🚀Masih Tentangnya, dan Memang Selalu Saja Tentangnya
Pernahkah kamu merasa bahwa titik pengembaraanmu tak hanya sampai di sini? Suatu kesadaran bahwa ini bukanlah titik akhir dari segala kisah ....
Indomaret Alfamidi
Juno!
Oooi!
Iris udah putus sama Kak Gamma, 'kan?
Ayok, kesempataaan!
Nanti keburu ada Kak Gamma kedua!
Juno yang sedang menunggu Iris memakai sepatu di halaman depan rumahnya, kini menguap lebar begitu membaca pesan dari Alfa, penyebab ponselnya bergetar terus-menerus. Iyalah. Siapa lagi yang Juno harapkan menghubunginya seheboh itu, kalau bukan kaleng rongsok?
Mengenai kabar putusnya Iris dan Gamma itu ... Juno juga sudah tahu, kok. Berbeda dengan orang lain yang mengetahuinya dari pembicaraan orang, Juno malah mendengar pengakuan langsung dari Iris-nya. Tidak salah lagi. Jelas saja Juno lega, 'kan? Lebih enaknya lagi, Iris tidak perlu melalui fase galau-galau menangis bombai setelah putus dengan Gamma. Anak itu malah kebingungan ketika Juno tanya, 'Kok enggak nangis?'.
Tanpa merasa perlu untuk mengirimkan pesan balasan, Juno langsung menjejalkan ponsel ke dalam saku jaket hitamnya. Juno meregangkan lehernya yang terasa pegal, lalu bersiap memacu sepeda setelah Iris mengempaskan badannya di jok belakang.
"Yuk, berangkat!"
Tinjuan kecil Iris yang mengenai punggung Juno membuat anak lelaki itu sedikit tersentak dan terpaksa membuang kantuknya. Iya. Ini hari Minggu, libur sekolah. Akan tetapi, di waktu sepagi ini, Juno sudah menjadi babu hariannya Iris. Kerja lembur, kerja rodi!
Akan tetapi, ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu. Pasalnya, anak itu membangunkan Juno di pagi buta hanya untuk memintanya mengantar Iris ke rumah Gamma. Benar! Bukan sekadar kakak kelas. Katanya mau ke Gamma! Mantan pacarnya itu.
Berbagai pikiran negatif sudah bermunculan tanpa permisi di kepala Juno. Mau apa, deh? Apakah Iris memiliki dendam tertentu, atau malah ingin meminta Gamma menjadi pacarnya kembali?
Sial. Kalau begitu ceritanya, Juno sebaiknya mencari tempat persembunyian lebih dahulu begitu sesampainya di sana. Jangan sampai jadi penonton nyamuk di antara mereka berdua ... Juno tidak suka film romantis! Enggak tahu kalau Juno-nya yang jadi male lead ... enggak pernah dan enggak mungkin, sih. Sudahlah.
Baru mengayuh sepedanya beberapa meter dari halaman, Juno langsung menghentikan Akashi. "Bentar. Rumahnya di mana?"
"Ah, Juno mah! Itu, lho ...." Beberapa detik lamanya hanya senyap. Iris terdiam. Waktu itu, nama alamatnya apa, ya? Gamma enggak pernah bilang! Iris mengetuk-ngetuk punggung Juno dengan kedua kepalan tangannya. "Itu! Yang warna rumahnya cokelat, satu lantai, luas banget! Yang ada bunga bugenvil di depannya itu, lho!"
Juno mengernyit, susah payah menoleh untuk melirik Iris dengan tatapan tak percaya. Jadi, Iris meminta Juno mengantarnya ke suatu tempat yang bahkan ia sendiri tidak mengetahui alamat pastinya? Juno lupa, anak ini memang sudah gila. "Gini, lho, Ris. Deskripsi Iris soal rumahnya Kak Gamma itu enggak cukup buat jadi acuan."
Aduh! Iris mengeluh tertahan. Dengan bibir yang menekuk bagai bebek penyek, Iris mengeluarkan ponsel dari tas kecil penguinnya. Diketikannya sesuatu pada chat room dengan kontak bernama Kak Gammy.
"Terus sekarang apa? Aku tidur dulu, ya."
"Ih, jangan!" Iris mengguncangkan tubuhnya di atas sepeda, sehingga Akashi nyaris oleng dan membuat pemiliknya hampir terkena serangan jantung. Kelakuan anak itu memang selalu saja membuat Juno langsung panik dan sukses menghalau kantuk walau sesaat. Iris mencengkeram bahu Juno erat. "Enggak boleh! Iris masih ingat jalannya, kok, kalau dari sini. Di gapura belok kiri, terus lurus aja gitu! Sebelum dapat balasan dari Kak Gammy, jalan aja dulu."
Juno menguap lebar, lagi. "Kalau Kak Gamma enggak balas-balas?"
"Enggak apa. Beli es krim di Kedai DoDi aja dulu! Yuk!"
Apa? Kenapa rencananya jadi banting setir begini? Juno menghela napas panjang. Tidak. Jangan sampai isi dompetnya kembali berkorban, hari ini. Mari kita pelankan laju sepeda, biar tidak cepat sampai. Siapa tahu chat Gamma lebih dulu terkirim, jadinya Juno tidak perlu mampir ke Kedai DoDi.
Benar saja! Baru sampai ke gapura pembatas antara gang dan jalan raya, Iris sudah berteriak heboh di belakang. "Oh, oh! Kak Gammy udah share location."
"Sini, lihat," titah Juno. Setelah menepikan sepedanya ke dekat bengkel di pinggir gapura agar tidak menghalangi jalan, Juno meraih ponsel Iris. Diketuknya lokasi tersebut hingga membuka fitur Google Maps. Detik berikutnya, mata hitam legam itu melotot sempurna. 6.7 km .... "Jauh amat! Ini dua kali lipat lebih jauh dari jarak ke sekolah."
Di saat Juno mengacak-acak rambutnya frustrasi, Iris menyembulkan kepala di balik pundak Juno, mengintip layar ponsel yang ada di tangan lelaki itu. "Oke, sip! Olahraga, Juno. Biar sehat."
"Tahu gini, enaknya pakai motor aja, Iris. Aku bonceng Iris, lho, ini. Mau nyiksa, ya?"
Di belakangnya, Iris malah cekikikan dengan puas. "Ayo. Semangat, Juno! Iris bantu doa."
Benar apa kata Juno. Ini, sih, penganiayaan terencana! Rumah Gamma tinggal seperempat jalan lagi, tetapi napas Juno sudah memburu, tak beraturan. Sedikit lagi! Demi mengerahkan seluruh tenaganya dengan lebih maksimal, Juno mengayuh sambil agak berdiri, tak lagi duduk santai di atas jok.
Rumah cokelat dengan tanaman bugenvil itu! Juno lekas mengerem laju sepedanya, lantas menepi di halaman depan rumah tersebut. "Yang ini, kan, Ris?"
"Iya, iya! Ini!" Dengan sorak bahagia, anak itu langsung turun dari sepeda. Di saat Juno baru memasang standar, Iris sudah berlarian dan mengetuk pintu depan. "Permisi?"
Tak perlu waktu lama, daun pintu itu terbuka, menyembulkan kepala anak perempuan yang lebih tinggi dari Iris. Begitu menyadari siapa yang datang, anak itu langsung melebarkan pintu dan senyuman manisnya. "Ah, Kak Iris! Udah lama enggak ketemu!"
"Vio!"
Cekikikan antara dua anak perempuan itu terpaksa terhenti ketika Vio menangkap kehadiran Juno di belakang Iris. "Eh, itu siapa, Kak Ris?"
Iris melirik Juno yang sedang membuka jaket hitam, gerah. Pelipis dan lehernya tampak sudah dibanjiri keringat. Iris menahan gelak. "Ini Juno, teman aku!"
Setelah mengangguk singkat, Vio kembali beralih pada Iris. "Mau ke Bang Gam, Kak Ris? Bentar, ya. Aku panggil." Juno sudah berekspektasi bahwa anak perempuan itu akan masuk dulu ke rumah. Akan tetapi, pada kenyataannya, Vio masih bergeming di posisinya. Hanya kepala Vio yang menoleh ke bagian dalam rumah. "Bang Gam! Oy! Sini, ada yang nanyain!"
Teriakan menggelegar itu sempat membuat Juno syok. Tak lama, suara sangar Vio sudah kembali lembut ketika dipakai untuk menyuruh Iris masuk ke dalam rumah. Namun, anak itu menolak. "Di sini aja, deh, Vi. Bentar doang, kok."
Gamma pun muncul dan menarik adiknya untuk diusir masuk. Kini, lelaki itu menggantikan posisi Vio di bingkai pintu. Gamma menyugar rambutnya yang semakin panjang, lantas terhenti ketika menangkap presensi Juno. "Ada apa, Ris? Tumben banget. Mau konsul soal anu?"
Juno hanya bisa mengerutkan kening tak mengerti ketika Gamma berkali-kali melirik dirinya sambil memasang seringaian meledek pada Iris. Sementara itu, Iris menggelengkan kepala. "Iris mau tanya itu, lho, Kak Gammy ... kotak makan Iris yang beruang itu! Yang dulu. Balikin, ya? Sayang, soalnya. Itu keluaran terbaru."
Sehabis keheningan yang panjang, akhirnya Gamma tersadar dan menepuk dahinya keras. "Cuma buat itu? Kan Iris masih bisa chat aja, biar aku bawa pas sekolah besok. Bentar, ya. Aku lupa nyimpen!"
Gamma berlarian ke dalam rumah, lantas menggeledah dapur dan kamarnya. Sementara itu, di halaman depan, Juno menatap kecewa pada Iris. "6.7 kilometer, demi kotak makan yang bisa dibalikin pas kalian ketemu." Detik berikutnya, Juno menggunakan jaket hitam miliknya untuk membungkus kepala Iris sampai anak itu cekikikan dan memberontak karena kehabisan napas. Kebiasaan! Nakal, sih.
• 🦁 🐧 🐻 •
Hari Senin yang panas. Di tengah lapangan yang sedang melangsungkan upacara seperti biasa, Juno merasa dipanggang hingga gosong.
Upacara pun berakhir. Sehabis mengurus baris VVIP yang terdiri dari siswa-siswa pelanggar peraturan, Juno mendekati barisan kelasnya yang memang terletak paling pinggir.
"Pssst!" desis Alfa, yang kebetulan berada di dekat posisi Juno berdiri. Tanpa bahasa, Juno menoleh. Alfa kembali berbisik, "Upacara udah selesai, 'kan? Kenapa masih enggak boleh ke kelas?"
Juno mengangkat bahu dengan santai. "Pengumuman, paling."
Benar saja. Di depan sana, Bu Enden sudah mengambil alih mikrofon dari protokol upacara, hendak mengumumkan hasil peraihan kejuaraan. Meskipun panas terik, hal paling nikmat dari adanya sesi ini adalah diperbolehkannya para siswa untuk duduk.
Di saat seperti itu, Alfa malah memanfaatkannya dengan menyikut rusuk Juno. "Ayo, atuh. Gerak cepat, Om. Iris udah enggak ada pawangnya, tuh. Kesempatan enggak datang dua kali. Tapi karena Juno udah dapat yang kedua, kali ini, berarti kesempatan enggak datang tiga kali."
Masih saja.
"Berikut adalah nama teman-teman kita yang membawa nama sekolah untuk menorehkan prestasi dalam kejuaraan olahraga dan Kompetisi Sains Nasional tingkat kota." Bu Enden menjeda kalimatnya. "Selamat kepada Gamma XI MIPA-4 dan kawan-kawan dari tim futsal Persatas, yang telah melaju sampai ke babak final."
Suara tepukan tangan membahana, memenuhi setiap penjuru Persatas. Anak futsal pun berbondong-bondong maju ke depan, termasuk Alfa.
"Untuk KSN, selamat pada Dzafran Munggara XI MIPA-2, sebagai delegasi sekolah di bidang kimia, juga Iris Larasati X MIPA-1, sebagai perwakilan di bidang astronomi, yang melaju sampai ke tingkat provinsi!"
Lagi, mata Juno terkunci pada sosok mungil yang tampak menyipitkan mata di depan sana, kesulitan melihat sekitarnya di antara terpaan sinar matahari yang terik. Perlahan, kedua sudut bibir Juno terangkat tanpa sadar.
Kesempatan, ya?
Setelah pengumuman berakhir dan seluruh siswa sudah kembali ke kelasnya masing-masing, Iris dan Juno melangkah beriringan menaiki anak tangga. Keduanya baru bisa ke kelas saat sekitar sudah sepi, karena tadi, Iris menjalani sesi dokumentasi terlebih dahulu dengan kepala sekolah dan guru lainnya, sementara Juno mengurus barisan VVIP seperti biasa.
"Selamat udah tingkat provinsi! Semoga terus sampai nasional."
Kalimat Juno membuat Iris nyengir lebar. "Juno juga! Selamat udah nyoba ... besok kelas sebelas, ikut lagi, ya!"
Juno mengangkat bahu. "Mana bisa. Tahun depan, Kiano bakalan ikut lagi, lah."
"Ya biarin! Posisi Juno diganti Kiano, terus Juno gantiin Kak Dzafran."
Tanpa aba-aba, mendadak saja Juno menghentikan langkah Iris di tangga, dengan menggenggam pergelangan tangan mungil itu erat-erat. Iris menoleh, dan sedikit terkejut begitu mendapati tatapan Juno yang tak seperti biasanya. Netra hitam legam itu seolah terus menenggelamkan Iris.
"Aku suka kamu."
Hah? Iris mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha meyakinkan diri bahwa di depannya ini memanglah orang yang sama dengan sebelumnya, seorang Juno Kenandra.
Di saat Iris sudah membuka mulut, Juno langsung meneruskan kalimatnya. "Bukan sebagai sahabat. Aku suka Iris, sebagai Juno." Tidak bisa. Ia sedang berada dalam mode impulsif. Juno tidak bisa membiarkan Iris memotong kalimatnya, yang bisa menghilangkan efek keberanian ini.
"A-aku? Terus ...."
"Aku enggak minta Iris jawab, kok." Kesalahan besar! Juno tidak pernah melihat Iris yang gugup begitu, dan itu membuatnya malah tambah gugup juga! Juno menjilati bibir bawahnya, dengan mata yang tak mau melepaskan manik cokelat terang Iris walau hanya untuk sejenak. "Aku cuma mau bilang begitu. Demi kedamaian diri aku sendiri. Oke?"
Jadi ... Iris enggak harus respons apa-apa, 'kan? Namun ... apa-apaan ini? Kenapa jantung Iris jadi sulit dijinakkan? Berbanding terbalik dengan Juno, Iris justru mengaburkan pandangannya ke sana kemari untuk menghindari kontak mata dengan lelaki itu. Reaksi di dalam sistem kehidupan Iris aneh sekali ... Iris tidak pernah merasakan sensasi asing ini! Takut! Iris akhirnya memilih untuk membenamkan wajah di antara telapak tangan.
Lucu ... Iris sedang malu, ceritanya? Dengan sedikit tremor, tangan Juno terulur untuk mengacak-acak rambut pendek Iris. "Udah, udah. Ayo, ke kelas. Pasti udah ada guru, dari tadi."
Masih dengan kepala menunduk, Iris membiarkan Juno menarik tangannya untuk meneruskan langkah, menaiki anak tangga dan sampai di lantai dua. Sepanjang perjalanan singkat dari anak tangga ke lantai dua ini, Juno tidak sanggup menahan senyuman. Ternyata, Iris bisa malu dan diam juga, ya ....
"Dah!" seru Juno. Kelasnya paling dekat dengan tangga, sementara kelas Iris di ujung koridor sana.
Sebelum Juno melangkah masuk, tahu-tahu Iris bicara lebih dulu. "Makasih!"
Eh? Tiba-tiba?
Menyadari perkataannya tidak begitu pas untuk membalas kalimat perpisahan dari Juno, Iris makin tak berani memandangi lelaki itu saat ini. Iris menggeleng panik. "Ah, enggak. Pokoknya makasih! Dah!"
Sepersekian detik kemudian, Iris sudah lari terbirit-birit seperti orang cepirit, menuju kelasnya. Juno pun masuk kelas dan duduk di bangkunya setelah menyalami Pak Prana yang sudah mengawali kegiatan pembelajaran. Sesaat, Juno menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan. Malu ....
Jangan sampai ada yang melihatnya dalam kondisi memalukan begini! Juno memejamkan mata erat-erat, kesulitan mengendalikan semburat merah yang menjalari pipi hingga ke telinganya. Aduh, cukup!
Juno menegakkan badannya, berusaha fokus menatap coretan angka-angka di papan tulis.
Tak apa. Juno tidak akan pernah meminta Iris untuk lebih dari sahabat. Semua ini lebih dari cukup. Toh, dunia ini memang tak selamanya tentang pacar. Rasa boleh tumbuh kapan saja, tetapi Juno tahu, waktu-waktu untuk membucin itu bisa digunakan sebagai kesempatan untuk menciptakan langkah baru.
Ada perjalanan panjang yang menanti di depan sana. Tentang bagaimana ia akan menggenggam masa depan, nantinya.
Soal Iris dan rasa-rasa yang mengangkasa ini? Juno mengulas senyuman dengan mata yang tak lepas dari papan tulis. Ah, orang-orang bisa menyangka dirinya jatuh cinta pada Matematika ....
Soal rasa itu, Juno biarkan semesta yang mengguratkan kisah terbaiknya. Tugas Juno memang hanya melangkah maju, 'kan?
• 🦁 🐧 🐻 •
Tamat ... gimana tuh? Haha! Juno bisa dibilang cupu ga siih? Tapi aku tetep sayang, soalnya ... tau ga? Aku nyengir pas nulis ending ini!😭 Ending pertama di antara semua ceritaku yang paling bikin aku guling-guling gemes ... hshshsh maapin!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top