Chapter 20

Selamat datang di chapter 20

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka gentiyingin)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like this

❤❤❤

______________________________________________

Bukan karena permintaan Aira, akan tetapi karena hatinya memang benar-benar merasa bersalah dan inging meminta maaf

~Barja Agritama~
______________________________________________

Jakarta, 8 Agustus
15.30 p.m.

“Hal yang paling dasar dari basket itu cara lo megang bola Kiddo.” Setelah berhasil meredam kekesalannya, akhirnya Bintang mulai menerangkan sambil memraktikkan. “Pegang bolanya kayak gini, use your fingers to feeling the ball.”

Galaxy mengikuti Bintang memegang bola menggunakan jari-jemarinya. “Kayak gini Kak?” tanyanya sambil menunjukkannya pada gadis itu.

“Iya bener kayak gitu, terus pantulin kayak gini.” Berikutnya Bintang memantulkan bola basket sekali ke lantai tanpa memutus pandangannya pada Galaxy. Tangan kirinya menunjuk bola yang dia pantulkan. “Coba lakuin kayak gue.”

Adik kelas itu pun melihat bola yang di pegang sendiri untuk kemudian di pantulkan sekali.

Dung ....

“Bentar Kiddo, jangan kayak gitu. Udah gue bilang pake jari lo buat gerakin dan ngatur pantulan bolanya. Jangan pake semua telapak tangan lo. Lo dendam banget kayaknya ama tuh bola. Kasihan tahu bolanya lo pukul kayak gitu.”

“Ya enggak Kak.” Galaxy tersenyum. Atas perintah Bintang, dia mencoba memantulkan bolanya tadi sesuai instruksi.

Dung ....

Dung ....

Dung ....

“Iya bener kayak gitu! Lo keren Kiddo, lo cepet belajar!”

Tunggu sebentar, apa yang baru saja Bintang katakan? Galaxy keren?

Galaxy yang mendengar sedikit pujian itu kontan menghentikan kegiatannya. Membuat bola yang tadinya terarah jadi bergelinding entah ke mana.

“Gue keren ya Kak di mata Kakak?” tanyanya senang. Binar wajahnya sangat kentara.

Tuh kan ....

Tuh kan ....

Jadi ge er manusia satu ini!

“Ekhm! Kiddo! Fokus ke latihan! Buruan ambil bolanya!”

Yes Mam!” kata Galaxy sambil hormat mirip saat upacara bendera.

Jakarta, 8 Agustus
16.40 p.m.

Satu jam telah berlalu. Sebagai pelajaran pertama, Bintang cukup senang karena laki-laki itu ternyata sangat cepat belajar. Untuk saat ini, dia sendiri butuh mengasah diri. Jadi gadis itu memberi perintah pada Galaxy agar terus melakukan dribble di tempat menggunakan tangan kanan maupun kiri. Sementara dirinya menggiring bola menuju lapangan lalu memasukkannya ke ring.

Sekitar pukul lima sore semua anggota tim melakukkan pendinginan dan mendapatkan pengarahan dari pelatih sebelum membubarkan diri.

Karena masih lelah, Bintang duduk di deretan kursi pemain sembari meluruskan kaki. Tangan kirinya meraih sebotol air mineral saat tiba-tiba Barja Argritama duduk di sebelahnya. Kebetulan sekali gadis itu sedang sendirian.

“Capek Tang?” tanya Barja basa-basi.

“Iya Ja, tapi seneng bisa main baskst, badan gue kaku semua kagak latihan dua hari.” Bintang menggerakkan tangannya untuk mempertegas perkataannya.

Awalan yang baik, pikir Barja sebab gadis itu tidak marah, apa lagi mengabaikan keberadaannya.

“Ekhm, lo kagak marah ama gue kan?”

Usai menelan air mineral, sambil meletakkan botol itu di sampingnya, Bintang menoleh ke Barja yang berkeringat. “Marah?” tanyanya bingung.

“Soal gue nurunin lo Jum’at lalu dan gue nggak ngabarin kalau nggak jadi ikut ke Puncak,” jawab Barja dengan hati-hati.

Dapat dia lihat iblis betina di sebelahnya sudah mulai memberugut. Seolah-olah tanduknya juga keluar. Duh, Barja jadi menyesal mengungkitnya. Namun dia harus. Bukan karena permintaan Aira, akan tetapi karena hatinya memang benar-benar merasa bersalah dan inging meminta maaf.

“Ya iyalah! Tinja lo! Seenaknya nurunin gue pas udah naik motor mau pulang! Terus lo juga kagak ikutan ke Puncak! Ke mana aja lo?! Tinja!” pekik Bintang sambil mengayunkan botol minumannya yang masih terisi setengah ke lengan sahabat laki-lakinya itu.

Mulanya, Bintang sudah melupakan perkara tersebut. Bahkan dia juga sempat melupakan keberadaan Barja karena Galaxy telah menyita seluruh perhatiannya. Berkat adik kelas itu juga dia bisa pulang di saat paket internet  dan pulsanya habis sehingga tidak bisa memesan ojek daring atau minimal minta dijemput kakaknya. Bintang ingat betapa kesalnya dia waktu itu.

Salah sendiri sahabatnya ini mengingatkannya lagi. Jangan salahkan juga bila dia ingin memukuli Barja menggunakan botol itu secara bertubi-tubi. Sampai Barja benar-benar babak belur kalau bisa.

“Aduh! Sorry, gue kena muntaber waktu itu—” Barja menghentikan kalimatnya bersamaan dengan serangan Bintang. Karena melihat wajah gadis itu mulai khawatir, dia mengubah topik. “Tenang, gue udah baik sekarang. Emang gue sempet nginep di rumah sakit sehari gara-gara dehidrasi. Tapi sekarang udah beneran kagak kenapa-kenapa.”

Sorry, gue nggak tahu Ja,” ucap Bintang tulus. Botol minuman tersebut sudah kembali ikut duduk bersama mereka. “Terus kok lo bisa sampe kena muntaber?”

“Biasalah makan makanan yang nggak higenis gitu sih kata dokter.”

Syukurlah, Bintang tidak marah padanya sehingga perlahan dia bisa mewujudkan keinginan Aira. Tapi bagaimana caranya? Barja benar-benar merasa tidak tega. Apakah dia harus bertanya lebih dulu tentang seberapa jauh hubungan Bintang dengan Galaxy? Namun, bukankah sudah nampak jelas bila gadis itu sekarang telah jatuh cinta pada adik Aira? Bahkan sekarang Barja melihat Bintang sedang mencuri-curi pandang pada adik kelas tersebut yang sedang memasukkan bola ke keranjang besar bersama Zhardian.

“Hehe ... dilirik terus ya Tang,” goda Barja.

“Apaan sih Ja! Itu lho ... dia tuh cepet belajar Ja, kan yang ngelatih jadi seneng.” Entah kenapa Bintang jadi salah tingkah. Entah kenapa juga pipinya memanas. Mungkin karena metabolisme tubuhnya yang sehabis berolahraga.

“Oh ... yang ngelatih jadi seneng ....” Barja mengangguk-angguk disertai menggosok dagunya. “Ya ... ya ... ya ....”

Bugh!

“Duh! Lo hobi bener dah mukul-mukul!” Barja mengaduh sambil mengusap lengannya yang bekas dipukul botol minuman.

Jakarta, 12 Agustus
16.02 p.m.

Selama beberapa hari kemudian, Bintang terus melatih Galaxy di tepi lapangan. Mulai dari cara menggiring bola, yang mana laki-laki itu dapat belajar dengan cepat. Meski belum bisa melepas pandangan seutuhnya dari benda bulat membal tersebut saat melakukannya, tapi Bintang sangat bangga.

Bersamaan dengan pelajaran praktik yang lain, Bintang menyisipkan teori dasar-dasar peraturan pada basket sesuai apa yang dia sedang ajarakan. Untuk hari ini, gadis tomboy yang jadi pelatih dadakan itu rencananya akan mengajari Galaxy menembak bola ke ring.

Karena untuk pemula, Bintang mengambil jarak yang tidak terlalu jauh dari ring. Tepat berada di tepi kiri tiang tersebut. “Angkat bolanya setinggi pandangan lo Kiddo, terus sambil lompat, lo dorong bola itu ke arah papan. Pantulin ke sana, entar otomatis bolanya masuk ke ring. Kayak gini.”

Bintang memberi contoh Galaxy dan satu bola memantul ke papan sebelum akhirnya lolos melewati ring dengan mulus. Beberapa anggota yang lain ada yang ikut memperhatikan. Terutama yang baru.

“Wah, Kak Bintang keren ya, gue juga mau diajarin Kak Bintang,” celetuk salah satu murid laki-laki kelas sepuluh yang berdiri tidak jauh dari ring. Galaxy kontan menoleh dan memasang sikap antisipasi.

“Cuma gue yang boleh dilatih Kak Bintang, lo kan udah latihan ama pelatih!” seloroh Galaxy, kemudian murid laki-laki itu melengos dan memilih pergi sambil menggerutu.

“Iya deh iya, yang lagi PDKT!”

“Kiddo lo nggak boleh gitu dong,” kata Bintang usai mengambil bola yang tadi dia masukkan ke ring. “Biarin yang lain ikutan belajar. Gue malah seneng kalau ada yang pengin serius mendalami basket.”

Galaxy memberungut. Mirip anak kecil yang cemberut seakan-akan harus meminjamkan mainan kesayangannya pada temannya. Please deh! Itu kesayangan ya! Jelas tidak ingin dia pinjam-pinjamkan.

“Nih, cobain.” Galaxy sedikit kaget saat menerima bola yang tiba-tiba dioper padanya. Detik berikutnya dia memulai menembaknya ke ring tapi tidak masuk. Galaxy lantas mengejar bola itu dan berdiri di posisinya tadi.

“Nggak apa-apa Kiddo, coba lagi,” perintah Bintang. Saat Galaxy akan memulai lagi, dia menghentikannya. “Bentar Kiddo, jangan gitu waktu nembak bolanya.”

Sekarang Bintang berdiri tepat di depan Galaxy. Bola yang dipegang oleh laki-laki itu dengan posisi sejajar dengan dada ikut dia pagang.

“Kiddo, kan udah gue bilang, bolanya sejajar pandangan mata, jangan sejajar dada, entar musuh kita pasti bakalan gampang nyuri kalau bolanya lo tembak dari posisi ini.”

Sambil menggerutu Bintang lalu mengarahkan bola tersebut ke atas, tepat di depan kening Galaxy. Saat itu pula Galaxy menunduk. Pandangan mereka kontan bersirobok dan debaran jantung Bintang serasa memukuli dadanya.

Kenapa adik kelas ini jadi semakin ... ekhem ... tampan? Demi apa pun, Galaxy bahkan sedang berkeringat, tapi kenapa aroma parfum menenangkan itu malah semakin wangi? Tanpa sadar Bintang memandangi wajah imut di hadapannya tanpa berkerdip sekaligus menghirup aroma parfum tersebut dalam-dalam.

“Gini?”

Suara Galaxy yang membentur daun telinga Bintang membuat gadis itu mengerjab beberapa kali lalu menurunkan tangannya yang masih ikut memegangi bola tersebut dan mundur.

“I-iya gitu, coba lo arahin ke papan ring dulu sambil lompat ya.”

Galaxy melakukan apa yang diperintah Bintang. Kali ini bola tersebut masuk. Gadis itu kontan memekik senang dan menepuk-nepuk bahu Galaxy karena bangga.

Beberapa kali laki-laki itu mencobanya. Kadang kala masuk, kadang kala tidak. Tapi dia sangat bersemangat.

Di hari berikutnya Bintang mengajari laki-laki itu menembak bola pada jarak agak jauh. “Nah sekarang, coba lo berdiri di luar keyhole ini.” Bintang menunjuk garis kotak di sekitar ring. Galaxy menurut lalu mengambil posisi akan menembak. Saat pertama kali melakukannya, dia gagal.

“Nggak apa-apa Kiddo, jangan pantang nyerah!” kata Bintang. Tapi selama beberapa kali mencoba, laki-laki itu tak kunjung bisa memasukkannya ke ring. Akhirnya Bintang memutuskan untuk menggunakan cara lain.

Gadis itu berlari ke loker pemain untuk mengambil deker kepalanya serta ponsel dan kembali ke tempat di mana Galaxy berdiri. Masih berusaha menembak bola itu ke dalam ring. Saat itu pula Bintang melihat bolanya melewati jaring keranjang. Pertanda Galaxy sukses.

“Kiddo, pake deker gue ini.”

Meski tidak paham, Galaxy menurut tanpa bertanya sebab yakin dan percaya Bintang akan melakukan sesuatu yang baik untuknya. Namun ragusetelahnya ketika Bintang menutup matanya. Galaxy juga merasa Bintang meraih kedua tangannya sembari memberikan bola padanya. “Sekarang, lo tembak ke ring.”

“Kak, ini kan ditutup matanya. Mana gue bisa? Nggak ditutup aja baru bisa masukin satu kali.”

“Lo nggak percaya sama gue Kiddo?”

“Baik, pelatin Bintang.”

Mendengar itu, Bintang segera memanggil Zhardian dan memintanya untuk membawa banyak bola dalam keranjang besar—mirip trolly super market.

“Zhar, entar kalau dia kelar nembak bola, lo kasih bola yang lain ya?” pinta Bintang. Lalu berbisik. “Masuk atau pun enggak, sorakin dia seolah-olah masuk. Oke?”

Zhardian tidak bertanya dan hanya menurut. “Iya Kak,” jawabnya.

Thanks Zhar.”

Bintang menjauh untuk merekam apa yang akan dilakukan adik kelas itu menggunakan ponselnya.

“Kiddo, tembak bolanya sekar sekarang!”

Galaxy mulai mengangkat bola sejajar pandangan, lalu mendorongnya ke arah ring sambil melompat. Bola tersebut melesat jauh dari ring. Sesuai yang disepatinya dengan Zhardian, Bintang bersama sahabat Galaxy itu pun bersorak riang.

“Yey! Hampir masuk Kiddo! Ayo lempar bola yang lain!”

Galaxy yang telah menerima bola dari Zhardian siap melempar dan kali ini juga gagal namun jaraknya sudah lumayan dekat dengan ring. Bintang kembali memekik. “Kiddo! Kok lo bisa sih masukin bolanya? Padahal mata ketutup gitu? Lo titisannya Kevin Durran ya? Ayo tembak lagi!”

Zhardian hampir saja ngakak mendengar Bintang yang seperti itu tapi tetap menjalankan tugasnya ikut bersorak dan memberikan bola pada Galaxy.

Galaxy terus melempar dengan mata tertutup, semangtnya kian bertambah karena kata Zhardian dan Bintang, dia bisa menembak bola bahkan dengan mata tertutup. Tidak menyangka ternyata dirinya secepat itu belajar basket. Padahal pada kenyataannya hanya yang terakhir yang masuk.

Sembari memberi istirahat pada Galaxy, sesaat mereka mengumpulkan bola lagi. Setelahnya Bintang meminta adik kelas itu melempar bola lagi tanpa menggunakan penutup mata. Saat pertama kali melakukannya, Galaxy dapat memasukkan bola tersebut.

“Sialan! Ternyata lo titisan Kevin Durran!” pekik Bintang sembari memberikan bola tersebut pada Galaxy.

Sementara laki-laki itu hanya tersenyum. Kemudian bersiap melempar bola ke ring. Betapa terkejutnya Zhardian kala lagi-lagi  bola itu meluncur mulus melewati jaring-jaringnya.

“Tuh kan! Titisan Jordan nih! Sang Legend basket!” pekik Bintang.

Zhardian semakin melongo sebab dari sepuluh bola yang dilempar Galaxy, hanya satu bola saja yang meleset alias tidak masuk. Padahal, awalnya sahabatnya itu tidak bisa sama sekali. Perubahan itu begitu drastis sampai-sampai Zhardian terus tercengang sehingga memutuskan untuk bertanya pada Bintang.

“Kak, kok bisa gitu?”

“Ini namanya brain game. Bentar gue suruh dia ngumpulin bola dulu baru gue jelasin.” Kemudian menoleh pada Galaxy. “Kiddo! Tolong kumpulin bolanya ya?” titah Bintang pada Galaxy yang kini memakai deker kepalanya.

“Zhar bantuin gue,” pekik Galaxy.

“Zhardian tadi udah Kiddo, kumpulin sendiri!” Bintang mewakili sahabat laki-laki itu untuk menjawab. Kalau sudah titah Baginda Bintang, mana bisa Galaxy menolak?

Sementara itu, Bintang menjelaskan perihal brain game di tepi lapangan sambil istirahat.

Jakarta, 13 Agustus
16.55 p.m.

Brain game merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatur kondisi pikiran. Terutama otak. Disebut brain game sebab otak benar-benar dibuat berdasarkan perkataan terhadap keadaan sekitar yang bahkan tidak sesuai dengan realita. Seperti saat seseorang mendoktrin pikirannya dengan sesuatu yang positif, maka otak akan menghasilkan hormon yang berkaitan dengan rasa senang.

Untuk teknik yang dilakukan Bintang terhadap Galaxy juga merupakan brain game. Bintang sengaja meminta adik kelas itu menutup mata saat akan menembak bola ke ring semata-mata untuk membentuk kepercayaan diri dalam pikiran Galaxy. Meskipun gagal menembakkan bola ke keranjang, tapi karena sorakan yang menandakan bola tersebut masuk, secara otomatis saraf pada otak Galaxy merespon dengan positif. Sehingga meningkatkan keperayaan diri laki-laki itu untuk lebih berani menembak bola ke ring bahkan di saat penutup mata sudah dilepas sekalipun dan hasilnya Galaxy berhasil memasukkan bola ke ring. Perubahan yang sangat drastis bukan?

Begitu pula sebaliknya, apabila pemain basket profesional memainkan ini dengan menutup mata, tapi dengan sorakan yang menandakan bola itu meleset—padahal aslinya masuk—kepercayaan diri pemain itu akan luntur sehingga bola yang dia tembak beberapa kali dari yang semula masuk, lambat laun jadi meleset. Bahkan saat melakukan hal tersebut tanpa penutup mata. Karena kepercayaan dirinya sudah menipis, dan akhirnya gagal memasukkan bola ke ring.

Dapat ditarik kesimpulan bila pemain basket atau pun olahraga lain ingin mempertahankan performa kepercayaan dirinya, maka harus sering-sering melatih otak agar tidak gampang down ketika bertanding, akibat dari pendukung lawan yang biasanya suka menjatuhkan dengan sorakan atau negative verb.

Penelitian ini pernah dilakukan di America dalam acara TV bernama Brain Game yang dibawakan oleh Jason Silva.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

7 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top