Chapter 11

Selamat datang di chapter 11

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka terbang sana sini)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Sudah Bintang katakan bukan? Bila adik kelas ini mampu membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam satu waktu?

~Cecilia Bintang~
______________________________________________

Puncak, 6 Agustus
19.40 p.m.

Galaxy Andromeda menjadi semacam pelopor bagi yang lain untuk memulai acara pendekatan alias modus. Pelatih pun hanya mampu geleng-geleng serta yakin, pasti nanti semuanya akan semangat berlatih karena sudah ada seseorang yang mereka sukai dalam anggota basket. Namun juga tidak menutup kemungkinan bila ditolak akan menjadi patah arang.

Pria paruh baya itu mengembuskan napas berat sesaat. Sungguh memusingkan anak-anak muda masa kini. Pikir beliau yang kebetulan sedang berbincang dengan asisten. Sesekali sambil menyesap jahe hangat pada acara santai yang telah dimulai sejak lima menit yang lalu.

Tidak jauh dari pelatih dan asisten duduk, terlihat beberapa anggota tim asyik memanggang, ada juga yang minum minuman hangat sambil mendengar genjrengan gitar di sekitar api unggun.

Lain halnya dengan Bintang. Jika boleh memilih, gadis itu lebih suka menjadi debu kosmik yang tidak terlihat daripada menjadi seonggok gumpalan emas yang tampak mentereng. Jadi jangan heran juga bila gadis itu lebih memilih menenggelamkan wajah merahnya—yang dia yakini karena malu, bukan karena lain-lain—dalam balutan tudung jaket, kala Galaxy yang mendadak jadi ekornya.

“Kak—”

“Sssttt! Stop! Nggak usah ngomong!” potong Bintang tanpa memandang adik kelas yang masih berdiri di belakangnya barang secuil pun. Hanya mengisyaratkan melalui tangan. Lalu melanjutkan gerakan mengambil beberapa tusuk marshmallow yang sempat dia incar sedari tadi.

Namun, bukan Galaxy namanya bila menuruti kata Bintang. “Gue cuma—”

“Ck!” Bintang berdecak besal kemudian mengambil cokelat panas dan membawanya duduk kembali.

Galaxy mengikuti Bintang. Sama-sama mengambil marshmallow dan cokelat panas, berikutnya memosisikan diri duduk di sebelah gadis itu. Melihatnya, dahi Bintang tentu berkerut samar.

“Kenapa sih ngikutin gue mulu?”

“Cuma mau ngasih tahu caranya makan marshmallow yang enak,” jawab Galaxy sambil menunjuk satu tusuk permen lembut yang ada ditangannya pada Bintang.

Kedua alis dari wajah merah gadis itu sekarang terangkat sebab heran dan berpikir, memang adakah cara makan marshmallow yang enak selain dibakar? Kenapa dirinya jadi terlihat ketinggalan zaman sekali?

“Gimana emang?” tanyanya.

Sudah Bintang katakan bukan? Bila adik kelas ini mampu membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam satu waktu? Terbukti rasa malunya sudah teralihkan dengan rasa penasaran.

Begitu pula dengan wajah imut nan unyu itu yang sontak kelihatan sangat senang. Sembari memosisikan duduk menghadap diri Bintang sepenuhnya, sebagai permulaan, tudung jaket Alan Walker putih—yang juga mengikuti kakak kelas tomboy ini—dia lepas. Disusul satu tusuk marshmallow perlahan dia celup ke gelas cokelat panas, berikutnya ditiup dulu sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya banyak-banyak.

“Bahaha ....” Bintang tertawa meremehkan sebab melihat sedikit cokelat yang mengalir di sekitar sudut bibir tipis Galaxy. “Makan masih belepotan aja sok ngasih tahu gue Kiddo!”

Mawnaw?” Galaxy masih mengunyah marshmellow sehingga tidak dapat berbicara dengan jelas.

“Itu sebelah kiri.” Bintang menunjuk menggunakan dagu.

Masih dengan mengunyah, Galaxy mengelap pipinya sendiri, tepat mengenai leleran cokelat tersebut. Akan tetapi tidak sepenuhnya menjadi bersih. Justru malah sebaliknya. Cokelat itu jadi melebar ke daerah dagu.

“Haha ... masih ada tuh.” Bintang menggeleng sembari melirik ke arah lain lalu menyesap cokelat hangatnya sendiri. Saat kembali menghadap Galaxy, ternyata adik kelas itu masih kesulitan mencari letak leleran cokelat.

Demi kerang ajaib! Jaket Galaxy itu putih, bagaimana bila cokelat tadi mengenai kain bermerk Alan Walker tersebut?

Putaran mata malas beserta napas singkat melengkapi tangan Bintang yang tergerak sendiri untuk membersihkan leleran cokelat di sudut bibir hingga ke area dagu Galaxy. Membuat sang empu yang kebetulan akan menelan marshmellow menjadi hampir tersedak karenanya. Beruntungnya permen itu dapat masuk ke lambung dengan mulus.

“Udah, pelan-pelan aja makannya, nggak ada yang ngejar kok.” Tuh kalau emak gue tau misalnya jaket putih kena cokelat, bisa ceramah tujuh hari tujuh malem.

Bintang mendengkus dan tersenyum tipis.

Ya ampun, kenapa juga gue ngurusin bocah ingusan ini? Biarin aja dia diomelin emaknya. Bodo amat.

“Padahal ngarep dikejar Kakak.”

“Hahaha ... ternyata lo sejenaka ini ya Kiddo!” Tawa renyah Bintang kembali mengudara. Gelas cokelat yang dia pegang sampai nyaris tumpah. Beruntungnya Galaxy dengan sigap menangkapnya.

“Eh?”

“Hati-hati Kak, cokelatnya masih lumayan panas, takutnya tumpah terus kena kulit Kakak. Bisa kebakar.”

Sebentar ... kenapa pula jantung Bintang mendadak tidak stay cool? Lompat sana-sini, mirip orang disko? Hanya karena ternyata Galaxy lebih mengkhawatirkan kulitnya? Catat! Kulit! Bukan jaket, seperti yang dia khawatirkan.

“Ekhm, iya makasih,” kata Bintang yang merasa pipinya memanas. Mendadak atmosfer di sekitarnya juga mengalami perubahan yang sama.

Gadis itu kontan melirik ke arah lain sembari melepas tudung jaket. Rambut yang semula dia urai kini sedikit berantakan. Jadi Bintang segera merapikannya menggunakan jari-jemarinya yang bebas. Membawa untaian-untaian surai lurus tersebut ke belakang telinga.

“Baru kali ini liat rambut Kakak digerai. Tambah manis Kak. Nggak bohong.”

Sialan nih bocah! Bisa nggak sih diem aja?! Mau bikin gue kebakar? Gitu? Gerah dengernya! Hati gadis itu protes, sembari berusaha keras menjinakkan debaran jantung dengan mengambil gelas yang masih dipegang Galaxy lalu mulai menenggelamkan marshmallow. Kemudian memakannya dengan hati-hati agar cokelat itu tidak tercecer.

Sebenarnya itu hanya reflek agar dia terlihat normal, tidak salah tingkah dan sebagainya. Beruntungnya Galaxy yang polos tidak menyadari kegugupan Bintang dan malah antusias bertanya, “Enak kan?”

Mulutnya yang penuh membuat gadis tomboy itu kesulitan bicara dengan jelas. “He em, enwak.”

Tidak kembali mengikuti jejak Bintang sebab marshmallow yang Galaxy ambil sudah habis, laki-laki itu terpaksa menyesap cokelat. Kali ini dengan hati-hati.

Angin malam yang berembus pun membaut wajahnya terasa dingin. Sangat menyenangkan pikirnya.

“Kak, beneran nih nggak boleh minta nomer HP-nya?”

“Buat apa?” Bintang balik bertanya usai permen lembut itu sukses turun melewati tenggorokannya menuju lambung dengan bantuan cokelat panas.

Ngomong-ngomong, Bintang diam-diam mencatat dalam hati, menambah daftarnya bila makan marshmallow dicelup cokelat ternyata lebih enak daripada hanya sekadar dibakar.

Wajar dia baru mengetahuinya sebab Bintang tidak terlalu menggemari makanan manis. Lebih suka sesuatu yang gurih dan pedas, berempah serta sensasi mendebarkan. Tampaknya itu berlainan dengan Galaxy.

“Kan kita lagi pdkt. Gimana mau maksimal kalau nggak tahu nomer Kakak?” Jawaban Galaxy menembus pendengaran Bintang.

Entah sudah berapa kali laki-laki ini membahas tentang pendekatan. Namun nyatanya masih selalu berhasil membuat Bintang terkesima. Jangan lupakan deburan jantungnya yang sudah mulai tidak bisa diajak kompromi lagi. Semenjak tahu Bintang tidur bersandar pada adik kelas ini dan menikmati usapan tangan besar nan hangat serta aroma parfum menenangkan, gadis itu merasa jantungnya gampang bekerja dua kali lebih cepat dari normal. Apa lagi ditatap Galaxy seperti ini, rasanya Bintang seperti melihat kuntil anak, efeknya membuatnya merinding.

Namun demi kerang ajaib! Bintang sekuat tenaga untuk terlihat stay cool.

“Bentar ... bentar ... kapan sih gue pernah bilang mau pdkt sama lo?” tanya gadis itu sambil menunjuk Galaxy menggunakan tusuk marshmallow.

“Kemaren di mang Uung.”

“Ha?”

“Waktu Kakak nyuruh ngumumin tentang pdkt kita. Pakek banner dan lain-lain? Bukannya itu tandanya Kakak setuju?”

Bintang kontan melengos dan tersenyum miring. Masih saja kagum dengan kepolosan laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Oon apa polos sih nih bocah? Kok nggak ada bedanya? Kasian juga sih kalau dimanfaatin orang. Pikiran Bintang mulai melenceng.

Bintang mengubah posisinya menghadap Galaxy. Tusuk marshmallow pun kembali bergerak bebas. “Gini Kiddo, jangan telan mentah-mentah apa yang gue omongin. Oke? Bukan cuma gue aja, tapi semua orang. Bisa jadi itu maknanya konotasi atau sebaliknya.”

Kedua alis tegas Galaxy terangkat kemudian mengangguk pelan seakan paham apa yang Bintang omongkan.

“Cerna baik-baik dulu apa yang diomongin,” tambah Bintang, kemudian menyelupkan marshmallow dan memakannya. “Baru ditarik kesimpulan.”

“Jadi, Kakak mau pdkt sama gue nggak?”

Astaga naga! Bukankah Bintang baru saja memberinya ultimatum? Kenapa adik kelas ini tidak mengerti juga? Gadis itu jadi gemas-gemas emosi. Sebelum beranjak dia berseloroh, “Cari tahu sendirilah, termasuk nomer HP gue!”

Galaxy sontak ikut beranjak sambil setengah berteriak, “Tunggu Kak! Kan nggak keren kalau dapet nomer Kakak dari orang lain?!”

Memang itu urusan Bintang?

Puncak, 6 Agustus
19.45 p.m.

Sementara dari kejauhan Zhardian yang sedang mengambil jagung bakar, harus menghentikan kegiatannya sebab merasakan getaran yang diakibatkan oleh benda pipih di dalam kantung jaketnya.

Cepat-cepat dia mengambil benda tersebut lalu melihat layar. Betapa matanya melotot mendapati kakak perempuan Galaxy yang ternyata saat ini sedang menelepon.

Mampus! Gue kudu ngomong apaan?!

Kepala Zhardian terangkat. Celingukan mencari keberadaan Galaxy. Begitu menangkap sosok tersebut sedang mengikuti Bintang masuk villa, dia berdecak sebal.

“Ck! Lagi sayang-sayangan lagi!” gumamnya.

Sungguh, Zhardian sama sekali tidak ingin menyampuri urusan Galaxy dengan Aira. Namun kenapa mereka selalu kerap kali menjadikannya terlibat? Inilah salah satu contoh.

Zhardian mendadak migrain lalu memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Akan tetapi sepertinya Aira tidak mau menyerah. Terbukti dari cara kakak Galaxy yang cantik jelita itu terus-menerus menerornya dengan panggilan telepon. Setelah panggilan yang kelima barulah kakak sahabatnya itu mengirim pesan.

Kak Aira :
Lagi di mana kalian? Adek gue bilang lagi ama lo. Sekarang dia nggak bisa ditelepon.

Zhardian sontak mengumpat pelan. Sambil melihat Galaxy, dia akhirnya memutuskan untuk mengejar sahabatnya.

Duh! Itu bisa nggak sih jalan mereka nggak usah cepet-cepet? Baru lima langkah doang udah masuk villa.

Setibanya di ruang keluarga, Zhardian berhasil menghentikan Galaxy.

“Gal, kakak lo nelepon ama WA gue.”

Galaxy yang saat itu meloloskan Bintang yang kembali ke kamar, mengambil duduk di salah satu kursi bentuk bantal besar di tengah ruang keluarga villa tersebut. Zhardian pun mengikutinya. Kebetulan di sana sedang tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anggota tim perempuan yang mengubek dapur tidak jauh dari ruangan itu.

“Jangan bilang lo kagak ngomong kalau ke sini,” tebak Zhardian sembari menyodorkan ponsel yang menampilkan pesan Aira.

Galaxy reflek membuang napas berat. Membenarkan asumsi Zhardian.

“Ck! Kelarin urusan lo ama kak Aira! Jangan kucing-kucingan! Jangan pakek gue jadi tameng. Inget juga pesen gue Gal!”

“Enggak kok Zhar. Gue kan nggak bohong. Emang gue lagi sama lo,” jawab Galaxy sambil mengotak-ngatik ponsel milik Zhardian. Tampak seperti membalas pesan Aira.

“Ya tapi lo kagak ngomong kalau lagi di Puncak Bambang! Kak Aira kayaknya khawatir.”

Galaxy tersenyum miring. “Sejak kapan kak Aira perhatian ama gue?”

Zhardian kontan mengacak-ngacak rambutnya sendiri karena setelah mengatakan itu, Galaxy beranjak ke dapur untuk mengambil makanan.

Tapi Zhardian tahu, sebenarnya sahabatnya itu sedang kabur dan mengalihkan dengan makanan manis.

Jakarta, 6 Agustus
19.50 p.m.

Beberapa menit menunggu, akhirnya  Aira mendapatkan balasan pesan dari Zhardian.

From Zhardian :
Kuotnya abis.

Setelah membaca pesan tersebut, kening Aira berkerut samar. Jari-jarinya menari lincah di layar ponsel untuk menelepon Zhardian kembali. Pada dering ketiga, sahabat adiknya itu baru mengaktifkan sambungan.

“Halo?” Suara Aira yang merdu segera menembus seberang sambungan.

“Halo Kak, kenapa ya?” Zhardian kembali bertanya padanya.

“Adek gue mana?”

“Oh, ini.”

Beberapa detik kemudian suara adiknya terdengar di ujung sambungan. “Halo?”

“Lagi di mana Dek?”

Bukannya menjawab, Galaxy malah balik bertanya, “Kenapa emang?”

Mendengar nada sebal itu Aira tersenyum masam.

“Papa sama mama ngajak makan malem bareng, mumpung nggak sibuk. Kan udah lama kita nggak makan bareng,” terang Aira dengan penuh kelembutan seperti yang selalu menjadi ciri khasnya.

“Lain kali aja, gue sibuk.” Setelah mengatakan itu Aira yakin Galaxy akan memutus sambungan telepon. Berniat menghindar seperti yang belakang ini adiknya lakukan padanya.

Sebelum itu terjadi, Aira berusaha mencegah dengan sedikit berteriak. “Halo? Dek? Jangan bilang lo lagi ama si Bintang! Halo? Gala? Galaxy Andromeda?!” Namun percuma. Teleponnya benar-benar sudah terputus.

Perempuan bagai boneka itu menatap ke luar jendela ruang keluarga rumahnya yang memamerkan kolam renang dengan lampu-lampu sorot di dasar air. Jari-jemari lentiknya menggenggam ponsel sedikit erat sambil melipat tangan di dada.

Sampe pakek alasan papa sama mama udah nggak mempan.

Apa gue keterlaluan banget ya sama dia?

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻

4 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top