🚀Cahaya yang Tak Sampai pada Langit Malamnya

Juno lagi, Juno lagi?

Gamma tampak marah sekali. Beberapa detik lalu, lelaki itu memilih untuk langsung melengos meninggalkan Iris sendiri, persis setelah rasa bersalah tampak menggantung di sorot mata Gamma. Kini, Iris hanya bisa bergeming di posisinya, sembari mengamati langkah panjang Gamma yang membawa punggung itu kian menjauh.

Aih! Iris payah! Kenapa ia malah sibuk membicarakan Juno di depan Gamma, tadi? Eh, tetapi, kan, Iris cuma bercerita, kenapa Gamma sampai semarah itu?

Dengan langkah gontai, Iris berjalan bolak-balik mengitari pohon kersen. Tangan Iris mengacak-acak rambut pendeknya sendiri, tampak frustrasi sekaligus menyesal. Sepertinya, pacar dan sahabat memang tidak bisa disatukan dengan baik, ya?

Maksudnya ... Gamma tampak tidak begitu senang setiap kali Iris membahas Juno. Apa memang sifat keduanya bertolak belakang? Ataukah ada dendam pribadi? Suatu problematika pelik di antara keduanya yang melatarbelakangi interaksi buruk antara Gamma dengan Juno, mungkin?

Akan tetapi, kalau begitu, seharusnya Gamma mengamuk pada Juno saja, 'kan? Kenapa Iris harus kena juga?

"Juno lagi, Juno lagi ...," gumam Iris, bermaksud mengulangi perkataan Gamma untuk mencari petunjuk lain. Ah! Mata cokelat terang Iris sempurna membulat. "Apa Gammy enggak suka aku bahas-bahas Juno? Kalau dipikir-pikir ... cara bicara Juno setiap Iris sebut Gammy juga kayak beda, deh."

Itu dia! Baiklah, baiklah. Mari kita menarik konklusi dari semua ini. Iris berpikir keras.

"Jangan bicarakan pacar di depan sahabat, dan jangan bicarakan sahabat di depan pacar." Iris tertegun sejenak, lalu memekik riang. "Woooah! Profesor Iris Larasati ahli sekali meneliti pola hubungan antara pacar dengan sahabat. Iris harusnya dapat Penghargaan Nobel, habis ini!"

Iris yang sedang jingkrak-jingkrak pecicilan itu mendadak diam ketika sebuah kesadaran menghantam benaknya dengan telak. Oh, iya, sih, ya. Terkadang, membicarakan orang lain yang tidak ada di depan mata memang kurang sopan, ya, kesannya seolah tidak menghargai orang yang ada di hadapan. Iya! Gamma pasti tersinggung. Tadi, Iris sepertinya terlalu asyik dengan dunianya sendiri, sampai lupa bahwa Gamma bukan bagian dari masa lalu itu.

Oke, Iris. Mari kita belajar memfilter mulut.

Di saat Iris sedang memikirkan bagaimana cara terbaik untuk meminta maaf pada Gamma, mendadak ponsel di sakunya berdering singkat. Iris lekas menyalakan layar gawainya. Ada pesan baru.

JuNOLEP Open Donasi Semangat Hidup

Aku udah ngasih buku rekapan poin negatif ke Kak Melvin.
Kalau mau pulang, langsung ke tempat parkir aja.
Aku tunggu.

Tanpa disadari, kedua sudut bibir Iris mendadak terangkat ke atas. Iris malu. Selepas kejadian di angkot tiga hari lalu, Juno jadi tidak membiarkan Iris pulang sendiri lagi. Cukup menyakiti harga diri Iris sebagai orang yang tak ingin menjadi beban bagi sahabatnya, tetapi Iris jadi tidak perlu gengsi meminta Juno pulang bareng ....

Aduh, apa, sih?

Tak mau tenggelam lebih lama lagi dalam pikirannya, Iris pun lekas berlarian menuju tempat parkir. Di sana, Juno dan Akashi sudah menunggu.

•   🦁   🐧   🐻   •

Hari berikutnya, tak seperti biasa, Iris mendatangi rumah Juno lebih dahulu untuk berangkat bersama. Akan tetapi, yang mengusik pikiran Juno bukanlah itu, melainkan kenyataan bahwa waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi. Juno yang memang sudah siap dan sedang sarapan pun pada akhirnya langsung berangkat karena ditunggui Iris. Entah apa yang sedang merasuki anak itu ....

Meski begitu, Juno pribadi tidak bermasalah dengan berangkat sekolah lebih awal. Kalaupun masih mengantuk, Juno masih bisa terlelap sejenak di kelas, sebelum banyak orang atau bel masuk berbunyi.

Benar saja. Sekolah masihlah teramat sepi. Tampak Mang Muh yang sedang menyapu di pinggir lapangan. Anak OSIS yang jadwal jaga gerbang saja baru tiba dua orang. Juno menguap selama melalui koridor di lantai dua dan melambaikan tangan pada Iris. Mari kita teruskan perjalanan mimpi di dalam kelas.

Juno melangkah gontai ke dalam ruangan kelas X MIPA-4. Di luar dugaan, salah satu bangku di sana sudah terisi. Seorang anak perempuan tampak asyik memainkan ponsel, lalu menoleh ketika daun pintu dibuka Juno.

"Luisa? Kamu tidur di sekolah, semalam?" Juno mendekat, menyimpan tasnya di bangku yang persis di belakang kursi Luisa. Lelaki itu menggeleng-geleng tak percaya. "Heran. Rajin amat."

Seagai anak yang memang senang berangkat pagi buta tanpa alasan, Luisa hanya terkekeh pelan. "Biasalah."

Tak ada lagi percakapan. Juno sudah membenamkan kepalanya ke dalam lipatan tangan di atas meja. Namun, semua rencana penjelajahan mimpinya seketika terhenti karena suara dari bingkai pintu kelas. "Juno ...."

Suara pelan yang cempreng itu. Lekas-lekas Juno mengangkat kepala, menatap Iris yang mendadak muncul dengan sesuatu di tangan. "Kenapa?"

"Eh, udah ada Lui. Iris izin masuk kelas ini dulu, ya." Iris yang tengah menyembulkan kepala pun langsung melangkah masuk dan menggeret kursi untuk duduk di sebelah bangku Juno. Iris menyimpan tas jinjing krem miliknya yang kecil di atas bangku. "Di kelas Iris belum ada siapa-siapa ... ngeri!"

Iris mengerut takut sambil menaikkan kaki ke atas kursi. Lucu. Iris jadi tampak lebih kecil dari aslinya. Meski begitu, ada hal yang jauh lebih menarik perhatian Juno. Lelaki itu memicingkan matanya untuk meneliti tas jinjing yang dibawa Iris, seolah itu adalah patogen berbahaya yang mesti ia berantas hingga tuntas. "Ini apa?"

"Totebag."

"Buat apa?"

"Buat ... yaaa, menyimpan barang."

Juno menatap Iris dengan tampang serius. Dia tidak ingin diajak bercanda saat ini. "Isinya apa?"

"Bekal makan." Iris bergerak membukakan kotak makan yang berada di dalam tas jinjing berwarna krem tersebut. Tampaklah nasi goreng dengan sosis yang dibentuk seperti bunga. Iris sengaja menyiapkan ini sejak pagi buta. "Buat Gammy. Sebagai tanda permintaan maaf."

Di depannya, Luisa menoleh ke belakang demi memenuhi rasa penasarannya. "Kamu berantem sama Kak Gamma, Ris?"

"Iya. Kemarin, Gammy marah banget sama Iris. Katanya ... gara-gara Iris cerita soal Juno terus." Setelah menghela napas panjang, Iris menatap Luisa dengan memelas. Jangan lupakan kedua sudut bibirnya yang menekuk ke bawah. "Iris harus gimana, Lui?"

Kini, gadis berambut panjang itu menggeser kursinya untuk menghadap Iris. Luisa menjentikkan jari dengan penuh semangat. Walau terbilang tidak berpengalaman karena nyatanya ia tidak pernah berpacaran, Luisa memiliki pengetahuan romanstisme yang cukup dari fanfiction yang sering dibacanya di platform Wattpad. "Begini, lho, Ris. Kak Gamma itu pasti cemburu! Ingat quotes Dilan? Cemburu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri, dan Kak Gamma sedang merasakannya!"

"Kok gitu?"

"Kak Gamma cemburu karena Iris kayak lebih dekat sama Juno."

"Tapi, kan, Juno emang sahabat Iris. Masa harus jauhan?" protes Iris, tak peduli pada Juno yang hanya diam sambil berpura-pura terlelap, padahal telinganya terpasang dengan sempurna, menguping setiap pembicaraan Iris dengan Luisa.

Luisa mengembuskan napas berat. "Ris, yang namanya pacar itu pasti pengin dia selalu jadi prioritas pacarnya. Atau gini, deh. Iris lihat lagi apa yang udah Kak Gamma kasih buat Iris? Mungkin, susu stroberi, meluangkan waktu untuk bertemu, tapi Iris-nya malah bahas laki-laki lain. Emangnya enak?"

"Enggak," jawab Iris seraya menundukkan kepala, tampak merasa bersalah. Iris menjeda kalimatnya sejenak. "Ih, iya, ya. Katanya, kita harus memberi sebanyak apa yang kita dapatkan."

Di tengah posisinya yang tampak tak peduli, kali ini, Juno langsung mengangkat kepala dan menyerobot, "Mana ada. Aku tahu, rasa itu harus punya timbal-balik. Tapi di mana hakikat mencintai yang sesungguhnya, kalau aksi memberi itu hanya diukur dengan seberapa yang kamu terima, seolah enggak lebih dari tindakan barter semata? Menurutku, rasa yang sesungguhnya bisa lebih dari itu."

Sejenak, dua orang lainnya di ruang kelas tersebut hanya bisa melongo, kaget. Di kala Iris masih mencerna kalimat Juno perlahan-lahan, Luisa langsung tersadar dan menatap Juno dengan kedua alis mengerut kesal. "Enggak usah gitu, dong! Ini, kan, hubungannya Iris sama Kak Gamma. Iris cuma enggak mau egois."

"Egois apanya? Setiap orang punya hak masing-masing untuk memutuskan akan memberi seberapa banyak, tanpa harus dipengaruhi label 'balas jasa', 'kan?" sengit Juno.

Ditatap dengan mata minimalis Juno yang tambah menyipit itu membuat Luisa mendengkus sebal. "Tapi bukan berarti enggak bisa. Apa salahnya?"

Tak menghitung situasi yang menegangkan di dalam kelas, Iris justru mengangguk-angguk dengan muka cerah. "Oke! Aku paham. Terima kasih sarannya! Aku pamit duluan, ya. Mau nunggu Gammy aja, ah. Dadah!"

Bukannya melerai perseteruan panas yang terjadi antara Juno dan Luisa, anak itu malah keluar kelas sambil melompat-lompat kegirangan. Ya ... jangankan membantu mencairkan suasana, Iris bahkan tidak peka untuk menyadari bahwa kedua orang di kelas itu sedang bertengkar karena perbedaan perspektif. Padahal Iris penyebab utamanya, lho! Agak tidak tahu diri, memang. Biasalah.

Sepeninggal Iris, kini di dalam kelas hanya ada Juno dan Luisa dalam posisi berhadapan-hadapan. Luisa menghela napas untuk yang kesekian kalinya pagi ini. "Jun ...."

Tanpa kata, tanpa bahasa, Juno justru ikut keluar kelas tanpa tujuan tertentu. Untuk apa dia harus berduaan di kelas dengan Luisa, 'kan?

Akan tetapi, tindakannya itu malah menyinggung sudut hati Luisa. Sebelum Juno benar-benar mencapai bingkai pintu, suara Luisa langsung menghentikan langkah lelaki itu. "Mau ke mana?"

"Bukan urusanmu."

Jawaban singkat Juno sukses mengisap keseluruhan mood Luisa hari ini. Tanpa menyadari apa yang akan keluar dari mulutnya, Luisa tahu-tahu meledak. "Kamu tuh udah kayak diperbudak Iris, tahu, enggak?"

Deru napas Luisa yang memburu dapat Juno dengar dengan jelas. Demi mendapati kalimat yang kasar di telinganya, Juno berbalik untuk mengarahkan tatapan nyalangnya pada Luisa. "Kenapa? Sebelum tanya orang lain, biar aku tanya kamu lebih dulu. Kamu ini dua orang, ya? Kenapa cara bicara kamu pas ada dan enggak ada Iris jadi beda jauh gini?"

"Enggak. Aku cuma mau bikin kamu sadar, Juno," lirih Luisa. Cairan bening itu mulai tumpah dari pelupuk matanya. "Lihat! Juno jadi subjektif. Segala tentangnya selalu aja benar di matamu."

Tak peduli dengan Juno yang memutuskan untuk benar-benar melangkah pergi, Luisa akhirnya tergugu dalam senyap. Luisa memukul-mukul bangkunya dengan emosi. Sudahlah. Luisa mau menyerah saja soal perasaannya.

Ya. Namanya Luisa Halley. Katanya, Luisa adalah nama dari Polandia yang artinya cahaya. Dan komet Halley itu satu-satunya komet periode pendek yang dapat terlihat jelas oleh mata telanjang manusia dari Bumi. Akan tetapi, kenapa cahayanya tak kunjung sampai ke mata Juno?

•   🦁   🐧   🐻   •

Kayaknya soal Luisa ini emang udah pada ketebak sih, ya, xixixi. Lapiyu!
BETEWEEEE tadi mati listrik, gusti, gakuat, ga error terus:(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top