Part 7

#BINAR (Part 7)
Kolab CommelSsi dan Ellinda
Pov Binar

Aku tak mengerti dengan orang kaya, kesombongan seolah menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Dunia selalu berputar. Segalanya memiliki waktu dan masa. Tak akan selamanya, bunga mekar tanpa layu. Tak akan selamanya langit gelap selama masih ada siang.  Manusia hanyalah wayang yang memerankan tokoh dalam suatu drama. Bedanya kita memiliki hati untuk merasa, yang ada saatnya akan luluh dan tersentuh.

"Reyhan, siapa wanita itu?" Suara wanita modis dengan dress mini membalut sebagian tubuh jenjangnya.

"Kamu?" ucap Reyhan usai menoleh pada sumber suara, lantas mengernyitkan dahi. Entah siapa wanita itu, pertama kali aku melihatnya. Mungkin saja salah satu wanitanya. Bukan urusanku.

Wanita itu melebarkan langkah untuk menuju ke arah kami. Aku masih duduk dengan santai, meski kulihat guratan kesal di wajah cantik itu.

"Honey, katanya kamu sibuk hari ini? Kenapa bisa berada di sini?" tanyanya sembari memegang pundak Reyhan yang seolah ogah menamengisyaratka2u siapa wanita ini? Kenapa dia duduk di sini sama kamu? OMG Sayang, kamu nemu di mana mahluk gembel seperti itu?" cercanya sarkas sembari menatapku sinis.

Aku masih berkutat di tempat dudukku, tak menoleh ataupun menanggapi celotehnya.

"Aya, ini bukan urusanmu. So, just go now!" tegas Rey.

Perempuan yang ternyata bernama Aya itu tampak tak suka dengan pengusiran Reyhan.

"Hey, jadi ini alasan kamu kenapa akhir-akhir ini berubah dan selalu sibuk. Rupanya sedang menikmati kebersamaan bersama gadis dekil seperti dia? Tidak mungkin dia gadis gebetanmu yang baru, 'kan?" Perempuan itu menatapku sinis.

"Jangan ngawur! Dia itu budakku, terserah aku mau membawanya ke mana sesuka hati. Jadi sekarang kamu pergi saja." Reyhan menjelaskan posisiku. Dia menoleh pada Aya  yang masih berdiri di sampingnya.

"Apa? Budak?" Dia tertawa mengejek. Menyebalkan sekali melihatnya. "Akan tetapi kenapa kamu bawa dia ke sini? Sayang, kamu sudah membatalkan janjimu denganku demi bersama budak ini? Please wake up. Kamu sakit?" sergah Soraya.

"Ok, ok, besok aku akan menemanimu untuk membeli tas yang kau mau."

Ck! Kenapa aku harus melihat drama dua orang ini. Apa dia kekasih Reyhan? Karena sedari tadi Aya memanggil Rey dengan sebutan 'Honey' juga 'Sayang'?

"Sayang, aku mau makan sama kamu juga," pinta Aya dengan manja. Sekilas kulihat wajah Rey, terlihat makin tak suka akan kehadiran wanita itu. Namun, jika diperhatikan lagi, kurasa mereka memiliki hubungan yang cukup akrab memang.

"Hei gembel, minggir kamu!" perintah perempuan itu menatapku kesal.

Aku segera berdiri untuk menatap wajah penuh permak make up itu. "Namaku Binar. Panggil namaku dengan baik!" tegasku dengan menatapnya tajam.

"Idiihhh, berani kamu sama aku," ucapnya mendelik membalas tatapanku.
Aku masih menatapnya tanpa sedikit pun rasa takut.

"Kamu ngapain melihatku seperti itu. Kamu itu gembel, ya gembel aja," makinya, seraya menempelkan telunjuk tangan untuk mendorong kepalaku. Namun, aku segera menampiknya dengan keras.

"Ahh," pekiknya.

"Nona, jangan kotori wajahku dengan sentuhan tanganmu," ucapku. Wanita itu semakin membulatkan mata dan mulutnya secara bersamaan, mungkin tak habis pikir aku berani berbuat demikian.

"Aku tunggu kamu di parkiran." Aku berpamitan kepada Reyhan. Setelahnya aku beranjak pergi meninggalkan mereka tanpa memperdulikan lagi bagaimana reaksinya.

Setiba di luar, aku menghirup napas panjang dan kuedarkan pandangan ke beberapa arah. Berdiri pohon beringin yang cukup rimbun di samping jalan raya, akhinya kuarahkan langkah kaki menuju tempat teduh itu. Terlihat seekor burung sedang memberi makan anak-anaknya di dalam sangkar. Tiba-tiba menggugah ingatanku untuk mengenang mendiang Nenek, yang membuatku tersenyum getir.

"Aku nggak mau, sebelum kau menceraikan istrimu!"

"Retno, mengertilah. Itu tidak mungkin, aku akan menikahimu dengan resmi. Namub jangan minta aku untuk menceraikan istri pertamaku."

"Yasudah, itu pilihanmu. Berhentilah menemuiku lagi."

"Retno, berhentilah kerja di tempat itu, aku akan menikahimu dan memenuhi semua kebutuhanmu. Aku akan memberimu rumah mewah seperti yang kau ingin."

Aku segera menoleh ke arah pusat suara itu. Benar saja dugaanku, itu memang suara Ibu. Aku memperhatikan pertikaian mereka, hubungan menjijikan macam apa yang telah mereka agungkan. Lena dalam lembah dosa yang mengasyikan, membuatnya lupa akan hidup yang hakiki.
Ibu memang cantik, tak heran jika para lelaki pemburu kepuasan ranjang akan mengejar-ngejarnya. Kali ini dia lelaki berbeda lagi, setidaknya lebih terlihat gagah dari om om sebelunya. Aku berjalan semakin mendekat, Ibu terlihat ingin melepaskan diri dari cengkraman tangan lelaki itu.

"Intan sudah siuman, operasinya berjalan dengan lancar." Aku seperti orang gila yang tiba-tiba berbicara tanpa diminta dan tanpa basa-basi sebelumnya. Membuat dua orang yang saling tarik tangan itu mematung sesaat melihatku heran.

"Kamu siapa?" tanya pria berumur sekitar setengah abad, berkemeja biru muda itu. Aku tak merespon, mataku masih lekat menatap wanita yang berada di depanku sekarang. Aku tidak akan memintamu untuk mengakui kami sekarang, Ibu. Kami masih memiliki pohon sabar yang tak akan mudah tumbang.  Jika engkau masih memiliki naluri, lihatlah, dua gadismu masih menunggu dekapan erat tanganmu.

Tak ada lagi kata sinis terlontar dari mulutnya, tak lagi ada tatapan angkuh. Meski masih tak ada balasan, itu sudah cukup menyenangkan. Terlihat Ibu menundukan kepala, lalu menarik kilat tangannya dari cengkraman lelaki itu.

Dia pergi dan berlari menjauh.
"Retno! Retno! Berhenti!" Pria itu memanggilnya, segera dia pun menyusul Ibu. Meski terlihat raut penasaran di wajahnya, namut tak urung ditanyakan padaku.

Aku melihat kedua orang itu berlalu hingga tak lagi terlihat.

"Kamu ngapain di sini? Cepat ikut aku!" Suara Rey membuatku sedkiti terkejut. Aku pun segera menoleh dan membuntutinya.

Entah di mana perempuan bernama Aya itu, aku tak melihat lagi batang hidungnya.
Setelah kembali ke mobil, Rey memacu kembali kendaran tersebut. Tak ada lagi kata yang terucap. Tidak sengaja kumelihat arah spion. Terlihat sosok wanita yang baru saja kutemui seakan bersemembunyi di samping barisan beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sedikit terperanjat, aku menatapnya lekat. Ibu masih memandangi mobil yang sedang kunaiki ini. Hingga pantulan tubuhnya mengecil di kaca dan tak lagi terlihat. Seketika perasaanku berdesir hebat, entah mengapa ada kesenangan tersendiri di dalam dada. Ibu. Kutahu kau tak akan benar-benar meninggalkan kami.

***

Sudah beberapa hari ini aku bekerja untuk Reyhan. Mulai dari menyiapkan keperluan harian di rumah, sampai kadang disuruh ikut ke kantor untuk membuatkan kopi.

Reyhan memang lelaki pekerja keras, tapi tetap arogan di depanku. Mendapat pperlakuan menyebalkan darinya adalah makanan setiap hari. Bersyukur aku sudah bisa menyikapi perlakuannya padaku. Bagaimanapun dia berjasa dalam penyembuhan Intan. Walau awalnya salah.

Malam semakin larut, Reyhan telah usai menyantap hidangan makan malamnya. Tak ada lagi protes, meski semua menu aku yang memasaknya karena Ibu Dilah sedang pamit mengunjungi saudara untuk dua hari ini.

"Beberapa hari lagi adikku akan di perbolehkan pulang, aku akan merawatnya di rumah sampai dia benar-benar sembuh," tukasku saat hendak membereskan meja makan.

"Apa kau sedang berbicara denganku?"

"Adakah orang lain lagi selain kamu di sini?"

"Kau pikir aku akan menurutimu?"

"Tidak!"

"Lalu kenapa kau meminta izin padaku?"

"Perhatikan lagi bagaimana kalimatku, bedakan mana sebuah permintaan dan pemberitahuan." Sengaja aku menjawabnya sarkas. Tak peduli, kutahu lelaki macam apa di hadapanku ini. Semakin aku lemah semakin aku terinjak, tak peduli keputusannya. Bagiku Intan lebih penting, aku akan menjaganya sampai aku benar-benar yakin bisa meninggalkannya dengan baik-baik saja.

"Ck. Gadis macam apa kamu? Kamu hanya sebatas budak yang harus patuh pada majikan," paparnya menatap tajam ke arahku.

"Abu Nawas tak perlu menjadi pejabat negara untuk mengalahkan Rajanya."

"Jadi kau samakan aku dengan raja dalam dongeng jenaka itu?"

"Apa hidupmu tak semenarik cerita dalam dongeng?"

"Apa maksudmu?"

"Jika melihat kesusahan orang lain adalah tontonan menyenangkan untukmu, lalu apa salahnya Abu Nawas menggunakan kecerdikannya untuk mengelabuhi raja yang semena-mena."

Akuu telah usai menumpuk beberapa piring kotor. Lantas, bersiap membawanya ke dapur.

"Berhenti kau!" seru Rey sembari menarik lenganku.

"Apa maksud perkataanmu barusan?" Reyhan terlihat kesal. Apa dia merasa tersindir dengan ucapanku barusan?

"Biarkan aku menyelesaikan tugas ini lebih dulu."

"Jawab aku!" tegasnya semakin menajamkan mata menatapku. Aku membalas tatapnnya tanpa ragu, hening, masih membisu.

"Baiklah, jika kau ingin aku menjadi Raja Harun dalam dongeng jenaka itu. Kita lihat, apa kau secerdik Abu Nawas menghadapiku," lanjutnya. Lelaki itu tersenyum sinis memenatapku.

Tak tahu lagi apa yang harus kuungkapkan, hanya tentang Abu Nawas yang aku ingat. Satu-satunya dongeng yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak.

***

Dua hari kemudian, Suster Anjar memberitahu akan kesehatan Intan yang sudah membaik. Dokter telah mengizinkannya pulang, jelas saja aku sangat bahagia mendengar berita baik itu.

"Adikku boleh pulang hari ini, aku akan ke rumah sakit sekarang." Saat selesai membuatkan sarapan, aku memberitahunya tentang keadaan Intan. Walau susah, tapi aku berharap dia mengerti keadaanku.

"Kau beneran ingin merawatnya?" tanyanya menatapku. Aku mengangguk.

Rey terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu .... "Tiga hari waktu cuti untukmu, selanjutnya kembali bekerja seperti biasa," jelasnya tanpa menoleh.

Sama sekali tak menyangka, Reyhan melontarkan kalimat langka seperti itu. Tentu saja ini hal baik, tapi aku tidak boleh merasa besar kepala lebih dulu. Kutahu, setip manusia selalu memili titik lemah tersendiri untuk bisa ditaklukan.

"Yang benar? Oh Tuhan ... terima kasih," ucapku tulus dan senyum merekah menatapnya.

Dia bergeming. Entah apa yang sedang dipikirkan. Mungkin heran melihat reaksiku. Inilah senyuman  pertamaku yang tersungging untuknya.

"Aku boleh pergi sekarang?"

Karenadia hanya diam saja, aku anggap itu sebagai izin. Tanpa babibu lagi, aku pun segera beranjak pergi tanpa menghiraukan lagi ekspresi wajahnya. Hatiku sudah cukup bahagia dengan izin yang dia berikan.

Setelah sampai di rumah sakit, Suster Anjar dan Intan sudah berkemas dan siap untuk pulang.

"Intan!" panggilku seraya berlari mendekat untuk memeluknya.

"Akhirnya, kamu sembuh total," sambungku.

"Belum total, dia masih butuh istirahat dan perawatan juga di rumah," timpal Suster Anjar.

"Terima kasih Suster," ucapku.

"Eits, lupa yah. Ibu Anjar," tukasnya dengan tersenyum lebar.

"Ah, iya Ibu Anjar. Terima kasih banyak." Aku mengenggam tangannya sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikannya.

Aku dan Intan saling bertatap haru, lalu turut tersenyum. "Maafkan Intan Mbak, sudah banyak merepotkan Mbak. Maaf." Tiba-tiba intan memelukku dengan erat beserta tangisan yang terluap.

Kurasa Ibu Anjar telah menceritakan bagaimana keadaanku selama beberapa hari ini. Wanita itu menatapku sendu, dan mengangguk pelan seakan mengisyaratkan semua baik baik saja.

"Ya sudah, semua sudah berlalu. Sekarang yang oebting kamu sudah sehat dan bisa pulang. Kita pulang yah sekarang, kita akan tinggal di rumah Ibu Anjar," jelasku seraya melepaskan pelukan.

"Iya, Ibu Anjar telah menceritakan semuanya padaku. Ternyata masih ada orang baik yang tersisa di dunia ini," paparnya.

Kami menatap Ibu Anjar dengan rasa sayang. Beliau adalah ibu kami sekarang. Seperti permintaannya untuk memanggilnya 'Ibu'.

"Masih banyak orang baik, hanya saja terkadang Tuhan menguji kita dengan berbagai permasalahan yang berbeda pada setiap umat-Nya. Percayalah, suatu saat kalian akan dikelilingi orang baik yang akan menyayangi kalian," tutur Bu Anjar, "ya sudah sekarang kita jalan, yuk," imbuhnya.

Kami pun saling bertatap haru, lantas segera beranjak. Kami menggunakan taxi menuju rumah Ibu Anjar.
Tak lama, karena jarak Rumah sakit ke rumah Bu Anjar memang tidak terlalu jauh.

Setibanya di pelataran, kami pun memasuki rumah bercat putih itu. Tak menyangka, rumah yang Bu Anjar bilang kecil tenyata begitu mewah buatku karena memiliki dua lantai dan cukup besar. Benar saja, ini terlalu luas jika ditinggali hanya untuk satu orang saja. Aku dan Intan masih tertegun memperhatikan sekitar, saat melewati pelataran yang cukup luas dan terdapat taman bunga di pojok halaman yang indah.

"Wahh, rumah Ibu bagus banget," papar Intan terpukau.

"Ayo duduk dulu. Barang-barangnya nanti bisa dimasukkan ke kamar dekat ruang makan. Semoaga kalian suka, dan betah tinggal di sini, ya," harap Bu Anjar.

"Siapa mereka?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah garasi di samping rumah.

"Daffa ... kamu di rumah?"

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top