🚀Tentang Angkara Suara Rasa
Langit kelabu di sepanjang perjalanan pulang Juno seolah menyimpan berjuta kisah. Tentang Juno, dengan rasa bersalah, kekhawatiran, dan semestanya yang sedang tidak baik-baik saja. Hujan nyaris turun. Rintik kecilnya memberi spoiler pada punggung tangan Juno yang sedang menggenggam setang sepedanya. Juno mempercepat kayuhannya.
Tanpa perlu pikir panjang, begitu sampai, Juno langsung menyimpan sepedanya di halaman depan rumah Iris. Biarlah Akashi diguyur hujan sore ini. Toh, sepeda merahnya itu belum dimandikan selama sebulan penuh ini.
Masih dengan ransel hitam di punggung, Juno mengetuk pintu. Tak perlu waktu lama, daun pintu itu terbuka dan menampilkan sosok wanita tiga puluhan. "Juno?"
"Uhm, Iris-nya ada, Bunda? Udah enggak apa-apa?" Juno memperbaiki tali ransel di pundak, berusaha tidak menghiraukan perasaan bersalah sekaligus malu pada Ana.
"Ah, iya. Habis minum obat dan tidur siang, Iris udah baikan, kok. Sebentar, ya." Kini, Ana bergerak menaiki anak tangga menuju kamar Iris, lantas berteriak kencang, "Ris, ke sini! Ada Juno, nih."
Di atas ranjang kamarnya, Iris sedang rebahan seraya asyik membuka-buka buku astronomi. Tentang black hole dan singularitas. Gila! Iris sungguhan kecanduan dengan materi yang masih penuh misteri tersebut. Akan tetapi, dunianya harus terhenti sejenak begitu mendengar seruan bundanya. Tanpa aba-aba, Iris langsung menutup buku setelah menyelipkan tangan untuk menandai halaman yang belum habis dibacanya, lalu menyembunyikan diri di balik selimut tebal berkarakter penguin.
"Hei, Ris. Iris? Masa tidur lagi, sih?" Sambil memeriksa suhu tubuh Iris, Ana menyingkap selimut, lalu membiarkan punggung tangannya menjelajahi dahi dan leher putrinya. Suhunya sudah tidak terlalu tinggi, kok. Pada akhirnya, sudut mata Ana menangkap eksistensi buku astronomi di genggaman tangan Iris. "Oh, gitu, ya."
Lihatlah anak itu! Jelas-jelas beberapa menit lalu sudah melapor pada Ana bahwa dirinya merasa sangat sehat dan bosan tiduran terus di atas kasur. Akan tetapi, kali ini, Iris malah berlagak kelelahan sambil memejamkan mata tanpa merasa harus merespons seruan Ana dari lantai bawah. Kebiasaan. Anak itu pasti tidak menyadari bahwa dirinya sudah terpergok sedang sibuk membaca buku astronomi sebelumnya.
"Lho, buku astronomi yang di rak, kok, enggak ada? Di mana, ya?" gumam Ana, berakting sedang menjelajahi sekeliling kamar Iris. Diam-diam, Ana menahan senyuman, bermaksud pura-pura tidak tahu begitu mendapati tangan Iris bergerak kecil untuk menyembunyikan buku di balik punggungnya. Perlahan-lahan, Ana mendekat, lalu bertepuk tangan sekali. Tawanya tak bisa terbendung ketika melihat badan Iris yang refleks terlonjak kaget dan membuka mata. Ana menutup mulut. "Perasaan tadi ada nyamuk lewat, deh. Kok, enggak ketangkap, ya?"
Berusaha untuk tidak menghiraukan kenyataan bahwa bundanya tahu mengenai Iris yang pura-pura terlelap, anak itu malah asyik meregangkan badan saat ini. "Bunda? Ada apa?" tanya Iris, sok polos.
"Ke bawah, yuk. Ada Juno."
Dengan tampang ogah-ogahan beserta keluhan tertahan yang enggan ketinggalan, Iris pun turun dari kasur dan menerima uluran tangan Ana. Ya sudahlah. Akan lebih merepotkan kalau bundanya menyadari ada sesuatu yang salah di antara Iris dan Juno. Bisa ditanyai macam-macam, atau bahkan menjadi bahan utama gosip bersama Mama Mega di perempatan gang setiap pagi, sambil menunggu datangnya tukang sayur.
Supaya tidak memperbesar masalah yang tidak diperlukan, Iris akhirnya turun ke lantai bawah. Di belakang punggung Iris, Ana memegangi pundak Iris, mengantisipasi adanya kemungkinan anak itu untuk kabur tanpa alasan. Senyuman lebar tak henti merekah di kedua sudut bibir Ana, tentu saja ditujukan pada Juno. "Juno mau ajak Iris cari udara segar? Nangkring di dekat Cimulu? Atau mau di halaman aja? Iris tadi bilangnya udah sumpek di kamar terus, kan, ya. Kasihan."
Helaan napas pasrah keluar dari mulut Iris. Kenapa bantahan Iris ketika Ana menyuruhnya tetap beristirahat tadi siang malah digunakan bundanya untuk menyerang balik begini?
"Di halaman aja Bunda, kalau boleh. Tadi udah ada gerimis, sih." Malah Juno yang menjawab.
"Eh, iya?" Raut muka Ana langsung serius, tak lagi bermain-main. Ditengoknya keadaan sekitar rumah lewat jendela. Dengan sigap seperti biasa, Ana bergerak ke luar rumah untuk mengecek jemurannya. "Yah, masih basah. Aduh. Belakangan ini hujan terus. Enggak ada panas. Jemuran jadi enggak kering, bisa bau, nih."
Di bawah tatapan Iris dan Juno yang malah bergeming di halaman depan, Ana sibuk sendiri, mengangkut pakaian yang belum sepenuhnya kering di pundak.
"Bentar, ya. Bunda bawa jemurannya ke lantai atas dulu, buat diangin-angin."
Sepeninggalan Ana, kini Iris dan Juno malah saling terdiam. Juno mengutuk dalam hati. Sekarang apa? "Uhm, gimana kondisinya, Ris?"
Kenapa kaku sekali! Pertanyaan yang tidak kreatif. Kalau Ana tahu, Juno bisa ditertawakan habis-habisan. Terlalu basa-basi! Toh, kalau cuma menanyakan itu, Juno sebelumnya juga sudah mengajukan pertanyaan yang sama pada Ana, 'kan? Iris mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari jawaban yang sebenarnya tak akan pernah ia temukan di halaman depan rumah. "Baik, kok. Besok juga sekolah."
"Enggak ngambil izin dulu satu hari?"
Iris mengangkat bahu. Atmosfer di sekitarnya sudah lebih cair saat ini. Iyalah ... kenapa juga Iris harus secanggung itu hanya untuk menjawab suatu pertanyaan berbahasa manusia yang jelas masih bisa dimengertinya? "Enggak, ah. Ada ulangan harian biologi. Sayang kalau ketinggalan. Bentar lagi juga Persatas Day, kan ... masa enggak jadi tampil."
Mendengar Persatas Day, acara ulang tahn Persatas di tanggal 25 Maret, hari Kamis mendatang, Juno jadi teringat kisah yang telah lampau. Dulu, sewaktu keduanya baru lulus SMP, Iris pernah menangis karena tidak memenangkan kontes menyanyi di acara kompetisi tingkat kota yang diadakan suatu SMA.
Demi menenangkan dengan memberitahu Iris bahwa suaranya bagus, Juno pernah berjanji akan menyanyi untuk memperlihatkan betapa jauhnya tingkatan kualitas menyanyi Iris yang di atas Juno. Terdengar bodoh, memang. Tak heran, begitu tahu ada pentas seni di hari kedua Persatas Day, Iris langsung menagih janji itu.
Juno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iris masih mau paksa aku ikut tampil?"
"Iyalah! Kata Juno, kan, Juno tetap mau tampil nyanyi meski tanpa latihan bareng Hexatas Voice dari jauh-jauh hari." Iris menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. "Janji, lho, itu."
Demi mendengar kalimat itu, Juno meneguk salivanya susah payah. Apa boleh buat. Dia laki-laki, harga dari seorang lelaki terletak pada seberapa erat ia menggenggam janji dan tanggung jawab, 'kan? Tiba-tiba, Juno teringat lagi dengan tujuan utamanya menjenguk Iris. Mata hitam legam Juno mulai berlarian ke sana kemari, kebingungan harus memulai dari mana. "Soal yang hari Jumat kemarin ... maaf, ya."
Sadar dengan apa yang sedang terjadi di antara keduanya, Iris langsung menunduk. "Maaf juga kalau Iris selama ini ... hanya membebani Juno."
Suara Iris mendadak serak seolah menahan tangis. Kemuraman yang tampak pekat di sosok mungil itu tentu saja membuat Juno langsung menghadap Iris, gelagapan. "Enggak gitu. Aku ... aku enggak maksud gitu." Aku cuma kecewa sama diri sendiri, batin Juno. Tidak. Tidak mungkin Juno mengatakannya. Merasa tak mampu menemukan kata-kata yang pas, Juno pun mengembuskan napas berat. "Aku ... kelewatan. Maaf."
"Tahu, enggak, sih ... Juno? Ada pertanyaan yang terus mengisi malam-malam sebelum Iris tidur, sejak dua minggu yang lalu." Setelah mengukuhkan hati bahwa dirinya tidak boleh terlihat tak berdaya di depan Juno, Iris pun mengangkat kepala. Akan tetapi, sekeras apa pun usahanya, manik cokelat terang itu tetap tak bisa menyembunyikan serpihan kaca yang siap pecah menjadi air mata di sana. "Sahabat sama pacar itu ... sebenarnya bisa berjalan seiringan, enggak, sih?"
Sesaat, seolah ada yang jahil menghentikan semesta Juno untuk beberapa detik lamanya. Juno terpekur dalam diam, membiarkan hanya angin sore yang membisiki rimbun dedaunan di sekitar. Di luar kendalinya, benak Juno langsung terisi oleh kejadian sewaktu jam istirahat tadi di sekolah. Kak Gamma, dan berjuta rasa bersalah Juno. Sedari awal, apakah status pacar dan sahabat ini tidak akan pernah bisa akur?
"Juno ... kalau Juno, Juno sedih, enggak, pas tahu Iris punya pacar?"
Demi suara cicit burung yang mengabarkan anak-anaknya untuk berteduh karena hujan lebat telah turun, tetapi malah terdengar sebagai suatu cemoohan menyebalkan di telinga Juno! Astaga. Sampai denyut jantungnya yang terkini, Juno tak pernah mengira akan ditanyai seperti itu, sebelumnya. Juno menjilati bibir bawahnya yang terasa kering.
Bukan sedih. Aku hanya masih belum terma kalau pacar yang Iris bilang itu bukanlah aku.
Melenceng dari rencana dan suara hati yang sudah menyeruak di penjuru jiwa sana, jawaban Juno justru .... "Enggak, kok. Yeah ... apa boleh buat. Pacar mungkin memang sudah semestinya jadi prioritas utama. Tapi masa aku larang? Selama Iris nyaman, aku enggak masalah."
Meski sudah mendengarnya dengan jelas, Iris masih membisu, memandangi Juno yang kembali sibuk menghindari tatapan Iris.
Iris masih menunggu, tampak belum puas dengan jawaban yang keluar dari mulut Juno. Apa-apaan ini, Ya Tuhan? Juno pun memaksakan diri untuk balas menatap netra cokelat terang Iris. "Memang begitulah peran sahabat, 'kan? Support system, mendukung semua keputusan teman selama tidak berefek negatif."
"Terus kenapa Iris cuma boleh minta tolong ke Gammy?" Kedua mata yang sedang tidak mengenakan kacamata bulat itu tak mampu lagi menahan sesuatu yang sudah mendesak di dalam sana. Perlahan, cairan bening menyeruak dari pelupuk mata Iris, menjejaki buntalan tebal pipinya seketika. Iris teringat kemarahan Juno yang malah menyuruhnya minta tolong ke Gamma saja. Terdengar sepele, tetapi itu cukup mengusik perasaan Iris. "Apakah ... kalau punya pacar, kita enggak bisa mengandalkan sahabat lagi, ya?"
Bukan begitu. Itu hanya bahasaku yang ingin menjadi satu-satunya yang bisa kamu andalkan, Iris. Aku egois. Aku hanya ingin peran pacar dan sahabat itu cuma diisi sama aku. Serakah banget, ya?
Mega jingga di atas garis cakrawala mengantarkan pasukan rintik yang jatuh ke bumi dengan berjuta penyesalan. Disaksikan mentari yang hendak kembali ke peraduannya, Juno menunduk dalam, tak mau mendapati kedua netra cokelat terang yang selalu menjadi favoritnya itu turut menurunkan hujan deras. "Maaf." Maaf karena selalu egoku yang bicara.
• 🦁 🐧 🐻 •
Juno sad boy? Xixixi
Btw update di hari selasa besok udah masuk 10 chapter terakhir!🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top