🚀Resistansi Kontradiksi
Cukup lama Iris menunggu kedatangan Gamma di dekat gerbang utama. Sudah nyaris pukul tujuh tepat. Kurang dari lima belas menit lagi, gerbang akan ditutup. Gamma tidak sedang sakit atau berhalangan hadir, 'kan? Terus, rencana Iris bagaimana, dong?
Ya sudah. Kalau Gamma belum muncul sampai bel masuk, Iris akan kembali ke kelas dan memberikan kotak makannya pada Gamma saat jam istirahat. Kalau Gamma memang tidak masuk pun, makan sendiri aja!
Nasib baik, di saat keyakinan Iris mulai pudar, sosok tinggi itu pun akhirnya terlihat dari area parkir.
Dengan senyuman yang ditahannya, Iris langsung bersembunyi di pinggiran gerbang. Beberapa anak OSIS yang berbaris di depan gerbang sibuk menyapa formal sambil meneliti kelengkapan atribut setiap anak yang melintas. Gamma tampak tak acuh. Meskipun tidak melanggar peraturan sama sekali, Gamma tetap tak punya alasan untuk bertingkah ramah dan bersahabat.
Iris yang menyembunyikan diri di dekat gerbang, kini melongok ke arah Gamma yang tidak menyadari keberadaannya. Lelaki itu tampak tergesa-gesa, bergerak lurus begitu saja menuju kelasnya.
Dengan tampang tengil ketika mode jahilnya menyala, Iris mengikuti langkah Gemma sambil sedikit berlari. Di bingkai pintu kelas, langkah Gamma terhenti ketika ponsel di sakunya merambatkan getaran singkat. Gamma mengecek pesan WhatsApp-nya.
I-Ris My-Ris
Tengok ke belakang, dong!:>
Meski tak begitu paham, Gamma refleks menoleh ke belakang dengan kedua alis tebal yang mengerut keheranan. Namun, netra hitam Gamma langsung terbuka lebar ketika mendapati sosok Iris yang tengah mengaum sok garang, bermaksud menakut-nakuti, dari balik punggungnya. Gamma hanya terdiam pasrah menghadapi Iris yang kini sudah asyik cekikikan sendiri.
Bocil banget. Gamma mau menangis saja rasanya.
Demi mengingat waktu masuk jam pelajaran pertama dan kenyataan bahwa Gamma masih menunggunya di depan pintu kelas, Iris langsung tersadar dan menghentikan gelaknya. Iris menarik lengan Gamma ke halaman belakang.
Di dekat pohon kersen, keduanya berdiri berhadapan. Iris memasang tampang riang, tampak bahagia sekali menyodorkan totebag di tangannya. "Iris buatin Gamma bekal, lho!"
Gamma tertegun sejenak, tak mampu mengalihkan tatapannya dari sosok Iris yang tampak begitu silau dengan rambut pendek halus yang menari dimainkan melodi angin. Gamma mengerjap. "Eh, iya?" Diraihnya tas jinjing krem tersebut untuk dikeluarkan isinya. Tampaklah sekotak tempat makan berkarakter beruang cokelat yang membuat kedua sudut bibir Gamma terangkat begitu saja.
"Eh, eh, lebih tepatnya buatan Bunda, sih," ralat Iris sambil membiarkan tatapannya beredar ke segala arah, tak berani memandangi reaksi Gamma. Ya ... habisnya bagaimana, ya. Rasanya, Iris seperti sudah melakukan tindakan kriminal yang kelewat jahat, dengan menghilangkan kredit dari makanan yang jelas sudah menjadi hak cipta bundanya. "Semoga Gammy suka!"
"Suka, lah! Apalagi buatannya Bunda." Gamma mengembalikan totebag itu pada Iris. "Kalau yang bikinnya Iris, baru meragukan."
Iris cemberut, tetapi langsung berubah jadi cengiran yang ditahan. Bibirnya menipis. Takut-takut, Iris curi pandang pada lelaki di hadapannya. "Gammy ... maaf soal kemarin, ya. Iris janji enggak akan bicara soal Juno lagi di depan Gammy."
Teringat kembali dengan amarahnya satu hari yang lalu, Gamma langsung menundukkan kepala. Aduh. Dia berlebihan dan memalukan sekali, ya ... kemarin. Gamma sibuk menyugar rambut poninya, lantas menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Mata Gamma berlarian menekuri pijakan, mencari letak di mana harga dirinya yang tersisa. "Enggak apa. Aku kemarin sensi banget. Maaf."
"Wajar, sih. Iris-nya nakal. Enggak sopan. Lagi sama siapa, yang dibicarain malah siapa."
Gamma menggigit bibir bawahnya, gemas. Tak mampu ditahan lagi, tangannya terulur untuk mencubit kedua pipi tebal Iris yang elastis. Jauh lebih empuk dari dugaannya! Gamma susah payah menahan kekehan yang nyaris menyembur dari mulut. Sepertinya, begini, ya, penampakan bakpao kalau diberi nyawa?
Tak peduli dengan aksi Gamma yang sudah memperlakukan pipinya sebagai mainan anak-anak, Iris masih mempertahankan raut cemberutnya yang tampak begitu merasa bersalah.
Menyadari hal itu, Gamma mengembuskan napas berat. Sebelum merentang jarak, tangan Gamma bergerak menepuk kedua pipi Iris satu kali. Senyuman lebar terkembang di kedua sudut bibir Gamma. "Enggak apa. Tapi ... aku boleh minta sesuatu, enggak, Ris? Soal jadwal tanding klub futsal Persatas ...."
Kedua alis tipis Iris sedikit terangkat dan mengerut. Mulutnya membulat, seolah ragu untuk angkat suara. "Tanding?"
"Iya. Iris mau, kan, ikut nonton pertandingannya, jadi supporter tim kita?"
Cengiran lebar melintang di wajah bulat itu. Mata Iris menyipit. "Aaah, nonton tanding. Kenapa enggak? Cie, yang kapten tim futsal, nih, ceritanya!" Kini, anak itu sibuk menyikut-nyikut pinggang Gamma dengan muka menyebalkan.
"Tapi, tandingnya tanggal 4 Juni, jam sembilan pagi ...," kata Gamma, hati-hati. Kedua manik matanya berusaha menenggelamkan diri di antara tatapan kaget Iris. "Waktunya berbarengan sama ulangan akhir semester dua."
Baru menyadari hal tersebut, kedua tarikan di sudut bibir Iris mendadak lenyap. Alisnya terangkat. Dengan kening yang mengernyit dalam, tampaknya anak itu sungguhan tak mau dan tak mampu menerima informasi semacam ini. "Itu juga barengan sama jadwal Kompetisi Sains Nasional yang Iris ikuti, Gammy ... tanggal 4 Juni, olimpiade astronomi."
Sesuai dugaan. Reaksi Iris sudah diperhitungkan Gamma sebelumnya. Anak itu pasti akan memprioritaskan belajar dan mengikuti tes akhir semester. Akan tetapi, begitu tahu pelaksanaan kejuaraan futsal yang berbarengan dengan olimpiade Iris, tampaknya Gamma memang tak punya harapan lain untuk meminta Iris agar mau menonton pertandingannya. Gamma mengembuskan napas berat. "Boleh, ya? Sekali aja. Kalau lolos ke babak selanjutnya, Iris enggak perlu ikut lagi, deh. Yang penting sekali, pas tanding kejuaraan pertama di babak penyisihan ... ya?"
Kedua sudut bibir Iris menekuk ke bawah. Teringat dengan keberadaan dirinya yang berdiri di sini dalam rangka permintaan maaf, Iris jadi tidak enak untuk menolak. Apa seharusnya Iris mengiakan saja? Iris menggeleng cepat. Mana bisa. Tidak boleh begitu. Nasib baik, suara bel masuk yang memenuhi setiap penjuru Persatas benar-benar menyelamatkan Iris. Akhirnya, Iris menatap Gamma dengan serius. "Nanti, deh, ya, Gammy. Iris ke kelas dulu, sekarang."
• 🦁 🐧 🐻 •
Hingga bel istirahat yang disambut pekikan riang anak-anak kelas, Iris masih tenggelam dalam pikiran. Meski begitu, tangannya tak punya jeda sama sekali, terus sibuk menurunkan rumus dan perhitungan magnitudo suatu bintang. Luminositas dan fluks ... oke. Dapat.
Iya. Kalau sudah bingung untuk mengambil keputusan apa atas beberapa pilihan begini, Iris selalu melampiaskannya pada astronomi. Bukan apa-apa, tetapi Iris sungguh lebih memilih untuk mengerjakan soal pilihan ganda OSK Astronomi. Opsinya terasa jauh lebih mudah dibandingkan pilihan hidup begini.
Kepalanya yang sudah dipenuhi antara pengerjaan soal astronomi dan permintaan Gamma, kini teralihkan begitu mendengar suara daun pintu kelas yang diketuk seseorang. Bangku Kiano yang letaknya di baris paling depan, persis dekat pintu, sedang tidak ada pemiliknya. Tak heran, sebagai orang yang duduk tepat di belakang bangku Kiano Si Kuncen Kelas, Iris merasa bertanggung jawab atas keluar-masuk portal X MIPA-1 saat ini.
Baru saja Iris hendak berteriak dari tempatnya untuk menanyai tujuan kedatangan si pengunjung, anak itu sudah lebih dulu membulatkan mata ketika mendapati kepala Gamma yang menyembul di bingkai pintu kelas. Tingginya yang menjulang nyaris menyentuh bagian atas pintu. "Gammy?"
Tak lama, tanpa perlu kata untuk persetujuan satu sama lain, Gamma dan Iris langsung menuruni anak tangga menuju halaman belakang sekolah, lagi. Bukan apa-apa, di koridor ini terlalu ramai. Tidak begitu nyaman untuk dijadikan sebagai tempat berbincang.
Di dekat pohon kersen, angin siang bertiup cukup kencang. Iris dan Gamma sama-sama menyipitkan mata untuk mengantisipasi masuknya debu dan kotoran yang diterbangkan angin.
Karena hanya hening yang mengisi, Gamma pun berdeham untuk angkat suara lebih dulu. "Jadi ... gimana, Ris? Bisa, 'kan? Ambil dispensasi aja, sehari. Aku yang bakalan minta langsung ke Pak Uzaz, pasti dibolehin."
Dengan menyebut guru olahraga sekaligus pembina klub futsalnya begitu, tidak lantas membuat Iris menyetujui Gamma begitu saja. Iris menghela napas panjang. Apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Iris harus menegaskan keputusannya saat ini juga. "Maaf, lho, Gammy ... aku enggak bisa."
Kedua bahu Gamma tampak sedikit merosot. Matanya masih terus bertabrakan dengan tatapan Iris untuk memohon dalam diam. "Kenapa? Kan, ulangan masih bisa menyusul."
"Tapi KSN enggak," timpal Iris, tak kalah kecewa.
"Kalau gitu, masih ada hari besok-besoknya. Kalau tim kita lolos ke babak selanjutnya, Iris mau, kan, buat ambil dispensasi?" Mendapati gelengan Iris, Gamma kembali buka mulut. "Olimpiade cuma sehari, 'kan? Ulangan masih bisa susulan, dan kabar baiknya, Iris bisa belajar lebih maksimal dulu."
"Gammy, aku bukannya enggak mau jadi sosok supportive yang selalu ada buat Gammy. Aku juga pengin bisa ikut nonton, semangatin permainan Gammy. Aku pengin." Iris menunduk sejenak, berusaha mengisi ulang keberaniannya. Setelah itu, kepalanya diangkat kembali, membalas tatapan Gamma lamat-lamat. "Tapi, aku juga punya mimpi."
Gamma memutuskan untuk membisu saat ini, membiarkan Iris membicarakan apa yang ingin disampaikannya.
"Kata Bunda, salah satu fungsi pacar itu sebagai penyemangat dalam menggapai angan. Sekarang, kenapa Iris mulai ngerasa, antara pacar dan mimpi malah seolah saling meniadakan? Kayak pengoperasian bilangan negatif dan positif. Negatif memang tak selamanya buruk, karena kalau Iris adalah ruas kanan dan Gammy ruas kirinya, maka bilangan itu bisa jadi positif buat Gammy ...."
Loading. Oke. Mana bisa telinga dan otak Gamma diajak membicarakan begituan, 'kan?
Menyadari kalimatnya yang terasa ngawur, Iris lekas kembali menegaskan, "Selalu ada yang dikorbankan. Bilangan positif dan negatif itu pasti sedang berperang di dalam diri Iris. Antara ikut permintaan Gammy atau fokus kejar mimpi Iris ... keduanya tinggal menunggu bilangan mana yang memiliki pengaruh jauh lebih besar."
Iris berusaha menunjukkan senyuman setulus mungkin.
"Iris enggak bisa, Gammy. Untuk yang ini, maaf aja, ya. Iris enggak. Sekalipun enggak ada KSN, pasti Iris akan lebih milih buat ikut ujian akhir!"
Gamma ikut memaksakan senyuman. Sudah tidak dapat diganggu gugat, ya? Ya sudah, deh ....
Persis ketika Gamma berniat mengalah atas egonya dan mengajak Iris kembali ke kelas, kalimat yang keluar dari bibir Iris sukses membuat dunia Gamma terasa jungkir balik.
"Gammy ... kita putus aja, enggak, sih?"
• 🦁 🐧 🐻 •
HEHEHEHEH! Lope u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top