekan seperti ini tentu ramai, jadi mereka mengantri dan Bintang kembali melanjutkan acara menanyai Galaxy.
“Kapan itu tepatnya?”
Galaxy melirik ke arah lain untuk mengingat-ngingat kapan tepatnya itu. “Beberapa kali. Pernah waktu istirahat. Yang lainnya waktu pulang sekolah. Gara-gara itu juga gue nggak jadi ikutan pengarahanan basket buat acara ke Puncak.”
Jantung Bintang berdetak lebih kencang karena jawaban laki-laki itu. Pantas saja waktu itu Bintang tidak melihat Galaxy dan tahu-tahu sudah ikut ke Puncak. Mengesampingkan hal tersebut, Bintang berpikir lagi. Katanya, laki-laki itu pernah memainkan piano waktu jam istirahat. Tidak ada salahnya memastikan lebih detail bukan? Jadi Bintang kembali bertanya, “Hari Kamis bukan? Waktu lo pertama kali ke kelas gue?”
Galaxy kembali berpikir sambil melangkah selangkah ke sepan sebab urutan yang paling depan sudah selesai membeli tiket. Kurang satu antrian lagi tiba giliran mereka. “Iya, kok Kakak tahu?”
Sekali lagi jantungnya mempercepat ritme dalam pompaannya, memukuli dada Bintang. “Gue nggak tahu judul lagu apa yang lo mainin tadi, tapi lagu itu juga yang lo mainin sewaktu istirahat pertama hari Kamis?”
Sebagai pemanasan, Galaxy memang selalu mengawali permainan pianonya dengan instrumen Frederick Chopin. Baik sewaktu dulu saat diminta salah satu kakak kelas anggota paduan suara untuk menunjukkan permainan pianonya maupun barusan. “Iya. Kakak tahu?”
“Gue pernah denger. Waktu itu gue pikir yang main guru pinao, nggak tahu kalau yang main ternyata lo.”
Bintang ingat betul waktu itu Galaxy sendiri yang membuatnya bad mood lalu sewaktu istirahat pertama usai dari toilet dan dia berjalan menuju ke kantin, dia berhenti di ruang musik sebab mendengar dentingan lagu tersebut. Perasaannya bad mood-nya pun mendadak tenang. Bukankah ini lucu? Laki-laki itu yang membuatnya bad mood dan laki-laki itu pula yang membuat perasaannya lebih baik?
Galaxy seperti bisa ular. Dapat melukai sekaligus dapat menyembuhkan luka yang dibuatnya sendiri. Bagaimana Bintang tidak—
“Kak, giliran kita beli tiket.”
Jakarta, 19 Agustus
11.07 a.m.
“Udah siap?” tanya Barja pada Aira ketika melihat perempuan itu keluar dari pintu utama rumah megah yang dikelilingi taman bunga.
“Iya,” jawab Aira antusias. Pasalnya dia sudah menunggu hari ini untuk bisa kencan dengan Barja. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, mereka akan nonton film di bioskop.
Barja mengamati Aira dari kepala hingga ujung kaki. Memang benar-benar cantik paripurna. Gelombang rambut Aira ditata anggun, mekapnya natural, dan dress putih tulang selutut dipadukan dengan jaket demin mirip yang Barja kenakan. Dilengkapi tas serta sepatu flat feminim—kalau dia berjalan dengan Galaxy harus mengenakan wedges atau sepatu bertumit tinggi untuk menyamai tinggi laki-laki itu—benar-benar tampak seperti boneka hidup di mata Barja.
“Tapi naik motor, nggak apa-apa?” tanya Barja.
“Biasanya juga ke sekolah kamu antar-jemput naik motor kan?” Aira kembali bertanya.
“Maksudnya kamu kan sekarang dandannya cantik banget ... jadi—”
“Nggak apa-apa, ayok berangkat,” potong Aira untuk menutupi roma merah padanya karena Barja memujinya cantik. Memang dia sering dipuji seperti itu oleh setiap orang, tapi kalau itu berasala dari orang yang disukai, tentu rasanya beda bukan?
Mereka tiba di Mall sekitar lima belas menit kemudian. Aira pun memberanikan diri mengaitkan tangannya di lengan Barja sebab orang-orang—terutama laki-laki—melihatnya seperti kucing kelaparan. Yah ... risiko orang cantik.
Sambil mengobrol santai, mereka menaiki eskalator menuju bioskop. Setibanya di tempat menonton film itu, beberapa orang tengah mengantri lumayan panjang. Karena Barja bucin, jadi dia bertanya, “Mau duduk aja? Biar aku yang ngantri?”
Aira menggeleng cepat. “Enggak, aku mau sama kamu aja.”
“Nanti kamu capek lho berdiri terus.”
Aira melihat dan dalam menghitung antrian mereka lalu menjawab Barja. “Cuma enam antrian doang kok, nggak capek. Lagian kalau duduk sendirian pasti diliatin cowok, nggak nyaman.”
“Wajar, kan cantik.”
“Makasih Ja, kamu juga.”
“Juga apa? Juga cantik?” goda Barja.
Aira tertawa sambil menutupi mulut menggunakan tangannya. Sikap feminin yang anggun menurut Barja.
Jakarta, 19 Agustus
12.10 p.m.
Ya ampun, ini beneran Kak Bintang beli dua pop corn jumbo dua soda
gelas jumbo juga?
Entah sudah berapa kali Galaxy menemui prosi makan gadis itu yang ugal-ugalan, akan tetapi tetap saja dia masih merasa takjub.
Galaxy menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap semua makanan dan minuman yang ikut duduk bersamanya di deretan kursi yang terletak di koridor bioskop. Sedangkan pemiliknya pergi ke restroom.
Tiba-tiba ada yang menyapanya. “Galaxy?”
Galaxy mendongak untuk menatap Barja Agritama yang berdiri di depannya. Dia pun kaget setengah mati, tidak menyangka akan bertemu di bioskop ini. Lalu perasaan benci mulai merayap ke dalam dirinya dengan cepat. Saingan cuy ... saingan ....
“Lo sendirian?” tanya Barja basa-basi tapi begitu melihat beberapa makanan dan minuman yang berada di samping adik Aira itu—tanpa menyadari perasana Galaxy—Barja memperlebar senyumnya. “Pasti sama Kentang, biasanya kan dia pesen pop corn rasa ini sama soda.”
“Ke sini sama kak Aira?” tanya Galaxy. Suara nada suaranya terdengar ketus.
“Iya, lagi ke restroom sekarang.”
“Apa?!” pekik pemilik iris cokelat terang itu lalu buru-buru beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah restroom, mengabaikan Barja yang cengo saat baru duduk di kursi itu.
***
Astaga, gimana ini, Kiddo beneran bikin gue kayak orang gila!
Setelah melepas topinya, Bintang bercermin sambil memegangi kedua pipinya yang terasa panas. Dilihatnya pantulan dirinya dan tampaklah pipinya yang merona. Padahal tadi dia enggan memakai perona pipi paksaan kakak perempuannya, tapi lihat sekarang? Pipinya sudah merah sendiri.
Restroom memang sedikit ramai. Ada beberapa orang yang berlalu lalang, ada yang menggunakan toilet, ada yang mengantri, ada yang menggunakan wastafel, ada beberapa orang yang mengobrol, ada juga yang sedang membenahi tampilan di cermin sebelahnya berdiri.
Bintang menurunkan kedua tangannya dari pipi lalu mengembuskan napas beratnya pelan-pelan. Usai memeriksa tampilannya yang sudah tak bercela dan mengenakan kembali topinya, dia berniat keluar restroom.
Gadis tomboy itu menarik kenop pintu. Gerakannya terhenti karena seseorang baru saja lewat. Karena pikirannya masih membayang tentang Galaxy, Bintang tidak menyadari jika orang yang baru saja melewatinya tadi adalah Aira, dan meneruskan langkahnya keluar restroom.
Bintang mendapati Galaxy yang berjalan cepat ke arahnya. Wajah laki-laki itu tampak khawatir.
“Kak?” panggil Galaxy. Secepat kilat meraih tangan Bintang dan menggeret gadis itu.
“Kiddo? Eh mau ke mana?”
Galaxy tidak menjawab. Sembari mengikuti laki-laki itu, pandangan Bintang berpindah-pindah. Dari genggaman tangan mereka lalu kembali menatap sosok adik kelas itu dari belakang. Punggung lebar itu tampak gagah. Karena itulah dia tidak menyadari jika melewati Barja yang menatap penuh tanda tanya, detik berikutnya baru menyadari sesuatu lalu pergi ke restroom.
Sesaat kemudian Galaxy berhenti di depan teater tempat film pilihan mereka. Usai menyerahkan tiket, dia membawa Bintang berhenti di bawah tangga.
Ruangan sudah hampir penuh karena film akan segera diputar, tapi lampu-lampu kuning di dalam teater masih menyala, sehingga di bawah tangga sepi dan masih terkena cahaya. Iklan dari pengeras suara menggema di seluruh ruangan yang sejuk. Bintang menatap Galaxy yang menatapnya dengan tatapan ketakutan. Kenapa?
“Kakak nggak bakalan ninggalin gue kan?” tanya laki-laki itu dengan tidak sabaran. Suaranya sedikit keras karena suara iklan lebih mendominasi. Tanpa sadar dia juga menyudutkan Bintang di dinding, bahkan Galaxy menunduk serta memegangi kedua bahu gadis itu dengan tekanan lumayan kuat.
“Ha?” Bintang cengo. Sama sekali tidak paham akan tingkah laku laki-laki itu maupun pertanyaannya yang tiba-tiba. “Maksudnya?” Suaranya agak keras agar laki-laki itu bisa mendengarnya dengan jelas.
Galaxy menatap Bintang sambil berpikir. Apakah gadis itu sudah bertemu dengan kakaknya? Apakah kakaknya mengatakan sesuatu? Megingat pertengkarannya dengan Aira dan kakak perempuannya itu ingin Galaxy menjauhi Bintang, dia takut—besar kemungkinan—kalau kakaknya bertindak memberitahu segala pertengkaran mereka pada Bintang, lalu gadis tombiy itu akan meninggalkannya.
Kenapa pula dia baru bisa berpikir demikian? Kenapa dia tidak bisa memrediksi sesuatu yang benar jika bersama Bintang? Kalau begitu mulai sekarang dia harus berhati-hati. Sebisa mungkin berusaha mencegah Aira bertemu Bintang.
Sebenarnya Galaxy juga begitu takut untuk bertanya, terlebih mendengar jawaban yang tidak dia inginkan. Namun dilihat dari gelagat gadis itu, sepertinya tidak terjadi apa yang menjadi kekhawatiran sekaligus ketakutannya. “K-Kakak lama banget di restroom.”
Kebingungan di wajah Bintang praktis sirna digantikan kekehan geli. “Sorry Kiddo, tadi emang lagi rame, kan biasa lagi weekend. Astaga, lo takut gue ninggalin lo gara-gara gue pergi ke toiletnya lama?”
Betapa Bintang tidak tahu kalau hati Galaxy bisa selega ini mendapati gadis itu tidak bertemu dengan Aira.
Galaxy menoleh ke samping sambil membuang napas lega. Mendesah keras, dia melepas cekalan tangannya di kedua bahu Bintang lalu mengusap wajah kasar. Detik berikutnya terkesiap saat kedua tangan Bintang menyentuh lengan-lengan kerarnya dan bertanya, “Kiddo, are you okey?”
Bintang tidak menyangka perubahan sikap Galaxy yang semula santai, berubah sangat tegang seperti ini hanya karena dirinya lama di restroom.
“Ya, I ... I ... I’m just ... just too afraid. You go to the restroom for long. So I think ... I think—Uh, forget that. I want to hug you already now.”
Tanpa babibu Galaxy kontan meraih tubuh gadis itu dan membawa ke pelukannya. Bintang membalas dengan melingkarkan seluruh lengannya pada tubuh laki-laki itu. Gadis itu juga berjinjit dan mendongak untuk meletakkan kepala di atas bahu Galaxy. Sambil menyerap aroma tubuh laki-laki itu, tangannya juga mengusap punggung lebar tersebut. Astaga, imutnya ....
“I’m here ... Don’t worry, I’m here ....”
Pelukan pada tubuh Bintang terasa mengerat, tanda kalau laki-laki itu mendengar perkataannya di tengah suara iklan yang saling timpang tindih. Tepat saat itu pula, lampu-lampu dalam teater mati, tanda film akan segera diputar.
Galaxy melepas pelukan dan menggandeng gadis itu berjalan serta menepati duduk sesuai dengan kode yang tertera pada tiket. Tempatnya agak di belakang karena mereka sadar diri dengan postur tubuh menjulang. Takut kalau beberapa orang penonton protes karena tidak bisa melihat dengan leluasa akibat terhalang oleh mereka.
“Maaf Kak pop corn ama sodanya ketinggalan,” ujar Galaxy setengah berbisik ke arah Bintang yang tengah melepas topinya. Beberapa anak rambut gadis itu kontan berkibaran.
“Yah lo sih pake acara ninggalin—” Bintang menghentikan kalimatnya karena tiba-tiba tangan besar Galaxy menyentuh serta merapikan rambutnya.
Jakarta, 20 Agustus
01.03 p.m.
Laki-laki itu tidak berbohong tentang memotong rambutnya. Pada minggu siang ketika video call, Bintang bisa melihat Galaxy tengkurap dengan posisi di samping kasur. Di kursi sebelahnya, Ada juga Zhardian yang melambai singkat lalu bermain ponsel.
“Ekhem ... ekhem ...” deham Galaxy sambil memutar-mutar bola mata ke arah rambut barunya.
“Batuk Kiddo?” tanya Bintang juga sambil tersenyum lebar. Sengaja menggoda Galaxy. Tangannya terulur mengambil jaket bertudung abu terang kesayangannya di gantungan kamar.
“Zhar, tadi gue abis ngapain?” tanya Galaxy pada Zhardian tanpa melihat sahabatnya itu.
Bintang meletakkan ponselnnya di meja belajar lalu mengenakan jaket itu.
“Abis potong rambut dia Kak,” jawab Zhardian lalu fokus ke ponselnya lagi.
“Gimana menurut Kakak?” Galaxy menimpali.
“Guru BK seneng liat lo potong rambut,” jawab Bintang sambil menaik-turunkan kedua alis lalu meraih ponsel dan keluar kamar. “Tutup dulu yak, mau nganterin bunga pesenan orang sama kak Bulan.”
“See you soon Bae.”
Usai memutus sambungan video call kepala Galaxy diturunkan menempel bantal sambil menghadap Zhardian.
“Zhar ...” panggilnya. Zhardian hanya bergumam tanpa melihat Galaxy, jadi dia melanjutkan. “Kemarin gue ketemu kak Barja di bioskop.”
“Terus?”
“Dia sama kak Aira.”
Zhardian menghentikan kegiatan bermainnya, tertanda dari ponselnya yang dia turunkan lalu menghadap Galaxy sepenuhnya. Ini jelas pembicaraan yang serius. “Kak Aira ketemu kak Bintang?”
“Enggak, untungnya enggak. Gue udah takut banget kak Aira ngomong ke kak Bintang. Jangan sampe kak Bintang tahu ppermasalahan gue sama kak Aira.” Suara Galaxy terdengar seperti balon kempes karena mulutnya tertutub bantal.
“Gini Gal, lo tahu kan ada pepatah serapat-rapatnya kita menyimpan bangkai, pasti baunya bakal tercium juga?” Zhardian melihat Galaxy mengangguk dan terdengar bergumam. “Nah maksud gue, lebih baik lo kelarin masalah lo ama kak Aira, abis itu lo ngaku semuanya ke kak Bintang. Lebih cepet lebih baik Gal, biar hidup lo tenang kagak kabur-kaburan terus kayak gini. Udah pernah gue bilang kan, jangan nunda-nunda ngelarin masalah, bisa-bisa entar tambah gedhe,” terang Zhardian.
“Tapi gue—”
“Ragu?” potong Zhardian. Galaxy kembali bergumam. “Gue tahu lo oon Gal, jadi percaya aja sama gue. Inget bulan depan ada apaan Gal, jadi sebaiknya lo juga berhenti latihan basket dulu.”
___________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next time
With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻
20 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top