🚀Tiada Kata Terlambat 'tuk Menyukai Sahabat ... Eh?
Percaya atau tidak, seharian ini, Gamma merasa pikirannya sedang tak berada di tempatnya. Ajakan Moreno untuk merokok selama jam istirahat kedua saja tidak dihiraukannya. Selena yang duduk di sampingnya juga hanya berdiam diri di bangkunya sendiri. Tidak lagi menawari makan siang, ataupun sekadar mengajak Gamma main game online. Semenjak kejadian di dekat laboratorium tadi, tampaknya Selena tak akan berinteraksi dengan Gamma sebagaimana biasanya lagi.
Hingga jam pulang sekolah, Gamma baru naik ke permukaan setelah lama sekali tenggelam dalam pikirannya. Sungguh. Benaknya terasa bising sekali sedari tadi. Entah karena perubahan Selena yang memberi Gamma spasi lebih untuk melamun, atau karena adanya eksistensi lain yang memasuki kepala Gamma tanpa permisi.
Menyebalkan. Seluruh siswa XI MIPA-4 sudah berhamburan keluar kelas. Yang tersisa hanyalah Gamma dan Selena. Gadis itu tampaknya ingin memastikan bahwa Gamma benar-benar tak akan berubah pikiran untuk mengajaknya pulang bersama, seperti biasa. Harapan Selena runtuh seketika begtu Gamma menyeret kursinya ke belakang, lantas menyampirkan sebelah tali ranselnya di pundak. Tiada kata.
Sosok berbahu tegap itu hanya berlalu begitu saja, meninggalkan Selena sendirian, bersama dengan resah-resah yang merasa dibenarkan. Benar. Punggung itu meninggalkannya, tak berbalik, apalagi bertanya.
Tanpa tahu alasan pasti, Gamma merasa ada penunggu Persatas yang merasuki alam bawah sadarnya untuk mendatangi suatu tempat yang tak pernah didatanginya selain untuk merokok di tengah jam pelajaran. Gamma mengembuskan napasnya ketika mendapati presensi gadis kecil yang tengah bertengger di dahan pohon kersen. Tak jauh berbeda seperti pertemuan pertama mereka di halaman belakang sekolah ini.
Gamma menelan salivanya kasar. Tunggu. Kenapa ia merasa lega menemukan Iris ada di sana?
"Oh, Kak Gamma!" seru Iris yang menyadari kehadiran manusia lain ke ekosistemnya itu. Sejak tadi, Iris memang sedang melangitkan lamunan-lamunan, tampak tengah tak berhasrat untuk memetik kersen kesukaannya.
Tanpa instruksi, tahu-tahu saja anak itu sudah meloncat turun dari dahan pohon. Dengan cengiran lebar, Iris mengempaskan badannya ke atas dinding pendek yang memuat pahatan mengenai tanggal bangunan Persatas diresmikan yang bertanda tangan Wali Kota Tasikmalaya.
Tiada beban atau ragu sedikit pun, Iris menepuk spasi di sebelahnya, menyuruh Gamma duduk di sana. Ya ... agak kecil, sih, itu. Makanya, Iris sampai menggeser ke ujung tembok tempat duduknya. Apa boleh buat. Persatas tidak punya alasan khusus untuk menyimpan bangku panjang di halaman sekolah.
Mendapati kode begitu, Gamma lekas mendekat, lantas duduk di sebelah Iris, menurut begitu saja. Gamma menjilati bibir bawahnya sambil memalingkan muka. Ini ... karena perasaan bersalah untuk tinju salah sasaran tadi, 'kan? Gamma menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tidak. Kenapa semuanya mendadak terasa canggung? Padahal, gadis di sebelahnya tampak tak terpengaruh sedikit pun, masih saja memasang tampang cerah seperti biasa. Apa yang salah dengan Gamma?
Demi melenyapkan situasi yang tidak begitu nyaman bagi Gamma, lelaki itu mengamati pipi kiri Iris yang berjarak tak lebih tiga puluh senti darinya, lantas angkat suara. "Bagaimana lukamu? Enggak apa-apa?" Gamma berdeham pelan. Oke, kenapa pertanyannya memalukan sekali?
Sesaat, Iris refleks memegangi titik yang dimaksud Gamma. Tidak begitu terasa nyeri. Warna biru bekas memarnya memang belum tersamarkan. Iris balas menatap Gamma. "Enggak. Lui sudah olesin salep thrombophob kok, tadi. Dikompres es juga sudah. Kak Gamma kurang kencang pukulnya."
Hei, apa ini ledekan secara tidak langsung? Rasanya, Gamma ingin tergelak keras begitu mengingat Iris menangis setelah pergi dari lorong laboratorium. Gamma tahu, kok! Gamma mengikutinya diam-diam. Untung saja Gamma masih berbaik hati untuk melindungi harga diri Iris dengan tidak membocorkannya. "Mau coba pukulan versi ori-nya?"
"Enggak usah. Kak Gamma juga enggak akan berani."
"Kenapa enggak? Kamu sudah lihat sendiri, aku bahkan enggak segan dorong Selena ketika ...." Teringat sesuatu, mendadak Gamma tak lagi berminat untuk menyelesaikan kalimatnya. "Ris, kamu enggak marah?"
"Marah apa? Buat ini?" tanya Iris, menunjuk sudut pipi kirinya sendiri.
"Ya?"
"Buat apa? Kak Gamma enggak maksud pukul Iris, kan ...." Iris mengangkat bahu sambil melipat bibir atasnya. Entah kenapa, itu malah membuatnya semakin terlihat kecil dan ingin Gamma cubit hingga Iris menjadi permen Yupi. Iris melanjutkan, "Marah juga enggak bikin memarnya hilang."
Gamma mendesis, mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lagian, ngapain tiba-tiba muncul di sana, sih?"
"Kak Gamma, bertengkar itu enggak baik!" Iris menendang-nendang udara kosong, seolah membantunya untuk menyalurkan beberapa kalimat selanjutnya. "Terlepas dari apa pun kesalahan Kak Sel, Kak Gamma enggak seharusnya meledak sampai tega dorong Kak Sel begitu."
Gamma menatap Iris dengan mulut terbuka, juga kedua manik mata cokelat gelapnya yang mengerjap berulang kali, tampak tak percaya atas apa yang didengarnya. "Meskipun jelas-jelas orang itu melakukan kesalahan?"
"Meskipun jelas-jelas orang itu melakukan kesalahan," tegas Iris, mantap, "kata Ayah, kita harus terus berbuat baik ke orang lain. Sebesar apa pun kesalahan orang, enggak akan pernah cukup untuk menjadi alasan kita enggak jadi orang baik. Katanya, setiap perbuatan kita sudah dicatat semesta. Makanya, kita enggak perlu khawatir soal balasan dari orang lain."
"Kalau mereka malah berbuat jahat ke kita?"
Iris melukiskan senyuman manis di kedua sudut bibirnya. Senyuman yang tampak begitu betah berlama-lama menempati muka Iris. "Kata Ayah juga, berbuat baik itu bukan soal menerima, tetapi memberi. Kalaupun enggak melalui perantara orang baik di sekitar, kebaikan kita pasti dibalas semesta, kok."
Embusan napas berat keluar dari mulut Gamma. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gamma tampak berusaha mencerna teori yang dikemukakan Iris, tanpa dipengaruhi tampang naif gadis itu. Oh, Gamma bisa gila habis ini.
Sedikit terasa menyebalkan. Akan tetapi, kenapa pemikiran aneh Iris justru membuatnya semakin tertarik untuk terus mengerutkan kening tak mengerti? Kenapa percakapan ini malah memunculkan suatu keinginan rancu untuk terus menyelami pemikiran abnormal Iris, meski tahu bahwa dirinya tak akan pernah seutuhnya paham?
• 🦁 🐧 🐻 •
"Jun, Jun, let's go!"
Juno memutar bola matanya, kesal. Rasanya, siapa pun yang berada di posisinya akan merasa muak terhadap spesies bernama Alfa. Bukan apa-apa. Setiap waktu istirahat ataupun jam pulang seperti ini, anak itu selalu saja meneriakkan kalimat yang sama, seolah akan melepas kepergian Juno menuju medan perang. "Ke mana, sih?"
Pertanyaan dengan nada sebal Juno malah membuat Alfa semakin agresif menaik-naikkan kedua alisnya. "Ke Iris, 'kan? Gerak cepat, Jun! Istilahnya, now or never!"
"Kayaknya, itu lebih cocok not or over, deh," kilah Juno. Tangannya sibuk mengemasi alat tulis yang berserakan di atas meja. Sebenarnya, Juno bukanlah tipikal anak ambis yang menggunakan banyak catatan di jam pembelajaran. Meja Juno hanya dipenuhi kertas-kertas atau halaman belakang buku yang dicoret-coretnya selama mendengar penjelasan Hukum Newton oleh Bu Yanti.
Sebagian besar penduduk kelas sudah pulang. Alfa masih di sana karena ada jadwal latihan bersama klub futsal, sore ini. Alfa berdecak sambil menontoni Juno yang tampak buru-buru biar segera menyingkir dari Alfa. "Jun, jadi cowok tuh jangan suram, dong. Heran. Pesimis amat."
"Jadi, kalau cewek boleh?"
"Kenapa? Mau transgender, Jun?"
Sinting.
Demi mendapati Juno yang mulai melangkah keluar kelas, Alfa lekas berlarian menyusul, lantas menghadang jalan Juno. "Jun, Jun."
"Buset, ya, Fa." Juno mengembangkan lubang hidungnya, tampak tak mampu lagi menahan diri untuk tidak menembakkan peluru-peluru upil yang mahadasyat ke arah makhluk tidak beradab di hadapannya. "Kamu segitu bosannya nunggu Pak Uzaz buat mulai latihan, sampai terus ganggu orang? Mending pakai waktunya buat yang bermanfaat aja. Belajar bareng Luisa, misalnya?"
"Aih, Lulu suka jutek kalau di luar kelas. Uhm ... di kelas juga, sih." Sesaat, Alfa membiarkan keheningan mengisi hanya untuk memikirkan hal yang tidak begitu penting, sebenarnya. Alfa menggeleng. "Enggak, pokoknya. Dia lagi asyik sama anak PMR lain."
Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Juno langsung saja berniat menerobos portal penjagaan Alfa di lorong kelas. Sialannya, Alfa kembali menahan Juno. Jangan lupakan cengiran lebar yang ingin Juno tendang sampai mendarat di kotoran kerbau Pak Haji Amir. "Alfa Fahreza! Mainnya sama pohon kersen saja! Aku sibuk."
Gelakan kencang meledak dari mulut Alfa. "Oke, oke. Peringatan terakhir." Mendadak, Alfa menciptakan senyuman miring yang disertai seringaian mencurigakan di bibirnya. Matanya memicing, sulit diartikan. "Jangan pernah buang-buang waktu dan kesempatan, Jun. Hanya karena seseorang itu selalu ada di dekatmu, bukan berarti ia akan selamanya berada di genggaman."
Apa? Alfa mau sok ber-quotes lagi? Juno menghela napasnya yang mendadak terasa berat. Eh, kenapa? Itu, sih, sejak awal juga sudah Juno ketahui, 'kan? Mengapa ada sensasi berbeda yang menjalari benaknya? Merinding. Alfa yang berlagak serius memanglah berupa anomali yang terlalu ganjil untuk terjadi.
Menyadari atmosfer sekitar yang tiba-tiba aneh membuat Alfa kembali terkikik geli. "Lawak, deh, kamu, Jun. Tinggal bilang aja, 'kan? Kamu juga pasti lebih tahu, kalau tipikal abnormal macam Iris itu enggak akan bikin drama atau menghancurkan semuanya. Dia, kan, bocil! Reaksinya pasti akan lebih simpel untuk ditangani, kalau kamu mau gerak maju, Jun."
Iya, iya, Juno tahu! Bagaimanapun, tetap saja tidak semudah itu, 'kan?
Di tengah keresahan yang mulai bergelantungan di raut muka Juno, si pelaku malah tak henti menertawakan. Tanpa merasa bertanggung jawab sedikit pun, Alfa sengaja meninggalkan Juno begitu saja. Mampus! Lihatlah muka serius Juno yang tengah berpikir keras seperti sedang ngeden sekuat tenaga. Alfa puas sekali mengamati reaksi korban pendoktrinan darinya yang sudah S3 di bidang percomblangan. Seharusnya, Alfa mendapatkan penghargaan Nobel, sehabis ini.
Aih. Juno menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha mengusir suara tawa menyebalkan Alfa yang terdengar menjauh tetapi malah terngiang-ngiang di otak Juno. Kedua kaki panjang Juno mulai melangkah stabil, hendak menuju kelas Iris. Baiklah ... segini saja sudah cukup, 'kan? Juno tak perlu menuntut status lebih ....
Baru sampai di bingkai pintu kelas X MIPA-1, Juno berpapasan dengan Bintang. Tanpa perlu ditanya terlebih dahulu, Bintang sudah mandiri untuk langsung angkat suara. "Iris sudah keluar kelas dari tadi."
Juno mengerjap, seakan baru tersadar dari tidur yang panjang. "O-oh, baiklah. Terima kasih."
Langkah Juno terasa mengambang, menuju tempat yang biasa dikunjungi Iris sepulang sekolah. Sistem kehidupan Juno yang tadinya nge-lag, mendadak 4G seketika. Dngan refleks yang cepat, Juno lekas bersembunyi di balik pohon kersen. Tidak. Anak itu tidak lagi nongkrong di atas dahan seperti biasanya. Juno menajamkan indra penglihatan dan pendengarannya begitu mendapati dua manusia tengah duduk bersisian di atas dinding monumen peresmian Persatas. Itu ... Iris, 'kan?
Bareng Kak Gamma! Kedua bola mata Juno hampir meloncat keluar saking kagetnya. Tunggu. Dirinya tidak sedang dipermainkan oleh penunggu Persatas yang menyerupai dua orang itu, 'kan?
Akan tetapi, semesta tidak membiarkan keterkejutan Juno hanya sampai di sana saja.
"Iris ... mau jadi pacar Kakak?"
Dodol, Cendol, Sempol, Panadol! Juno merapalkan mantra dalam hati. Otak Juno sempurna eror, memilih untuk menyerah, tak mampu lagi mencerna informasi irasional yang baru diterimanya. Astaga. Telinga Juno habis dibisiki setan macam apa? Bukan Jurik Cicintaan yang genit padanya, 'kan?
Mampus.
• 🦁 🐧 🐻 •
Ada yang ingin disampaikan untuk anak-anak Persatas ini?:>
Btw, Jurik Cicintaan itu beneran rame rumornya waktu aku kelas lima SD, wkwkw.
Kamu kamu kamuuu, setuju enggak, sama hubungan GAMIS (Gamma-Iris)?:3
Betewe yang belum ketemu Bintang dan anak Persatas lainnya, AYO intip mereka di Detik Detak, MaFiKiBi Society, History Track, dan Camouflage of The Darkness!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top