Chapter 18

Selamat datang di chapter 18

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

_________________________________

No matter what happens, please stand by my side
Even you can't do anything else for the trouble I created, including talking too, just stand by my side, smilling good, and hugging me like this
That's enough
That's really ... really enough for me

~Galaxy Andromeda~
___________________________________

Jakarta, 7 Agustus
8.45 p.m.

Aira sama sekali tidak memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang harus dia katakan pada Barja mengenai alasannya menangis. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa selalu mengandalkan air mata untuk menumpahkan segalanya. Kenapa dia begitu rapuh dan cengeng? Sebenarnya semua ini gara-gara siapa? Dirinya atau Galaxy?

Tok tok

Ketukan pintu kaca mobil sebelah kanannya membuat Aira menghapus air matanya dengan kasar. Saat dia menoleh, Barja yang ngos-ngosan dan berwajah khawatir muncul. Laki-laki itu bahkan masih memegangi helmnya serta berrambut acak-acakan dengan balutan jaket denim berwarna biru pudar yang tidak dikancingkan. Memperlihatkan kaus putih polos. Sangat menarik daripada sebagian laki-laki kelas atas yang hanya memamerkan kekayaan mereka untuk berusaha mendekatinya. Barja itu apa adanya. Karena itu Aira menyukainya.

Mengesampingkan pikirannya tentang laki-laki itu, Aira segera membuka pengunci mobil dan mempersilahkan Barja masuk serta duduk di kursi sampingnya. Ngomong-ngomong, helm laki-laki itu sudah menjadi penghuni motor.

"Hei, hei hei, kenapa?" tanya Barja sembari mengusap air mata dari wajah cantik itu.

Bukannya berhenti, Aira malah semakin mengeraskan tangisannya. Konsentrasi Barja hampir pecah sebab dalam keadaan menangis seperti ini, kenapa Aira harus sangat cantik? Selain itu, juga lemah lembut, penuh kasih sayang, perhatian serta bersuara merdu. Mungkin Barja sudah gila sebab menganggap tangisan Aira menjadi semacam alunan musik. Meskipun itu musik menyedihkan.

Oh ya, satu lagi yang terpenting. Aira menerima dirinya apa adanya. Bagaimana mungkin Barja tidak bisa jatuh cinta pada Aira?

Sedangkan Aira sendiri sekarang sedang menimbang apakah tetap diam tanpa menceritakan yang sebenarnya terjadi. Atau sebaliknya. Namun bukankah Barja sudah berusah payah datang di saat kondisi laki-laki itu sendiri bahkan sedang tidak baik? Hanya untuknya.

"Aku berantem sama adikku." Lagi. Lanjutnya dalam hati. "Dia nggak mau dengerin omongan aku," ucap Aira setelah berhasil meredakan tangisnya serta memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi walau tidak sepenuhnya. Setidaknya dia tidak harus turun tangan sendiri untuk menemui Bintang. Barja mungkin bisa menolongnya. Ya. Mungkin tadi dia terlalu tergesa-gesa menyusun rencana.

"Biasanya adikku juga nggak mau dengerin aku, itu wajar kok."

Enggak, ini nggak wajar. Aira menjawabnya dalam hati. Biarlah, karena dia belum sanggup menceritakan semuanya pada Barja. Saat ini dia hanya butuh seseorang untuk menenangkannya.

"Emang omongan apa yang nggak mau dia dengerin?" Beruntungnya laki-laki itu kembali bertanya sehingga Aira tidak perlu menanggapi persoalan wajar.

"Dia itu pianis, tapi sekarang malah ikutan basket. Aku khawatir jari-jarinya bakalan terkilir. Entar bisa susah. Kalau enggak bisa main piano lagi gimana? Aku ngelakuin ini juga buat kebaikan."

Ya ampun, cuma gara-gara itu doang gue bela-belain ke sini? Barja bergumam dalam hati. Tapi ya sudahlah, dia sudah terlanjur bucin, mau bagaimana lagi?

"Emang kamu tahu dari mana Galaxy ikutan basket?" tanya Barja penasaran.

"Dari temennya adikku, dulu pernah satu SMP. Cewek kok, kelas sepuluh, dia baru ikutan basket juga." Soalnya Zhardian itu nggak bisa diandalin. Lanjut Aira dalam hati.

Barja yang semula menganga kini mengatubkan bibirnya.

"Terus aku bisa bantu apa? Ngasih tahu Galaxy buat berhenti main basket?" tanyanya sembari mengusap lengan perempuan yang disukainya. Bermaksud memberikan ketenangan. Padahal dalam hatinya sendiri tidak yakin dengan penawarannya.

Aku yang abis kena muntaber dan masih lemes aja langsung ke sini buat nyamperin kamu. Ya mana bisa aku ngasih tahu Galaxy yang lagi usaha ngambil hatinya Kentang? PDKT itu butuh tekat cuy. Apa lagi Kentang itu sobihku. Aku juga nggak mau egois, sekali-kali biar si tomboy itu ngerasain dideketin cowok yang beneran serius ngajak jalin hubungan. Bukan cuma ngajak main basket doang. Itu aja udah aku saranin buat nerima Galaxy. Tapi Kentang masih kagak mau. Pikiran Barja berbicara pada hatinya.

Barja juga tidak mau mengambil risiko dibenci Galaxy karena melakukan hal tersebut dan berakhir tidak merestui hubungannya dengan Aira. Namun syukurlah Aira menggeleng sebagai tanda tidak setuju atas pertanyaan bantuannya.

"Adikku nggak bakalan bisa kamu kasih tahu. Semua itu gara-gara dia deketin sahabat kamu. Gala jadi nekat. Bisa nggak kamu kasih tahu Bintang biar ngejauhin adikku?"

"Setahuku, Kentang Gore-maksudku Bintang, malah kagak mau dideketin Galaxy, Ra. Tapi Galaxy sendiri yang malah ngotot deketin Bintang."

"Aku abis liat kameranya adikku dan di situ banyak banget foto Bintang. Mereka juga selfie. Ada juga yang saling nyender. Gala juga cium kepala sahabat kamu dan Bintang nggak nolak."

"Gimana?"

Barja cukup terkejut. Sebagian dari dirinya juga menolak percaya. Pasalnya yang dia tahu beberapa hari lalu, Bintang benar-benar tidak menginginkan Galaxy mendekatinya sedikitpun. Tapi kenapa sekarang jadi seperti itu? Apakah adik Aira itu sudah membuahkan hasil meluluhkan hati sahabatnya? Apabila demikian, Barja juga ikut senang.

"Aku nggak bohong, makanya itu yang bikin aku berantem sama adikku. Please kasih tahu Bintang buat jauhin adikku."

Barja terdiam cukup lama untuk berpikir. Mata serta kepalanya yang semula fokus ke wajah cantik Aira kini beralih menghadap depan. Hanya sesaat karena tidak lama kemudian Aira menaggilnya menggunakan nada merajuk.

"Ja ... please ... ya Ja?"

Ya Tuhan, Barja benar-benar tidak bisa menoleransi suara merdu Aira. Telinganya serasa dibelai-belai manja. Ditambah tangan lembut itu menyentuh tangannya yang terasa dingin karena angin malam sewaktu berkendara naik motor tadi. Jadi deg-deg ser cuy. Mungkin kalau dianalogikan pikiran Barja sedang berjoget ria. Koprol sana-sini sambil salto. Terus terbang ke awan dengan mata terpejam dan perlahan melayang turun di gumpalan putih itu. Tangan dan kaki Barja dikepak-kepakkan agar membentuk sayap malaikat. Mirip di film-film yang sedang membuat itu di salju-salju.

"Ja ...."

Ya ampun, bisa-bisa Barja mimisan mendengar rajukan Aira.

"Em, iya nanti aku usahain."

"Besok kamu jemput dia aja, sambil ngasih tahu."

Usul Aira membuat Barja terhenyak. Masalahnya dia lupa mengabari sahabatnya tentang alasan absennya tidak ikut ke Puncak. Ditambah pernah meninggalkan Bintang untuk mengantar Aira pulang. Barja tidak bisa membayangkan betapa horornya bila manghadapi amukan iblis betina bertanduk dan bersekor satu itu jika tanpa persiapan apa pun. Memang Barja berniat meminta maaf atas dua hal tersebut setelah menemukan seribu cara dan strategi menyuap sahabatnya agar tidak berubah menjadi nenek lampir dadakan, yang pasti membutuhkan waktu yang pas. Tapi ini untuk Aira looohhh ... Aira ... yang sudah memberinya lampu hijau ....

Haruskah dia mengambil risiko akan diserang singa yang mengamuk alias Bintang? Lagi?

"Kamu nggak apa-apa aku berangkat sama Bintang?" tanya Barja hati-hati.

"Demi kebaikan. Aku nggak masalah. Lagian nanti aku bisa nyetir mobil sendiri atau minta anter pak Jono. Gantinya kita bisa nonton film abis kamu latihan basket."

"Deal."

Jakarta, 7 Agustus
09.15 p.m.

Cecilia Bintang berguling-guling di kasur sembari menatap ponselnya sedari tadi. Namun benda itu sama sekali tidak menampakkan adanya tanda-tanda ingin memberinya notifikasi.

Katanya dia mau nelepon.

Demi kerang ajaib. Bintang tidak sedang menunggu telepon dari Galaxy. Gadis itu hanya kurang kerjaan saja. Egosnya boleh berpikir demikian. Padahal hatinya tidak.

Pandangan Bintang berpindah pada jam digital yang menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat malam. Dalam hatinya pun bertanya-tanya. Apakah laki-laki itu sudah pulang? Atau masih menunggu seseorang menjemputnya di sekolah? Tapi kata laki-laki itu tadi akan memesan ojek online. Lagi pula ini sudah satu jam lebih, jadi tidak mungkin Galaxy belum pulang dan masih menunggu di sekolah. Bisa jadi adik kelas itu sekarang sudah tiba di rumah dan ketiduran.

Yakin Tang, nggak lagi nungguin telepon? Atau minimal nungguin dikirimin foto? Batinnya mengejek.

Bintang memjamkan mata sekilias. Mengabaikan suara dalam kepalanya yang mengejek, dia meneruskan pikirannya.

Ya, Galaxy kan imut, lucu, oon dan polos. Pasti sudah tidur seperti bayi. Pikir Bintang kemudian berguling ke tepi kasur untuk meletakkan ponsel di nakas dan berniat tidur.

Namun baru saja benda kotak pipih tersebut lengket dengan meja kecil tersebut, alat komunikasi itu sudah berdering. Cecilia Bintang refleks mengambilnya kembali dan memperhatikan nomor asing yang sedang meneleponnya. Pasti Galaxy. Entah kenapa jantungnya berpacu lebih cepat.

Bintang menimbang harus pada dering ke berapa dia mengangkatnya sehingga tidak terkesan menunggu telepon dari laki-laki itu. Namun karena takut sambungan tersebut terburu putus, dia malah secepat kilat mengangkat lalu menempelkannya ke telinga.

"Hal-"

"Kakak bisa keluar bentar?" Itulah kalimat yang pertama kali Galaxy ucapkan dan memotong sapaannya. Bintang lantas mengernyitkan kedua alis. Berpikir, jelas ada yang berbeda dari nada suara laki-laki ini. Lebih berat dari biasanya.

"Kak, ini gue Gala, Kakak bisa keluar rumah bentar?"

Mungkin karena Bintang lama menjawab, sehingga Galaxy menyimpulkan dia tidak mengenali suara laki-laki itu.

"Jam berapa ini Kiddo, emak gue bisa marah gegara keluyuran malem-malem. Baru pulang dari Puncak juga."

"Gue di depan rumah Kakak, tapi kalau nggak boleh keluar, kalau gitu gue pulang dulu Kak."

"Ya tapi kan-bentar, lo di mana?" Bintang segera bangkit dan terburu mengenakan sendal rumah di bawah kasurnya kemudian berdiri. Membuka pintu kamarnya dengan hati-hati, celingukan sebentar lalu melipir ke pintu depan.

"Di depan rumah Kakak. Ya udah, gue pulang dulu ya Kak."

Sebelum membuka pintu utama, Bintang mengintip dari kaca samping untuk memastikan. Detik itu juga matanya melotot mendapati Galaxy Andromeda berdiri membelakangi luar pagar rumahnya sambil memasukkan ponsel. Pakaian laki-laki itu masih sama seperti tadi. Bahkan kameranya diselempang asal-asalan di bahu. Ada apa sebenarnya? Kenapa adik kelas itu belum pulang? Lalu di mana ransel besar yang tadi menggantung di punggung lebar laki-laki itu? Apakah Galaxy kecopetan? Apabila demikian, kenapa tidak lapor polisi saja dan malah datang ke mari?

Bintang pun buru-buru membuka pintu rumah dah pagar.

Sementara Galaxy, yang baru saja akan melangkah, begitu mendengar pagar di belakangnya terbuka, dan mendapati Bintang yang melakukannya, tanpa adanya perintah dari otak, dia kontan memeluk gadis itu dalam-dalam.

"Kiddo!"

"Makasih udah dibukain pagernya."

"Lo kenapa? Eh? Jangan gini entar emak gue liat lo bisa dihajar. Emak gue itu sabuk item taekwondo." Bintang yang kaget segera memberontak dan berusaha melepaskan diri akan tetapi semakin dia memaksa, laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya.

"Bentar aja." Suara laki-laki itu teredam oleh ceruk lehernya. Meskipun demikian, Bintang bisa mengenali nada berat dan dalamnya. "Dihajar juga nggak apa-apa," tambah Galaxy. Asal bisa memeluk gadis itu, tidak masalah. Dia sedang membutuhkan Bintang sekarang.

"Dasar!" cicit Bintang dan malah ikut berjinjit sambil melingkarkan tangannya pada tubuh Galaxy. Meletakkan dagunya di bahu laki-laki itu sembari mengusupkan tangan di tumpukan jaket Alan Walker hitam untuk mengusap punggung lebar tersebut. Berharap memberi kenyaman.

Sepertinya otaknya sudah macet total jika berdekatakan dengan adik kelas ini.

Dia sendiri heran, kenapa dalam keadaan berkeringat seperti ini aroma parfum campuran antara kayu dan pinus itu malah semakin semerbak. Menimbulkan perasaan nyaman. Sampai-sampai Bintang melupakan debaran jantungnya sendiri karena sibuk mengidu aroma tubuh tegap yang kini memeluknya erat.

Di bawah cahaya bulan, mereka berpelukan cukup lama. Layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tak saling jumpa dan saling merindu. Hanya ditemani angin malam yang membentuk suara siulan pelan. Hingga sepuluh detik berikutnya Bintang baru bersuara.

"Kok belum pulang? Ransel lo mana? Kecopetankah?"

Bintang tidak tahu betapa perhatian kecil dari pertanyaan konyol itu bisa menghasilkan efek besar bagi Galaxy. "Makasih udah perhatian," jawabnya nyaris berbisik. "Enggak, gue enggak kecopetan."

"Terus?"

"Tadi ... udah dijemput kak Aira dan-" Galaxy memotong ucapannya sebab bingung harus bagaimana. Menimbang apakah dia harus menceritakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Jika iya, bagaimana kira-kira reaksi yang diberikan gadis itu padanya? Apakah Bintang akan menerima pengakuanya? Apakah gadis itu akan menatapnya dengan cara yang sama? Tersenyum dengan cara yang sama? Atau mungkin akan marah? Lalu pergi darinya dengan rasa benci yang teramat sangat?

Tidak, Galaxy tidak ingin Bintang membencinya. Apalagi meninggalkannya.

Bintang merasakan kepala Galaxy semakin ditenggelamkan dalam ceruk lehernya. Pelukan laki-laki itu juga mengerat, menandakan tidak nyaman untuk bercerita. Bintang reflek mengusap punggung lebar itu dengan tekanan lebih.

"Kiddo, kalau nggak nyaman, nggak perlu cerita. Gue nggak maksa kok. Tapi kalau lo mau cerita kapan pun, gue pasti dengerin."

Galaxy benar-benar tidak ingin menceritakan alasannya bertengkar dengan Aira pada Bintang. Gadis tomboy ini tidak perlu tahu. Jangan sampai tahu. Dia sudah sangat menyukai Bintang. Rasanya setiap kali bersama dengan pemilik aroma segar ini, perasaan sukanya terus bertambah dan bertambah.

"Cuma berantem sama kak Aira." Nah sekarang dia juga bingung kenapa mulutnya berkata demikian. Implusif, mewakili hatinya. Beruntungnya hanya sebagian. Tidak secara menyeluruh.

Tidak dapat dipungkiri, rupanya menceritakan sedikit rasanya cukup melegakan. Seperti ada beban yang terangkat kendatipun secuil.

Galaxy merasakan usapan tangan kiri gadis itu pada punggungnya menghilang. Sejenak ada perasaan tidak rela, tapi ketika tangan itu pindah ke kepala bagian belakangnya, membelai rambut cokelat terangnya yang sedikit panjang tapi belum termasuk gondrong, kenyaman kontan membungkusnya sekaligus memicu kinerja jantungnya yang bertalu cepat sekali. Galaxy jadi merasa disayangi dan dicintai tanpa gadis itu perlu mengucapkannya.

"Gue juga sering kok berantem sama kakak gue. Tapi nanti pasti balik lagi. Kan namanya juga saudara."

Biarlah Bintang berpikir sesukanya. Kali ini Galaxy menahan diri sekuat tenaga agar tidak keceplosan menceritakan tentang semua alasannya. Dia hanya ingin menikmati momen ini.

"Bae ..." panggil laki-laki itu. Bintang tidak menjawab tapi Galaxy yakin gadis dalam pelukannya mendengarnya. Oleh karena itu dia melanjutkan. "No matter what happens, please stand by my side. Even you can't do anything else for the trouble I created, including talking too, just stand by my side, smilling good, and hugging me like this. That's enough. That's really ... really enough for me." [19]

____________________________________

[19] Apapun yang terjadi, tetaplah disisiku. Meskipun kau tidak bisa melakukan apapun lagi untuk permasalahan yang kubuat, termasuk bicara sekalipun, tetaplah berada disisiku, tersenyum manis dan memelukku seperti ini. Itu cukup. Itu sangat ... sangat cukup untukku.

_____________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udsh vote dan komen

See you next time

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

29 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top