Part 4
#BINAR (Part 4)
Kolab CommelSsi dan Ellinda
POV REYHAN
"Aarrgghhh ...!"
Wanita itu berteriak ketika Binar menguyurnya dengan jus tepat di muka. Entah apa alasan gadis aneh itu melakukannya. Yang jelas, aku cukup tercengang melihat keberanian dia berbuat seperti itu di depan umum.
Pria yang duduk bersama wanita itu terlihat marah atas perlakuan Binar. Namun, gadis itu bisa membuatnya bungkam. Ck! Dasar gadis bar-bar. Cari masalah saja!
"Apa yang kau lakukan pada wanita tadi?" Aku bertanya saat dia kembali duduk di depanku.
"Bukan urusanmu," jawabnya tak acuh.
Aku mendengkus, menatapnya intens. Gadis ini memang sangat berani. Kemarin menamparku, lalu berkilah dari janjinya untuk menyerahkan tubuh kepadaku, dan sekarang menguyur minuman pada seorang wanita di tempat umum. Luar biasa keberaniannya.
---***---
Dari hotel, aku membawanya pulang. Dia gadis beruntung sebab bisa masuk rumahku tanpa susah payah. Sebenarnya aku anti membawa perempuan ke rumah. Hanya karena rasa penasaran, Binar bisa sampai ke sini.
"Tuan muda sudah pulang. Ada yang bisa saya bantu?"
Bu Dilah--pembantu sekaligus orang kepercayaanku sejak remaja--menyambut kehadiran kami.
"Gadis ini akan menjadi budakku. Jadi Bu Dilah bebas tugas mengurusi keperluanku selama ada dia. Antar dia ke tempatnya, di gudang."
Binar melotot. Mungkin kaget dengan apa yang aku ucapkan.
"Kenapa harus di gudang, Tuan? Masih ada kamar pembantu yang kosong untuknya." Bu Dilah merasa keberatan.
"Tidak perlu. Biarkan dia tidur di gudang. Atau ... kau mau tidur menamaniku di kamar?" Sengaja aku menggodanya karena cukup puas ketika melihat mimik mukanya yang kesal.
Walaupun ada kamar kosong, tak sudi aku kalau dia tempati. Gudang adalah tempat terbaik untuk gadis yang sudah membuatku kecewa. Kita lihat, sampai sebesar apa keberanianmu melawanku.
"Tak masalah, Bu. Aku akan tidur di gudang daripada menemaninya tidur di ranjang empuk. Tolong antar aku ke sana," ujar gadis itu dengan pongah. Dasar gadis g*mbel juga sombong. Sudah sepantasnya memang tidurmu di gudang. Bersama kecoak dan teman-temannya.
Mereka berlalu dan aku pergi ke kamar. Kau berani mempermainkanku, bukan? Kita lihat, apa yang akan aku lakukan denganmu. Ini baru permulaan. Nikmati permainan ini, gadis si*lan.
***
Aku hampir lupa kalau hari ini ada janji meeting dengan seorang klien saat jam makan siang. Segera bersiap ke kantor, tapi seketika terlintas pikiran untuk memberi Binar tugas awal. Segera kusuruh Bu Dilah untuk memanggilnya ke kamar.
Cukup lama menunggu, akhirnya Binar datang juga. Tegang. Kucing itu terlihat tegang saat membuka pintu kamar. Aku sengaja berniat untuk menggodanya. Puluhan perempuan sudah mendaratkan jemari lentik atau pun bibir basahnya di dada six pack-ku. Kalau kau gadis normal, tentunya sangat susah bagimu untuk mengelak pesonaku.
"Kenapa kamu memanggilku?" Dia bertanya dengan membuang muka. See ... gadis itu mulai bereaksi karena tak tahan melihat pemandangan indah di depan matanya.
Aku mendekatinya yang bergeming di depan pintu. Sekali dorong, pintu tertutup. Matanya membulat saat kedua lenganku mengunci tubuhnya di dinding.
"Apa yang kau lakukan? Kau berjanji tidak akan menyentuhku, bukan?" Walau kalimatnya tegas, tapi ada getar dalam nada suaranya.
Kutatap intens wajahnya dan tersenyum tipis. "Aku tak pernah berjanji untuk tidak menyentuhmu. Bahkan jika aku mau, saat ini juga bisa membuatmu bertekuk lutut dan meneriakkan namaku dalam kenikmatan," bisikku tepat di depan telinganya.
Tiba-tiba tubuhku disentakkan dengan kedua tangannya. Si*lan! Berani sekali dia! Tubuhku sedikit terhuyung ke belakang. Untungnya tidak jatuh. Cukup besar juga nyali dan tenaga gadis itu.
"Kamu jangan kurang ajar ya! Kita sudah sepakat, hutang akan kubayar sebagai budakmu. Jadi, jangan semena-mena denganku. Aku bisa membuat tubuhmu remuk kalau kau berani menyentuhku!" Ujaran peringatan yang dia lontarkan, membuatku tertawa.
Kucing kecil itu mengancamku. Dikira aku akan takut dengan ancamannya. Bahkan tubuhnya saja mungil dan dalam sekali sentak, akan bisa kuangkat. Pakai melawan akan meremukkan tubuhku. Hahaa ... lucu sekali dia.
"Oh, ya? Coba saja lakukan."
Aku semakin mendekatkan wajah kepadanya. Membuktikan bahwa gertakannya hanya omong kosong. Semakin dekat hingga aku bisa merasakan embusan napas juga rona merah di wajahnya. Entah karena marah atau ....
Plak! Tamparan keras mengenai pipiku. Si*l! Sungguh si*l! Gadis ini belum takut ternyata, hingga berani menamparku lagi.
"Aku sudah memperingatkanmu! Jangan berani-berani menyentuhku, atau kau akan rasakan akibatnya!" Dengan tatapan tajam, dia memberi ultimatum tepat di depan wajahku yang pasti telah memerah karena marah.
"Kau--"
"Sekali lagi kau berusaha menyentuhku, kau bakal menyesal! Jangan anggap aku gadis lemah. Karena aku bisa melakukan yang lebih daripada tamparan di pipimu. Camkan itu!"
Setelah mengancamku, dia ke luar. Si*l! Kenapa aku tak menahannya dan memberi peringatan kepada gadis itu? Ah ... dia pasti merasa menang karena berhasil menamparku lagi. Binar ... lain kali kau tak akan bisa lari dariku. Aku berjanji.
***
Setelah kejadian memalukan di kamarku tadi, kini Binar akan melaksanakan tugasnya. Terlihat dia sedang berbicara dengan Bu Dilah di kursi dapur.
"Aku tidak bisa. Hari ini aku harus ke rumah sakit. Adikku pasti sudah sadar sejak operasinya kemarin," ujarnya saat aku menyuruh ikut ke kantor sebagai pelayanku.
"Hei ... kau itu niat mau bayar utang atau tidak? Belum juga kerja, sudah berulah!" sergahku karena kesal.
Dia mencebik. "Beneran, Rey. Aku harus ke rumah sakit. Kemarin aku hanya menitipkan adikku pada suster. Aku tidak bisa merepotkannya lebih lama. Kumohon izinkan aku pergi. Aku janji, setelah memastikan keadaan Intan, akan ke kantormu." Dia memohon penuh iba.
Cih! Lagi-lagi aku tak bisa berkutit dibuatnya.
"Oke, aku izinkan kau ke rumah sakit. Akan tetapi ... aku yang mengantarmu."
Dia terlihat lega karena kuizinkan. "Terima kasih." Sebuah senyum tipis tercetak di bibir mungilnya.
"Jangan senang dulu. Aku lakukan itu hanya untuk memastikan bahwa kau benar-benar tidak kabur."
Senyum itu berubah menjadi cemberut. "Tunggu sebentar!" Binar berjalan menuju gudang, lalu beberapa saat kemudian kembali dengan tas slempang tersampir di bahunya.
Dia membuka tas kecil itu, lalu mengeluarkan dompet. Membukanya kemudian mengambil sesuatu. KTP.
"Ini KTP-ku sebagai jaminan kalau tidak akan kabur." Dia mengulurkan kartu itu kepadaku.
Aku mengangkat sebelah alis. Apa-apaan pakai jaminan KTP. Dia pikir aku pegawai bank yang sedang meminjamkannya uang. Namun ... tak masalah aku menyimpannya. Siapa tahu dia nanti berniat kabur?
"Oke. Walau benda ini tidak ada harganya, tapi aku terima. Karena aku tahu kau tak punya benda berharga lain ... selain kepera**nmu." Aku tersenyum miring. Dia terlihat mendengkus, dan aku tak peduli.
"Terserah kau mau bilang apa. Aku tak peduli asal kau mengizinkan pergi menemui adikku. Ayo ... kita pergi sekarang!"
Seperti orang tak punya dosa, Binar ngeloyor neninggalkanku setelah berpamitan pada Bu Dilah. Dasar budak tak tahu sopan santun.
"Heeii ...." Aku berteriak tuk hentikan langkahnya.
Binar berhenti lalu menoleh tanpa rasa bersalah. "Bawa tas kerjaku!"
Dia kembali mendekat lalu meraih tas kerjaku. Kali ini sikapnya lebih sopan karena mau berhenti menungguku jalan duluan. Aku melangkah dan dia membuntuti. Sebenarnya dia terlihat manis kalau mau menurut, hanya saja suka sekali dia melawan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Siang ini lalu lintas cukup padat. Binar duduk bergeming di bangku samping kemudi. Aku meliriknya sekilas. Terlihat dia seperti memikirkan sesuatu yang berat. Mungkin karena memikirkan adiknya yang sedang sakit.
"Ke mana orang tuamu?"
"Hah?"
"Ke mana orang tuamu?"
Dia terdiam.
"Ayahku sudah meninggal."
"Ibumu?"
Lama dia tak menjawab.
"Jauh."
"Jauh ke mana?"
Dia menggeleng. Entah apa artinya. Aku tak tertarik mencari tahu.
"Jadi kau hanya hidup bersama adikmu?"
"Iya."
"Sakit apa dia?"
Lama tak ada jawaban.
"Lampu merah depan ke kiri, rumah sakitnya di pojok jalan." Bukannya menjawab, dia justru mengalihkan pembicaraan.
Sepertinya Binar menyimpan banyak rahasia yang pedih dalam hidupnya. Namun berusaha tetap tegar. Mungkin saja itu cara dia menyembunyikan kesedihannya.
"Sudah sampai," ucapku saat mobil berhenti di depan lobi rumah sakit.
"Terima kasih. Nanti kira-kira jam dua siang, aku akan ke kantormu." Dia bersiap ke luar dari mobil.
"Aku bebaskan hari ini. Besok mulailah bekerja."
Ucapanku disambut Binar seolah tak percaya.
Binar tersenyum senang. "Ya benar? Terima kasih, Reyhan," ucapnya bersemangat. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Sengaja aku membebaskannya agar urusan di rumah sakit tidak mengganggu pikirannya saat bekerja denganku. Bagaimanapun dulu aku punya keluarga yang bahagia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan dan menderita karena keluarga.
Setelah memarkirkan mobil, aku membuntutinya. Beruntung masih terlihat tubuh mungil itu dalam jangkauan. Dia menuju ke sebuah ruangan. Intan. Tadi Binar mengatakan adiknya bernama Intan. Segera aku menuju resepsionis untuk mencari tahu penyakit Intan.
Keguguran kandungan dan percobaan bunuh diri? Fakta yang mengejutkan. Aku kira, sakit parah akibat sakit lain, ternyata seperti itu adanya. Benar saja kalau Binar terlihat murung. Setelah rasa penasaranku terjawab, aku meninggalkan rumah sakit karena harus bekerja kembali.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top