🚀Memori yang Hidup Kembali
Kesunyian di semesta Iris dan Juno bising sekali. Semenjak perseteruan keduanya terhenti, keheningan panjang langsung beralih mengisi. Suasana canggung kembali mengudara di atmosfer sekitar. Iris mengembuskan napas berat. Jangan sampai Juno mengungkit lagi soal Iris yang seharusnya pulang bersama dengan Gamma. Jangan sampai. Sudah cukup Iris merasa dipermalukan begini!
Tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibir Iris maupun Juno. Senyap merajai. Akan tetapi, tanpa bisa dikendalikan oleh Juno, situasi semacam ini malah membuat benaknya disesaki kisah-kisah yang telah lama usai. Kaki Juno masihlah mengayuh pedal, melintasi jalanan sepi, saat ini. Namun, pada kenyataannya, jiwa Juno justru sedang asyik-asyiknya menjelajahi masa lampau, sampai tak mau kembali saja, rasanya.
Lagi, seperti biasa, punggung Juno beralih fungsi menjadi tembok sandaran Iris. Anak itu membenamkan buntalan pipi tebalnya yang kanan untuk mencari posisi nyaman di bagian belakang tubuh Juno. Oke. Ini memalukan. Padahal, sejak hari-hari sebelumnya, Iris sudah bertekad untuk bertingkah sewajarnya dan menunjukkan bahwa dirinya tidaklah bergantung pada sahabat kecilnya itu. Namun ... sudahlah! Iris hanya mau melakukan apa yang ia mau, setidaknya untuk saat ini saja.
Kantung mata Iris berkedut, seakan tak sanggup lagi menahan netranya yang terasa makin berat untuk tetap terbuka lebih lama lagi. Seluruh beban di pundak Iris terasa pindah menggelayut ke kelopak mata. Mungkin karena sudah terlalu lelah menangis, Iris jadi merasa mengantuk dan tak peduli lagi dengan gengsi untuk mengistirahatkan pikiran sambil bersandar di punggung Juno.
Iya. Semua ini terasa tidak asing bagi Juno. Situasi yang persis seperti kejadian pada tujuh tahun yang lalu. Hari di mana perempuan kecil itu kehilangan dunianya.
Hari itu, Tara, ayah Iris, dikabarkan meninggal dunia saat hendak berangkat kerja. Jadwal masuknya saat itu memanglah pukul dua belas siang. Biasanya, meskipun bagian jadwal siang, Tara akan tetap berangkat sedari pagi untuk sekadar mempelajari hal baru di perpustakaan kota. Akan tetapi, tanpa alasan yang jelas, Tara memilih untuk tidak berangkat dulu, kali ini.
Siapa sangka, hal itu malah menjadi pertama dan terakhir kalinya bagi Tara menikmati siang harinya di rumah. Tara ingin menghabiskan sisa hidupnya di rumah, begitu yang Ana pikirkan setelah mendapati suaminya kolaps dan nyawanya melayang dengan mudah.
Selagi menyiapkan pengafanan jenazah, Ana meminta orang lain untuk memberitahu putrinya yang belum pulang dari sekolah. Baru saja Ana tutup mulut, tiba-tiba datanglah Iris yang berlarian menuju Ana, setelah turun dari sepeda merah Juno. "Bunda, Bunda! Sepeda baru Juno enak banget! Tinggi, sih, tapi asyik!"
Di tengah jejak air mata dan bahunya yang naik-turun sejak tadi, Ana menguatkan hati untuk menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Detik berikutnya, Ana meraih badan mungil Iris ke dalam rengkuhan. Wanita usia menjelang tiga puluh itu mendekap Iris erat, menyalurkan perasaan hangat, seolah tak mau rasa kehilangan datang kembali untuk menyambat.
Barulah Iris kecil mencoba mengamati keadaan di sekitarnya dengan lebih saksama. Rumahnya disesaki tetangga yang saat ini sedang menatapnya dengan sorot iba. Iris melepaskan diri dari pelukan bundanya, lantas menangkup kedua pipi Ana yang terlihat lebih tirus dan pucat dari biasanya. Anak kecil itu menatap mata basah Ana lamat-lamat. "Kenapa Bunda nangis? Orang-orang juga ... kenapa ramai sekali di rumah Iris? Enggak ada bagi-bagi sembako gratis di sini, kan, Bunda?"
Mendengar celotehan putrinya yang terus menoleh ke sana kemari dengan kening mengernyit yang menggemaskan itu membuat senyuman pahit Ana terkembang makin lebar. Sesuai dugaan, hal yan ditakutkan Ana pun meluncur dari bibir tipis Iris.
"Ayah udah berangkat kerja, kan, Bun?"
Tampang serius Iris ditanggapi dengan sebuah anggukan dan gelengan kepala oleh Ana. "Ayah udah berangkat, kok, tapi bukan buat kerja ...."
Suara lirih nan serak Ana malah membuat kedua alis Iris tambah mengerut, keheranan. Tanda tanya besar menggantung di langit-langit benaknya. "Terus ke mana? Perpustakaan? Ayah tahu enggak, Bun, di rumahnya lagi ramai begini?"
Ana menggelengkan kepala, masih dengan senyuman hambar yang tersungging di kedua sudut bibirnya. "Ayah udah pulang ke rumah aslinya, pemiliknya."
"Lho, rumah Ayah, kan, ini?" tanya Iris, yang tidak dijawab satu kata pun oleh Ana. Kedua manik cokelat terang itu mulai menyorotkan ketakutan atas apa yang belum diketahuinya dengan pasti. Benar. Ketidaktahuan itu sendiri sudah sangat menyeramkan. Apalagi ketika Iris mendapati Ana mendekati sosok tanpa nyawa yang tergeletak di ruang tengah.
Hari itu, adalah hari di mana Iris kehilangan pusat dunianya. Hari itu pula, Iris menyadari bahwa manusia hanyalah budak-budak semesta yang tak bisa melakukan apa pun selain melangkah di jejak takdirnya sendiri.
Setetes cairan bening meluncur dari mata yang masih naif dalam memandang kehidupan itu, menciptakan garis memanjang di buntalan pipinya yang tebal. Iris teringat kalimat ayahnya ketika mereka sama-sama bercerita dengan semesta, semalam. Kala itu, Tara mengusap lembut rambut putrinya di kamar kecil yang terasa hangat oleh celotehan panjang Iris.
Iris sedang menceritakan soal sepeda merah yang baru dibeli Juno tadi siang. Katanya, Iris dan Juno tidak akan berjalan kaki lagi untuk berangkat ke sekolah. Mereka akan naik sepeda merah baru Juno! Saat itu, Iris mengemukakan pendapat pribadinya soal Noris, Juno-Iris, sebagai nama sepeda itu. Iris yakin, setelah mendengar idenya besok pagi, Juno pasti akan sepakat!
Namun, di kala Iris sedang sibuk-sibuknya terkikik sendirian, tiba-tiba saja Tara membicarakan hal lain.
"Iris, Iris enggak boleh nangis kalau lagi mikirin Ayah, ya? Ayah cuma mau hidup di ingatan Iris yang lagi senyum ...."
Saat itu, Iris hanya bisa terdiam sambil tenggelam dalam lamunan. Usianya yang masih delapan tahun itu tidak memiliki ide sama sekali mengenai maksud ayahnya. Hal yang mampu ditangkapnya hanyalah keinginan Ayah untuk melihat Iris terus tersenyum. Iris pun hanya bisa menarik kedua sudut bibirnya ke atas, sembari mengguratkan kalimat Tara baik-baik di kepalanya, untuk dipahami pada hari-hari berikutnya, kelak setelah ia beranjak tumbuh lebih dewasa.
Akan tetapi, Ayah tak berniat menunggu Iris untuk itu. Tara memutuskan pergi lebih dulu sebelum menyaksikan putrinya bertumbuh dengan baik.
Hingga sore hari, kawasan Cibangun itu dipenuhi oleh tangisan Iris yang menolak untuk memahami semua yang terjadi. Kematian? Kematian itu membawa Ayah pergi ... tanpa pernah kembali?
"Ayah ... itu Ayah Iris!" jerit Iris di kala daksa berbalut kain putih itu disemayamkan dalam peristirahatan abadinya. Iris menolak dipegangi Ana, Mega, atau tetangga lainnya sekalipun.
Kenapa kehidupan belum pernah memberitahunya mengenai adanya aksi perenggutan begini?
Kedua netra Iris sudah sangat perih ketika mentari hendak kembali ke dalam rangkuhan garis cakrawala, dan Ana mengajak Iris untuk pulang ke rumah setelah berjam-jam berdiam diri di samping pemakaman ayahnya. Iris tidak mau, tetapi untunglah Juno bisa membujuknya menggunakan sepeda merah baru itu.
Iris mengamati tempat peristirahatan ayahnya yang tampak tidak nyaman dan menakutkan. Ayah, kalau Ayah enggak betah di sana ... pulang aja, ya? Iris pasti nunggu, kok!
Pada akhirnya, Iris mau juga diajak pulang dengan menaiki jok belakang sepeda Juno yang kelewat tinggi itu. "Iris masih mau di sini ...."
Setelah diberi kode oleh mamanya, Juno langsung berinisiatif menawari Iris. "Mau jalan-jalan dulu?"
Tidak ada suara yang menyahut dari jok belakang. Karenanya, Juno menganggap hal itu sebagai persetujuan. Tak apalah. Meski masih berseragam putih-merah dengan atribut lengkap karena belum sempat pulang ke rumah untuk sekadar mengganti baju, Juno hanya ingin menghibur sahabat kecilnya saat ini.
Iris kelelahan. Matanya terasa berat. Juno baru menyadari hal tersebut ketika sepeda terasa tidak stabil karena Iris yang mulai oleng. Demi memastikan keselamatan Iris, Juno kecil pun mengarahkan kepala Iris untuk bersandar di punggungnya saja.
Mentari jingga yang merajai bumantara menjadi saksi ketika dua anak manusia itu beriringan pulang ke rumah. Suasana yang tak jauh berbeda dengan saat ini, hari ini, setelah kejadian tersebut sudah terpaut tujuh tahun lamanya. Yang berbeda hanyalah ukuran badan, usia, juga seragam mereka yang sudah menjadi putih-abu, bukan lagi putih-merah.
Waktu berlalu tanpa bisa ditunggu, itu yang selalu mendiami kepala Juno setiap malam bersiap menjemput.
Sesampainya di halaman depan rumah, Ana langsung berlarian menghampiri sambil berseru cemas. Tadi, Ana terus menelepon Iris karena belum pulang di hari yang beranjak malam. Raut khawatir itu tergurat makin jelas begitu menyadari adanya luka di sekujur badan Iris. Akan tetapi, demi mendapati Iris yang malah terlelap dengan damai di punggung Juno, tanpa tahu alasan konkretnya, Ana pun menghela napas lega.
"Ris, bangun, hei. Sudah sampai." Ana menepuk lembut pipi Iris.
Perlahan-lahan, kelopak mata itu pun terbuka, menampilkan manik cokelat terang yang masih tampak basah habis menangis. "Bunda?"
Detik berikutnya, Juno membantu Ana memapah Iris untuk duduk di bangku halaman depan. Ana mengecek luka-luka Iris. Telapak tangannya yang terdampak paling parah karena digunakan untuk menahan tubuh yang terguling-guling di aspal. Ana bergerak mengecek bagian yang menurut Iris perih. Di bagian pinggangnya.
Iris menceritakan kronologinya secara detail selagi Ana mengambil salep dan mengobati luka Iris. Semuanya Iris katakan, kecuali alasan di balik tindakannya yang malah pulang naik angkot sendirian.
Sayangnya, Ana menyadari hal tersebut. "Kenapa enggak pulang bareng Juno?"
Kini, Iris dan Juno malah serempak saling membisu. Tidak ada yang berani bersuara, terlebih lagi mengingat perasaan bersalah yang menggentayangi keduanya.
Tidak seharusnya Juno membiarkan Iris pulang sendiri ....
Tidak seharusnya Iris merasa gengsi dan menolak bantuan Juno yang jelas-jelas dibutuhkannya ....
Kedua alis Ana mengerut heran. Kenapa jadi hening begini? Dengan tangan yang masih telaten mengoleskan salep pada luka Iris, Ana kembali bertanya, "Tahu, enggak? Bunda telepon Iris berkali-kali, lho."
Demi mengalihkan kecamuk pikirannya, Iris pun mengecek ponsel sambil sesekali mengaduh tertahan karena lukanya yang masih terasa perih. Benar saja. Ada tujuh panggilan tak terjawab dari bundanya. Pasti Iris sudah naik angkot saat Ana menelepon.
Di saat Iris hendak menyimpan ponselnya kembali, tiba-tiba sudut mata Iris menangkap notifikasi lain yang masuk di pesan WhatsApp-nya.
Gammy Dear🐻
Ya ampun, Ris!
Aku lupa bilang, sejak sekolah bubar, aku langsung ke gor buat latih tanding futsal bareng teman ....
Kamu udah pulang, kan, Ris? Bareng Juno?
Iris mendengkus singkat. Telat!
• 🦁 🐧 🐻 •
Gimana gimana? Wkwkwk aku sih makin sayang Juno:>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top