🚀Muak yang Tersibak

Meledak. Gamma tak mampu lagi menahan sesuatu yang memburu di dadanya.

Dengan tangan terkepal dan kedua alis tebalnya yang berkerut marah, Gamma menuruni anak tangga menuju kelasnya di lantai bawah. Berbunyi suara bel, tanda jam istirahat pertama sudahlah habis. Akan tetapi, Gamma ke kelas bukan untuk belajar atau mengikuti kegiatan di jam pelajaran selanjutnya.

Lelaki itu tergesa memasuki kelas XI MIPA-4, lantas bergerak tanpa ragu menuju bangku seorang anak perempuan di pojokan. Gamma mengentakkan kedua telapak tangannya pada pinggiran kursi yang tengah diduduki Selena. Sangat cepat. Sampai-sampai, gadis yang sedang menghabiskan snack di tangan itu terlonjak kaget.

"Gam ...."

"Kamu labrak Iris?"

Serobotan Gamma yang sudah seperti ingin memangsa gadis di hadapannya hidup-hidup ini membuat Selena mengangkat salah satu sudut bibirnya ke atas, tampak puas. Kekehan hambar mengalun dari bibirnya. "Kenapa? Mau jadi pahlawan bocil itu? Sudah terlalu lambat, Gamma. Juno melindungi Iris lebih awal."

Demi mendengar nama menyebalkan itu, Gamma langsung hilang kendali dan menarik kerah Selena. Beberapa anak perempuan di kelas mulai menjerit, tak sanggup menahan Gamma. Mata elang lelaki tersebut terus mencecari Selena dengan nyalang. "Jangan kira aku bisa menahan diri hanya karena kamu perempuan. Aku laki-laki brengsek, kau tahu?"

"Lalu? Apa yang kau mau selain konfirmasi soal labrak-melabrak itu, hm?" Meski ujung jarinya agak tremor ketakutan, Selena lebih memilih untuk membalas tatapan Gamma, ingin menunjukkan bahwa intimidasi Gamma tidaklah berhasil. "Oh, benar. Aku melabraknya, juga memasang kamera mikro di toilet tempat anak itu ganti baju."

Tangan terkepal Gamma sudah terangkat di udara. Urat-uratnya tampak menyembul ke permukaan.

Akan tetapi, gerakannya itu terhenti oleh kalimat Selena. "Eit, tahan dulu, dong. Bahkan kabar utamanya belum aku kasih tahu."

"Apa?" geram Gamma.

Senyuman licik terkembang semakin lebar di bibir Selena. Anak itu tampak puas sekali, merasa bahwa dirinya bisa mempermainkan Gamma yang sudah membuatnya kehilangan banyak hal. Rasa, sahabat, dan kisah-kisah yang terpaksa usai sebelum waktunya. Selena berkata, "Aku enggak berhasil dapat tontonan gratis dari Iris. Kenapa? Ada Juno. Penyelamat Iris itu Juno. Bukan kamu, bukan pacarnya."

Tinju Gamma melayang. Akan tetapi, semua itu terhenti lebih dulu ketika Bu Enden memasuki kelas dan melerainya. Napas Gamma masih memburu. Jika saja tidak dihentikan guru Bahasa Indonesia tersebut, Gamma bisa saja memukul Selena, dan itu berarti dirinya meninju adik kelas juga anak perempuan, hari ini. Memalukan sekali.

Setelah memastikan jarak antara Gamma dan Selena sudah cukup untuk tak lagi berbuat keributan, Bu Enden langsung mengawali kegiatan pembelajarannya. Sementara itu, Gamma berusaha menormalisasi tempo sirkulasi pernapasannya. Tangan Gamma mengecek ponselnya di kolong bangku, lantas mengirimkan pesan.

I-Ris My-Ris

Bisa ketemu pulang sekolah?
Di halaman belakang.

•   🦁   🐧   🐻   •

"Kenapa, Gammy?"

Pertanyaan Iris hanya dibalas suara ramai dari gesekan rimbunnya dedaunan pohon kersen. Kini, Gamma hanya bisa membisu sambil mengamati tampang polos Iris lamat-lamat. Iya. Untuk apa Gamma memanggil Iris ke sini? Sebagai bentuk pengukuhan bahwa Iris masihlah miliknya?

Lekas-lekas Gamma menggelengkan kepala. Tidak, tidak. Bukan itu. Mereka ini punya status yang jelas, sebagai pacar. Tidak perlu alasan khusus bagi seseorang menemui pacarnya, 'kan?

Meski begitu, terpikirkan sesuatu, Gamma akhirnya angkat suara. Suatu kalmat yang tak sempat direncanakan sebelumnya. "Maaf soal hari Jumat ... aku enggak tahu Iris minta pulang bareng. Notifikasi aku dibisukan, terus aku enggak sempat buka WhatsApp sama sekali sampai jam enam sore."

"Eh, enggak apa-apa, kok. Iris naik angkot, sih. Tapi di angkotnya ...."

Kalimat gantung Iris yang ragu untuk menceritakan kejadian itu pada Gamma atau tidak, seketika menarik atensi Gamma. Lelaki itu menatap Iris dengan tampang serius. "Yang bikin Iris dapat luka-luka ini?"

Iris menganggukkan kepala, cukup kaget begitu mendengar Gamma sudah mengetahuinya. Tahu dari mana, ya? Ah, tetapi itu memang bukan rahasia, kok. Teman sekelas Iris saja sudah tahu semua, gara-gara Bintang yang penasaran terus membeberkannya ke sana-sini. Wajar saja kalau Gamma menerima informasi tersebut. Iris balas menatap Gamma. "Enggak apa, Gammy. Kata Juno, jangan berharap atau menggantungkan ekspektasi sama manusia. Suka kecewa. Namanya juga manusia."

Juno? Gamma memejam erat-erat. Kenapa harus menyebut nama itu, sih? Bikin mood hancur saja! Nasib baik, yang menyambut Gamma ketika kembali membuka mata adalah tampang unyu Iris yang sedang menggembung-gembungkan pipi tanpa sadar. Mirip ikan buntal! Lumayanlah. Setidaknya, yang tadi itu masih bisa termaafkan.

Demi mendapati lawan bicaranya yang malah asyik berdiam diri, Iris memiringkan kepala penuh tanda tanya. Tanpa instruksi apa-apa, tiba-tiba saja terlintas suatu ingatan di benak Iris. Anak itu membulatkan mata, lantas angkat suara kembali. "Ah ... Iris lupa terus mau nanya ini, Gammy." Iris mendongakkan kepala, berusaha menatap mata Gamma yang letaknya menyamai dahan pohon kersen. "Mmm, Gammy enggak merokok lagi, sekarang?"

"Enggaklah," sambar Gamma, cepat. Menyadari bahwa keduanya saling kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan tinggi badan masing-masing, Gamma lalu menggiring Iris untuk duduk di atas dinding monumen peresmian Persatas, yang kala itu berupa tempat bersejarah ketika Gamma mengajak Iris berpacaran. Gamma sedikit tersentak. Lagi dan lagi, ia selalu saja kaget dan tak pernah siap setiap kali mengingat bahwa waktu berlalu cepat tanpa permisi.

Di saat Gamma masih tenggelam dengan memori hari-harinya yang telah lampau, Iris justru merespons dengan pertanyaan yang tak pernah Gamma duga, sebelumnya. "Kenapa?"

Sebentar. Gamma melirik Iris di sampingnya untuk memastikan bahwa anak itu tidak sedang berpura-pura lupa ingatan. Yang bertanya barusan itu ... sungguhan Iris? Gamma menghadapkan badannya ke arah Iris. Jangan lupakan kedua alis tebalnya yang mengerut keheranan. "Lho, kan, Iris yang larang?"

"Kalau Iris suruh Gammy merokok, Gammy mau?"

Gila! Apakah ini semacam pertanyaan jebakan? Gamma tidak siap! "Kenapa tiba-tiba?"

"Hanya memastikan ... Iris enggak mau Gammy melakukan sesuatu karena Iris." Perlahan-lahan, kedua sudut bibir Iris menekuk ke bawah tanpa alasan. Iris menunduk dalam. Netra cokelat terang itu sibuk menjelajahi setiap senti sepatu dan pijakannya. "Kalau merasa berutang budi sama orang penting, kayak orang tua dan keluarga, sih, okelah, ya. Tapi Iris bukan siapa-siapa, Iris enggak punya pengaruh besar di hidup Gammy, dan Iris enggak pernah ngasih apa pun buat Gammy. Jadi, Iris mau Gammy melakukan semuanya untuk diri Gammy sendiri. Ya?"

Hening. Angin sore bertiup lebih pelan, kali ini, membuat suara rimbun dedaunan yang saling menyapa itu jadi teredam, seolah mendadak sungkan untuk mengusik perbincangan di halaman belakang sekolah tersebut. Gamma membisu, ikut terpekur dalam lamunan. Gamma hanya menatap selaput awan putih yang tergantung di angkasa sana.

Entah sejak kapan dan bagaimana, Gamma selalu suka bertemankan dengan hening, apalagi sambil mendengarkan suara cempreng Iris begini. Meskipun agak sumbang seperti anak cicak berak, tetapi perbincangan Iris selalu saja menyenangkan bagi Gamma. Suatu topik pembicaraan yang jarang Gamma dengar, sebelumnya.

Iya. Gamma sadari, eksistensi Iris di hidupnya sejak berminggu-minggu lalu sukses turut menghadirkan warna-warna yang tak pernah Gamma kira akan ada di dunianya.

"Misalnya, bicara soal rokok, nih." Suara Iris membuat Gamma kembali tersadar dan berusaha memusatkan perhatiannya pada apa yang dikatakan Iris, bukan hanya dunianya. Iris menjeda sejenak kalimatnya, seolah tengah memikirkan apa yang akan dikatakannya lebih dulu. "Kenapa Gammy enggak merokok lagi? Iris enggak mau dengar alasan Gammy yang berhenti merokok karena janji atau permintaan Iris. Iris maunya, Gammy jawab dengan mantap, kalau semua itu, tuh, buat Gammy sendiri! Buat kebaikan Gammy, biar enggak kecanduan, menyayangi paru-paru dan sistem pernapasan sendiri ...."

Sebuah senyuman kecil tercipta di sudut bibir Gamma, gemas. Terlepas dari pembawaan Iris yang seolah meminta Gamma menggigit pipi bakpao-nya itu ... ah, lihat saja cara bicara anak itu yang membuat buntalan tebal pipinya bergoyang-goyang! Oke, jangan salah fokus dulu. Terlepas dari hal tersebut, Gamma benar-benar tertarik dengan apa yang dibicarakan Iris. Entah mantra apa yang dipakai Iris, tetapi Gamma selalu suka pemikiran anak itu. Iris bisa saja bertingkah laku kekanak-kanakan, tetapi isi kepalanya selalu saja berhasil mengejutkan Gamma.

"Self-love itu penting, kan, ya ...." Iris menggantungkan kalimatnya. "Ah, Iris baru kepikiran bilang ini sehabis keinget sama omongannya Juno, tadi, hihi."

Sungguh! Iris mencapai puncak keimutannya dengan terkikik kecil sambil menyipitkan mata begitu, tetapi ... kenapa harus Juno? Mau tak mau, emosi Gamma jadi ikut naik. Muak, deh. Nama itu menghancurkan suasana saja, sih! "Kamu dekat banget sama Juno, ya, Ris?"

"Ih, iya!" Dengan semangat empat-lima dan antusiasme penuh, Iris refleks menepuk bahu Gamma. Kalau sudah begini, itu berarti Iris sedang bersiap untuk bercerita panjang lebar. Seringaian puas tercetak dengan jelas di raut muka Iris. "Gammy tahu, enggak? Juno itu penakut! Kalau Gammy tahu semua aib anak itu waktu kecil, setiap ketemu Juno pasti bakalan ketawa, deh!"

Kedua alis Gamma sudah mengerut tidak suka. Yang benar saja, mereka bertemu hanya untuk membicarakan laki-laki menyebalkan itu? Gamma mendengkus, tampak tidak nyaman dengan pembicaraan yang malah mengarah ke sana. Akan tetapi, Iris tidak menangkap ekspresi tersebut sama sekali. Dengan santai dan tanpa beban, Iris malah lanjut bercerita.

"Waktu kecil, kita sering mandi hujan-hujanan bareng! Tapi Juno suka malu kalau enggak pakai baju di depan Iris. Padahal masih kecil, lho! Akhirnya, Iris, deh, yang kejar Juno sambil telanjang. Juno nangis!" Iris cekikikan sendiri, tak menyadari raut muka Gamma yang sudah lebih keruh dari air comberan di musim penghujan. "Juno juga takut kecoa, lho! Iris suka kejar Juno buat nyodor-nyodorin kecoanya ke muka Juno, terus Juno nangis lagi, sambil kabur ke Mama Mega. Kadang, Bunda aja lebih ngebela Juno, daripada Iris yang anaknya sendiri. Malah Iris yang dimarahi, deh!"

"Terus?" cecar Gamma, seolah tertarik dengan kisah masa kecil Iris dan Juno, tetapi tidak dengan intonasinya yang terdengar sumbang dan tidak menyenangkan.

Iris mengerjap, baru menyadari perubahan sikap Gamma. Eh, sebentar. Apa Iris ada salah kata?

Di luar kendalinya, Gamma menatap Iris dengan tampang serius dan sorot mata tajam yang seolah siap untuk menikam. "Juno lagi, Juno lagi. Pacarmu yang sebenarnya itu aku atau Juno, sih?"

•   🦁   🐧   🐻   •

Hehehehe bau bau apa nih, si Gammy:3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top