Chapter 22
Selamat datang di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like this
❤️❤️❤️
____________________________________________
Get ready Bae, after I played this piano, you will falling in love with me
~Galaxy Andromeda~
_____________________________________________
Jakarta, 19 Agustus
08.55 a.m.
Bintang gelagapan lalu berusaha melerai mereka. Sementara Galaxy terpekur mentapnya. “Jadi bener Kakak pacaran sama cowok ini? Udah tiga tahun lalu? Terus kita apa Kak?”
“Ha?” tanya Bintang tidak paham walau setelah lama mencerna kejadian ini.
Hati Galaxy benar-benar sakit. Niatnya ke sini untuk menjemput dan kencan. Bahkan menurut Zhardian yang ahli dalam percintaan, Bintang sendiri yang secara tidak langsung mengajaknya, tapi apa yang didapatkannya? Fakta bahwa Cecilia Bintang telah memiliki pacar selama tiga tahun? Lalu ke mana saja pacarnya selama ini? Kenapa tidak menampakkan batang hidungnya?
Apa ini yang namanya karma karena melawan Aira?
Ngomong-ngomong, Galaxy merasa Bintang jauh lebih cantik dan manis dengan penampilannya sekarang ini. Mengenakan baju floral marun—sama dengan kaus yang dia kenakan—kombinasi putih dan kuning sebahu yang bagian pundaknya menggembung. Dipadukan celana kain putih selutut dan ikat pinggang cokelat terang kecil serta rambutnya yang dikepang satu. Di tambah sepatu kets, tas selempang hitam sederhana yang berukuran mini dan topi tampak cocok untuk Bintang. Ada bagian feminim tapi tetap menonjolkan sisi tomboy-nya. Membuat gadis itu tampak memesona. Sayang sekali dandanan tersebut bukan diperuntukkan dirinya, melainkan untuk abang saingan beratnya ini alias sang pacar.
Duh gimana dong mang Uung?
Lain halnya dengan Galaxy yang emosi, ketegangan di wajah laki-laki dewasa itu sudah sirna digantikan smirk smile. Dia juga sudah melepaskan cekalan kaus Galaxy. Jelas saja, pasti sudah merasa menang karena Bintang memelilihnya. Ya, Galaxy tahu arti dari raut wajah itu.
“Kalau Kakak udah ada pacar, bilang Kak. Nggak perlu sampe gandeng tangan gue, bales pelukan gue, atau pengin tahu di mana gue biasanya makan makanan kesukaan gue!”
“Kiddo! Lo ngomong apa sih?!” Bintang ternganga mendengar ocehan Galaxy sementara Satria menahan diri untuk tidak tertawa lebar karena sekarang telah paham siatuasi ini. Sempat-sempatnya dia lupa nama depan adik pacarnya juga Cecilia. Bulan memberitahunya sudah lama, sekitar tiga tahun lalu saat awal mula mereka pacaran. Ingatan itu jelas samar-samar bukan? Malah yang Satria ingat, Bintang ini dipanggil Kentang.
Ternyata Cecilia yang mereka maksud adalah orang yang berbeda. Pantas saja bocah itu dan dirinya sendiri salah sangka. Namun bukankah salah bocah bongsor itu sendiri yang memotong perkataannya? Satria tadi belum rampung menyebut nama lengkap pacarnya.
“Baby, ternyata kamu udah dateng,” ucap kakak perempuan Bintang yang tiba-tiba keluar dari rumah dan mendapati pacarnya sudah berdiri di sana. Dia pun menghampirinya.
Bertepatan dengan Galaxy yang menunduk menatap kakinya sambil cemberut. Benar-benar mirip bocah TK yang ngambek. Dia juga tidak tahu kenapa bukannya pergi malah masih bertahan di sini sambil menggerutu.
“Iya Kak, gue tahu kalau dia cowok Kakak, tapi bisa nggak sih jangan manggil dia Baby didepan gue? Panas kuping gue denger itu dari mulut Kakak sendiri.”
Bintang cengo, Bulan juga cengo, tapi tidak dengan Satria.
Namun Galaxy merasa ada yang aneh dari suara kakak kelas itu. Suaranya sedikit berbeda dari biasanya. Bukan jenis suara asing, dia juga familier terhadap suara tersebut karena kadang-kadang mendengarnya, tapi jelas-jelas itu bukan suara Bintang. Saat memutuskan mendongak, matanya menangkap Satria yang masih menampakkan smirk smile sedang merangkul bahu Bulan yang menatapnya dengan tatapan polos. Dilirik sebelahnya, Bintang sudah bersedekap tangan sambil memandangnya dengan tatapan ala elang mengintai mangsa. Lalu tiba-tiba Galaxy ingin menjadi dinding karena malu telah salah duga.
Duh! Gimana dong mang Uung?!
Jakarta, 19 Agustus
09.45 a.m.
“Kiddo, mau sampe kapan lo diem ama nunduk terus kayak gitu?” tanya Bintang kepada Galaxy yang sedari tadi memang menunduk sambil menyendoki crème brulé cup keduanya.
Saat ini mereka sudah ada di toko roti lumayan terkenal di daerah ruko Jakarta Pusat bernama D’Chocholate Heaven. Seperti namanya sendiri, toko ini merupakan spesialis cokelat. Ada pun menu-menu lain seperti creme brule, custard, croissant, lava cake, rainbow cake dan lain-lain. Toko roti tersebut juga mengusung konsep kafe dan sudah buka dari pagi sebab menyediakan menu sarapan sederhana serta minuman.
Bangunannya cukup luas tapi hanya berlantai satu, dipenuhi dinding kaca pada bagian depan sehingga penggunjung bisa melihat roti-roti terpajang di sepanjang deretan etalase. Harum rotinya juga bisa tercium dari sekitar ruko tersebut.
Depan pintu masuknya di beri jarak untuk meja-meja kecil dengan payung besar yang melindungi. Ada juga yang di dalam dekat dinding kaca, tapi hanya dua meja dan sudah penuh ditempati pengunjung lain. Jadi mereka menempati meja luar dengan posisi duduk saling berdekatan. Sudah ada tiga cup crème brulé pesanan Galaxy, panna cotta cokelat pesanan Bintang atas rekomendasi Galaxy dan masing-masing teh min hangat yang tersedia di meja kecil tetapi muat untuk dua orang.
Pemilik serta pramusaji sudah hafal pada Galaxy dan menu kesukaannya, sehingga sewaktu memesan tidak perlu menyebutnya lagi. Jadi dia hanya merekomendasikan menu roti untuk sarapan dan minuman tersebut pada Bintang. Karena tidak begitu paham makanan manis, jadi Bintang menyetujuinya.
Galaxy sempat memandang Bintang sekilas. “Malu Kak.”
Lagi pula siapa yang tidak malu dalam posisi seperti ini? Sudah salah duga, tapi malah mendapat tumpangan gratis ke sini. Ternyata pacarnya Bulan memang benar-benang hobi mengantar orang.
Galaxy pikir dia akan digoda habis-habisan oleh Satria perihal tadi usai meminta maaf kenapa laki-laki itu dan Bulan. Akan tetapi ternyata Satria hanya menanyainya secara formalitas tentang nama dan kelas karena lebih sibuk menyita tangan Bulan—yang tersenyum manis—dalam genggaman meski sedang menyetir sekali pun. Galaxy juga melihat beberapa kali Satria mencium tangan Bulan. Tidak menyangka kalau ternyata orang bersumbu pendek bisa bucin seperti dirinya.
“Bang Sat ngomongnya Cecilia. Ya mana gue tahu kalau nama depan kak Bulan juga Cecilia,” papar Galaxy.
Bintang yang hendak memasukkan sesendok kecil panna cotta cokelat ke dalam mulutnya pun tidak jadi. “Bahaha ... kok lo jadi ikutan manggil dia bang Sat?,” kekeh gadis itu sambil mengacungkan sendok. “Lagian, dia tadi kan udah ngomong kalau belum kelar nyebut nama kakak gue. Lo sih main potong aja.” Lalu memasukkannya ke mulut.
Galaxy mengangkat wajah untuk menatap Bintang setelah menelan makannya. “Kalau Kakak jadi gue, kaget nggak kira-kira?”
Bintang melihat laki-laki itu menunduk lagi sambil makan. How cute. Tiba-tiba tangan kirinya yang bebas terulur, tergoda untuk mengacak-ngacak rambut Galaxy seperti saat rambut laki-laki itu berantakan setelah melepas helm. “Dasar! Ini rambut pengin lo panjangin apa gimana?”
Galaxy tidak menghindar atau protes. Malah senang diperlakukan seperti itu. Seperti disayangi. “Emang terlalu panjang kah?”
Setelah mengacak-ngacaknya, Bintang merapikan rambut Galaxy lagi. Merasakan helai-helai halus warna cokelat terang itu. “Belum gondrong sih, tapi menurut gue udah panjang. Kan bisa ganggu kalau lagi main basket.”
“Ada deker kepala Kakak, bisa gue pake.” Benar adanya bila deker Bintang memang masih dia simpan dan gadis itu tidak keberatan. Ngomong-ngomong, sebagai balasan agar sweet, kaus dan jaket Alan Walker hitamnya dia berikan pada Bintang—tentu saja dengan pemaksaan. “Tapi kalau menurut Kakak ini terlalu panjang, besok gue potong.”
Bintang menurunkan tangan untuk melanjutkan acara makannya. “Itu cuma pendapat kok Kiddo.”
“Pendapat Kakak itu yang paling penting buat gue.”
“Bah ... Btw, makanan di sini enak ya.” Bintang kembali memasukkan sesendok kecil panna cotta. Berusaha mengabaikan omongan Galaxy yang suka modus tiada tara ini.
Bintang pikir, lama-lama akan kebal dengan gombalan Galaxy. Namun ternyata malah sebaliknya. Jantungnya semakin memompa kencang. Darah yang diedarkan ke seluruh tubuhnya terasa hangat hingga mencapai pipi. Jadinya, pipi Bintang merah merona dan Bintang semakin susah mengendalikan diri agar tidak salah tingkah.
“Gue bilang juga apa. Btw Kak, mumpung deket Mall, gimana kalau kita nonton film?”
“Ya?”
Jakarta, 19 Agustus
10.10 a.m.
Mereka menaiki KRL menuju Mall dekat sana. Karena ini merupakan akhir pekan, jadi kereta listrik itu sangat berdesak-desakan, sehingga mengharuskan keduanya untuk saling menggenggam agar tidak terpisah dan kehilangan jejak. Dalam keadaan seperti itu sempat-sempatnya Galaxy menggoda Bintang.
“Kakak cantik dan manis pake baju kayak gini, gue jadi tambah suka, gimana dong Kak?” bisik Galaxy. Efeknya membuat gadis tomboy tersebut seperti melihat kuntilanak, merinding disko cuy.
Bintang diam saja. Bagaimana Bintang bisa membalas perkataan Galaxy kalau posisi punggungnya menempel dada laki-laki itu? Mereka berdiri di dekat pintu. Satu tangan Galaxy memegangi tiang agar tidak jatuh, satu lagi menggenggam tangan Bintang. Pantulan bayangan mereka terpampang di kaca. Jadi biarpun tidak mendapat jawaban, tapi Galaxy bisa melihat lekukan senyum gadis itu melalui kaca depan mereka.
Perjalanan itu hanya memakan waktu sekitar lima menit, tapi genggaman tersebut masih berlangsung sampai mereka tiba di Mall. Bintang yang lebih dulu menyadarinya mencoba melepaskan. Jantungnya deg degan terus cuy. Memangnya Galaxy tidak bisa mendengar detak jantung Bintang yang berkejaran?
“Kiddo, udah di Mall ....”
“Ya?” tanya laki-laki itu polos seperti biasanya.
Percakapan ini terjadi saat mereka berada di eskalator. Ingin naik menuju bioskop di lantai paling atas. Beberapa orang melirik sambil bisik-bisik karena mereka pasangan tinggi dan terlihat menonjol.
“Kan udah nggak di KRL.” Bintang menggoyang genggaman tangan mereka sebagai bentuk upaya menjelaskan maksudnya.
“Oh ...,” komen Galaxy usai melihat tangan mereka. Dia memang paham tapi ingin menggoda gadis itu. Jadi, bukannya melepaskannya, Galaxy malah mengeratkannya.
Dia merasa, kakak kelas ini semakin bertambah imut. Tidak lagi menampilkan sikap bar-barnya. Menilik dari kebiasaan Bintang yang tidak peduli apa pun dan langsung bertindak tanpa berkomentar bila menginginkan sesuatu. Bukankah jelas sekali jika sekarang gadis itu juga setengah hati ingin melepaskan genggaman tangan mereka?
“Kiddo ....”
Astaga gadis itu merajuk. Setelah sekian waktu mengenalnya, baru kali ini dia mendengar Bintang merajuk. Galaxy tersenyum lebar sambil melangkah melewati eskalator diikuti Bintang. Saat ingin berpindah ke eskator lain, dia melihat toko alat musik yang memajang piano. Tiba-tiba dia ingin memainkannya. Padahal sejak bertengkar dengan Aira, dia begitu malas menekan jajaran tut. Namun bersama Bintang, segalanya berubah.
“Eh Kiddo! Mau ke mana? Nggak jadi beli tiket nonton? Entar kita nggak dapet tempat loh ... inget sekarang weekend!”
Galaxy mengabaikan omongan Bintang untuk menarik gadis itu masuk ke toko alat musik tersebut. Toko itu sedikit ramai tapi tidak abai dalam pelayanan. Jadi ketika mereka mendekati piano besar, pelayan pun segera menghampiri mereka.
“Lagi cari piano yang kayak gimana Kak?” tanya pelayan toko perempuan yang berumur dua puluh tahun dengan senyum ramah yang telah dilatihnya.
“Kiddo—”
“Mau nyobain dulu,” kata Galaxy memotong perkataan Bintang. Dia sudah duduk di kursi tunggal tanpa punggung dan lengan. Iris cekelatnya berkilat-kilat menatap jajaran tut. Tangannya menyusuri dan kakinya menginjak salah satu pedal piano tersebut.
“Silahkan Kakak,” kata pelayan toko itu sedangkan Bintang berdiri di sebelah kursi Galaxy sambil menowel-nowel lengan kekar laki-laki itu.
“Eh Kiddo! Jangan aneh-aneh deh, emang lo bisa main piano? Yok beli tiket nonton aja.”
Kepala Galaxy berputar menghadap Bintang. Tidak sedikit pun tersinggung atas pertanyaan gadis itu. Kalau dipikir-pikir dia belum pernah memeberitahu Bintang kalau bisa bermain piano. “Bisa kok Kak. Kata orang-orang sih jago.”
“Bahahah ....” Bintang terkekeh meremehkan.
“Beneran Kak,” kata Galaxy sambil merentangkan jari-jemarinya untuk pemanasan. “Get ready Bae, after I played this piano, you will falling in love with me.”
Lalu tanpa menunggu jawaban dari Bintang, Galaxy mulai menekan jajaran tut selaras dengan kakinya yang bergerak menginjak pedal piano. Awalnya lambat, lama-lama berubah cepat. Iramanya tidak teratur. Meskipun demikian, nyatanya itu malah membentuk nada-nada indah dan enak didengar. Musik yang enerjik, menurut Bintang.
Tanpa sadar gadis itu terpekur menatap Galaxy yang sangat lihai memainkan piano. Beberapa pegunjung toko kontan mengerubungi laki-laki tersebut. Tidak hanya itu, orang-orang yang secara tidak sengaja lewat di depan toko juga berhenti dan melihat Galaxy. Sedangkan laki-laki itu sendiri tampak tidak terusik. Tetap fokus menekan tut. Sesekali matamya terpejam. Seperti menyatu dengan alat musik tersebut. Aura Galaxy jadi semakin terpancar.
Bintang menyadari sesuatu. Nada-nada hasil dari permainan piano laki-laki itu sepertinya tidak asing. Memang Bintang tidak tahu judul lagu tersebut tapi dia yakin pernah mendengarnya. Kalau tidak salah ketika jam istirahat pertama di ruang musik sekolah. Dulu, setelah dari toilet dan akan berjalan ke kantin, langkahnya terhenti di ruangan itu karena mendengar lagu tersebut. Mulanya dia pikir guru piano yang memainkannya tapi mendengar dentingan piano ini dimainan Galaxy, dia ragu.
Suara tepuk tangan memecah lamuman Bintang. Galaxy yang semula fokus pada jajaran tut, memutar kepala menghadap gadis itu dan tersenyum lebar. Ekor matanya menangkap sekeliling. dia pun menunduk memberi hormat kepada penonton yang mengelilinginya dan bertepuk tangan. Kemudian fokus ke gadis itu lagi dan bertanya, “Have you fallen in love with me already, Bae?”
______________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next time
With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻
20 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top