Part 5

#BINAR (Part 5)
Kolab CommelSsi dan Ellinda
#Comel

POV BINAR

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Perasaan teramat lega dan bahagia.  Tersungging bias senyum di bibirku. Akhirnya Intan bangun.

"Intan!" teriakku setelah membuka pintu. Segera suster Anjar menoleh bersamaan dengan adikku yang masih terbaring.

"Intaaaan! Akhirnya kamu bangun." Setelah mendekat, tubuhku menghambur di atasnya. Kupeluk erat tubuh lemah itu penuh haru dan bahagia.

"Terima kasih, Intan. Kamu sudah mau bangun. Mbak sangat rindu." Tubuhku masih menempel di atasnya, tak terasa air mata bahagia terus berderai di pipi.

"Mbak, maafin Intan, ya," lirihnya.

"Maaf untuk apa, Sayang? Mbak yang harus minta maaf karena tidak bisa menjaga kamu dengan baik."

"Mbak Binar. Intan rindu, sangat rindu." Adikku turut menangis. Perasaan campur aduk. Sedih, senang, haru, menjadi partikel sendu yang kuharap akan mempererat tali darah antara kami.

Aku biarkan dia menangis sesaat, setelahnya melepaskan pelukan. Kuhapus mata basah di wajah pucatnya. "Intan, percayalah! Setiap ujian selalu ada hikmah di baliknya.  Temani Mbak Binar merajut sabar untuk menghadapi kehidupan ini. Percayalah, dengan bersama, kita akan kuat. Yaah," bujukku lirih.

Kulihat bulir bening makin deras mengalir dari netranya. Dia mengangguk disertai senyum tipis di bibir mungil itu. Adikku, Intan, aku sangat menyayangimu.

"Suster, terima kasih telah menjaga adik saya," ucapku kepada suster Anjar yang berdiri di sebelahku.

"Sama-sama Nak Binar. Ini sudah menjadi kewajiban kami untuk menjaga pasien," tuturnya.

Aku tersenyum, menatap raut wajahnya yang terlihat parau memandang kami. Mungkin rasa haru turut bergumul di hatinya usai menyaksikan kami barusan.

"Lalu, bagaimana keadaan Adik saya sekarang, Sus? Kapan dia boleh pulang?"

"Sabar dulu, dia baru saja siuman. Masih butuh waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Kita tunggu pemeriksaan lebih lanjut, nanti dokter yang akan memutuskan kapan adikmu diperbolehkan pulang," jelasnya.

"Baiklah, Sus."

"Sebaiknya, biarkan Intan istirahat dulu. Dia baru sadarkan diri, kondisi tubuh dan organ dalamnya butuh beradaptasi setelah tidur panjang," saran Suster Anjar.

Ya, sebaiknya memang begitu. Setidaknya ini sudah cukup melegakan, akhirnya Intan telah siuman. Setelah melepas rindu dan berbincang beberapa menit, suster Anjar memintaku untuk ke luar dari ruangan. Intan butuh beristirahat dengan maksimal, sembari menunggu dokter datang untuk memeriksanya.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, Binar," pamit Suster Anjar yang berjalan beriringan denganku keluar dari ruangan.

"Iya Sus, silakan."

Suara-suara bising khas rumah sakit terdengar lebih ramai dari biasanya. Kususuri beberapa ruangan pasien lain. Banyak sanak saudara yang silih berganti berdatangan untuk menjenguk. Tiba-tiba ada yang menyesakkan dada, kurasa aku membutuhkan udara yang lebih segar di sekitar sini.

Aku mengayunkan langkah menuju taman yang masih berada di rumah sakit. Lantas mendaratkan tubuh di atas kursi kayu yang sejajar dengan beberapa tanaman bunga di sekelilingnya. Kutarik napas panjang, untuk mengisi rongga dada yang masih terasa sempit.

Pikiranku melayang, mengingat semua peristiwa yang telah kualami. Juga kejadian yang baru saja terjadi bersama Intan. Lalu tersenyum getir, melihat diri sendiri.

Dalam pikiranku, berkutat berbagai pertanyaan. Kapan Intan bisa pulang? Ke mana aku akan membawa dia pulang? Rumah? Memangnya aku punya rumah? Apalagi yang bisa kulakukan sekarang? Sepeser pun tak ada uang. Sedangkan sekarang aku telah terikat dengan lelaki mes*m itu. Bekerja tanpa gaji, bukan ... bukan tanpa gaji. Jika dipikir balik, sebenarnya aku sudah beruntung lelaki itu mau mengubah kesepakatan untuk perjanjian bodoh itu. Meski entah sampai kapan aku harus menjadi budaknya untuk melunasi hutang. Apalagi yang bisa aku ratapi, inilah hidup yang harus kujalani, maju ataupun berhenti semua sama saja. Pedih.

"Nak Binar." Terdengar panggilan lirih dari suara yang kukenal.

"Suster Anjar," balasku setelah menoleh ke arahnya.

"Boleh saya duduk di sampingmu?" pintanya.

"Tentu saja, Sus, silakan." Aku mempersilakan dia duduk seraya menggeser tubuh sedikit menepi.

Wanita anggun itu terlihat lebih tua beberapa tahun dari Ibu. Dia tersenyum, setelah tubuhnya duduk di sampingku. Posisinya miring, lebih condong ke arahku yang duduk lurus ke arah depan.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya lembut.

"Nyari udara segar," balasku seraya tersenyum ramah menolehnya, lalu kembali menatap ke depan.

Hening sesaat.

"Nak Binar, kalau kamu tidak keberatan, ceritalah! Ungkapkan semua keluh kesahmu. Setidaknya itu akan mengurangi beban yang tertopang di bahumu," tukasnya.

Suaranya lembut, bahkan mampu menembus ke sanubari yang terdalam. Membuat tubuh terasa kaku seketika, belum pernah aku di perlakukan seperti ini oleh seseorang. Bahkan lidah ini kelu tak mampu berucap. Apa lagi yang bisa aku katakan? Sedang dada lebih sibuk dengan gerakan naik turunnya.

"Saya tahu kamu kuat, kamu perempuan hebat. Namun ...  adakalanya kita membutuhkan seseorang untuk berbagi, entah itu, senang, susah, ataupun sedih," tuturnya.

Tangannya mulai bergerak mengelus puncak kepalaku.
Membuatku segera menoleh ke arahnya. Ternyata masih ada seseorang selain almarhum Nenek yang akan membelai rambut ini dengan lembut. Aku terus menatap intens wajahnya, tiba-tiba bahu bergetar. Seolah batangan rindu memukul dengan hebat. Sakit.

Wanita itu ... wanita berparas teduh itu menatapku sendu. Ada pancaran kasih sayang yang sekian lama tak pernah kudapatkan.

"Binar." Kembali suara merdu itu terdengar. Tangannya masih sibuk membelai rambutku. Matanya mulai berkaca-kaca menatapku. Entah apa yang tiba-tiba terjadi, wajah wanita itu seakan menjelma menjadi sosok Ibu yang kurindu. Mataku menjadi panas, ada sesuatu yang mendidih di dalam sana. Mungkinkah aku tak sehebat dulu?

"Suster ...!" Aku menghambur di atas pangkuannya. Tangisku pecah tak terkendali. Tak peduli orang-orang di sekitar. Kubenamkan wajah di atas pangkuannya. Lalu menangis sekuat yang kubisa.

Dadaku sesak menahan nyeri yang luar biasa. Biarlah ... biarlah kali ini saja aku kalah melawan arus air mata. Tidak selamanya menangis merupakan bentuk kelemahan, bukan?

Setelah beberapa saat, Suster Anjar masih membiarkanku terseguk dalam tangis di pangkuannya. Tangannya tak berhenti dari usapan lembut di kepalaku, sesekali menepuk ringan bagian bahu.

Cukup lama, hingga tangisku mulai melemah. Aku mencoba bangkit, setelah berusaha menetralkan kembali kondisiku.

"Ma-maafkan saya, Suster," ucapku tanpa menoleh. Wajahku masih menunduk tak berani menatapnya.

"Binar ...." Setelah duduk sempurna, wanita itu meraih jemariku, mengenggamnya lembut.

"Sekarang kamu mau cerita sama saya?" bisiknya lembut. Aku pun mengangguk.

Mata basahnya antusias menatapku, dan akhirnya Suster Anjarlah orang pertama yang mendengar semua cerita memilukan dalam hidupku. Salah, bukan semuanya. Masih ada dua hal yang aku tutupi, tentang Ibu dan tentang aku yang pernah menjual diri. Yang dia tahu, aku harus bekerja tanpa gaji untuk melunasi hutang-hutang.

"Kalian tinggal saja di rumahku, ya," pintanya. Aku segera menoleh.

"Ti-tidak, Suster. Tidak usah. Nanti biar saya usahakan mengekos untuk tinggal sementara waktu. Atau saya bisa bilang sama bos agar memberi gaji separuh tiap bulannya," tukasku.

"Akan tetapi kamu 'kan juga butuh uang untuk keperluan lain," paparnya.

"Nggak apa-apa, insyaAllah cukup," balasku.

"Ya sudah, sekarang anggap saja kamu membantuku gimana? Saya tinggal sendirian di rumah. Kadang butuh seseorang untuk menemani. Terlebih dari dulu saya ingin sekali memiliki anak perempuan. Rumahnya memang tidak besar, tapi insyaAllah cukup untuk kita bertiga," terangnya dengan tatapan kosong, seolah mengingat sesuatu yang tidak kutahu.

Sebenarnya ingin sekali bertanya kenapa tinggal sendirian, untuk umuran seperti beliau seharusnya sudah menikah.

"Memangnya keluarga Suster di mana? Kenapa tinggal sendiri?" Akhirnya aku beranikan diri untuk bertnya, meski sedikit ragu. Suster Anjar tersenyum menatapku, ada guratan kesedihan meski sekuat mungkin dia tutupi.

"Saya sudah lama bercerai, kami memiliki anak lelaki, mungkin usianya sekitar tiga tahun lebih tua dari kamu. Sekarang dia sedang melanjutkan studinya di luar negri. Hanya hari-hari tertentu dia datang mengunjungiku, karena dia lebih sering berada di rumah papanya," ucapnya.

Penuturan barusan membuatku bungkam. Ada perasaan bersalah karena sudah membuat Suster Anjar menyibak kembali sesuatu yang mungkin menjadi luka buatnya.

"Bagaimana Binar, saya akan bahagia sekali jika kalian bersedia tinggal bersamaku. Selain itu, kamu 'kan juga harus kerja. Saya bisa menjaga Intan ketika di rumah," pungkasnya. Remasan tangannya semakin kencang di tanganku.

"Tapi kami akan merepotkan," sanggahku.

"Tidak, justru saya akan merasa senang akhirnya tidak lagi kesepian."

Terlihat sorot mata penuh harap di wajahnya. Setelah dipikir kembali, kurasa inilah pilihan terbaik. Namun ....

"Lalu, dengan cara apa saya membalas kebaikan Suster?" tanyaku sendu. Wanita itu tersenyum dan kembali membelai rambutku.

"Cukup panggil saya 'Ibu' itu sudah lebih dari cukup. Yaa ... Ibu Anjar." Tercipta kembali senyum merekah di wajahnya, manis, matanya penuh pancaran kebahagiaan memandangku.

Aku menelan ludah. Perasaan yang sulit kujelaskan mulai merasuk.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top