🚀Rasa-rasa yang Mengangkasa
Sungguh. Demi upil menyedihkan yang sedang diburu Iris saat ini, Juno tak pernah berpikir bahwa ia terlahir ke muka bumi hanya untuk dijajah oleh makhluk cebol yang tidak tahu diri di sampingnya ini.
"Tuh! Yuk, yuk, seblak! Porsi jumbonya cuma lima ribu."
Baru saja Juno menyimpan helm keduanya di atas setang sepeda, Juno sudah kembali ditarik Iris hingga hampir terjengkang. Juno menahan umpatan. "Kok jumbo, sih? Porsi normal saja. Cuma tiga ribu."
Iris menggenggam kedua lengan Juno, niatnya mencengkeram bahu, tetapi Iris kesusahan untuk mencapai tinggi Juno. Iris melayangkan tatapan yang serius sekali. "Listen to me, Juno Kenandra. Untuk ritual diskonan begini, afdolnya beli yang jumbo!"
Sesaat, Juno mengalihkan tatapan sembari berpikir. Iris tidak begitu suka pedas. Dia hanya merasa keren karena memakan sesuatu yang di luar kemampuannya. Membelikan seporsi seblak jumbo untuk Iris adalah suatu kesalahan. Iris tidak akan menghabiskannya. Kalaupun bersikeras, anak itu hanya mampu memakan tiga sendok seblak sebelum minum setengah gelas. Pemborosan. Juno balas menatap Iris. "Oke, satu mangkuk untuk berdua."
"Deal," sahut Iris cepat. Atensinya teralihkan ketika seorang wanita menjelang usia setengah baya menghampiri keduanya. Iris heboh. "Bibi Di! Kedai ramai, ya, malam ini. Mang Dod mana? Bibi Di enggak mengurus semua pelanggan ini sendirian, 'kan?"
Bibi Di terkekeh. Iris ini salah satu pelanggan setianya yang selalu berisik. Tipikal anak yang tak akan pernah membiarkan orang radius dua meter di sekitarnya merasakan ketenangan. Bibi Di mengulas senyuman ramah. "Mang Dod bagian belanja stok persediaan untuk besok di sekolah. Bibi dibantu Bang Ren, tuh."
Iris mengikuti tatapan Bibi Di yang mengarah pada seorang lelaki berusia dua puluhan di meja kasir. Ah, Bang Ren itu anaknya Mang Dod dan Bibi Di. Iris mengangguk-anguk paham.
"Mau pesan apa?"
"Satu porsi seblak jumbo, sendoknya dua ya, Bi," jawab Juno.
"Susu stroberi dua gelas!" serobot Iris, lalu beralih pada lelaki di sampingnya. "Juno enggak beli minumannya?"
Oke. Susu stroberi yang dua gelas itu memang hanya untuk Iris seorang. Seharusnya, Juno tahu dan sadar diri sejak awal, 'kan? Juno melebarkan senyuman pahit pada Bibi Di, seolah memberikan sinyal bahwa dirinya membutuhkan bantuan segera untuk menangani spesies bernama Iris. "Aku teh manis saja, Bi."
"Oke. Mau duduk di mana, kalian?"
Bibi Di mengangguk ketika Iris ribut berlarian menuju bangku di pojokan yang persis menghadap dinding kaca. Setelah kepergian Bibi Di, Iris langsung mengeluarkan sebuah buku beserta tempat pensil berkarakter penguin dari tas jinjingnya yang berwarna krem. Benar. Sebelum keduanya berangkat, tadi, Iris berlarian dulu ke rumahnya untuk mengambil tas itu.
Tak begitu peduli dengan kegiatan Iris, Juno lebih memilih untuk mengamati pemandangan di balik dinding kaca di hadapannya, persis di belakang Iris yang sedang asyik sendiri dalam dunianya. Suasana kelam malam yang dihiasi titik-titik nyala lampu terasa ramai sekaligus damai di mata. Juno terbuai. Indah ... tunggu. Maksudnya pemandangan itu, bukan sosok Iris yang dibingkai pesona malam, 'kan?
Tanpa sadar, Juno menggeleng-gelengkan kepalanya. Jangan mulai, deh! Juno kira, terus berdiam diri hanya akan membuatnya semakin tenggelam. Juno memicingkan mata hingga tampak menyisakan segaris, berusaha mengamati apa yang tengah Iris coret-coret di buku tulisnya. "Ngapain, sih?"
Ditanya begitu membuat Iris menengadahkan kepala untuk melihat Juno, sejenak teralihkan dari kesibukannya. Dengan senyuman lebar yang sarat akan kebahagiaan, Iris memamerkan isi buku tulisnya. "Oh, aku habis menentukan titik koordinat ekuatorial, posisi bintang Rigel. Ini lagi gambar bola langit. Nanti, kayaknya mau coba latihan soal OSK Astronomi tahun 2017 saja, ah."
"Hm, sudah mau KSN, ya?" Juno meregangkan lehernya yang terasa pegal, merasa tak akan pernah bisa berada di posisi Iris yang selalu mengikuti olimpiade sejak SD. "Kamu, kok, segitu penginnya di astronomi, sih?"
Iris meletakkan pulpennya di atas buku, merasa tertarik pada pertanyaan Juno. "Sangat! Juno enggak ingat, ya, aku suka baca buku astronomi dan antariksa untuk anak kuliahan, sewaktu di perpustakaan SD?"
Juno mendadak terbatuk-batuk layaknya seorang pria lanjut usia. Kaget. Detail kecil dari seorang Iris selalu saja menghadirkan sensasi terkejut yang membuat sistem tubuh Juno meresponsnya dengan hiperbola. "Oh! Buku biru besar yang kubilang lebih tebal dibandingkan bantal itu? Yang tulisannya seperti semut-semut antre sembako? Untuk anak kuliahan?Yang benar saja! Kita waktu itu masih kelas lima SD."
Iris mengangkat bahunya. "Kenapa? Aku juga enggak paham, kok, waktu itu. Tapi, enggak mampu memahami, bukan berarti menutup kemungkinan untuk kita terus menyukai, 'kan?"
Terus menyukai .... Juno menggeleng-gelengkan kepalanya. Sialan! Kenapa ia malah membayangkan anak itu? Fokus, Juno! Ini tentang buku astronomi.
Nasib baik, di saat seperti itu, tibalah Bibi Di dengan semangkuk seblak berukuran jumbo, lantas meletakkannya di atas meja, tepat di tengah-tengah Iris dan Juno. Dalam gerakan secepat kilat, Iris memasukkan kembali buku dan alat tulisnya ke dalam tas jinjing. Setelah itu, Iris langsung menyambar salah satu sendok yang disodorkan Bibi Di.
Iris sudah mengunyah seblak sebanyak dua sendok sambil sesekali mengeluh kepanasan, meniup-niup isi mulut dan mengibas-ngibaskan tangan, yang sama sekali tidak berpengaruh banyak. Akan tetapi, lelaki di hadapannya masih bergeming di posisi. Kedua tangan Juno terlipat di depan dada, sementara sendoknya masih menganggur di pinggiran mangkuk.
Sesaat, Iris menjeda kegiatan gigi gerahamnya. Iris memiringkan kepala, menatap Juno dengan penuh tanda tanya. "Kenapa? Kok, enggak dimakan? Enggak terlalu panas, kok."
"Kamu dulu saja. Aku sisanya," jawab Juno dengan raut muka yang tampak tak begitu peduli. Toh, tujuan utamanya kemari memanglah bukan memakan seblak. Juno hana berperan sebagai tempat sampah, supaya makanan sisa Iris tidaklah terbuang sia-sia. Yah ... kalau anak itu bisa menghabiskannya sendirian, sih, bagus.
Lama, Juno tenggelam dalam lamunannya sendiri, mengamati manusia di hadapannya lamat-lamat. Pipi Iris tambah menggembung begitu dijejali sesendok penuh seblak. Jangan lupakan seluruh tubuhnya yang tampak tak bisa berdiam diri, terus gonjang-ganjing untuk mengalihkan pedas yang menjalari lidah.
Sekitar telinga Iris sudah merah sempurna. Suara tarikan ingus Iris menjadi backsound yang menyemarakkan alunan lagu Night Changes-nya One Direction di seisi kedai. Entah kenapa, meski keadaan ingus Iris yang meler menjijikkan, di mata Juno, situasi ini terlalu manis dan memabukkan.
Oke. Kumat lagi. Juno mengurut dahinya sendiri. Juno sungguh ingin berguru pada seorang ahli untuk mengosongkan pikiran, terutama dari makhluk tak tahu diri itu.
Di hadapan Juno, Iris tampak heboh kepedasan. Demi memberi lidahnya waktu untuk menghirup udara segar tanpa polusi kuah seblak yang pedas tetapi menggiurkan, Iris pun memilih untuk kembali membuka-buka halaman buku tulisnya. Juno mengerjap. Kalau begini caranya, bisa-bisa mereka bertahan di Kedai DoDi sampai pukul sepuluh malam. Sedingin apa pun makanannya nanti, Iris selalu siap memasukkannya ke dalam perut, kok. Satu-satunya hal yang susah payah Iris taklukkan hanyalah rasa pedas itu.
"Ris," panggil Juno, mencoba membunuh rasa bosan yang mulai menghinggapi. Begitu Iris menanggapinya dengan mengangkat kepala, Juno menjilat bibir bawahnya. "Sebenarnya, apa yang bikin kamu suka astronomi?"
Di tempat duduknya, Iris bersedekap. Anak itu tampak semangat sekali dengan pertanyaan ini, reaksi dan air mukanya persis seperti ditawari mi ayam pangsit. Iris menatap Juno dengan bola mata yang dihiasi binar antusias. "Astronomi, lho, Jun ... outer space! Sekalinya Juno tenggelam di dunia antariksa, Juno enggak akan pernah bisa naik ke permukaan lagi. Too cool! Di sini, kita bisa mengenal konstelasi, klasifikasi bintang, supernova, black hole, periode orbit planet, deklinasi matahari, local sideral time, binary asteroid, dan banyak hal keren berbalut misteri yang dihadirkan semesta!"
Dicekoki hal-hal di luar kapasitas otaknya begitu membuat Juno hampir kalap tak berdaya. Akan tetapi, ada istilah yang membuatnya tertarik. "Binary asteroid?"
"Ya! Binary asteroid, sistem biner di mana kedua asteroid saling mengorbit satu sama lain. Keren! Mereka seperti saling bergenggaman, berdansa di luar angkasa, melangkah beriringan ...."
Suatu kesadaran menyebalkan sukses menghantam setiap penjuru jiwa Juno dengan telak. Apakah asteroid itu sedang meledek kita?
Baru saja memenuhi pikiran Juno, tiba-tiba, Iris kembali menimpali, "Oh! Apa Juno tahu? Iris dan Juno adalah nama asteroid yang termasuk ke dalam deretan top five dengan diameter rata-rata geometrik terbesar, lho! Urutannya, Eunomia, Juno, Amphitrite, Herculina, lalu Iris. Terus, ya ... Iris dan Juno sama-sama tinggal di sabuk utama! Keren, 'kan?"
Terserah. Iris selalu saja senang mempelajari sesuatu yang baru, padahal Juno sudah jelas-jelas mengerutkan kening sejak awal, masih loading dengan berbagai informasi yang dijejalkan Iris ke dalam otaknya. Akan tetapi, tak ada yang lebih menyenangkan dari memandangi seorang Iris yang tengah bersemangat. "Oh, Ris. Kamu suka belajar. Tapi kenapa enggak begitu ambis kejar ranking?"
Iris menyantap seblaknya sejenak, mumpung lidahnya sudah terasa lebih baik. "Bicara soal ranking, sih, all rounder dikuasai empat monster angkatan kita, 'kan? Mat, Alfis, Bintang, dan Kiano. Aku juga kagum. Dan aku juga pengin kayak mereka. Tapi, sejak awal, kami memang beda, sih." Rempong, Iris kini meneguk susu stroberinya. "Nilai itu penting. Tapi, prioritas utamaku bukanlah ranking. Aku hanya suka mempelajari apa yang aku mau. Tidak terikat oleh sistem kurikulum ataupun standardisasi siswa."
Juno terdiam, membiarkan Iris menuntaskan kalimatnya.
"Lagian, ya ... ranking itu bonus. Tak lebih dari alat ukur perbandingan kita dengan yang lain, 'kan?"
Juno masih terpaku. Belasan tahun menghabiskan waktu bersama pun tidak lantas membuat Juno terbiasa menghadapi Iris yang ini. Iris yang tampak santai dan masih saja pecicilan, meskipun sudah bicara keren seperti tadi. Juno berdeham, bersiap menyuarakan keresahan yang selalu mengganggunya belakangan ini. "Iris, nanti kamu mau jadi apa? Apa yang mau kamu lakukan ... di masa depan nanti?"
Lama, Iris hanya mengamati kuah seblaknya lamat-lamat. Seulas senyuman terbit.
Bicara masa depan ....
Gemintang di angkasa menjadi saksi, mengiringi setiap kisah perjalanan dua orang anak manusia yang ingin semestanya terjeda untuk sesaat. Tentang arus kehidupan, yang eksistensinya tak lebih dari kelabu sendu. Gentayangan, menghidupkan berjuta pertanyaan ....
Dan di sinilah mereka, enggan tertinggal, tetapi tak jua mau beranjak. Bisakah semesta, sekali lagi, lagi, lagi, dan lagi, membiarkan mereka memejam tanpa harus mengelak?
• 🦁 🐧 🐻 •
Hawlo! Ketemu lagi, wkwkw. Aku mau tanya, deh. Sejauh ini, Iris-Juno di matamu itu, gimana? Menurut kamu, Juno kelewat bucin + hiperbola, engga, sih? Yuk, spill di komentar!>.<
Dadaaah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top