🚀Asa yang Mengangkasa
Gammy Dear🐻
Yakin udah mendingan sakitnya?
Iya, Gammy. Besok juga udah ke sekolah
Oke ... aku jemput, ya. Berangkat bareng.
Mata Iris melotot, nyaris keluar dari tempatnya. Iris yang tadinya sedang santai-santai rebahan di kasur pun langsung bangkit duduk dengan tampang seriusnya. Berangkat bareng? Gamma yang menawarkannya secara otomatis?
Syukurlah! Kalau saja Gamma tidak mengajak lebih dulu, Iris akan memintanya besok pagi. Sempurna sudah! Dengan begini, Iris jadi punya alasan untuk menolak berangkat sekolah bersama Juno dan Akashi, 'kan? Eh, tetapi ... belum tentu juga Juno mau, sih. Bisa saja malah meninggalkan Iris seperti hari Senin tadi, 'kan? Idih! Malas!
Kekesalan Iris langsung hancur menjadi partikel terkecil dan menyebar keluar begitu Iris mendapati ponselnya berdering singkat, menandakan adanya pesan WhatsApp yang masuk.
Gammy Dear🐻
Tiga hari lagi Persatas Day, ya.
Semangat perform-nya!
Eh, tapi tampilnya di hari kedua, 'kan?
Iya, Gammy!^^
Abisnya beliin susu stroberi, ya!
250ml, biasa, oke!
Jarum jam dinding di kamar Iris yang serba-penguin itu baru menunjukkan pukul delapan malam. Akan tetapi, Iris sudah mengantuk berat. Sejak awal, Iris memang tidak pernah bisa ahli dalam hal begadang atau tidur lambat, kecuali kalau sedang kecanduan buku astronomi!
Iris terlelap dalam waktu yang singkat.
Keesokan harinya, Iris sudah kembali terbangun dalam ritme yang biasa, seperti sebelum jatuh sakit. Pagi-pagi sekali, belum tepat pukul enam, Iris sudah siap mengenakan seragam. Anak itu sibuk mengitari dapur sambil bersenandung ria, sungguh tidak ada kerjaan.
Ana yang sedang kerepotan mengaduk adonan dan bolak-balik untuk mengecek kue di dalam oven pun hanya bisa berdecak pasrah. Seperti biasa. Ketika Iris sakit, Ana akan cemas memikirkan kondisi Iris. Akan tetapi, ketika sudah sehat sekalipun, Ana masih saja harus merasakan sakit kepala karena mendapati putrinya yang sangat kalem sampai membuat Ana ingin mengguyurkan adonan kue yang sedang diaduknya pada kepala anak itu. Iris sakit, Ana khawatir. Iris sehat, malah Ana yang pusing.
Agak-agak meresahkan, memang.
Kue di oven sudah matang! Dengan telaten dan cekatan, Ana menyimpan wadah adonan, lantas beralih mengenakan sarung tangan untuk mengangkat kue. Di saat Ana mencoba berhati-hati dengan kue panas di tangannya, Iris malah berlarian dengan santai di depan Ana. Untung kuenya tidak jatuh!
"Iris, bisa duduk dulu di kursi, enggak? Pulang ke kamarmu dulu, deh. Rebahan dulu!" titah Ana. Wanita berusia tiga puluhan itu mendaratkan kue di tangannya dengan selamat. Akhirnya. Selesai juga yang satu ini. Kini, kedua lengan Ana berada di sisi badan, berkacak pinggang. Tak habis pikir dengan energi anaknya yang seolah tiada habisnya itu. "Atau cepat-cepat ke sekolah, deh, Ris. Udah enggak sabar, 'kan? Tinggal berangkat ... WhatsApp-in Juno-nya aja, ayo berangkat sekarang, gitu."
Diusir oleh bundanya sendiri begitu tidak lantas membuat Iris patuh dan menurut untuk pergi. Mana ada. Anak itu malah heboh mencari camilan dari dalam kulkas. Senandung kecilnya yang menggemaskan justru jadi terdengar bagai lagu horor pengantar mimpi buruk di telinga Ana. Aih.
Lima belas tahun menghadapi tumbuh-kembang Iris sendirian membuat Ana sudah lebih dari cukup untuk menyadari suatu kebiasaan Iris setiap kali habis sakit: tidak bisa diam. Setelah sebelumnya tampak lemas dan tak berdaya di atas kasur, Iris akan lebih aktif dari biasanya ketika sembuh. Dan itu adalah alarm bahwa Iris memanglah sudah baik-baik saja saat ini.
Sungguh. Kalau sudah di fase ini, Ana tidak akan memiliki ide sama sekali untuk mengendalikan Iris. Diberi sekotak susu stroberi pun hanya akan membuatnya terdiam sebentar untuk menusukkan sedotan, lantas kembali melarikan diri.
Lihat saja. Iris menemukan pastri keju bekas semalam di dalam kulkas. Setelah menjejalkannya ke dalam rongga mulut, Iris sudah kembali berlarian menuju halaman depan. Iris membuka pintu depan, dan kesiur angin langsung menyambutnya. Woa, kencang juga untuk ukuran angin di pagi begini. Rambut pendek Iris berhamburan, sebagian poninya menusuk-nusuk mata.
Meski begitu, Iris jutsru terkikik keasyikan. Dengan tampang sok serius, Iris menggerakkan seluruh sendi tubuhnya untuk berlagak sok keren seperti pengendali elemen angin yang siap menyelamatkan dunia. Burung-burung yang tengah bersantai di halaman depan pun terlonjak kaget, sibuk berkicau satu sama lain, yang intinya memberitahu soal kedatangan bocah prik, lalu menyarankan untuk segera pergi dari sini. Akan tetapi, di telinga Iris, kicauan itu justru diterjemahkan sebagai berikut, 'Ada Princess Iris, ayo pergi sebelum terpesona oleh kecantikannya!'. Jiwa narsisme memanglah beda.
Iris tersenyum puas di saat mendapati sekawanan burung tadi langsung menyingkir dan memutuskan untuk mencari tempat nongkrong yang lain. Ya! Ini daerah kekuasaannya seorang. Tidak akan Iris biarkan siapa pun atau apa pun yang menginvansi!
Kini, Iris sibuk mengacungkan tangannya berkali-kali, seolah sedang membangun istana gaib dari kejauhan. Beberapa anak SD yang baru pulang mengaji subuh hanya bisa melirik-lirik sambil berbisik ricuh. Iris melotot, kembali mengacungkan tangan, bermaksud mengeluarkan kekuatannya untuk menakut-nakuti. Otomatis, anak kecil tanpa dosa itu langsung lari terbirit-birit.
Beberapa pengendara motor juga lewat sesekali. Rata-rata hanya mengernyitkan kening penuh heran. Mungkin, mereka akan segera menarik kesimpulan bahwa Iris ini makhluk MKKB. Karena masa lalu Iris tak kalah absurd-nya, MKKB ini bukanlah singkatan dari Masa Kecil Kurang Bahagia, melainkan Masa Kecil yang Kurang Banyak. Entah sampai kapan Iris mengidap sindrom ini ....
Baru saja Iris bersiap lari ke dalam rumahnya dalam mode Naruto dengan badan membungkuk dan kedua tangan teracung ke belakang, tiba-tiba saja terdengar suara Juno. "Iris, udah siap?"
Iris berbalik badan, mendapati Juno dengan seragam beratribut lengkap dan sepeda merah kesayangannya, Akashi. Sebelum bundanya tahu kedatangan Juno dan menyuruh Iris untuk lekas-lekas berangkat bersama Juno, Iris pun langsung menolak. "Maaf, ya, Juno. Iris mau berangkat sama Gammy."
"Kok gitu?" Menyadari responsnya yang terdengar tidak menyenangkan, Juno seketika berdeham singkat. "Maksudku ... Iris belum beli dasi, 'kan? Tadinya biar aku sekalian antar ke Ruang OSIS."
Iris menggeleng-gelengkan kepala. "Enggak usah, Juno. Iris beli sendiri aja, nanti."
Ditolak mentah-mentah. Juno menelan ludahnya kasar, kesusahan. "Oke. Jangan lupa bilang ke yang piket di gerbang buat beli dasinya, ya, biar enggak kehitung poin negatif."
"Iya."
Belum sempat Juno pamit mengundurkan diri dari hadapan Iris, getaran panjang merambat di saku seragam Juno. Lelaki itu mengecek layar ponselnya. Luisa, panggilan suara. Tunggu. Tumben sekali. Masih di bawah tatapan menyelidik Iris, Juno mengangkat telepon. "Kenapa, Lu?"
"Jun! Bisa jemput aku ke rumah, enggak? Aku susah kalau naik motor sendiri, mau bawa termos es buat Persatas Day yang baru dicuci. Ya? Kemarin juga aku bawanya diantar teman." Ada jeda sejenak di seberang sana. "Eh, apa Juno mau berangkat bareng sama Iris?"
Ditanya begitu tepat di depan orangnya membuat Juno gelagapan, lantas setelah melirik Iris dengan panik, Juno buru-buru menjawab, "Enggak, kok. Kosong. Oke, aku ke sana, ya."
"Makasih, Juno!"
Sambungan telepon terputus. Dengan atmosfer tak biasa yang terasa canggung, Juno menjilati bibir bawahnya. "Kalau gitu ... aku berangkat duluan, ya, Ris."
"Oh, iya."
Tidak ada lagi lambaian heboh atau seruan 'dadah-dadah' yang tidak cukup satu kali itu. Kaki Juno mengayuh pedalnya gontai, merasa masih ada yang tertinggal.
Cukup. Ada sesuatu yang lebih mengusik pikirannya, saat ini. Luisa. Memang, rumah teman sekelasnya itu tidak begitu jauh dari posisi Juno. Akan tetapi, kenapa Luisa tidak meminta bantuan Alfa atau teman PMR-nya yang selalu memakai sepeda motor untuk menjemputnya? Kenapa malah Juno?
• 🦁 🐧 🐻 •
Seperti yang orang bilang, time flies. Tanpa bisa dijeda atau dimintai menunggu meski hanya untuk sejenak, waktu terus mengembara, bersama langkah-langkah kaki anak manusia yang makin bertumbuh tanpa sadar.
Hari ini persis perayaan Persatas Day, ritual tahunan untuk memperingati pertama kali berdirinya Persatas, SMA Persada Bangsa Tasikmalaya, pada tanggal 25 Maret 1959. Setelah hari pertama yang didominasi oleh pertandingan futsal dari babak penyisihan sampai perempat final, Persatas Day-2 ini justru lebih fokus pada pertunjukan seni setiap kelas, mengingat pertandingan futsal tinggal final, dan lomba menulis esai juga puisi tinggal menunggu pengumuman kejuaraan.
Sejak pagi tadi, seisi lapangan sudah diriuhkan oleh berbagai penampilan dari perwakilan kelas. Mulai dari pertunjukkan drama, paduan suara beranggotakan seluruh warga kelas, penampilan live music bersama Hexatas Voice, Harmony of Extraordinary Persatas, band kebanggaan sekolah, sampai performa klub dance sekolah yang membawakan lagu Rough dari GFriend.
Acara berlangsung dengan lancar, meskipun pihak OSIS tampak agak kewalahan dalam berpatroli dan menjerat siswa yang terpergok merokok di langit-langit toilet khusus laki-laki. Mat dan Melvin yang kerjanya paling ekstra, sementara Juno lebih sibuk di belakang panggung, membantu seksi acara.
Luisa menghela napas panjang, merasa cukup lega karena dirinya tidak sesibuk hari pertama Persatas Day. Pertandingan yang berlangsung hari ini jauh lebih sedikit, dan itu membuat pasiennya juga jadi ikut berkurang. Dengan begini, Luisa jadi lebih leluasa untuk bersantai dan menikmati jalannya acara.
Di atas panggung sana, tampaklah gadis berkacamata bulat yang sedang menyanyikan Girl in The Mirror dengan semangat. Siapa lagi kalau bukan Iris? Luisa menahan senyuman gemas selama menontonnya dari bingkai pintu UKS yang memang tidak jauh dari lapangan.
Pertunjukan seni sudah selesai. Dalam rangka menunggu kepala sekolah yang masih dalam perjalanan sehabis rapat dengan Dinas Pendidikan di Tasikmalaya, pihak OSIS yang berperan sebagai MC mempersilakan siapa pun maju ke depan untuk mengisi kekosongan.
Tak tanggung-tanggung, anak perempuan berambut pendek yang sejak awal tidak bisa diam dan terus mengelilingi stan bazar di pinggir lapangan, kini langsung naik ke atas panggung lagi. Setelah menerima mikrofon dari pihak OSIS, Iris tersenyum lebar. "Ini penampilan bonus aja, ya. Khusus untuk teman-teman semua yang mungkin belum ingat dengan planet-planet di tata surya kita."
Dalam satu tarikan napas berikutnya, Iris langsung menyanyikan lagu yang terdengar begitu kanak-kanak, apalagi didukung penampakan Iris yang memang seperti anak SD.
"Satu, dua, tiga, let's go! Merkurius planet yang kecil. Venus Si Bintang Fajar. Bumi tempat kita tinggal. Mars adalah Si Planet Merah. Jupiter planet terbesar. Saturnus yang ada cincinnya! Uranus planet yang dingin. Neptunus planet ter-lu-ar!"
Tak lama, kepala sekolah tiba. Acara paling sakral pun digelar. Anak Persatas menamainya dengan Mengsarap, Mengangkasa Harapan, yaitu ritual pelepasan balon oleh kepala sekolah, di mana tali balon tersebut sudah diikatkan dengan Kertas Utopia berwarna-warni yang berisi harapan seluruh siswa Persatas.
Luisa tersenyum kecil memandangi balon yang menggantungkan berjuta harapan. Tinggi, semakin tinggi ... sampai akhirnya tak lagi terlihat, ditelan gumpalan awan.
Aksara yang ditorehkannya di atas permukaan Kertas Utopia itu masih begitu hangat di ingatan Luisa.
Semoga cahaya ini tersampaikan.
• 🦁 🐧 🐻 •
Lupa yang ini belum apdet! Wkwkw, tadi malah langsung ke sekolah. Wi-Fi sekolah rada ngeselin yah ini✋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top