🚀Kehendak Meledak, Semesta pun Tergelak
Sepertinya, hari ini akan menjadi hari paling malas bagi seorang Iris yang biasanya tidak bisa diam. Satu malam tanpa berinteraksi dengan buku astronomi ... ya sudahlah. Sekali saja, kok. Iris tidak mood berbuat apa-apa.
Sudah setengah jam sejak Iris mandi juga mengenakan baju tidur, dan yang dilakukannya hanyalah berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Karena merasa pundaknya mulai kebas, Iris tengkurap sambil menyalakan ponsel. Jarinya terus menggulirkan layar, menyapa barisan chat WhatsApp-nya yang kosong melompong.
Tidak ada notifikasi sama sekali. Bosan, Iris iseng menekan kontak Juno, lalu melakukan panggilan video. Cukup lama Iris menunggu sampai layar ponsel Iris akhirnya menunjukkan panggilan diterima. Akan tetapi, keadaan di sekitar Juno hanyalah gelap.
Dengan setengah wajahnya yang terbenam di bantal, Iris bergumam tidak jelas. Penasaran, Iris memperbaiki posisi rebahannya. "Kok hitam?"
"Jangan layar-shaming, dong."
Iris mengerjap kaget. Ih, iya. Jahat, ya. "Maksudnya, kok di sana gelap? Mati listrik?" Iris melongok ke jendela yang letaknya tak jauh dari kasur, lantas kembali mengalihkan perhatiannya pada panggilan video bersama Juno. "Eh, tapi lampu di halaman rumah Juno nyala, kok."
Dengkusan malas terdengar di seberang telepon sana. "Ya, emang. Lampu kamar aja yang dimatiin. Aku mau tidur cepat."
"Oh, hihi." Iris terkikik santai, tak merasa bersalah meskipun tahu bahwa panggilannya benar-benar mengganggu lelaki itu.
"Jadi kenapa? Tumben malah telepon, padahal biasanya tinggal loncat dari balkon buat ke sini, 'kan?"
Oho. Tidak salah. Iris malah nyengir lebar. "Hari ini mager banget. Naik ke kamar aja dituntun sama Bunda, tadi."
"Dasar, nenek-nenek."
Ledekan Juno lolos begitu saja bukan tanpa alasan. Ada suatu masa di mana Iris bisa loyo, lemas, dan tampak tidak punya semangat hidup. Juno menamainya jeli sindrom. Kalau sudah kambuh, Iris selalu menggelepar tiba-tiba, bahkan ketika sedang berjalan di tempat publik.
Agak merepotkan, memang. Juno pernah jalan bersama Iris yang terkena serangan jeli sindrom mendadak. Waktu itu, kalau saja tidak takut dengan Bunda, rasanya Juno ingin membiarkan saja Iris tergeletak tak berdaya di jalanan.
Meski begitu, sindiran keras Juno tak diacuhkan Iris sama sekali. Anak itu malah sibuk mengembarakan pikirannya pada kejadian di sekolah. "Jun, kok Kak Sel gitu, ya?"
Sesaat, Juno membiarkan keheningan yang mengisi, tak siap dengan perbincangan Iris yang mendadak terdengar serius. Juno beralih dari posisi telentang menjadi menghadap ke samping, mencari posisi yang lebih nyaman. "Namanya juga manusia. Jangan berharap atau menggantungkan ekspektasi sama manusia. Suka kecewa."
"Tapi, kan ...." Kelanjutan kalimat Iris dilahap senyap. Ada suatu hal yang tidak bisa Iris pahami.
"Sebenarnya, kita emang enggak bisa ngasih label ke orang-orang, sih. Kita enggak seharusnya mengklasifikasikan mana orang baik, mana yang enggak. Kita cukup tahu kalau seseorang itu, ya ... manusia. Dengan begitu, mau sejahat apa pun manusia, kamu enggak akan kaget lagi."
Suara pelan Juno yang agak serak itu sempurna membuat Iris membisu. "Semuanya kembali ke sudut pandang kita, ya ...."
Kini, keduanya malah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tampaknya, Iris tidak berniat mematikan sambungan telepon sama sekali. Padahal tidak ada yang keduanya lalukan sedari tadi. Juno memejamkan mata, mempersilakan pada rasa kantuk untuk mengambil alih dirinya kapan saja.
Di tengah rebahan dalam keheningan panjang, ponsel Iris bergetar singkat. Anak itu lekas keluar dari video call layar penuh, lantas mengecek WhatsApp-nya yang baru saja ditenggeri sebuah pesan baru.
Gammy Dear🐻
Belum tidur? Besok halaman belakang kayak biasa, ya!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Iris mengirimkan pesan balasan.
Mau apa, Gammy?
Gitu, deh.
Mau spoiler?
🥛🍓
😗
MAU, BESOK!
Tanpa sadar, Iris memekik riang sambil terlonjak-lonjak di atas kasur. Demi mendapati atraksi dadakan itu, Juno kembali membuka mata. Tak lupa kedua alis tebalnya yang mengerut keheranan. "Kenapa?"
Iris terkikik riang. Anak itu menghadap kamera dengan lebih benar, sehingga Juno bisa melihat cengiran lebar Iris yang memenuhi layar. "Barusan di-chat, katanya Gammy mau ngasih Iris susu stroberi, besok!"
Gammy?
"Oh, iya. Tahu enggak, sih, Juno? Gammy udah sering pakai dasi dan beratribut lengkap! Cuma bolosnya aja yang masih bandel."
Kabar menyenangkan itu tak lebih dari nada sumbang yang berlalu begitu saja di telinga Juno. Di luar kendalinya, tahu-tahu jari Juno sudah menekan tombol merah. Panggilan video bersama Iris pun terputus. Oh, bukankah itu mencurigakan?
Berusaha mengusir overthinking dalam benak, Juno lekas melesakkan telepon genggamnya ke bawah bantal, lantas memejam erat. Kenapa Juno sampai lupa? Padahal dia sendiri yang bilang ....
"Kita cukup tahu kalau seseorang itu, ya ... manusia. Dengan begitu, mau sejahat apa pun manusia, kamu enggak akan kaget lagi."
Iya! Juno cukup tahu kalau Iris itu, ya ... pacarnya Kak Gamma. Dengan begitu, mau se-uwu apa pun mereka, harusnya Juno enggak kaget lagi, 'kan?
• 🦁 🐧 🐻 •
Mentari muncul di ufuk timur, menerbitkan hari yang baru. Garis cakrawala memuntahkan cahaya paginya untuk menghiasi horizon, bersama dengan angan-angan yang kembali digantungkan.
Suatu hari biasa, dengan rutinitas yang biasa. Juno mengayuh Akashi, sepeda merahnya, dengan kecepatan sedang. Sejak awal naik jok belakang dari halaman rumah tadi, Iris hanya terdiam dan melesakkan kepalanya yang berlapis helm penguin ke punggung Juno. Agak tidak nyaman, tetapi apa boleh buat.
Hanya satu hal yang cukup mengganggu pikiran Juno. Iris tidak henti-henti menciptakan suara nyaring dari tarikan ingusnya. Kenapa, deh? Memangnya, Iris habis menangis, semalam? Kalau ditilik dari betapa senangnya Iris ketika di-chat Gamma, seharusnya anak itu sudah seperti biasa, 'kan?
Baiklah. Dua hari berturut-turut bersama Iris dengan jeli sindrom-nya. Juno menghela napas berat.
Setelah menghentikan Akashi di tempat parkir, Juno melepas helm. Lelaki itu berniat bangkit, tetapi urung ketika menyadari bahwa kepala Iris masih bersandar di punggungnya. "Ris? Hei, udah sampai."
Detik berikutnya, barulah Iris mengangkat kepala. Iris melepaskan helm penguinnya dengan lemas. Supaya bergerak lebih cepat, Juno pun menuntun tangan Iris untuk memasuki gerbang kawasan sekolah. Iris bergumam tidak jelas. "Juno, pulang sekolah antar ke Sukses, yuk."
Sukses? Toko alat tulis di seberang jalan itu? Juno mengangkat sebelah alis, meskipun tahu bahwa Iris tidak akan bisa melihatnya. "Mau apa?"
"Beli itu ...." Di pinggir lapangan, tiba-tiba saja Iris sudah jongkok tanpa alasan. Tas hitam berkarakter penguin di pundaknya sedikit terempas ke tanah. "Aduh. Aku enggak enak badan, deh. Juno, berat."
Pengaduan Iris yang tampak tak berdaya itu membuat Juno mendesah pasrah. Tanpa perlu banyak bicara, Juno meraih tas Iris. Sebelah tangan lainnya menarik bahu Iris supaya mau berdiri lagi. Kelas mereka di lantai dua. Encok-encok agaknya, kalau Juno harus menggendong Iris sampai ke kelas.
Akan tetapi, begitu baru mau naik tangga, Iris langsung meloloskan diri dari pegangan Juno. Netra cokelat terangnya membulat. "Oh iya, Iris mau ketemu Gammy. Dadah, Juno!"
Seolah baru saja disuntikkan energi berlebih, Iris sudah berlarian menuju halaman belakang, meninggalkan Juno sendirian dengan tas penguin imut di tangan. Tasnya Iris ... masa harus Juno yang bawakan ke kelas, sih? Kelas mereka, kan, berbeda!
Ditemani embusan napas berat yang mencoba menguatkan dirinya sendiri, Juno pun menaiki anak tangga dan memutuskan untuk ke kelas Iris lebih dulu, meskipun kelasnya lebih dekat. Juno mengetuk pintu kelas X MIPA-1, lantas menemukan anak perempuan bertubuh pendek di sana. "Oh, Juno! Iris mana?"
Juno mengangkat bahu, berlagak tak peduli. Tangannya terulur untuk menyerahkan tas penguin Iris pada Bintang. "Masih di bawah. Ini, tasnya. Titip ke bangkunya, ya."
"Oke, oke."
Setelah mengangguk singkat, Juno berbalik untuk kembali ke kelas. Dan mimpi buruk lainnya terjadi: manusia tengil berada persis di hadapan Juno. Baiklah. Hari masih sangatlah pagi, tetapi sepertinya, darah Juno akan naik lebih awal.
"Gila. Iris seenaknya banget, sih, sama kamu, Jun," celetuk Alfa. Anak itu menyingkir ke pinggir Juno untuk masuk kelas X MIPA-4 bersama-sama. "Masih saja berharap? Kamu kayaknya lebih cocok disebut asisten pribadinya Iris, deh."
Heran. Setiap kali mood Juno anjlok, kenapa selalu saja ada makhluk menyebalkan ini, sih? Bukan apa-apa, tetapi kehadirannya malah bikin Juno tambah-tambah beban pikiran!
Alfa bersiul santai, lantas bicara dengan ringan. "Enggak usah banyak perhatian sama Iris, deh. Dia udah punya pawang. Kamu makin susah move on, entar."
Enteng sekali anak itu mengatakannya. Padahal, kalimat Alfa sudah menghajar Juno secara telak, habis-habisan, sampai kena mental. Sepersekian detik kemudian, barulah Alfa tersadar bahwa dirinya sedang bicara pada spesies bucin yang kebal nasihat dan peringatan untuk berhenti.
"Yaaah ...." Alfa menyimpan tasnya di bangku sebelah Juno, lantas kembali berkata sebelum mengganggu kehidupan Luisa, sebagaimana biasanya. "Hati-hati aja, sih, Jun. Bucin bisa berujung toxic."
• 🦁 🐧 🐻 •
Tak dapat dipungkiri, kalimat demi kalimat Alfa yang memuat realita itu terus gentayangan di kepala Juno. Bahkan ketika bel tanda jam pulang berbunyi nyaring memenuhi setiap penjuru Persatas. Kali ini, Iris yang menghampiri kelas Juno lebih dulu.
Sebagian besar siswa sudah pulang. Yang tersisa di kelas hanyalah Juno dan Luisa yang memang sedang menunggu teman PMR-nya untuk merincikan data persediaan obat bersama.
Langkah kecil Iris terhenti di bingkai pintu. "Junooo. Tok, tok, tok. Pe! Ada orang?"
Juno memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu menghampiri Iris di ambang kelas.
"Juno, Juno. Jadi ke Sukses, ya? Kalkulator saintifik punya Iris rusak! KSN nanti, kan, harus pakai kalkulator, jangan yang dari HP." Iris terus mencerocos begitu saja tanpa menyadari kedua mata Juno yang sudah memicing tidak tahan. "Pas pembinaan kemarin-kemarin aja pakai yang Bu Lutfia ...."
"Ris, bisa berhenti, enggak?"
Mendapati suara dingin Juno yang terasa menusuk itu, Iris membulatkan mata. Netra cokelat terangnya mencoba menganalisis raut muka Juno lebih jauh. Iris mencari sesuatu di manik hitam legam Juno, tetapi lelaki itu malah mengalihkan tatapannya.
"Kamu punya pacarmu, tapi kenapa masih saja mengandalkanku? Berhenti ketergantungan."
Yang barusan itu, yang di hadapan Iris ini ... sungguhan Juno?
Atmosfer di sekitar terasa mendung. Hal itu diperparah dengan kesenyapan yang ada. Di pojok sana, Luisa bahkan hanya bisa membeku di tempat karena baru melihat sisi Juno yang semenyeramkan itu di depan Iris. Sialan. Juno kehabisan akal. "Aku mau rapat dulu buat Persatas Day, pulang duluan aja. Sama Gammy, mungkin?"
• 🦁 🐧 🐻 •
Hampir lupa apdet! Wkwkw
Fyi, di draft, cerita ini udah tamat loooh! Mending daily update atau up sesuai jadwal biasanya aja yaaa?:3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top