Chapter 21

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like this

❤️❤️❤️

______________________________________________


People falling in love with the person who actually do usual stuff many times together

~Bintang Galaxy~
______________________________________________

Jakarta, 15 Agustus
07.00 p.m.

Kiddo :
Weekend, libur latihan basket kan Kak?

Bintang memiringkan kepala dengan kening berkerut samar usai membaca pesan dari Galaxy. Biasaya dia tidak libur pada akhir pekan dan latihan di klub luar lingkup sekolah bersama Barja. Akan tetapi mengingat percakapan teman-temannya di grup WA kemarin sore, pelatih mengatakan kalau akhir pekan ini latihan diliburkan. Bintang terburu-buru menggerakkan jari-jemarinya di atas layar untuk membalas pesan tersebut.

Bintang :
Iya.

Kiddo :
Ayo ke Mang Uung.

Tanpa sadar sudut bibir Bintang tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman disertai gelengan kepala pelan. Dasar laki-laki itu. Apa sebegitunya ingin bersama dengannya setiap saat sampai-sampai mengorbankan diri makan seblak? Mengingat Galaxy sama sekali tidak bisa tahan dengan makanan pedas. Laki-laki itu juga bercerita kalau lebih suka makanan manis dan yang paling digemarinya adalah crème brulé.

Bintang :
Lo kan nggak suka makan gurih dan pedes.

Kiddo :
Gue bisa kok makan gurih. Gue juga bisa pesen seblak yang nggak pedes.

Dasar keras kepala! Bintang mengutuk adik kelas itu sekali lagi sambil tersenyum lebar.

Bintang :
How about crème brulé? Di mana lo biasanya beli itu?

Jakarta, 15 Agustus
07.05 p.m.

Galaxy yang semula tiduran di pinggiran kasur langsung duduk. Kedua iris cokelat terangnya membelalak menatap layar ponsel tapi tangan kanannya menepuk-nepuk bahu Zhardian.

“Zhar! Zhar! Zhar!” panggilnya.

Zhardian yang duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar langsung memberungut dan berusaha menghindar. “Apaan sih Gal?!” tanyanya sewot sambil meletakkan alat tulis.

Saat ini Galaxy memang berada di rumah Zhardian dan sedang mengerjakan tugas bersama. Namun bukan itu saja alasannya pergi ke rumah Zhardian. Sejak malam pertengkarannya dengan Aira lagi, Galaxy memutuskan untuk menginap di rumah sahabatnya tersebut. Memang sudah menjadi kebiasaannya—semenjak hubungannya dengan Aira tidak bisa disebut baik-baik saja. Aira juga tidak  mencarinya sebab sudah tahu ke mana dia akan pergi ketika dalam keadaan seperti ini.

“Kak Bintang tanya gini Zhar.” Galaxy mengulurkan ponselnya yang masih menyala menampilkan pesan Bintang.

“Kasih tahu Gal! Ini sih lampu ijo namanya!” papar Zhardian usai membaca pesan tersebut dan mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik. Dengan senyum secerah langit siang, Galaxy segera membalas pesan itu.

Jakarta, 15 Agustus
07.07 p.m.

Kiddo :
I’ll show you. See you Bae ❤

Satu hal itu bisa membuat Bintang salah tingkah. Meski sudah berkali-kali Galaxy menggunakan emoticon hati dan panggilan Bae tiap kali mengirimnya pesan, tapi tetap saja jantungnya terasa bekerja dua kali lebih cepat tanpa bisa dia kontrol. Jangan lupakan senyum dan wajahnya yang merona itu.

Entah sejak kapan dia jadi seperti ini dan melupakan perasaan sukanya pada Barja. Dia tidak lagi sakit hati ketika Barja tiba-tiba menerima telepon dari Aira, atau meninggalkan kelas lebih dulu saat jam istirahat untuk menemui kakak perempuan Galaxy tersebut. Sewaktu latihan basket, karena sibuk melatih Galaxy, Bintang jadi jarang berkomunikasi dengan Barja. Dia juga tidak lagi berangkat dengan sahabatnya itu sebab Galaxy selalu menjemputnya naik schooter dan itu terasa lebih menyenangkan.

Akhir pekan tiba dengan cepat. Ini memang masih pagi tapi Bintang sudah bingung setengah mati perkara baju. Padahal biasanya dia tidak begitu memedulikan soal penampilan, entah kenapa hari ini terasa spesial dan Bintang ingin mengenakan sesuatu yang lain dari biasa dia kenakan untuk keluar rumah bersama teman.

Bintang mengeluarkan beberapa isi pakaiannya dari lemari dan meletakkannya berjajar di kasur. Berdiri di depannya sambil berkacak pinggang, gadis itu mengerutkan kening sambil berpikir keras baju apa yang cocok dia kenakan untuk pergi makan creme brule dengan Galaxy.

“Kaus ... celana basket ... jin gombrong ... jin selutut ....” Gadis itu memiringkan kepala sambil mengabsen baju-baju di atas kasur.

Hanya makan crème brulé. Benak gadis itu mengingatkan. Seharusnya mengenakan baju yang sederhana saja sudah cukup. Pikirnya lagi kemudian menyomot kaus abu muda kesayangannya yang dipadukan dengan jin gombrong.

“Tapi kan ...” gumamnya pada diri sendiri sambil menenteng kaus dan jin itu, “perginya sama Kiddo, bukan sama Barja si Jajanan Pasar.”

Bintang mendesah keras. Mengabaikan pikirannya, dia pun berjalan ke cermin setinggi sedadanya tapi bisa menampilkan seluruh bandannya dari kepala hingga kaki. Sehingga tidak kesulitan melihat keseluruhan bayangan penampilannya saat Bintang menempelkan kaus serta jin gombrong itu pada tubuhnya. “Emangnya kenapa kalau pake ini?” tanyanya. Lagi-lagi diperuntukkan bagi dirinya sendiri.

Selesai memilih baju, Bintang bercermin lagi. Kali ini mengamati bagian wajahnya yang ditolehkan ke kanan dan ke kiri. Lalu mengusap pipinya sembari berpikir, apakah dia harus berdandan sedikit? Namun mengingat seberapa dia abai dalam hal tersebut, tentu tidak ada satu pun mekap yang dia beli. Wajahnya memang tidak membutuhkan mekap karena sudah tergolong putih dan tidak kusam. Mungkin karena kakak perempuannya kerap kali memaksanya memakai masker wajah bersama.

Ngomong-ngomong soal kakak perempuannya ... tiba-tiba sebuah bola lampu menyala di atas kepala Bintang mirip di film-film kartun, pertanda memiliki sebuah gagasan.

Bintang menderap pelan membuka pintu kamar kakaknya yang tidak pernah dikunci. Seperti yang sudah dia duga sebelumnya, kakaknya pasti masih tidur karena semalaman membantu mama mereka merangkai bunga hingga larut malam. Bintang juga ikut membantu, tapi hanya bagian angkut-angkut saja karena soal rangkai merangkai, dia nol besar dan itu dia kerjakan pagi ini. Jadi malamnya dia tidak begadang.

“Kak, oi ... ” panggil Bintang sambil mengguncang tubuh kakaknya pelan.

“Apa sih Tang? Gue baru tidur, lo kayak Satria aja gangguin gue tidur mulu.”

Bagus, kakaknya memang mengerutu soal pacarnya, tapi tidak seberapa menggubris. Jadi Bintang memulai aksinya. “Kagak, gue cuma mau minta bedak ama lisptik doang kok. Lo lanjut tidur aja. Masih jam enam pagi.”

Kakaknya menarik selimut hingga menutupi bagian leher, menyisakan kepala. Posisinya juga berubah memunggungi Bintang. “Iya ambil aja.”

Mendapat persetujuan, Bintang menderap pelan ke meja rias. Sambil duduk, dia membuka laci-laci tersebut untuk mengambil bedak dan lisptik. Namun saat menyadari terlalu banyak bedak, gadis itu pun menemui kesulitan. Pasalnya dia sama sekali tidak tahu tentang mekap.

Foundation, BB Cream, bedak tabur ... apa-apaan ini? Terus gue harus pake bedak yang mana?!

Kening Bintang berkerut samar sambil membolak-balik beberapa mekap tersebut dan memutuskan untuk mengambil secara acak lalu kembali ke kamarnya.

Debuman pintu yang ditutup pun mengejutkan kakak perempuan Bintang.

Bentar ... bentar ... minta bedak ama lisptik?

Kakak perempuan Bintang kontan memuka mata dan duduk lalu berteriak, “Lo kagak ngambil yang Chanel kan? Itu kado dari Satria!”

Jakarta, 19 Agustus
06.00 a.m.

Setelah nyawanya terkumpul, kakak perempuan Bintang langsung menerjang masuk ke kamar adiknya sambil meraih bedak dan lisptik tersebut. Usai mengecek dan ternyata itu bukan kado dari pacarnya, gadis bersurai cokelat gelap itu melepas napas lega. Lalu mulailah acara interogasi, kenapa adik perempuannya yang tomboy tiba-tiba tertarik mengenakan bedak dan lisptik. Tidak hanya itu, dia juga melihat beberapa baju berserakan di kasur. Mau ke mana sebenarnya?

Setelah terdesak dan mengaku, akhirnya kakak perempuan Bintang yang bernama Bulan itu lantas tersenyum dengan maksud menggoda. “Yang tiap hari jemput pake scooter itu ya?”

“Ya gitu deh,” jawab Bintang acuh tak acuh padahal dalam hatinya berdebar, berusaha keras agar tidak salah tingkah.

Cepat-cepat Bulan menyeret Bintang ke kamarnya dan membuka lemari, memilah serta memilih baju yang cocok untuk adik perempuannya. Akhirnya setelah sekian lama, dia disa mendandani adik permpuannya layaknya perempuan feminim lain. Syukur-syukur Bintang mau memakai masker bersamanya. Momen yang dia idam-idamkan.

Sementara Bintang sendiri duduk di depan meja rias sambil melihat-lihat mekap untuk menutupi kegugupannya. Astaga, dia merasa berlebihan. Padahal ini hanya akan makan crème brulé.

“Yang ini aja Tang. Udah, lo pokoknya pake ini.” Kakak perempuan Bintang mengambil sebuah rok pensil hitam sederhana.

Bintang memutar kepalanya menghadap Bulan yang sedang menenteng rok itu. “Kak, itu kan ukuran lo!” paparnya, memandang rok itu dengan horor. Memang dia ingin berdandan sedikit, tapi tidak dengan mengenakan rok.

“Ukuran kita kan sama, cuma lebih tinggi lo aja, coba deh pake. Sama kaus putih yang tadi udah gue liat di kasur lo.”

“Kak, jangan pake rok dong, gue pake jin gombrong aja!” Bintang mengibas tangannya di depan wajah.

“Pake ini!”

“Nggak mau! Yang lain aja!”

Asyik berdebat, tiba-tiba ponsel Bulan berbunyi nyaring dan kakak permpuan Bintang tersebut segera mengangkat telepon yang masuk.

“Halo?” Bintang mendengar kakaknya menyapa orang di seberang telepon. “Jam sembilan? Bisa kok ... iya ... aku siap-siap sekarang. Bye ....”

Bang Sat ya?”

Bulan menoleh ke arah Bintang dan mencibir. “Jangan ikut-ikutan manggil Satria kayak gitu.”

Bintang terkekeh. “Cocok sih kan galak gitu.”

“Kalau sama gue enggak tuh.”

“Ya iyalah mbak Sri!” Bintang memutar bola matanya malas.“Ngajakin kencan?”

“Yap, kencan. Eh, ini jadinya yang mana baju lo?”

Jakarta, 19 Agustus
08.50 a.m.

Sekitar pukul sembilan kurang sepuluh menit, Galaxy datang menemui mamanya Bintang dan sudah duduk di kursi rotan berlengan yang terletak di teras rumah gadis itu sambil bersiul-siul bahagia. Kencan cuy kencan ....

Tiba-tiba terdengar suara deru halus mesin mobil yang ternyata sudah berhenti di depan pagar rumah Bintang. Galaxy melihat seorang laki-laki turun dari mobil itu lalu masuk ke toko D’Lule.

Oh ternyata pelanggan. Mungkin ingin membeli bunga untuk pacarnya. Pikir laki-laki itu. Apa gue juga bawain bunga ya? Galaxy bertanya pada dirinya sendiri. Tapi kan mamanya kak Bintang udah punya toko bunga. Entar jadinya aneh dong. Baiklah akhirnya dia melanjutkan acara bersiulnya.

Beberapa saat kemudian, acara bersiulnya berhenti karena melihat pemuda itu masuk ke pekarangan rumah ini. Kening Galaxy berjerut samar. Menilik dari wajah pemuda itu yang tidak ada mirip-miripnya dengan Bintang maupun kakak perempuan gadis itu, untuk sementara Galaxy menyimpulkan kalau orang tersebut mungkin saja pacar kakak perempuan Bintang.

Saat sudah mencapai teras, laki-laki itu mengernyitkan kedua alis. “Siapa?” tanyanya. Bersuara lebih berat dari Galaxy. Wajahnya juga serius mirip orang ngajak gelud.

“Abang sendiri siapa?”

“Gue pacarnya Cecilia B—”

“Pacarnya Cecilia?” ulang Galaxy memotong pembicaraan pemuda itu sehingga tidak rampung.

Mendengar jawaban laki-laki itu Galaxy kontan bangkit. Rasanya hatinya seperti dihantam batu meteor. Apa Cecilia Bintang sedang mempermainkannya sekarang? Bukankah kata Zhardian dan mang Uung gadis itu belum pernah memiliki pacar sebelumnya? Bahkan diajak menjalin hubungan saja belum. Lalu kenapa tiba-tiba ada seseorang yang mengaku sebagai pacar Cecilia Bintang?

Galaxy mulai tak terima. “Gue lagi PDKT sama Cecilia. Sekarang kami mau kencan dan Ceclia nggak pernah bilang punya pacar.”

Galaxy melihat otot-otot pada pelipis laki-laki itu mulai muncul dan berdenyut. Rahang tegas itu juga mengeras, pertanda sedang emosi.

Kenapa pula abang ini yang emosi? Bukankah seharusnya dia yang marah? Atau Sebenarnya laki-laki yang berusaha menahan amarah di depannya ini hanya mengaku sebagai pacar Cecilia bintang karena modus?

Kalau Galaxy boleh menilai dan menyimpulkan, laki-laki yang sudah mengepalkan kedua telapak tanganya ini lumayan—bukan lumayan lagi— tapi sangat tampan. Selain itu juga berkarisma.

Astaga. Abang di Taman Labirin dulu dan Barja tidak ada apa-apanya cuy dibandingkan abang yang berdiri di depannya ini.

Demi Crasty Crab, saingannya sekarang sangat berat hanya untuk mendapatkan Bintang. Maka dari iu Galaxy harus ekstra PDKT. Pertama yang harus dia lakukan adalah  menyingkirkan abang ini terlebih dahulu. Namun sebelum mulutnya bersuara lagi, Galaxy mendengar saingannya ini memekik, “Cecilia pacar gue sejak tiga tahun lalu dan nggak pernah ada cowok yang PDKT sama dia soalnya dia cuma cinta sama gue.”

“Jangan PD Bang, Cecilia jelas-jelas gandeng gue, bahkan bales pelukan gue. Kami ini juga mau kencan!”

Wah! Ngajak gelud nih bocah! Mana mungkin Cecilia Bulan seperti itu pada bocah ingusan ini. Satria tahu betul jika Bulan-nya sangat mencintainya dan tidak akan pernah bisa berpaling darinya.

Oke, kecuali yang bercambang itu sih.

“Lo jangan ngawur!” Satria yang notabenenya bersumbu pendek kontan meraih bagian depan kaus merah Galaxy. Lengkap dengan tatapan yang tajam seperti siap berkelahi. “Cecilia pacar gue! Lo kurang ajar banget sama pacar gue!”

Galaxy tentu tidak terima lantas ikut meraih kaus polos putih milik laki-laki yang dia pikir saingan beratnya ini. “Siapa yang ngawur, lo tuh yang ngada-ngada. Jelas-jelas Cecilia lagi nggak ada pacar. Jangan ngaku-ngaku deh Bang. Bilang aja kalau mau modus sama Cecilia.”

Alis Satria Eclipster semakin bertabrakan. Keningnnya juga berkerut semakin dalam. Saat tangannya baru akan melayangkan tinju ke arah pipi Galaxy, suatu kebetulan Bintang keluar rumah dan memekik, “Lo Bang? Kok udah dateng? Eh? M-mau ngapain Bang?!”

Galaxy Andromeda ternganga. Jadi benar ini pacarnya Cecilia Bintang?

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next time

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

20 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top