🚀Semesta Juno yang Katanya Iris-sentris
"I just sick of this fake love! Fake love! Fake love!"
Seisi kelas X MIPA-3 dipenuhi suara-suara syahdu seperti kentut perkutut dari duo spesies yang eksistensinya jadi polusi terhadap lingkungan sekitar. Di pojokan kelas, Juno menguap lebar. Tak punya pilihan lain selain menumbalkan telinganya untuk mendengar nyanyian Alfa-Luisa yang sedang kumat.
Jam pelajaran pertama, dan Pak Prana belum memperlihatkan tanda-tanda akan muncul memasuki kelas. Juno menarik earphone dari tas, bersiap menyumpal telinga, juga menyalakan ponsel yang sejak berangkat sekolah tadi memang sengaja dimatikan. Akan tetapi, atensi Juno teralihkan pada seruan Alfa yang menjeda nyanyiannya.
"Jun! Juno! Ada yang cari, nih."
Meski tidak dalam mood yang begitu baik, akhirnya Juno memilih bangkit ke luar kelas. Sebagai anak OSIS yang selalu disibukkan pekerjaan, Juno sudah terbiasa dipanggil untuk rapat dadakan atau sekadar menghadapi kakak kelas yang melabrak. Oke, untuk opsi terakhir itu cukup mengerikan, Juno tidak begitu biasa. Namun, apa boleh buat. Biasalah, tuntutan pekerjaan, kilahnya.
Alis tebal Juno terangkat begitu mendapati yang tengah berdiri di bingkai pintu kelas adalah Iris dan Bintang. "Apa?"
Iris tidak langsung menjawab pertanyaan Juno. "Juno kenapa enggak aktif WhatsApp-nya? Tadi aku diminta Bintang buat chat Juno."
Juno mengerjap-ngerjapkan mata, cukup kebingungan, menatap Iris dan Bintang yang sama-sama lebih pendek dari bahunya, secara bergantian. "Iris juga tahu, kan, semalam aku lupa mengisi daya ponsel. Makanya, sejak berangkat sekolah tadi dimatikan, buat penghematan. Kenapa, memang?"
Barulah Bintang—teman sekelas Iris di X MIPA-1—yang menjawab, "Mat di mana, ya, Jun? Tadi, jaga gerbang bareng Juno, 'kan? Aku cari di dekat gerbang, enggak ada anak OSIS."
"Oh, iya. Waktu aku mau ke kelas, dia masih merekap poin negatif siswa, deh, sama Kak Melvin. Coba cek ke Ruang OSIS, Bi."
Setelah mengangguk-angguk, Bintang pun menoleh ke arah Iris. "Ris, kamu ke kelas duluan aja, deh. Aku mau ke Ruang OSIS. Makasih!"
Bintang melambaikan tangan, lantas berlalu begitu saja. Iris balas melambai.
"Demi kerang ajaib dan celana Patrick yang enggak ganti-ganti! JJK, kamu kapan jeleknya? Tingkat gantengnya bisa lebih manusiawi sedikit, enggak, sih?" jerit Luisa ketika menggulirkan layar ponselnya untuk memilih music video mana yang akan dinyanyikannya sembari menghalu tiada batas. Di sebelahnya, Alfa duduk manis, tampak tidak berkeberatan atas apa pun pilihan Luisa.
Masih di bingkai pintu kelas, Juno menolehkan kepala. Sebelah alisnya terangkat, dan siapa pun tahu betul bahwa mode menyebalkannya akan bangkit. Salah satu sudut bibirnya ikut naik. "JJK, maksudnya Juno Juno Kenandra? Gantengnya kebangetan ... yah, aku sudah tahu, kok. Enggak usah dibilang."
"Lho," timpal Iris dengan kening mengernyit, bertanya-tanya, "bukannya JJK itu anime Jujutsu Kaisen?"
"Astaga, JJK tuh Jeon Jung Kook! Jangan menodai pesona paripurna masa depanku dengan omong kosong soal kartun anak-anak, juga kenarsisan yang terlalu memaksakan kehendak itu!" semprot Luisa, membuat Iris hanya bisa menelan ludah lalu menghilang dari wilayah yang sudah dikuasai sosok Army garis keras sejenis Luisa.
Iris sudah kembali ke kelasnya, Juno pun beranjak menuju bangkunya di pinggiran baris tengah. Juno meraih earphone, bersiap untuk menenggelamkan diri dalam dunianya sendiri. Akan tetapi, semua itu batal seketika saat Alfa menyeret kursinya ke dekat bangku Juno.
Anak futsal yang tidak begitu tinggi itu bersedekap di atas meja Juno, menatap Juno dengan tampang serius tanpa menghilangkan cengiran lebar khasnya. "Pssst, Jun! Aku mau ngasih kamu challenge. Jawab pertanyaanku dengan cepat, jangan lebih dari tiga detik. Siap?"
Kedua bola mata Juno mendelik muak. Aduh. Apa untungnya, sih, menanggapi spesies tidak penting seperti Alfa? Juno meregangkan pundaknya, tak begitu peduli. Namun, Juno menyadari bahwa kenyataan mutlaknya, jika tidak segera ditangani, maka Alfa akan terus mengusik Juno seharian. Ya sudahlah.
"Pilih salah satu, ya. Ingat! Jangan terlalu lama berpikir." Alfa mengusap-usap telapak tangan, layaknya seorang dokter bedah yang akan praktik untuk menentukan hidup dan mati seorang pasien. "Iris atau Bintang?"
Kedua alis tebal Juno seketika mengerut, tidak paham. Pertanyaan macam apa itu? Tanpa perlu dijawab sekalipun, Alfa sudah tahu betul nama siapa yang akan disebutkan Juno. "Iris."
"Iris atau Luisa?"
Sesaat, Juno melirik Luisa yang sedang asyik memuaskan jiwa fangirl-nya di depan bangku Juno. Tanpa disadari siapa pun, diam-diam, Luisa menajamkan pendengaran, berusaha menangkap informasi dari percakapan kedua teman sekelasnya.
Juno kembali memandangi Alfa dengan sorot mata yang malas, tak mau melanjutkan pembicaraan bodoh ini. Meski begitu, bibirnya kembali sedikit terbuka. "Iris."
Cengiran Alfa terus melebar. Mengerikan. Kalau ada lomba cosplay jadi Joker, Juno yakin, Alfa pasti juaranya. Tatapannya semakin sulit diartikan. Terlalu abstrak. Gigi rapinya yang besar-besar pun menyembul di antara kedua bibir. "Bintang atau Luisa?"
"Iris," tukas Juno. Cepat sekali. Alfa saja belum sempat merapatkan bibir.
Mencoba bersabar dan menahan diri untuk tidak mengumpat, Alfa kembali berkata pelan-pelan. "Aku enggak sebut Iris sebagai opsi, ya. Aku cuma suruh kamu pilih, Bintang atau Luisa."
"Iris."
Refleks, Alfa menggebrak meja sampai Luisa yang masih menguping di sana pun terperanjat, kaget. Alfa mengacak-acak rambutnya yang sedikit bergelombang, frustrasi. "Argh, yang barusan itu bukan pertanyaan! Kamu harus dikonsultasikan ke psikiater khusus orang bucin stadium akhir, deh, Jun."
"Seenggaknya, gak ada produk yang dilabeli 'membucin membunuhmu' di dunia ini. Aman."
"Sumpah, ya, Jun." Alfa mangap lebar. Kepalanya terus menoleh ke sana kemari bagai baling-baling versi slow motion, seolah mencari kata-kata yang mendadak lenyap. Dilihat dari ujung sedotan pun, Alfa tampak frustrasi menghadapi seorang Juno. Alfa menyugar rambut, menghentikan atraksinya lantaran pusing yang mulai menghampiri. "Kamu enggak pernah punya beban buat terang-terangan di kelas, tapi enggak pernah berani sekali pun buat bilang ke Iris langsung."
"Ya kali terus terang tanpa ...."
"Harusnya, aku rekam interview singkat tadi saja." Alfa mendesis, penuh penyesalan. Mata lebarnya melirik punggung Luisa. "Oh, Lu! Kamu bisa jadi saksi, 'kan? Kita gelar persidangan buat kejelasan hubungan Juno sama Iris!"
Mendapati antusiasme Alfa yang sudah menghambur ke depan bangku gadis itu, Juno langsung melotot. Di sisi lain, Luisa tak bisa menghindar. Muka menyebalkan Alfa yang selalu melebarkan cengiran tanpa beban itu mendadak terpampang begitu dekat. Refleks, Luisa menabok muka Alfa dengan mantap. Cukup kuat hingga kepala Alfa terpental menjauh untuk sesaat. Akan tetapi, perlakuan kasar itu tidak memudarkan senyuman juga semangat juang Alfa yang membara.
"Lulu! Ayo, kita jadi sak ...."
"Saksi apa, sih?" tanya Luisa dengan kening mengernyit, tampak terganggu dengan kehadiran makhluk buluk di hadapannya. Luisa kembali memusatkan atensi pada layar gawai di genggaman tangannya.
Tak menyerah, Alfa pun bertanya lagi. "Soal pengakuan tidak langsung dari Juno, Si Master Bucin, tadi! Lulu juga mendengarnya, 'kan?"
"Enggak, tuh." Luisa bangkit dan memilih untuk keluar kelas. Para penghuni berukuran mikro di dalam perutnya sudah gonjang-ganjing minta diisi. Sepiring batagor Mang Dod pastilah mantap.
Mendapati kepergian Luisa, Alfa beringsut kembali ke bangku Juno. Kedua bahu dan alisnya sama-sama terangkat keheranan atas perubahan sikap Luisa yang drastis. Padahal beberapa saat lalu, anak itu masih bernyanyi-nyanyi kegirangan, kenapa sekarang menjelma jadi badak PMS? Oh, apa Luisa sedang membaca komentar haters yang ditujukan pada idol-nya?
Meski inisiatifnya tidak berjalan dengan mulus, Alfa sudah menyalakan binar penuh semangat di kedua manik mata cokelatnya. Alfa mencengkeram bahu Juno dengan menggunakan tenaga dalam. "Yeah, tak apa, Bung. Mungkin, ini tandanya kamu harus berjuang lebih dulu! Jangan risau .... Mulai hari ini, aku akan menjadi mentormu dalam menguasai keilmuan buaya dan per-betina-an."
"Sesat, dan Iris bukan sekadar betina biasa." Juno memasang senyuman miring, merasa menang. Yah ... Iris memang abnormal. Rasanya, artikel 100 Kiat untuk Menghadapi Wanita saja tidak akan cukup. "Kamu enggak akan paham."
"Iris lagi! Aku enggak bilang keilmuan itu secara spesifik hanya untuk Iris, lho. Gotcha! Kena lagi!" pekik Alfa, diiringi gelak hebohnya, puas sekali. Juno sampai ingin menjejali mulut tanpa adab itu dengan kersen-kersen yang Juno injak di halaman belakang, kemarin.
Juno memutar bola matanya kesal. Tak dapat dipungkiri, pernyataan Alfa benar juga. "Tapi, tadi kamu bahas Iris."
"Itu, kan, maunya Juno! Aduh, Jun! Enggak usah ngelak terus, deh. Jadilah gentle seperti mentari di tengah siang terik, jangan malah pengecut dan bersembunyi seperti bintang-bintang di balik langit gelap!"
Quotes dadakan dari seorang Alfa yang tidak ada estetiknya itu mendapatkan kernyitan kontradiksi dari Juno. "Matahari juga bintang, lho, Fa. Jangan subjektif, dong! Mentang-mentang matahari adalah bintang yang paling dekat ke bumi, dengan jarak satu astronomical unit, kamu sampai membutakan diri dari sinar bintang lainnya?"
"Juno, kok ...."
Sesaat, Alfa loading, apalagi begitu mendengar protes Juno yang terdengar ilmiah di telinganya. Tunggu. Seorang Juno yang tidak pernah masuk ranking sepuluh besar di kelas, tiba-tiba membicarakan suatu hal yang keren?
Menyadari sesuatu, Alfa pun melebarkan mata dengan bibir yang membulat sempurna. "Ah! Pasti karena Iris! Katanya, Iris masuk tim astronomi buat Kompetisi Sains Nasional dari Persatas, ya? Ah ... enggak aneh kalau Juno sampai ikut tertarik buat belajar begituan ...."
Tak lupa disertai seringaian meledeknya, Alfa terus memangkas jarak dengan Juno. Juno mendelik. "Apa?"
Secepat gerakan ibu-ibu ketika mengambil daster diskonan di pasar malam, Alfa bergegas meraih botol minum Juno yang tergeletak di pinggiran tas, lantas didekatkan ke mulut Alfa sendiri, menjadikannya sebagai mikrofon dadakan. Alfa memandangi jendela di samping Juno, seolah sedang rekaman bagaikan seorang host dalam acara lambe turah paling hot di sepanjang sejarah. "Pada akhirnya, lagi dan lagi, semesta Juno memanglah selalu bercerita tentang Iris, Pemirsa. Seperti biasa."
Tak begitu memedulikan ledekan Alfa, Juno memilih untuk menyalakan layar ponselnya, teringat sesuatu. Juno membuka WhatsApp, lantas mengirimkan sebuah chat.
Iris Jelek Kayak Penguin Penyek
Nanti jadi, bimbingan astronomi-nya?
• 🦁 🐧 🐻 •
Hampir lupa apdet! Wkwkw. ALFA MUNCUL! Gimana first impression-mu terhadap makhluk satu itu?:3
Oh! Aku mau jelasin soal maksud dari Iris-sentris, filosofi judul, blurb, dsb ... stay tune di Instagram wanderspace_ ya! Alabiyu!<3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top