🚀Kisah yang Takkan Terselesaikan dengan Sendirinya
"Aku suka kamu, Gamma. Kenapa satu kalimat itu malah bikin kamu berubah sedrastis ini?"
Di lorong-lorong kelas, langkah Gamma dihadang Selena. Mereka baru saja keluar dari laboratorium kimia yang letaknya tak jauh dari taman biotik sekolah. Anak XI MIPA-4 sudah kembali ke kelas untuk menyimpan barang, meninggalkan Gamma dan Selena. Jam istirahat. Dengan kedua tangan yang masih tenggelam di dalam saku celana abunya, Gamma mendelik tidak suka. "Itu bukan hanya 'satu kalimat', Sel."
"Itu hanya caraku untuk membiarkan rasa-rasa ini mendapatkan haknya."
"Tapi itu mengubah segalanya. Aku, kamu, kita," sambar Gamma. Rahangnya mengeras.
Selena tenggelam dalam tatapan yang tak lagi menyiratkan kehangatan itu. Kedua sudut bibir Selena menekuk ke bawah. Kakinya mendadak lemas. Kedua tangan Selena juga terasa tak mampu lagi menahan buku, beserta alat-alat yang baru saja digunakan untuk praktik percobaan laju reaksi. Selena menunduk dalam. "Kenapa jadi begini? Harusnya, aku enggak pernah mengatakannya ...."
"Harusnya, kamu enggak punya rasa itu sejak awal!" koreksi Gamma. Salah satu tangan besarnya mengangkat dagu Selena, memaksa gadis itu untuk menatapnya. "Aku kecewa, Sel. Kita ini cuma teman yang kebetulan dibersamakan semesta. Kenapa kamu malah meminta lebih? Itu bukan jalan kita."
Seram. Selena tak pernah terbiasa untuk menghadapi Gamma yang begini. Gamma memang berubah jadi lebih dingin sejak masuk SMA, tetapi Selena tak pernah mengira akan ditatap seperti itu oleh Gamma. Tatapan nyalang yang membunuh Selena, tetapi tidak dengan rasa-rasanya. "Kenapa, Gam? Seenggaknya ... apa kamu enggak berpikir, kalau semua ini bisa kita mulai dari awal? Sebagai sahabat. Lupakan saja soal ...."
Permintaan Selena membuat Gamma tersenyum pahit, mengalunkan tawa getir, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tidak masuk akal. Kamu yang punya rasa itu, lantas mau bunuh diri dengan membiarkannya tumbuh liar selama berada di dekatku? Pilihannya hanya dua, Sel. Opsi yang paling aman, menjauhlah dariku, pangkas habis semuanya. Jangan ada sisa."
Manik hazel Selena sudah bersiap menumpahkan derai tangis. Selena menggigit bibir bawahnya dalam-dalam. "Aku ... aku pasti bisa mengatasinya, tanpa perlu mengandalkan jarak."
"Enggak sadar diri? Aku baru menolak saja, kamu sudah ketar-ketir. Bagaimana kita menjalani hidup seperti biasa?" Gamma menggelengkan kepala. "Aku enggak bisa berteman dengan orang yang menyimpan harapan."
Tak mau berakhir seperti ini, Selena ikut menggeleng berulang kali. "Kamu berarti sepakat kalau persahabatan lebih penting daripada rasa. Bagaimana mungkin kamu membiarkannya merusak persahabatan kita selama ini?"
"Kamu yang menghadirkan rasa itu!"
"Tapi aku tak pernah mau membiarkannya merusak ...."
"Padahal kamu sendiri tahu kalau rasa itu merusak segalanya!" Tak sadar, Gamma mendorong bahu Selena hingga gadis itu kaget dan jatuh terduduk di atas lantai. Buku kimia beserta lembar laporannya berserakan di sekitar. Gamma tak peduli. Lelaki itu berjongkok, mencengkeram bahu Selena kuat-kuat, memaksanya berdiri.
Dari balik punggung Gamma, mendadak terdengar seruan nyaring. Muncullah Iris dengan buku astronomi di tangan. "Sudah!"
"Ris!"
Seruan Juno dari kejauhan tidak cukup untuk menghentikan kecelakaan yang terjadi begitu cepat. Berniat menyingkirkan Iris yang menghadangnya, kepalan tangan Gamma malah telak mengenai muka Iris. Keras sekali. Kini, anak itu sudah terjungkal ke belakang.
Kaget. Iris menyentuh pipi kirinya yang terasa berdenyut nyeri. Bagian itu terlihat merah. Di saat Iris masih memproses rasa sakit yang menjalar, Juno lekas menarik lengan Iris. Sementara itu, Gamma teralihkan sejenak dari emosinya, baru menyadari bahwa dirinya sudah meninju anak kelas sepuluh tanpa sengaja.
Gamma bangkit dari posisi jongkoknya. "Kamu ...."
Lengan Iris sudah tergantung di pundak Juno. Cukup lebay sebenarnya, mengingat Iris hanya terkena pukulan di pipi. Demi mendengar kalimat Gamma yang tak tuntas, Iris pun angkat suara. "Dunia memang tak selalu berjalan sesuai kehendak kita, tapi, apa pun kasusnya, mengandalkan kekerasan fisik bukanlah suatu solusi yang keren."
Tidak ada yang menanggapi. Di sisi lain, Juno membelalakkan mata, tak percaya. Buset, ya ... di saat seperti ini, anak ingusan itu malah sok mengungkapkan kata-kata berlian imitasi!
Iris hanya menatap Gamma sembari bersusah payah menahan diri untuk tidak menangis. Ini sakit abis!
Pada situasi yang terasa aneh dengan unsur kecanggungan yang mendominasi atmosfer di sekitar, Juno akhirnya berinisiatif untuk memungut buku astronomi yang tergeletak di atas lantai, lantas menarik Iris menjauh dari sana. Rempong sekali. Juno memegangi bahu Iris sembari melangkah perlahan untuk menuju ruang UKS. Di tengah langkah mereka, Juno mengomel, "Kalau mau ke perpus, ya, ke perpus saja. Jangan malah nyari panggung buat sok jadi pahlawan. Kalau sudah begini, siapa yang repot?"
"Penjaga UKS ...," jawab Iris, lemas.
Begitu keduanya sudah berbelok, tak lagi terlihat oleh Gamma, barulah Iris benar-benar menangis. Bahunya berguncang. Buntalan pipi tebal Iris dibanjiri air mata. Pandangannya kabur. Iris tak peduli lagi jika dirinya menabrak dinding, tiang, atau tempat sampah. Ada Juno, kok!
Ketika mencapai bingkai pintu UKS, seseorang dari ruangan itu menghampiri. "Eh, kenapa ini?"
Itu Luisa, anak kelas Juno. Dengan sigap, Luisa mengambil alih bahu Iris untuk digiring menuju ranjang UKS. Iris duduk di atasnya, dengan kedua kaki yang menggantung di udara, tidak sampai ke lantai.
"Minta es ke Mang Dod, dong!" suruh Luisa, mengusir Juno. Sementara itu, Luisa sibuk menyiapkan handuk kecil.
Oke. Juno akan berperan sebagai babu, di sini. Yeah. Seperti biasa. Setelah menghadapi food court yang disesaki umat manusia, akhirnya Juno menyerahkan seplastik es batu pada Luisa. Lelaki itu hanya bisa mengamati dari bingkai pintu UKS yang terbuka, selama Iris meringis perih dengan pipinya yang dikompres Luisa.
Bunyi bel tanda jam istirahat sudah habis, terdengar di setiap penjuru Persatas. Persis berbarengan dengan Luisa yang baru saja selesai mengoleskan salep thrombopob di pipi kiri Iris. "Sudah. Tidak terlalu parah, kok. Kemungkinannya, besok juga sembuh. Kalau ada demam, kompres pakai air hangat saja."
"Oke," sahut Iris, mengangguk-angguk sok menurut. Iris menatap Luisa yang mulai sibuk merapikan kotak first aid. "Makasih, ya, Lui."
Luisa mengacungkan jempolnya, bersamaan dengan kedua alis juga sudut bibirnya yang terangkat. "Sudah tugasku."
Untuk menjemur handuk bekas mengompres tadi, Luisa keluar sejenak dari ruangan. Juno mendekati Iris yang masih duduk di atas ranjang UKS. Lelaki itu berlagak menyilangkan kedua tangan di depan dada, layaknya seorang bapak yang tengah mengomeli anak bandelnya. "Gimana? Masih mau seenaknya?"
Dengan raut muka cemberut dan menyesal, Iris menatap Juno memohon pengampunan. Iris melirik cermin kecil yang tergantung di dinding samping badannya. Sesaat, Iris mengamati pipi kirinya yang masih memiliki bekas samar dari memar tadi. Selintang cengiran bangga mendadak terbit di bibir tipis itu. Iris kembali menghadap Juno dengan binar antusias. "Juno, Juno! Lihat lebam ini ... Iris sudah kayak mafia-mafia bad girl di Wattpad itu, 'kan? Cool!"
Lagi dan lagi, Juno dibuat menganga dengan pemikiran Iris. Gadis itu memang selalu sukses merampok setiap pembendaharaan kata yang Juno punya. Menyerah. Juno hanya bisa mengembuskan napas lelah. Matanya sengaja melirik ke sembarang arah, ke mana pun asal tidak mendapati sosok yang tengah berpose sok keren itu. Bagaimana, ya ... bukan apa-apa. Dibandingkan wanita mafia yang ahli bertarung, Iris justru lebih mirip dengan seorang bocil yang baru bisa naik sepeda dan terjatuh.
"Kalian masih mau di sini? Aku mau kembali ke kelas, sudah waktunya masuk," ujar Luisa. Dicabutnya kunci yang masih menggantung di pintu UKS. "Ah, sehabis ini, pelajarannya Bu Rika, kan, Jun? Presentasi bakteri dalam proses fermentasi, sehabis praktik kita minggu lalu."
"Oh, ya." Juno melirik Iris, lantas mengikuti langkah perempuan itu yang keluar dari ruang UKS.
Iris membenarkan posisi kacamata di pangkal hidungnya yang pesek. "Aku juga mau ke kelas. Dadah!"
Juno dan Luisa memasuki ruang kelas X MIPA-3. Belum ada guru, untunglah. Juno mengempaskan badan di atas kursinya, memandangi atap lamat-lamat. Di sekitarnya ramai sekali. Kaum ambis tampak mempersiapkan presentasi supaya lebih maksimal, sebagian anak terlibat dalam perbincangan seru, ada yang asyik memantul-mantulkan bola basket di belakang kelas, dan di pojokan sana ada kawasan para CHP—Cogan Hunter Persatas—yang sedang mengadakan konferensi rahasia.
Di tengah kesendirian yang nikmat itu, Juno malah didatangi sosok entitas ampas. "Jun, oi! Gimana sekarang? Nge-date di perpus-nya mantap, 'kan?"
Baiklah. Anak itu memang tahu Juno berencana ke perpustakaan untuk mengantar Iris mengembalikan buku astronomi yang dipinjamnya, di jam istirahat tadi. Karena itulah, Alfa terus-terusan mengangkat alis dan mengedipkan mata seperti anak cacingan.
Juno mendesah pasrah. Aduh. Seharusnya, Juno bisa lebih ahli lagi untuk pergi sembunyi-sembunyi. Selama ini, Alfa selalu saja tahu setiap kali Juno bergerak keluar kelas, apalagi jika besama Iris, anak itu tak akan pernah absen merecoki. Juno sampai curiga bahwa Alfa memiliki radar sensoris yang bisa menyala jika Juno berjarak kurang dari dua meter dari pintu kelas.
"Juno tembak dia, 'kan? Gimana hasilnya? Positif?"
Cerocosan Alfa yang sepanjang rel Hogwarts Express membuat Juno mendengkus singkat. Tembak, katanya? Jangankan pegang pistol atau memasukkan peluru, yang ada malah Juno yang jadi asisten pribadi Iris. Tidak bisa diharapkan.
Alfa menarik kursi ke bangku Juno, lantas duduk manis sambil bersedekap. Jangan lupakan muka tengilnya yang mendadak memasang mode serius. Heran. Padahal di setiap penjelasan materi pelajaran, Alfa tak pernah tampak seniat ini. "Ow, Man. Ditilik dari eksistensimu yang loyo, lemah, lemas, lesu, letoy ... hasilnya tidak begitu baik?"
"Enggak usah sok formal," celetuk Juno sembari memalingkan muka. Bu Rika mana, ya? Tiba-tiba, rasanya Juno jadi merindukan guru biologi itu tanpa alasan. "Enggak ada sesi tembak-tembak. Akhirnya, ke perpus aja enggak sampai."
"Lah?" Alfa semakin mendekatkan kursinya ke arah Juno. Demi mendapati aksi itu, Juno pun menarik kursinya ke sebelah kanan untuk menjaga jarak dengan cecunguk buluk itu. Alfa mendekat lagi, Juno menjauh lagi. Terus begitu hingga kursi Juno sudah mentok dengan dinding. Alfa mengusap dagu, berlagak seperti detektif yang tengah menginvestigasi suatu kasus. "Kok gitu? Selama istirahat tadi, ngapain, dong?"
Mood Juno seolah ditelan black hole hingga habis tak bersisa. "Main drama."
"Juno Kenandra Sudra Meliandra Abdulcandra Abracadabra!" Alfa memamerkan giginya yang besar-besar, tampak gemas, seolah hendak memangsa Juno saat itu juga. Totalitas sekali. Sudah seperti sedang berjuang kontraksi atau mengejan dalam usaha pengeluaran, setelah makan seblak sebanyak lima baskom. "Gimana hidup mau maju, sih, kalau diam di tempat terus? Nih, ya. Telur sama tepung aja enggak akan bersatu kalau enggak diaduk. Pop Ice juga enakan diblender, 'kan?"
"Tinta atau pewarna makanan bisa larut di air lewat difusi, tuh. Enggak usah ribet diaduk."
"Tapi itu juga ada pergerakan dari molekul terlarutnya, 'kan?"
Juno melotot. Dia kira, Alfa tidak akan sanggup membalas kalimatnya yang memang sengaja sok ilmiah biar bisa membungkam mulut Alfa.
Alfa tergelak heboh. "Mampus. Kaget, ya? Emangnya Juno doang yang usaha belajar bareng Iris biar nilai naik? Iya, enggak, Lu?" tanya Alfa, yang ditujukan pada gadis di depan bangku Juno.
Luisa yang asyik memainkan ponselnya hanya berdecak malas. "Baru tahu segitu aja bangga."
"Ey, ini pencapaian! Apresiasi, dong!"
Detik berikutnya, Juno memutuskan untuk simulasi bagai orang mati. Membiarkan Alfa bertengkar sampai diburu Luisa, meski keduanya loncat-loncatan dari satu meja ke meja lain. Membiarkan kantuk mendera, juga pikiran-pikiran yang mulai terasa mengusiknya.
Bergerak maju, katanya? Bagaimana jika langkah itu malah membuatnya jatuh, tersesat, atau malah terjebak dalam labirin tak berkesudahan?
Sayangnya, Juno lupa bahwa berdiam diri juga tak akan pernah membuatnya sampai.
• 🦁 🐧 🐻 •
Okei, yang ni agak panjang, wkwkw. Pas baca chapter ini, aku nyadar sesuatu. Menurutmu, cerita ini terlalu drama ga sih?:(
See u next page!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top