🚀Tutur Bisu Berbahasa Senyap
Pernahkah kamu berpikir bahwa pasrah adalah jalan keluar paling tepat, dalam situasi tertentu?
Itu yang memenuhi benak Iris di bawah terik mentari pagi ini. Eh, tunggu. Karena hubungannya yang tidak begitu baik dengan Juno saat ini, akankah Juno menganggap tindakan Iris disengaja, sebagai bentuk bendera perang di antara keduanya?
Atau parahnya, bagaimana jika Juno mengira bahwa pelanggaran Iris adalah bukti di mana Iris mulai terpengaruhi oleh perilaku Gamma yang memang sudah dilabeli sebagai anak yang suka menyimpang aturan, oleh Juno?
Ih! Kenapa semuanya terasa rawan kesalahpahaman begini? Sebal, ah! Pokoknya, untuk saat ini, mari kita bertingkah seolah menjadi Iris yang tidak mengenal Iris sebelumnya. Ini Iris yang lain! Dengan tampang sok apatis, Iris berdiri di barisan VVIP paling depan.
Belum sampai satu menit Iris mencoba totalitas menjalani perannya sebagai seorang bad girl abal-abal, Iris merasakan pundaknya digenggam mendadak. Refleks saja Iris menolehkan kepala. "Eh, Gammy?"
Lelaki jangkung itu sibuk bungkuk-bungkuk supaya tinggi badannya tidak terlalu mencolok di balik punggung sosok Iris yang cebol. Seraya celingukan untuk memastikan aksinya masih aman, Gamma pun berbisik pada Iris. "Pakai dasi aku, nih."
Seolah mengerti bahwa dirinya harus bertingkah seperti biasa dan tidak boleh memperlihatkan eksistensi Gamma yang menyelundupkan diri di antara para pelanggar, Iris pun hanya bisa menelan ludahnya susah payah. Aduh, dia tidak berpengalaman untuk aksi semacam kriminal begini. Masih merasakan genggaman hangat di bahu, Iris akhirnya balas berbisik tanpa berbalik. "Gammy gimana?"
"Tenang aja, udah biasa. Dipajang di baris VVIP doang, sih, kecil." Gamma menepuk bahu Iris dari belakang. "Kalau kamu, kan, masih newbie."
Meski begitu, Iris menggeleng heboh. Tanpa menyadari alarm bahaya di mana protokol upacara sudah mengetes mikrofon di tangan, Iris malah balik badan untuk menghadap Gamma sepenuhnya. "Enggak boleh, Gammy! Kata Juno, kita harus profesional dan bisa konsekuen. Iris yang melanggar, Iris yang harus tanggung jawab." Layaknya bocil yang sudah tak tahan diledek lebih lama lagi, Iris berkacak pinggang dengan mata memelototi Gamma. "Lagian, bukan soal pro atau newbie. Gammy harusnya udah pensiun, ya!"
Gamma gelagapan, menjauhkan genggaman tangannya dari pundak Iris. Bukan kena mental atas kalimat Iris atau apa, melainkan Gamma kaget dengan tindakan polos Iris yang tampak tak ingat bahwa upacara mau dimulai dan sebagian besar atensi manusia-manusia di lapangan sudah terarah sempurna ke arahnya, saat ini. Aduh, kebiasaan, deh! Sepertinya, Iris memang merasa gatal kalau tidak over-reacting sekali saja, ya.
Sebelum Gamma sempat membalas kalimat Iris, tahu-tahu dehaman Juno sudah terdengar tepat di samping indra pendengaran Gamma. Tuh, jadi ketahuan, 'kan! Juno memicingkan mata. Entah kenapa, setelah mengetahui bahwa Gamma berstatus sebagai pacar sahabat kecilnya, Juno jadi tidak setakut dulu ketika menghadapi Gamma. Seperti saat ini, Juno memicingkan mata sok garang. "Maaf, Kak, ini barisan khusus untuk siswa yang melanggar peraturan. Apakah atribut Kakak tidak lengkap?"
Cukup. Gamma kembali menegakkan punggungnya yang sudah pegal karena bungkuk-bungkuk tadi. Gamma meregangkan tulang leher dan pundaknya dengan mendongakkan kepala ke atas, tampak angkuh. Lelaki itu menyugar rambut ke belakang. Kalau saja bukan karena keinginan Iris, Gamma akan melepas dasi dan name tag di seragamnya, tepat di depan Juno. Gamma mendelik, lalu berkata sambil melengos keluar barisan. "Aku mau ke toilet, kok."
Selepas kepergian Gamma, lelaki dengan jas abu yang sok berwibawa itu mengamati Iris dari belakang. Tangan Juno melesak ke dalam saku jas. "Berdiri yang tegak. Sikap sempurna. Upacara sudah dimulai."
Meski tahu bahwa teguran Juno ditujukan kepadanya, Iris tak berniat sama sekali untuk menjawab. Sungguh, seumur hidup Iris berkawan dengan anak OSIS seperti Juno, tidak pernah terpikirkan bahwa dirinya akan berada di posisi seperti ini, sebelumnya. Menyebalkan!
Belum habis sampai di sana, Iris langsung berupaya melipatgandakan stok persediaan kesabaran miliknya ketika mendapati seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang baru tiba. Selena. Karena upacara tengah berlangsung, Mat langsung mengarahkan kakak kelas itu untuk ikut berbaris di jajaran VVIP, persis di sebelah Iris.
Biar Iris ramal. Kurang dari sepuluh detik lagi, Selena pasti akan cosplay jadi reog dan mulai berbaik hati untuk mengajarkan Iris arti dari kekebalan mental. Lima, empat, tiga ....
"Ow, ada anak X MIPA-1? Bentar, bentar. Sejak kapan di baris VVIP ada anak ambis?"
Astaga. Nasib baik Iris jauh lebih memedulikan rasa pusing yang terasa menggerogoti kepalanya, dibandingkan gumaman tidak jelas dari nenek lampir yang salah mampir.
Matahari beranjak tinggi, merajai bumantara. Dengan posisi yang tepat menghadap ke arah timur, Iris menyipitkan mata, bermaksud meminimalisir intensitas cahaya yang diterima. Silau! Tidak sopan sekali. Iris menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. Tubuhnya sungguh terasa tidak nyaman. Suara pembina upacara yang sedang menyampaikan amanat di atas podium pun seolah berasal dari dimensi yang jaraknya ribuan tahun cahaya dari telinga Iris.
Kapan selesainya, deh, ini?
Begitu kesadaran Iris terasa hampir menghilang, mata Iris kembali terbuka karena merasakan sentuhan di pipi kirinya. Iris mengerjap berkali-kali, lalu menatap siswa pelanggar tak dikenal di sampingnya yang malah asyik memainkan buntalan tebal pipi Iris. Juno yang mengikuti upacara sambil menjaga barisan VVIP pun menyadari aksi tersebut.
Sebelum cekikikan sumbang kakak kelas kurang ajar itu membuat Juno tambah kesal, Juno pun berinisiatif untuk menariknya ke barisan paling ujung, supaya tidak berdekatan lagi dengan Iris. Selesai melakukannya, Juno kembali berdiri tegak di posisinya semula, merasa lega.
Tugas utama anak OSIS yang termasuk departemen kedisiplinan seperti Mat, teman sekelas Iris, juga departemen bela negara seperti Juno di setiap Senin adalah memastikan upacara dapat berlangsung dengan khidmat dan kondusif sebagaimana seharusnya. Jadi, wajar saja kalau Juno langsung menindak kakak kelas tadi, 'kan? Bukan untuk kemaslahatan hati, kok.
Beberapa menit berikutnya, tidak ada hal menarik yang terjadi. Upacara bendera selesai. Seluruh siswa sudah bubar barisan, berpencar sesuai kepentingannya masing-masing. Satu-dua menguap lebar, tak siap disambut dengan Matematika sebagai pembuka jam pelajaran pertama. Anak lainnya bisik-bisik cengengesan, tampak tak punya beban untuk mendiskusikan topik utama mereka di kegiatan bolos kali ini.
Sementara itu, Mat, Juno, dan beberapa anggota OSIS lainnya masih bertahan di hadapan jajaran VVIP. Tugas mereka belumlah selesai. Dengan kelopak mata yang makin sulit dibuka, Iris mengeluh tertahan. Ini belum boleh ke kelas?
Dari arah gerbang utama, seorang lelaki berjas abu-abu datang menghampiri, dengan buku rekapan poin negatif siswa di tangan. Perawakan tegapnya sudah menguarkan aura berwibawa dari kejauhan. Selena dan siswi lain yang tidak beratribut lengkap mendadak saja saling sikut, heboh. "Kak Melvin, Kak Melvin."
Di pojokan sana, Juno meneguk ludah susah payah. Meskipun sudah terbiasa rapat dan mengerjakan program OSIS bersama, tak dapat dipungkiri, Juno masih saja segan menghadapi Melvin. Ketua depertemen kedisiplinan itu selalu punya serpihan kesempurnaan yang membuat semua orang tak pernah bosan berdecak kagum setiap kali melihatnya.
Melvin sigap bergerak menanyai satu persatu siswa yang melanggar. Dengan tampang tegas tanpa menghilangkan sopan santunnya, Melvin bersabar menghadapi Selena dan siswi lainnya yang gencar mencari perhatian, sementara anak laki-laki malah sibuk ngeles dan memberontak. Setelah membubuhkan poin negatif di buku, Melvin beralih pada Iris.
Akan tetapi, penampakan Iris sudah parah. Bibir tipis itu terlihat pucat sekali. Sudah seperti mayat hidup. Jangan lupakan alisnya yang tanpa sadar sudah mengerut sejak tadi, tak kuat menahan pusing. Di dekatnya, Juno tidak melepaskan pandangan sekali pun dari figur Iris. Sejak awal Iris tiba di sekolah, Juno memang merasakan ada suatu hal yang berbeda. Ia kira semua itu hanya perasaannya, mengingat yang berbeda hanyalah hubungan di antara Iris dengan Juno. Ternyata, tidak hanya itu.
Melvin menundukkan kepala, matanya terus menelisik muka Iris. "Kamu ... enggak apa-apa?"
Iris membuka matanya yang kini sayu, lalu merapikan rambut pendeknya ke belakang telinga. "Enggak, Kak. Maaf, ya. Kayaknya dasi Iris jatuh waktu di angkot."
Sesaat, Melvin membiarkan keheningan memberi jeda. Adik kelasnya ini sedang tidak dalam kondisi tubuh yang prima. Paham dengan situasi, Melvin pun menarik Iris sedikit menuju koridor yang paling dekat lapangan untuk berteduh. Sambil menatap Iris was-was, Melvin melanjutkan kalimatnya pelan-pelan. "Oke. Berarti, dasi kamu enggak ada. Jangan lupa untuk beli lagi, ya. Untuk penjualan dasi yang ada logo Persatas-nya hanya ada di ruang OSIS. Buka setiap istirahat atau pulang sekolah. Boleh juga menghubungi aku, Melvin, XI MIPA-5, ataupun anak OSIS lainnya. Ya?"
Juno menghampiri, berniat meminta konfirmasi Melvin untuk membawa siswa yang sudah terlambat lebih dari tiga kali ke ruang BK. Akan tetapi, baru mulutnya mau terbuka, Juno sudah dikagetkan dengan badan kecil Iris yang tumbang. Dengan cepat, Juno langsung maju menahan kepala Iris agar tidak menghantam tembok. Iris ambruk begitu saja.
Mendapati Iris yang tak mampu lagi menahan sakitnya, Melvin sigap ikut membantu, melingkarkan sebelah lengan Iris di pundaknya. Keduanya memapah Iris, oh ... apa, ya, bahasanya? Dipapah, tetapi kedua kaki Iris melayang, karena tumpuan lengannya berada di pundak Juno dan Melvin yang terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Iris. Mereka membawa Iris ke ruang UKS. Masih di koridor pun, Juno sudah heboh memanggil-manggil Luisa yang PMR dan kebetulan sedang berjaga di UKS.
Iris digeletakkan di atas ranjang. Napasnya memburu, membuat bahu ringkih Iris naik-turun dalam tempo yang cukup cepat. Luisa mengecek suhu tubuh Iris di dahi dan lehernya dengan punggung tangan, lalu menggeleng-geleng. "Panas banget. Iris demam tinggi." Teman sekelas Juno itu pun membuka kotak first aid, lantas meraih kayu putih untuk menghangatkan tubuh Iris. Sejenak, Luisa beralih pada Juno. "Jun, bisa tolong pegangi ini di dekat hidung Iris?"
Setelah Juno menggantikan posisi Luisa, perempuan itu pun cekatan mengambil kain bersih dan mencelupkannya pada air panas yang memang tersedia di UKS. Tangan Luisa mengompres dahi Iris dengan telaten.
Tak butuh waktu lama, kondisi Iris berangsur membaik. Kedua matanya terbuka. Perlahan, Iris mencoba bangkit untuk duduk di atas ranjang UKS. "Kamu enggak apa-apa, Ris? Masih pusing?"
Iris menggeleng. Rasa pusing itu hanya sisa sedikit. Akan tetapi, tubuhnya terasa lemas sekali. Seolah seluruh tulang Iris sudah diloloskan begitu saja dari tempatnya. Meski begitu, mendapati Iris sudah sadar, Melvin langsung melebarkan senyuman lega. "Syukurlah. Kalau gitu, aku duluan ke lapangan lagi, ya. Mat pasti kewalahan di sana. Ah, Juno. Dekat rumah Iris, kan, ya? Antar Iris pulang aja. Soal dispensasi bisa aku urus. Oke?"
Dalam diam, Juno mengangguk singkat. Luisa langsung menyadari sesuatu. Ditatapnya lelaki itu lekat-lekat. Semenjak Iris bangun, kenapa anak itu tidak kunjung buka suara? Padahal, Juno yang tampak begitu panik, sebelumnya. Idih.
Luisa beranjak membereskan sisa kompresan tadi, membiarkan Iris sibuk menghirup kayu putih yang disodorkan Juno. Tanpa kata, tanpa bahasa. Luisa berdecak malas. Ini mulutnya lagi pada dipinjam orang apa gimana, ya?
• 🦁 🐧 🐻 •
Hai! Ada yang kaget aku kembali di hari kamis?👀 Wkwkwk, oke! Karena berasa bosen (pengen cepat abis), aku mau ganti jadwal update jadi tiap selasa, kamis, sama sabtu aja, ya!🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top