Part 3

#BINAR (Part 3)
Kolab CommelSsi dan Ellinda
#COMEL

POV. Binar

Tak ada tempat lagi yang bisa kutuju. Bahkan wanita yang telah melahirkanku pun jelas-jelas menolak. Ya, betapa konyol dan tak tahu malunya diri ini. Sepantas apa aku masih diinginkan? Kehadiranku tak berarti dan nyawa pun tak berharga. Aku hanya sebatas anak haram yang pernah menjadi noda. Seharusnya, aku bisa lebih legawa menerima. Bahkan aku tahu bagaimana cara menahan air mata. Bagaimana mungkin aku tak bisa ikhlas menerima perlakuannya?

Ibu. Meski mungkin kami tak pernah kau harapkan, setidaknya darahmu ada dan mengalir di dalam tubuh kami. Kuyakin, walau hanya setitik celah di hatimu. Kami akan memasuki, meski harus merangkak dengan luka yang menganga. Tak apa, asal engkau kembali.

Langkahku semakin menjauh dari tempat biadab itu. Jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Kakiku mulai terasa pegal berjalan selama berjam-jam.

"Mau ke mana, Neng, malam-malam? Mau abang anterin, nggak?" celoteh pengendara bermotor yang mencoba menggoda. Entah untuk yang berapa kali, aku tak merespons sama sekali. Sampai beberapa umpatan terlontar padaku.

"Dasar cewek dekil, sombong."

"Ditanya nggak jawab, bisu, yah?"

"Waahh, lu bisu atau sombong. Dasar gembel!"

Jangankan menjawab. Menoleh pun enggan, untuk pria penggoda macam mereka.

Akhirnya aku sampai di tempat di mana Intan terbaring. Karena memang tak ada lagi tempat yang bisa kutuju selain rumah sakit ini.

"Mbak Binar, bukankah tadi sudah pulang?" sapa seorang suster yang sudah lumayan akrab denganku.

"Eh, iya Sus, tadi saya pulang mengambil beberapa barang lalu ke sini lagi," tukasku.
Kulihat matanya melirik ke arah dua tas  warna hitam yang masih kutenteng.

"Oh, banyak banget barangnya?" sambungnya.

"Iya, soalnya saya akan bermalam di sini, Sus. Ingin menjaga adik saya." Aku memungkasi.

Perempuan yang memeluk beberapa berkas di dadanya itu tersenyum terenyuh.
"Kamu memang Kakak yang baik, beruntung sekali pasien memiliki saudara sepertimu. Selain kamu, memangnya tak ada saudara lain? Misal ... orang tua?" tanyanya ragu.

Suster Anjar adalah wanita yang biasa mengurus adikku. Bisa kulihat beberapa kali, mulai dari awal Intan masuk ke sini, dia memiliki tatapan iba tersendiri pada kondisi kami.

Hening. Aku terdiam sesaat.

"Maaf kalau pertanyaanku kurang berkenan," tukasnya dengan raut wajah tak enak hati.

"Nggak pa-pa. Sebenarnya ada keluarga. Akan tetapi dia jauh, sangat jauh, jadi tidak bisa ke sini." Aku menjelaskan sekenanya.

Ya. Sekat pembatas bukan ukuran jauh dekatnya suatu hubungan. Meski Ibu masih bisa kutemui, tetap saja dia tak terjamah oleh hati ini. Aku masih belum bisa meluluhkannya.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu ya, Binar. Semoga operasi besok berjalan lancar." Suster Anjar mendoakan dengan tulus.

"Terima kasih, Sus." Aku tersenyum menatap wanita paruh baya tersebut, sebelum akhirnya dia pergi.

Aku mendaratkan diri di atas kursi yang tersedia berjajar di koridor rumah sakit. Ruangan Intan memang tidak bisa dimasuki sembarangan, kecuali bersama dengan dokter atau suster. Entah, kapan Intan akan sadarkan diri. Semoga saja, usai operasi dia akan cepat pulih.

Hari yang melelahkan membawa jiwaku begitu nyaman duduk di atas kursi yang akhirnya menghentikan langkah. Kupijat sesaat bagian tumit, ada rasa yang cukup lama tertahan. Perih. Setelah kubuka sepatu usang, kupandangi sesaat lecet yang tidak seberapa. Kutarik napas berat lalu kembali bersandar di kursi. Sampai akhirnya terlelap dengan tumpukan penat yang terus menjerat.

***

Paginya, aku menggunakan toilet rumah sakit untuk membersihkan diri. Sesaat teringat akan kesepakatan bodoh yang telah kusetujui. Aku menatap pantulan wajah dari cermin. Entahlah. Tiba-tiba ada rasa jijik saat memandangi diri sendiri. Tubuh ini telah terjual. Sekarang apa lagi bedanya aku dan Ibu? Kami sama-sama menjual diri demi uang.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Jelas saja, ini toilet umum. Aku tak bisa berlama-lama meratapi nasib sial yang selalu kualami selama ini.

Kembali kutarik napas panjang, dan segera melengkapkan pakaian. Celana pensil warna hitam, beserta kaos polos warna abu-abu. Aku tak pernah memiliki baju bagus, tapi ini baju terbaik yang kumiliki. Baju yang sengaja kubeli kembaran dengan Intan.

Hari ini begitu menegangkan, rasa tak karuan semakin rancu di dalam pikiran. Hari di mana Intan harus operasi, juga hari di mana aku harus menepati janji.

Pukul 15.00 WIB, operasi telah usai, Dokter mengatakan kalau semua berjalan lancar. Sedikit lega, meski Intan masih belum juga membuka mata.

Detik waktu semakin berputar, aku harus menemui lelaki yang telah memberi seratus juta. Reyhan. Sebelumnya, aku berpesan pada Suster Anjar untuk segera menghubungi bila Intan telah sadarkan diri. Lantas meninggalkan rumah sakit dengan bimbang.

***

Perasaan semakin gelisah. Aku tahu ini salah. Bahkan jika ingin menarik kembali kata-kataku,  pun tetap salah. Aku datang ke kantornya dan mendapati pandangan karyawan yang entahlah ....
Mungkin mereka sedang membicarakanku yang sedang berjalan membuntuti bosnya.

Lelaki itu membawa mobil mewahnya ke sebuah mal. Dia mengubah penampilanku layaknya wanita paling beruntung di dunia. Melihat harga gaun dan sepatu yang kukenakan, cukup tercengang. Uang yang bisa menghidupiku selama beberapa tahun. Pasrah. Bukan. Aku pun tak pernah menginginkan semua ini. Pilihan yang sulit dari keadaan yang tidak diharapkan, akhirnya membuatku semakin sulit.

Kami berjalan memasuki koridor hotel. Tempat yang begitu mewah bagi seorang gembel sepertiku. Jujur. Di dalam sini begitu bergemuruh. Seakan berselimut kabut pekat yang menyesakkan. Aku pasti kuat, seperti yang selalu terucap. Tubuhku mungkin gemetar sekarang, itu karena melihat sepatu yang sedang kukenakan.  Layaknya wanita sosialita pemburu branded terkenal. Lihatlah, betapa hebatnya aku. Seorang gembel memakai high heels dengan merek terkenal.

***

Pintu tertutup, kini hanya ada aku dan Reyhan. Kutatap wajahnya yang begitu ganas. Entah takdir apa yang membawaku bertemu dengannya?

"Aku akan mengembalikan uangmu, jangan tiduri aku!" Ya. Akhirnya aku bisa mengatakan kalimat itu. Biarlah kalau aku telah menjilat ludah sendiri. Bagaimanapun masih ada kesempatan untuk menyelamatkan harga diri. Tubuh ini mungkin berada di tepi jurang, aku harus bisa bebas sebelum jatuh terlalu dalam. Belum terlanjur. Belum.

"Kau pikir, kau bisa menarik kata-katamu? Dasar gembel tak tahu malu, berani kau mempermainkanku!" umpatnya.

Aku akan terima semua penghinaan darinya. Aku memang memalukan. Tak tahu diri dan murahan. Seharusnya aku tidak marah atas perlakuannya. Bukankah ini kenyataan yang sebenarnya? Mataku masih menatapnya lekat. Perih, dan mulai mengembun. Tahan. Aku kuat, tak peduli tangan ini semakin lembab. Nyatanya aku masih mampu berdiri tangguh dan tak sedikit pun mengeluh.

Namun, tubuh mulai gemetar, saat punggung tangannya menyentuhku. Adrenalinku meningkat. Terasa ada yang mendidih di dalam tubuh. Emosi masih terkendali. Hanya denyut jantung yang terus berpacu cepat.

Akhirnya aku benar-benar kalah. Saat bibirnya mulai menyentuh bagian bahu. Kakiku tak lagi berenergi. Untuk kedua kalinya aku berlutut di depannya. Memohon iba dari singa yang siap memangsa.

Murkanya membuatku takut. Meski masih dapat ditutupi, tetap saja, aku tak bisa memungkiri diri ini tak ingin melepas kehormatan untuknya. Tak sudi, tubuhku dijamah oleh lelaki seperti dia.

Hingga entah apa yang membuat pikirannya berubah. Saat dia melakukan aksinya di atas tubuhku, tiba-tiba terhenti. Lelaki itu seolah mengurungkan niatnya untuk memangsa kesucianku.

Setelah berteriak frustrasi, dia masuk ke kamar mandi. Aku merosot. Duduk meringkuk memeluk lutut di atas lantai. Akhirnya bulir bening menetes dari netraku. Dalam hidupku, rasa lega jauh lebih mengharukan dari tiap kesedihan yang selalu kuterima. Lihat, betapa menyebalkan air mata ini. Terus berderai meski susah payah kutahan. Sekali lagi. Karena aku merasa lega, saat singa tak lagi membuatku merasa berbahaya. Reyhan. Tidurlah hingga hatimu terbuka dengan timbunan rasa iba untuk tidak membuat hidupku makin sengsara.

***

"Pakai kembali gaun semalam," pintanya.

"Aku tidak nyaman," jawabku singkat. Dia menatapku tajam. Lelaki yang sudah berpakaian rapi itu berjalan pelan ke arahku.

"Kamu alergi dengan baju mahal?" Kembali dia tersenyum miring melihatku sinis.

"Ya. Aku lebih nyaman memakai baju sendiri." Melirik kaos polos yang sudah kukenakan. Lantas melipat kembali gaun sexi yang semalam kupakai.

"Temani aku makan!" ucapnya.

"Sebenarnya apa maumu?" tanyaku datar.

"Kau harus turuti semua perintahku untuk melunasi hutangmu!"

"Apa?"

"Ya. Mulai sekarang kau akan menjadi budakku, yang harus patuh apa pun yang kusuruh."

"Maksudmu?"

"Atau kau memilih untuk tidur denganku?"

Aku bungkam. Pilihan yang sulit, tapi seharusnya aku lebih lega, menjadi budaknya akan lebih baik dari pada harus melayani nafs*nya.

"Atas dasar apa, kau mau makan bersama seorang budak?" Lagi, lelaki itu melihatku penuh isyarat yang mencuat.

"Aku benci dengan tatapanmu seperti itu!" tegasnya dengan melotot ke arahku.

Ya. Ini bukan arogan, hanya saja inilah caraku melindungi harga diri sebelum terinjak hingga posisi paling rendah. Sekalipun sebilah pedang ada dalam kedua genggaman tangannya, aku tidak takut. Sombong. Ya. Adakalanya sombong itu perlu, di saat yang tepat dan pada sasaran yang tepat.

"Sekarang aku memintamu menemaniku makan. Mungkin saja setelah itu aku akan memintamu untuk menjilat sepatuku."

Lelaki itu semakin terlihat angkuh. Bibirnya tersungging senyum licik. Tak ada pilihan lain, ini hanya konsekuensi yang memang harus kujalani. Kuraih kembali gaun itu, lantas memakainya seperti semula.

Di Restoran aku di kejutkan dengan sosok wanita yang sebenarnya sangat kurindu. Tapi melihatnya sedang bersama lelaki yang entah siapanya, membuat bibirku sedikit berkedut dengan umpatan yang terlontar di hati. Ibu. Dia bergelayut manja di pundak lelaki yang berbeda dari sebelumnya. Marah, kecewa, benci, cemburu, rindu, melebur menjadi butiran peluh di dahiku.

"Itu dia jeng pelakornya."

"Mana, mana? Itu yang pakai baju biru?"

"Iya. Kamu lupa, itukan suaminya jeng Riska. Dasar wanita jalang."

"Astaga ... baru inget aku. Bener Jeng, itu pelakornya, awas aja, ya. Kita tunggu jeng Riska datang. Kita hajar rame-rame!"

"Pasti. Wanita sampah memang harus diberi pelajaran, nanti biar aku yang videoin. Biar viral itu perempuan murahan, perusak rumah tangga orang. Geram aku, Jeng. Atau kita samperin aja mereka sekarang?"

"Jangan ... jangan! Kita tunggu Jeng Riska saja. Dia lagi di perjalanan, sebentar lagi mungkin sampai. Kita awasi saja dulu, perempuan busuk itu."

Tubuhku bergetar, mendengar perbincangan dua wanita yang duduk tak jauh dari meja kami. Tanganku mengepal kencang, kutahu wanita sampah yang mereka sebut, tak lain adalah Retno. Ibuku.

Entah mengapa, aku semakin tak karuan menahan diri untuk tidak ikut campur. Bukankah itu hukum alam, untuk wanita sepertinya, dipermalukan di depan umum tidak akan membuatnya hina. Karena pada dasarnya dia memang wanita hina.

Tapi kenapa, ada satu sisi di hati yang memintaku untuk berbuat curang. Membuatku segera berdiri, lalu berjalan ke arah Ibu. Tanpa basa basi kuraih jus buah di depannya, lalu menyiramkan ke kepalanya secara merata.

"Aarrgghhh!" Wanita itu menganga melihatku, matanya membulat tajam ke arahku.

"Siapa kau, berani-beraninya?!" gertak lelaki di sampingnya.

Wajah kesal pria itu terlihat, lalu dia berdiri dengan menggebrak meja. Aku tak peduli. Mataku masih lekat menatap wanita yang tengah tercengang melihat kehadiranku, ditambah penampilanku yang tak seperti biasanya.

Ibu pergilah dari tempat ini! Sekarang. Tak peduli, meski kau pantas dihukum. Aku akan melindungimu, semampuku. Pergilah! Ibu ....

***

"Apa yang kau lakukan barusan?"

Setelah puas karena Ibu pergi sebelum bertemu dengan istri kekasihnya, aku kembali. Sebelumnya aku harus berakting sebagai anak dari wanita lain yang dirusak rumah tangganya oleh Ibu. Membentaknya, juga mencerca sebisaku. Aku tak peduli hubungan Ibu dan pria itu selanjutnya. Asal wanita yang melahirkanku itu terhindar dari cercaan ketiga ibu-ibu tadi.

"Bukan urusanmu," jawabku tak acuh.

Reyhan mendengkus. Aku bisa merasakan kalau dia menatapku intens. Namun, tidak ada kata lagi yang dia utarakan. Kami melanjutkan makan dalam diam. Dalam hati, aku bersyukur, tapi juga bersedih. Harus melihat hidup Ibu yang berkutat dalam lingkaran dosa.

Ibu ... kapan hatimu akan terbuka untuk kembali pada jalan yang benar. Kami merindukanmu, Ibu. Sangat ....

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top