🚀Tentangnya yang Selalu Seenaknya
Pernahkah kamu merasakan sensasi menyenangkan seperti berhasil mendapatkan harta karun paling berharga di seluruh alam semesta?
Itu yang tengah Iris alami di tengah panas terik siang ini. Dengan salah satu tangannya yang erat mencengkeram dahan, tangan lain Iris asyik memilih butir-butir kersen merah ranum di atas kepala. Yeay, panen besar! Oh, tidak. Seharusnya, Iris meminta keresek hitam terlebih dahulu pada Mang Dod. Biar buah yang tampak manis menyegarkan itu tidak perlu berdesakan di tangkupan tangannya. Baiklah. Alternatif lain langsung muncul di kepalanya.
Tanpa segan, Iris langsung mengangkat rok abunya hingga mencapai lutut dan menciptakan wadah dadakan untuk penampungan buah-buah kersen. Nice. Kapasitasnya cukup besar, Iris bisa mengambil lebih banyak kersen. Satu-satunya hal yang perlu diwaspadai adalah ketika turunnya nanti. Tak apalah. Itu bisa diurus belakangan.
Di tengah keasyikannya memetik buah kersen dengan serakah, mendadak saja indra pendengarannya menangkap bunyi bising dari kejauhan. Seperti geraman? Entahlah. Iris masih mempertahankan cengiran lebar di mukanya. Paling juga hantu penunggu Persatas sedang atraksi ... oh, atau mungkin ada yang kerasukan arwah tukang gosip. Biasalah.
Iris masih sibuk dengan dunianya sendiri ketika suara-suara tadi mulai bertambah keras, seolah mendekat, atau persis musik yang terus dikencangkan volumenya. Barulah Iris menyadari bahwa yang didengarnya berasal dari perbincangan dua spesies. Tunggu, ada anak Persatas yang memilih untuk ke halaman belakang sekolah, sehabis jam pulang? Aneh sekali. Apakah ada yang laporan dan berniat memergok aksi rampok Iris kali ini? Ataukah ... mereka bermaksud bergabung sebagai kawanan Iris, supaya bisa ambil bagian dari hasil panen kersen besar-besaran kali ini?
Tidak bisa! Tidak bisa dibiarkan! Meski tidak tertulis dalam Peraturan Perundang-undangan Persatas, semua aset kersen ini adalah properti pribadi milik Iris. Selama lebih dari satu semester Iris bersekolah di Persatas, tidak ada satu pun yang berani mengusik pohon kersen kesayangannya! Kedua alis Iris mengerut, mempercepat gerakan tangannya dalam meraih kersen, tampak serius sekali. Tatapannya seolah berkata, 'Ini hak milikku, wilayah kekuasaanku!'.
Sementara itu, mereka—kedua siswa yang baru tiba di halaman belakang Persatas—justru tidak menyadari eksistensi makhluk buluk semacam Iris yang sedang free-style di atas dahan pohon kersen. Salah satu dari mereka adalah perempuan berkulit seputih salju, dengan buntalan pipi tebal. Gadis itu tampak terus-terusan mengikuti langkah lelaki di hadapannya. "Gamma, tunggu!"
"Apa?" Lelaki tinggi dengan sebelah tali ransel hitam di pundaknya itu berhenti di dekat pohon kersen, lantas berbalik badan. Alisnya menukik tajam, tampak muak dengan presensi Selena.
"Kita sudah terbiasa bersama, 'kan? Kenapa kau tak pernah menerima aku untuk ...."
"Sel, aku tekankan sekali lagi." Layaknya bermuatan laser, kedua mata hitam legam Gamma sempurna terarah pada netra Selena. "Kita hanya kebetulan selalu dipertemukan di persimpangan, jangan terus-terusan menuntut lebih."
"Apa salahnya? Kita bisa mencoba ...."
"Hentikan omong kosong itu," serobot Gamma, muak mendengar suara Selena yang mulai diiringi isak menyebalkan, "duniaku bukan hanya tentangmu."
Tak mau menyerah, dengan mata sembap juga kedua sudut bibir yang menekuk ke bawah, Selena menarik tangan Gamma untuk meraihnya. Akan tetapi, Gamma langsung mengempaskan tangan itu dan memukul batang pohon kersen di sampingnya.
Di atas sana, Iris yang kaget seketika melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk batang pohon, mempertahankan posisi aman. Refleks. Tentu saja rok abu-abunya tak lagi terangkat dan menghamburkan buah-buah kersennya ke bawah, tepatnya bermuara di sekitar bagian belakang kaki Gamma.
"Diam di tempat!" seru Iris, sukses menahan pergerakan Gamma yang baru saja menolehkan kepala. Iris mengusap wajahnya yang terasa kebas, keki setengah mati. Kalau terus dibiarkan, tingkat keselamatan buah kersennya bisa-bisa jadi terancam. Demi perolehan panen yang sempurna, Iris harus menghentikan semua ini! "Aduh, Kak. Kalau mau main jangan di sini, deh. Nanti ada penunggu pohon kersen yang ikut, lho."
"Maksudnya, penunggu itu kamu?" Gamma mengernyitkan kening, menatap gadis yang tampak duduk nyaman di atas dahan pohon kersen. Ya ... bagaimanapun, kalimat Iris malah seolah sedang mendeskripsikan dirinya sendiri, 'kan?
Baru tersadar, Iris menggeleng-gelengkan kepala. "Ey, bukan! Bukan aku! Aku hanya kebetulan sedang bertugas di sini .... Cepat pergi. Oh! Apa kalian kehabisan ide, dan membutuhkan rekomendasi tempat main?"
Selena terus menengadahkan kepala untuk melihat penampakan di atas pohon dengan jelas. Gamma juga .... Padahal, tingginya nyaris sejajar dengan dahan di mana Iris bertengger, tetapi ia tak menyadari keberadaan makhluk itu sebelumnya.
Iris memperbaiki posisi kacamatanya, lantas menjentikkan jari, mulai bicara panjang lebar layaknya seorang tour guide profesional. "Ada banyak tempat menarik untuk dikunjungi di siang panas begini. Kedai es krim simpang depan, Kafe Yakemizu, dan yang paling spektakuler ... Kedai DoDi!" Iris kembali berpegangan pada batang pohon, nyaris terjatuh. Terlalu bersemangat. "Menu andalannya mi ayam pangsit. Dan ... yeah, jika memang itu tujuan kalian, aku akan bersedia meluangkan waktu untuk ikut ditraktir."
Alis Gamma berkedut, kenapa pembicaraannya jadi ke arah sana? Tidak penting. Gamma langsung berbalik dan bersiap meneruskan langkah, meninggalkan celotehan Iris. Namun, lagi-lagi, Selena yang menghentikannya.
Di atas dahan pohon kersen, Iris malah termenung, tampak loading. Sebenarnya, sinetron macam apa yang sedang berlangsung secara live di hadapannya?
Sementara itu, di penjuru Persatas yang lain, Juno baru keluar dari ruang guru. Lelaki beriris cokelat gelap itu meregangkan otot pundaknya. Misinya hari ini sudah usai, saatnya pulang.
Juno menguap lebar, membayangkan pelaksanaan agenda untuk menjelajahi alam mimpi, sesampainya di rumah nanti. Akan tetapi, semesta tampaknya memang selalu punya alasan untuk menghadang hasrat Juno.
Di food court Mang Dod, Juno celingukan. Beberapa menit lalu, Juno sengaja meminta Iris menunggu di sini. Demi kesejahteraan bersama, sekaligus upaya untuk menjamin Iris tetap jinak, Juno sudah membelikannya seporsi mi ayam pangsit. Mangkuk dengan bekas kuah kari itu masih tergeletak di atas meja, ditemani sebuah tas hitam bermodel unyu dengan karakter penguin yang timbul, tetapi anaknya sudah menghilang.
Setelah berpikir sejenak, Juno pun menggendongkan tali ransel itu di sebelah pundak kirinya. Padahal tasnya sendiri saja sudah cukup berat karena memuat buku notulen rapat OSIS, lebih tepatnya di departemen bela negara. Juno menyugar rambutnya ke belakang, tampak frustrasi. Matanya melirik karakter penguin yang menyembul di ransel Iris. Baiklah. Penguin itu tampaknya sedang menertawakan penampilan unyu Juno.
Habis sudah harga diri yang selalu diagungkannya. Aih. Direpotkan berapa kali pun oleh Iris, rasanya Juno tak akan pernah bisa beradaptasi. Baru hendak mengambil langkah seribu untuk mencarinya ke setiap sudut Persatas, langkah Juno langsung dihentikan suara berat Mang Dod. "Juno? Mi ayam pangsitnya?"
Menyadari maksud dari kode itu, Juno pun membalikkan badan, lantas memasang cengiran tanpa beban. "Oh iya, Mang. Ini uangnya, ya. Delapan ribu, 'kan? Dadah!"
Setelah menyerahkan bayaran untuk mi ayam pangsit yang dimakan Iris, barulah Juno berlarian ke sana-sini. Kedua manik matanya terus memindai sekitar, berusaha menangkap presensi gadis mini berambut pendek dengan kacamata bulat di pangkal hidungnya yang pesek.
Tidak ada. Juno sudah mencari di perpustakaan, taman dekat laboratorium, juga di antara kerumunan siswa yang mengerubungi tukang es serut melon di depan gerbang. Tidak ada! Juno berpikir keras. Ada yang dia lewatkan .... Iya! Halaman belakang!
"Gam, mau sampai kapan kamu terus-terusan mengabaikan aku? Kenapa kamu enggak pernah mau sekadar berbalik untuk mencoba memahami, dan ...."
"Berisik!"
"Gamma! Kamu enggak ingat, semua memori tentang kita yang tersimpan rapi di setiap sudut file bernama kenangan?"
"It's over!"
Mendapati begitu ributnya situasi di halaman belakang, Juno bergegas menghampiri pohon kersen di samping lelaki yang tampak marah tadi. Baiklah. Bagaimana bisa Iris jadi terjebak di antara perseteruan dua manusia itu? Aduh. Juno hanya meninggalkan Iris beberapa menit untuk mengoordinasikan beberapa hal pada Pak Uzaz—wakasek pembina OSIS—mengenai program kerja terbarunya. Hanya sebentar, tetapi Iris sudah berada di tengah kekacauan saja.
"Ayo, Ris. Pulang!" Juno menarik pergelangan kaki Iris yang terjulur, persis seperti seorang ibu yang tengah memarahi anaknya karena terus-terusan main tanpa mengenal waktu.
Akan tetapi, didekati begitu, tangisan Iris malah pecah. Isakan kencangnya mengalahkan perdebatan yang terjadi di antara Gamma dan Selena. Kini, semuanya memandang Iris dengan tanda tanya.
Juno yang paling panik. Tangannya terulur untuk mengelus lutut Iris. "Aduh, kok nangis? Kenapa? Kamu lupa caranya turun, Ris? Enggak apa-apa, biar aku bantu. Yuk. Enggak usah takut."
Rengekan Iris makin kencang. Kepalanya menggeleng-geleng tiada henti. "Bukan itu! Buah kersen Iris yang tadi jatuh ... malah Juno injak!"
Apa? Juno tersentak, langsung mengalihkan pandangan pada butir-butir kecil yang terasa lunak ketika disapa sepatu hitamnya. Oh, tidak.
"Tanganku sampai pegal-pegal untuk memetiknya, tadi." Iris mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tak mau menatap balik lelaki di hadapannya. Dengan tampang lemas, Iris mengembuskan napasnya berat.
"Buah kersen Iris mau aku ganti? Mau aku manjat juga?" tawar Juno, pasrah. Ia tak memiliki pilihan lain. Bukan apa-apa. Kalau sudah begini, Iris bisa tahan begitu lama di atas pohon.
Rambut hitam sebahu itu melambai-lambai di udara, seiring gerakan kepalanya yang menggeleng berulang kali. "Enggak usah! Nanti pas diangkat, ketiaknya bau!"
Seketika, tatapan memelas Juno langsung berubah menjadi muka nista bertabur aib. Kedua sudut bibirnya terbentang nyinyir. Juno mendelik sebal, sambil mengomel dalam hati. Dia memang tak akan pernah menang jika berurusan dengan Iris. "Terserah. Di rumah nanti, mau makan sama ayam krispi?"
Cemberut Iris mendadak menjelma jadi senyuman paling manis yang pernah diterima Juno seharian ini. Kikikan kecil meluncur polos dari mulut Iris. Gigi kelinci itu menyembul di antara kedua bibir tipisnya. Tanpa tahu diri sedikit pun, Iris tahu-tahu merentangkan tangannya ke depan.
Menyadari kode menyebalkan itu, Juno pun hanya bisa memutar kedua bola matanya muak. Akan tetapi, seperti biasa, Juno menanggapi gerakan itu. Dengan pundak kiri yang masih menggendong tas berkarakter penguin, tangan kanannya terjulur untuk merangkul badan mini Iris. Oh, bagus. Sepertinya, Juno sudah cukup profesional untuk membuka jasa layanan penitipan anak.
Tanpa merasa berdosa, gadis itu bergumam riang, layaknya baru saja dianugerahi kemampuan untuk terbang, walau hanya sepersekian detik. Iris mendarat dengan sangat bahagia.
Untunglah dia Iris. Kalau bukan, sudah sejak awal Juno dorong gadis itu sampai nyusruk dan berakhir seperti buah kersen yang terinjak di bawah sana.
"Bisa berhenti ngedrama enggak, sih?"
"Gam, sekali saja ...."
Berkisar dua meter jaraknya dari phon kersen, Gamma dan Selena kembali melanjutkan pertengkaran yang sempat tertunda. Tak tahan lagi dengan Selena yang terus menghalangi jalannya, Gamma pun tak lagi menghindar, kini maju untuk mengintimidasi Selena. "Sekali lagi kamu bicara, jangan harap besok-besok masih bisa bersuara."
Selena langsung menundukkan kepala. Kakinya mundur teratur. Mengerikan. Juno yang hanya menyaksikannya saja sampai meneguk ludah. Kakak kelas itu .... Kak Gamma, anak kelas XI MIPA-4, dengan torehan prestasi di poin negatif siswa yang hampir menyamai rekor Moreno. Bedanya, Gamma terkenal jauh lebih tenang dan mengandalkan intimidasinya, dibandingkan sikap urakan nan anarkis semacam Moren.
Siapa pun tahu, berurusan dengan lelaki itu adalah suatu hal yang berbahaya. Juno saja menciut. Di OSIS, yang berani menegur Gamma hanyalah staf inti, juga anggota departemen kedisiplinan, khususnya Mat, satu-satunya anak kelas sepuluh yang tidak mengenal kata takut. Juno meneguk saliva, mulai gelisah. Sebisa mungkin, bertingkahlah seolah kamu tidak melihat apa pun, Juno, nasehatnya dalam hati.
"Ris, ambil tasmu. Memangnya aku ini asisten priba ...."
Di saat Juno sudah berniat menyerahkan ransel hitam itu, barulah Juno sadari bahwa eksistensi Iris sudah menghilang dari sebelahnya. Ke mana lagi, anak itu!
"Kak, Kak, sudah, dong! Ini sudah mulai sore, lho. Pulang aja, yuk!"
Demi kaus kaki lecek yang sudah berbulan-bulan tidak Juno cuci! Juno melotot begitu mendapati Iris yang sudah pasang badan di depan Selena, berhadapan langsung dengan Gamma. Terlebihnya lagi, Iris menentang Gamma yang sedang emosi! Apa anak itu benar-benar sudah gila?
Sudahlah! Tidak ada waktu untuk mencarikan letak rasionalitas Iris yang ketinggalan. Juno langsung memasuki medan perang, lantas menarik-narik lengan Iris.
"Oi, Ris! Ayo, pulang! Bunda sudah menunggu!"
Seruan panik Juno tidak menghentikan ocehan Iris. Gadis itu masih saja bersikeras di posisinya, menatap Gamma tanpa segan. Iris meneruskan ceramahnya, "Sudah, ya. Jangan berantem terus. Nanti dimarahi Pak Uzaz!"
Mendengar nama wakasek keamanan itu membuat Juno semakin bersusah hati. Nasib baik, badan cebol Iris tidak punya tenaga sekuat Juno. Juno berhasil menarik Iris untuk memasuki lorong penghubung halaman belakang sekolah dengan lapangan. Begitu Gamma dan Selena sudah menghilang dari jarak pandang, barulah Juno angkat suara. "Aduh, Ris. Apa-apaan ancamanmu itu? Kak Gamma sudah kebal, pelanggan tetap di Ruang BK. Pak Uzaz bukan lagi hal yang spesial! Enggak akan mempan!"
"Eh, tapi, kan, kalau Pak Uzaz tahu ada ribut-ribut, pasti langsung ditindak, 'kan? Pelanggaran!"
Juno mendesah pasrah sambil menyerahkan ransel Iris. "Kamu enggak sadar diri, ya? Merusak tanaman itu pelanggaran juga! Tadi, Iris panjat seenaknya, 'kan?"
"Ih, Iris enggak merusak, tuh. Cuma metik kersen. Itu namanya memanfaatkan fasilitas dan sumber daya alam yang ada. Juno yang langgar! Malah injak kersennya sampai hancur!"
Juno menahan rasa keki setengah mati di dalam hati. Sabar, sabar. Iris memang selalu saja menang dalam perdebatan kecil begini. Sudah biasa, 'kan?
Iya, begitu. Namanya juga Iris. Seenaknya. Seenaknya mengambil keputusan, seenaknya dalam bertindak, dan seenaknya menjebak Juno dalam perasaan tak menentu.
Tunggu, apa?
• 🦁 🐧 🐻 •
Yeay, chapter pertama resmi meluncur ke outer space! /Eh.
Gimana first impression-nya? Betewe ya, aku mau menjelaskan soal filosofi judulnya lebih detail. Nama tokohnya juga punya makna tertentu, lho! Aku akan menjelaskannya di konten Instagram @wanderspace_ yang in syaa allah akan di-update setiap hari Selasa dan Sabtu. Stay tune!>.<
G-GANTENG BANGET GA SIH!😭 /skip
See u next page!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top