Part 9

#BINAR (Part 9)
Kolab CommelSsi dan Ellinda
#Comel
POV BINAR

Lelaki tampan bertubuh ideal, wajahnya mirip dengan Bu Anjar. Terlihat kalem, dengan mata teduh dan raut manis berbentuk oval. Berbalut kaos berwarna putih dan jaket kulit berwarna hitam di padu dengan celana jeans yang senada.

"Sayang, kamu kapan pulang?" tanya Bu Anjar yang terlihat begitu terkejut sekaligus bahagia.

"Belum lama, Ibu sehat ‘kan?" tanya lelaki itu sembari menyalami Ibunya dan mencium punggung tangannya. Sikapnya membuatku sedikit terpana. Seorang anak yang tahu etika dan sopan santun meski orang tuanya bercerai.
Usai berpeluk rindu bersama ibunya. Lelaki yang bernama Daffa itu melirik ke arahku dan Intan. Kurasa Intan pun sama, ada perasaan tak enak dan sungkan. Namun kami masih tak bersuara, setelah menyapa dengan senyum ramah ke arahnya, kami kembali menunduk, menghindar dari matanya.

"Alhamdulillah, ibu sehat, Nak. Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa tidak bilang sama ibu kalau akan berkunjung ke sini?" tanya Bu Anjar.

"Tentu saja, karena ingin memberi kejutan untuk Ibu tercintaku ini. Nggak papa, ‘kan?" Lelaki itu semakin melebarkan senyum.

"Lho, tentu saja nggak papa dong, Nak. Malah ibu seneng, kamu mau pulang ke rumah ibu," tukas Bu Anjar seraya mengusap punggung tangguh anaknya.

Mereka saling tersenyum penuh rasa suka dan haru. "Lalu ... siapa?" tanyanya saat melirik ke arah kami, seolah terheran akan kehadiran aku dan Intan.

"Oh, iya. Sini, kenalin ... dia Binar dan Intan. Mereka kakak beradik, ibu kenal mereka karena Intan salah satu pasien di Rumah sakit tempat ibu kerja. Sekarang mereka akan tinggal di rumah ini," jelas Ibu Anjar dengan mengulas senyum lebar.

"Kenalkan, saya Daffa Erlangga," sapa lelaki itu sembari menjulurkan tangan untuk berjabat. Kami pun menyambut.

"Saya Binar, dan ini adik saya Intan," ucapku. Lantas Daffa bergantian menjabat tangan Intan.

Lelaki berkulit putih itu pun terlihat begitu baik dan sopan, seperti ibunya. Tak ada sedikit pun rona keberatan di wajahnya, meski terlihat ada banyak sekali pertanyaan yang mungkin ragu untuk dia ungkapkan.

"Ya sudah, Binar, Intan, Ibu antar kalian ke kamar dulu yah, biar kalian bisa beberes barang-barang kalian," tukas Bu Anjar. Wanita yang terus saja terlihat bahagia dengan senyum yang tak pudar di wajahnya.

"Kalau begitu, aku juga ke kamar dulu ya, Bu," pamit Daffa.

"Iya Nak, nanti ibu menyusul."

***

"Mbak, Kamarnya bagus banget. Nggak nyangka kita bisa menempati rumah semewah ini," ucap Intan setelah memasuki kamar. Usai mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan yang cukup lebar itu. Dia duduk di ranjang empuk berbalut seprei warna pink. Gadis itu terus saja tersenyum, seolah begitu kagum akan kemewahan yang ia dapatkan di rumah ini.

"Iya Sayang, untuk itu kita harus berbuat baik sama Bu Anjar. Apa pun yang kita bisa, kita harus berusaha membantunya. Beliau sudah begitu baik memberi kita tumpangan yang begitu mewah seperti ini," ujarku.

"Baik Mbak, Intan ngerti. Intan bakal rajin bantu-bantu Bu Anjar," papar Intan dengan senyum. Aku mendekatinya, setelah selesai meletakan baju yang memang tak seberapa ke dalam almari yang cukup besar. Lantas duduk begitu lekat di sampingnya, kuraih tangan adikku lalu meremasnya pelan.

"Sayang, mungkin Mbak tidak bisa menemanimu terus di sini. Untuk tiga hari ini, Mbak minta cuti sama bos. Setelah itu mungkin Mbak nggak bisa sering-sering berada di rumah ini, tapi Mbak usahain setiap seminggu sekali untuk berkunjung menemuimu. Nggak papa kan?" pungkasku. Terlihat kecemasan di raut wajahnya. Kutahu, meski Intan terkadang keras kepala. Akan tetapi dia tidak sepemberani aku. Tak ada pilihan lain. Berada di rumah ini akan lebih baik dari pada di luar sana atau pun ikut denganku di rumah Reyhan. Matanya sedikit berkaca, segera kuraih tubuhnya dan memeluk lekat.

"Maafkan Mbak, bukan berarti Mbak tak mau menjagamu. Namun ...."

"Bodoh. Kenapa Mbak selalu saja seperti itu? Kenapa Mbak minta maaf? Seharusnya Intan yang minta maaf telah menempatkan Mbak dalam posisi yang sulit." Pundakku mulai basah oleh air matanya. Gadis remaja berusia 18 tahun ini sedang menangis di pelukan Mbaknya.

"Tidak Intan, ini sama sekali tidak sulit. Sekarang, melihat kamu sudah sembuh, Mbak sangat senang. Terima kasih telah kembali membersamai Mbak untuk melewati kehidupan ini." Aku melepaskan pelukan, lalu membantu menyapu air bening yang membasahi pipinya.

"Maafin Intan Mbak, karena Intan Mbak jadi terlilit hutang yang begitu banyak. Tapi Intan janji, bakal bantuin Mbak. Intan mau kerja cari uang untuk bantu lunasin hutang-hutang Mbak." Kembali adikku berucap yang membuatku haru. Aku tersenyum menatap pias ke arahnya.

"Sudah, sudah, kamu jangan banyak pikiran dulu yah. Sebaiknya sekarang kamu fokus pada kondisi tubuhmu. Semoga cepat sembuh total. Mbak hanya ingin Intan berjanji satu hal ...." Adikku menatap parau.

"Janji yah sama Mbak, jangan sekali-kali ulangi perbuatan itu. Jangan coba-coba berusaha ninggalin Mbak. Apa pun masalahnya, sebesar apa pun kesedihan yang mungkin akan menimpa Intan. Jangan pernah lakukan itu. Yah!" pintaku penuh harap. Intan mengangguk pelan sedikit melegakan.

"Iya Mbak, Intan Janji." Kembali aku merengkuh tubuhnya, kembali air mata terurai di pipi tirusnya. Berbeda denganku, bukan berarti aku tak tersentuh oleh rasa haru. Tak menangis adalah caraku menunjukkan ketegaran. Bentuk ketangguhan inilah satu-satunya hal yang ingin aku ajarkan pada adik satu-satunya milikku ini. Intan.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat yah, Mbak keluar dulu menemui Bu Anjar. Barangkali ada sesuatu yang perlu di bantu," cakapku.
Intan pun menurut, ku baringkan tubuhnya di atas ranjang. Setelah menarikkan selimut untuknya, lantas aku mengecup keningnya, lalu beranjak ke arah luar.

***

Seharusnya aku sudah kembali bekerja, sudah bilang pula pada Reyhan kalau hari ini masuk. Ternyata Bu Anjar mengingatkan bahwa aku harus mengambil hasil kontrol Intan. Bersyukur lelaki mesum itu memberi keluangan sehari lagi. Kalau dipikir-pikir, Reyhan ternyata tidak sejahat yang kusangka. Ada sisi baik dalam dirinya. Hanya saja, sifat arogan masih mendominasi.

Suasana rumah terlihat sepi, mungkin anak dan ibu itu sedang berada di kamar.
Sedikit senewen memikirkan apa yang harus kulakukan. Rumah ini sudah cukup rapi dan bersih, lantai keramik berwarna putih ini pun terlihat begitu mengkilap. Sekeliling ku pandangi, seolah tak ada sedikit pun debu yang menempel di perabotan rumah. Kurasa Ibu Anjar memang sangat rajin. Foto keluarga terpasang di dinding, terlihat seorang anak lelaki berumur sekitar sepuluh tahun dihimpit oleh lelaki dan perempuan, yang tak lain adalah Bu Anjar. Mungkin itu foto masa lalu, dan lelaki di sebelah Daffa itu mungkin saja ayahnya. 
Cukup lama menyita pandanganku, setidaknya mereka masih memiliki kenangan yang cukup manis.

Setelah menyusuri ruang tengah tak ada hal yang bisa kulakukan. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju dapur, "Binar, mau kemana?" Suara Bu Anjar dari atas. Lantai dua.

"Binar bisa bantuin masak, Bu. Atau ada hal lain yang bisa ku kerjakan?" tawarku. Bu Anjar tersenyum lalu berjalan lebih mendekat.

"Binar, anggap rumah ini seperti rumahmu yah, jangan sungkan. Mau ngapain aja nggak papa, sesukamu. Yang penting kamu nyaman dan betah," tukas wanita yang sekarang menggandeng tanganku.

"Bu, bukankah Ibu meminta kami tinggal di sini karena merasa kesepian tinggal sendiri. Tapi sekarang anak Bu Anjar sudah pulang ... apa masih perlu kami di sini?" tanyaku lirih.

"Lalu, apa aku harus pergi dari rumah ini agar kalian tetap tinggal di sini?" Suara dari arah tangga terdengar, yang tak lain adalah Daffa.

"Maaf, maaf aku tidak bermaksud ...." Perasaan tak enak kembali menghinggap, ditambah lelaki itu menatapku dengan mengangkat alis.

"Kalian pembawa keberkahan di rumah ini, mungkin karena kalian lah Anak bujang Ibu akhirnya memutuskan untuk tinggal di sini. Heee," tampik Bu Anjar disertai tawa.

"Lihatlah, betapa bahagianya Ibu atas kehadiran dua anak gadis di rumahnya,," sambung Daffa.

"Kalian membuatku semakin tak enak hati," ucapku.

"Semoga kalian betah di rumah ini, karena mungkin aku tidak bisa setiap hari berada di rumah. Pekerjaanku sekarang, akan lebih menuntutku untuk sering berada di luar kota. Bahkan luar negri," paparnya.

"Daffa kau yakin akan memutuskan untuk tinggal bersama, Ibu?" tanya Bu Anjar, membuat anak bujangnya segera mendekat dan kembali merangkul pundaknya.
Sudut matanya mulai berlinang, kutahu terlampau bahagia memang dapat menguras air mata. Iri sekali aku melihatnya, hubungan ibu dan anak yang begitu kuidamkan.

"Maafkan Daffa Bu, terlalu terlambat menyadari kesalahpahaman ini. Sekarang sebisaku, Daffa akan berada di sisi Ibu menjaga dan berbakti pada Ibu," papar lelaki itu, menatap ibunya dengan nanar. Entah selisih paham apa yang sempat terjadi antara mereka. Bukan urusanku, dan tak seharusnya pula aku mempertanyakan. Yang jelas sekarang mereka terlihat memiliki rasa kasih dan sayang yang tercurah dari seorang anak dan ibunya.

"Bagaimana dengan Ayah?"

"Dia sudah tahu, dan menyetujui. Sesekali, Daffa akan berkunjung ke sana," sambung Daffa. Berada di antara perbincangan mereka, membuatku semakin senewen dan sungkan.

"Kalau begitu aku permisi dulu," ucapku.

"Binar, kamu mau kemana?" tanya Bu Anjar.

Entah apa yang harus ku jawab, aku sendiri tak tau aku akan kemana.

"Emm."

"Adikmu sedang istirahat sekarang? “tambah Bu Anjar.

"Iya, Bu. Emm ... mungkin sebaiknya, aku mempersiapkan menu untuk makan malam nanti," tawarku dengan semangat.

"Ya, kita harus rayakan hari bahagia ini. Tapi sepertinya di kulkas kekurangan bahan makanan. Binar kamu bisa tolong belanja beberapa sayur dan lauk nggak?" ucap Bu Anjar.

"Iya, tentu saja." Setidaknya akan mengurangi rasa sungkanku jika aku bisa melakukan sesuatu di rumah ini.

"Daffa, kamu anterin Binar yah. Ke Supermarket saja, jam segini pasar pasti udah sepi," pinta Bu Anjar.

"Ok. Sekalian aku juga mau membeli beberapa keperluan," jawab Daffa. Aku melongo mendengar percakapan mereka.

"Ya sudah, aku ambil kunci mobil dulu," tandas Daffa sebelum akhirnya lelaki itu kembali naik ke atas menuju kamarnya.

"Jangan lupa beli beberapa buah dan ikan yah, selain itu kamu bisa beli keperluan lain, untuk Intan juga," tandas Bu Anjar.

"Ya sudah, kita berangkat," sahut Daffa.

"Ibu ambil uang dulu."

"Bu, Daffa bukan lagi anak kecil. Sekarang Daffa sudah kerja, sudah punya penghasilan sendiri. Jadi biar serahin sama Daffa yah," ucap lelaki itu menatap ibunya. Bu Anjar semakin melebarkan senyum, mungkin tak menyangka anak bujangnya sudah sedewasa itu.

"Ya sudah, sebaiknya kalian pergi sekarang. Hati-hati di jalan," pesan Bu Anjar.

***

"Mobilku sedang di cuci di dekat sana, kamu nggak keberatan kan jalan sebentar ke sana?" tanya Daffa.

"Ya, nggak papa kok," balasku.

"Sebentar kok, nggak jauh banget," tukasnya. Betapa lembut dan perhatiannya lelaki ini. Beruntung sekali wanita yang kelak akan menjadi pendampingnya, dia pasti akan mencintai dan menyayangi pasangannya.

Memang tidak terlalu jauh, berjalan tidak sampai sepuluh menit kita sudah sampai di tempat tujuan. Seorang karyawan jasa cuci mobil menghampiri.

"Maaf Bang, tadi ngantri. Tuh, mobilmu baru aja mau dicuci," tukas lelaki berseragam itu.

"Terus masih lama, Bang?" tanya Daffa.

"Memangnya kalian mau kemana, buru-buru?" tukas karyawan tersebut

"Mau ke Supermarket sih, belanja," paparnya.

"Naik Motor aja dulu, tuh bawa motorku. Biar lebih so sweet," ledek lelaki paruh baya yang terlihat sudah akrab dengan Daffa.

"Gimana? Mau naik motor?" tanya Daffa menolehku. Jangankan naik motor, berkilo-kilo meter jalan kaki aku pun pernah melaluinya.
Aku mengangguk.

"Ya sudah, makasih Bang, pinjem motor dulu gue," sambung Daffa.

"Hati-hati lu, tumben bawa cewek. Nggak biasanya," sahut lelaki yang bernama Andi itu.

"Adik gue, Bang," tukas Daffa dengan tersenyum tipis.

"Awalnya adik, entar lama-lama jadi tertarik, hahahhaa," lanjut karyawan itu dengan tertawa meledek kami. Sontak membuatku langsung salting dan tersipu malu.

"Jangan di dengerin, songong tuh orang," cakap Daffa seraya menyodorkan helm ke arahku. Aku masih diam membisu, usai menerima helm itu aku pun buru-buru memakainya untuk menutupi warnah merah yang mungkin menyemburat di bagian pipi.

Kami pun berjalan dengan kuda besi beroda dua. Tepatnya motor King, yang membuatku kewalahan menahan diri agar tidak terlalu nempel dengan lelaki yang berada di depanku ini.

"Kamu nggak biasa naik motor seperti ini? Maaf yah. Seharusnya aku tadi aku nanya dulu sama kamu?" ucapnya sedikit meninggikan suara agar bisa terdengar olehku di tengah-tengah bisingnya jalan raya.

"Nggak papa. Tidak akan lama kan?" tanyaku.

"Lamaaa, kita muter dulu yah lewat Jogja?" candanya dengan tawa lirih.

"Boleh, tapi muternya lewat peta yah. Biar cepet," balasku. Kemudian aku pun tertawa merasa senang. Dia pun semakin mengeraskan suara tawanya.

"Di peta ada jalan menuju hatimu nggak?" sahutnya.

"Ada, tapi jalannya berliku dan belum diaspal, hahaha," teriakku.

"Barangkali ada trobosan?"

"Tidak ada. Buntu!"

"Hahahha, pinter jawab kamu," ucapnya. Aku terdiam meski bibirku masih mengembang. Baru pertama aku merasa seakan terlepas dari permasalahan hidup.
Tak menyangka pula, parasnya yang terlihat dermawan tapi ternyata pandai bercanda pula. Membuat suasana terasa mencair, dan mudah untuk interaksi.

Tak lama kemudian kami pun sampai di tempat yang dituju. Setelah memarkirkan motor, kami berjalan menuju pintu utama supermarket.

"Jadi ini yang kau bilang menjaga adikmu?" Suara yang sangat kukenal terdengar, aku segera menoleh dan menatapnya risau. Lelaki arogan itu mendelik menatapku.

"Sini kau, berani kau membohongiku?" Reyhan menarik tanganku dan berjalan menjauh dari Daffa.

"Aku tidak bohong sama kamu, Rey. Aku ke sini karena adikku sedang tidur, dan mau belanja beberapa keperluan kami. Lagian ini hari cutiku, sama sekali tak ada urusannya denganmu!" bentakku menajamkan suara seraya menghempaskan tangan agar terlepas dari cengkeramannya.

"Kau pikir aku bodoh? Kau menggunakan waktu cutimu untuk bersenang-senang dengan kekasihmu itu. Dan kau berani membohongiku? Atau sekarang kau memiliki pekerjaan sampingan, hah!" terkanya dengan menatapku sinis.

Aku begitu geram, jika bukan karena Daffa sedang berada di sini. Tanganku melayang menampar wajahnya.

"Maaf, ada apa ini?" Daffa mendekat, kutahu dia telah mendengar perdebatan kami.

"Ini bukan urusanmu, siapa kamu? Ah, aku tidak peduli siapa kamu, sekalipun pacar Binar. Aku lebih berhak atas gadis itu!" tandas Reyhan menatap Daffa dengan pongah.

"Aku tidak mau tahu, besok kau harus kembali bekerja!" tekan Reyhan kembali menolehku. Lantas dia pergi, dengan tak acuh.

"Reyhan!" panggilku kesal,  tapi lelaki itu tak memedulikan. Dia tetap berlalu memunggungiku dengan cepat.

Aku menarik napas berat, dadaku kembali sesak dan suasana hatiku kembali memburuk karena pria macam dia.

"Aku mendengar beberapa cerita tentangmu dari Ibu. Apa dia Bosmu?" tebak Daffa lirih. Aku mengangguk pelan, lelaki itu menatapku iba. Tidak, aku tak pernah menginginkan suatu belas kasihan dari seseorang. Jika, lelaki itu baik, kurasa mungkin karena iba akan nasibku.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top