Part 16

#BINAR 16
Kolab Cocom Ssi dan Ellinda
#Commel
Pov Reyhan

Entah di mana salahnya permintaanku, sehingga Binar seperti menghindar. Seharusnya dia tahu kalau bukan menjadi pembantu atau asisten yang dimaksud dari permintaanku tadi. Harusnya dia peka pada ucapanku. Akan tetapi ... ah ... aku pun bingung dengan perasaan yang ada di dalam hati.

Apa pantas seorang sepertiku mengharapkan gadis seperti Binar? Dari segi mana pun memang kami berbeda. Banyak sisi kelam dalam diri ini. Aku lelaki bejat! Anak durhaka! Sedangkan Binar sangat menjaga kesuciannya. Dia juga anak yang berbakti pada orang tua, walaupun tidak diakui.

Tuhan ... kenapa hidupku begitu runyam? Apa Kau mau menghukumku karena selama ini membenci Mama? Bukankah dia pantas dibenci? Wanita itu yang telah menghancurkan harapan indah keluarga kami.

Entah selama berapa jam aku masih berdiri di teras samping. Sampai udara malam semakin terasa menusuk tulang. Kuputuskan kembali ke kamar walau mata belum mengantuk.

Memasuki ruang pribadi, aku berjalan menuju laci meja. Membuka kuncinya dan menemukan album foto keluarga. Keluarga? Benarkah aku memiliki sebuah keluarga? Namun kenapa aku selalu merasa sendirian ... di ruang yang gelap nan pekat?

Beberapa menit memandang foto keluarga yang harmonis hingga perlahan, ada rasa rindu yang menyelusup ke dalam bilik hati. Kami bertiga tersenyum bahagia. Walau tidak setiap hari bisa bertemu Papa, tapi kehadirannya selalu menjadi penyokong semangat diri ini.

Terlintas kejadian paling memuakkan di rumah Oma, membuat dada ini kembali merasa sesak. Gemuruh amarah menampik segala kelembutan yang coba dia tawarkan. Nasi telah menjadi bubur. Hati ini telah mati untuk sekadar mendengar kata maaf darinya.

Kuremas kuat lembar foto itu sebagai pelampiasan atas rasa benci yang telah lama bersarang di hati. Biarlah dia merasakan bagaimana rasanya kecewa karena disakiti orang yang kita sayangi. Perkataan Binar tadi siang memang ada benarnya, tapi tak semudah itu membuka pintu maaf karena kesalahan fatal yang berbuntut panjang.

***

Suara Binar mengembalikan kesadaranku. Entah sudah jam berapa sekarang. Ingin bangun, tapi kepala terasa sangat berat. Mata juga enggan terbuka dan tubuh pun terasa mengigil.

Sentuhan tangan lembutnya di kening, juga rasa cemas Binar kepadaku, membuat sebagian sisi hati menghangat. Apa Binar benar-benar mengkhawatirkan aku? Atau ... dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelayanku? Andai pertanyaan pertama yang benar, aku rela dalam keadaan seperti ini lebih lama.

"Temani aku ... kumohon." Aku berujar lirih saat dia selesai meletakkan handuk basah di kening.

Aku tak butuh obat. Perhatianmu yang tulus adalah obat mujarab saat ini. Setelah dia menyanggupi, aku merasa tenang dan kembali terlelap.

***

"Binar ...." Suaraku lirih karena tenggorokan terasa serak.

Tak ada sahutan. Kuedarkan pandangan ke segala sudut ruang. Kosong. Berarti dia keluar saat aku tidur. Aku meraih ponsel di atas nakas lalu men-dial nomornya, berharap dia segera datang. Sekali, dua kali, hingga entah ke berapa kali tak ada jawaban di seberang.

Akhirnya suara Bu Dilah di balik pintu, menghentikanku.

"Maaf Tuan. Ponsel Binar tertinggal di dapur. Anda butuh sesuatu?" ujar wanita yang sudah berdiri di samping ranjang itu.

Aku menggeleng. Suhu tubuh sudah lumayan turun, tapi kepala masih berat. Aku berusaha duduk bersandar kepala ranjang. "Binar ke mana?" tanyaku dengan suara parau.

"Em ... tadi pagi dia pamit beli obat penurun panas, tapi sampai tengah hari, belum kembali. Saya tak tahu ke mana perginya." Penuturan Bu Dilah membuat mataku sedikit terbelalak.

"Dia pergi sendirian atau diantar sopir?"

"Sendiri. Mang Aden sudah kusuruh mencari ke beberapa apotek terdekat, tapi tidak ada." Jawaban itu membuat kepalaku semakin pening.

"Biar aku cari sendiri." Aku bergegas turun dari ranjang, tapi Bu Dilah melarang.

"Tuan, kondisi Anda masih kurang fit. Istirahatlah dulu, daripada semakin parah. Biar saya suruh Mang Aden saja yang mencarinya lagi."

Sebenarnya aku ingin mencari Binar sendiri. Namun, kondisiku memang masih lemah. Akhirnya pasrah. Hanya berharap agar tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya.

Hari tengah beranjak petang, namun Binar belum juga menampakkan diri. Berapa puluh kali, Mang Aden menerima panggilan dari ponselku, tapi hasilnya sama. Dia tak menemukan Binar.

Aku semakin khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Mengabaikan kepala yang masih pusing, aku segera memakai jaket dan turun ke garasi. Bu Dilah kembali melarang, tapi tekadku sudah bulat untuk mencarinya.

Apa mungkin Binar menghindariku karena permintaanku semalam? Apa dia merasa tidak nyaman dengan apa yang kukatakan? Atau ... lebih parahnya dia diculik preman suruhan orang? Aarrgghh ... rasanya ingin pecah kepala ini memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Menerobos lalu lintas di malam hari dengan keadaan badan kurang fit, membuatku beberapa kali hampir menabrak. Si*l! Kenapa aku sakit saat Binar menghilang? Aku menghentikan mobil di depan rumah sakit tempat Intan dirawat kala itu. Berpikir sejenak, barangkali bisa mendapatkan alamat dari data Intan. Tangan sudah memegang hendel pintu mobil, tapi urung. Bukankah Binar bilang mereka pindah ke rumah Bu Anjar?

Aarrgghh ... kenapa aku tak pernah tanya di mana alamat Bu Anjar? Kalau sudah begini, apa yang bisa kulakukan? Terlintas ide untuk menyewa orang bayaran. Segera aku menghubungi nomor yang pernah kusewa untuk memata-matai rival bisnis. Setelah mengirim beberapa foto Binar kepadanya, aku berharap mereka bisa menemukan Binar.

Kembali kunyalakan mesin mobil menuju rumah. Sungguh, badan ini tak bisa diajak kompromi. Berharap saat tiba di rumah, Binar sudah pulang. Namun harapanku tak terwujud. Sampai di rumah pun, tak kutemukan sosoknya.

"Bagaimana Tuan? Apa Binar ketemu?" Pertanyaan Bu Dilah membuat tubuhku semakin lemah. Duduk bersandar di sofa ruang tamu dan menggeleng. Terdengar embusan napas panjang dari Bu Dilah.

"Belum 24 jam, kita tidak bisa melaporkannya kepada polisi," ujar Bu Dilah cemas.

Aku mengembuskan napas lelah, "Aku sudah menyewa orang untuk mencarinya. Semoga Binar segera ditemukan," ucapku seraya memijat kening yang semakin pusing.

"Semoga saja. Tuan ... kelihatannya Anda masih sakit. Saya antar istirahat di kamar agar tidak semakin parah."

Aku menolak tawaran Bu Dilah. Bagaimana aku bisa tidur tenang saat kabar dari Binar belum kuperoleh? Setelah minum obat, Bu Dilah mengambilkan selimut hangat dan bantal untukku istirahat di ruang tamu.

***

"Rey ... Reyhan ...."

Sayup-sayup, aku mendengar suara Binar di dekatku. Perlahan kubuka mata yang masih berat terasa. Bayangan sosok gadis yang kemarin membuatku kalang kabut, ada di depan. Aku menggeleng beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran.

"Binar?" tanyaku ragu. Ini mimpi atau nyata?

"Iya, aku Binar. Kenapa kamu tidur di sini?"

Tanpa menghiraukan pertanyaannya, segera kurengkuh tubuh kurus itu. Ini seperti mimpi, tapi terjadi saat aku telah membuka mata. Beberapa detik posisi kami seperti itu, hingga Binar berusaha melepas rengkuhanku.

"Ehem ... kamu ... sudah ... sembuh?" Binar bertanya terbata seraya duduk di sofa sebelah.

"Yah ... sekarang sudah mendingan." Apalagi setelah kamu pulang dengan selamat, sambungku dalam hati. Kenapa aku merasa canggung bicara dengannya? Ck! Si*l!

"Syukurlah Rey. Aku senang mendengarnya," sahutnya lirih.

Wajah Binar tidak seperti biasanya. Seperti sedang bersedih. Apa ada yang terjadi padanya?

"Kamu ... ke mana saja kemarin? Bu Dilah bilang kalau kamu mau beli obat, tapi sampai malam tidak juga kembali." Aku berusaha mengontrol suara senormal mungkin.

Gadis berkaus lengan panjang itu menunduk sekilas lalu tersenyum tipis. "Maaf ya. Niatku memang beli obat penurun panas, tapi tiba-tiba aku kangen dengan Ibu. Jadi ... aku ... ke tempat Ibu." Binar seolah ingin bicara lebih, tapi urung.

"Ibumu kenapa? Bukankah dia tidak menerima kehadiranmu? Lalu ... semalam tidur di mana?" Aku mencercanya dengan pertanyaan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Namun, melihatnya kembali saja, sudah membuatku merasa lega.

Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang tulus. "Aku tidur di rumah Bu Anjar ... dengan ... Ibu." Binar menunduk. Suaranya pun lirih. Pasti ada sesuatu yang salah terjadi.

"Kalian sudah baikkan?" tebakku. Binar mengangguk pelan.

"Syukurlah. Harusnya kamu senang karena sudah berdamai dengan Ibumu. Akan tetapi ... kamu terlihat murung pagi ini. Binar, are you okay?"

Binar mengangguk cepat, "I'm okay."

Walau belum puas dengan jawabannya, tapi melihat dia kembali memasang wajah ceria, membuat kekhawatiranku mereda.

Saat sarapan dengan bubur ayam, Binar hanya menemaniku karena katanya sudah sarapan. Sengaja hari ini aku menyuruhnya libur ke kantor. Selama duduk di depanku, dia terlihat melamun. Beberapa kali terkesiap saat aku memanggilnya.

"Binar ... kalau kamu ingin cerita, aku bisa menjadi pendengar yang baik." Aku berujar setelah dia selesai membereskan peralatan makanku.

Dia tersenyum sekilas. "Makasih, ya, Reyhan. Aku nggak apa-apa, kok."

Aku mengajaknya ke teras samping. Di sana ada satu set kursi rotan dengan bantalan yang empuk. Memang kuperuntukkan untuk bersantai. Hanya saja aku jarang duduk di sana. Karena dulu, aku hanya sering menggunakan kamar, kamar mandi, dan ruang makan untuk berkutat. Sebagian besar kuhabiskan waktu di luar rumah. Rumah hanya tempat untuk tidur dan sesekali sarapan.

Sinar mentari sudah meninggi, tapi masih menyisakan embun di atas dedaunan. Semalam, aku dan Binar berdiri berdua di sini. Bicara tentang langit, juga keikhlasan. Sampai terlontar permintaanku kepadanya, tapi dia abaikan.

Aku menyodorkan ponsel kepadanya yang hanya duduk terdiam memandang taman. Dia menoleh padaku, lalu menatap ponsel yang kusodorkan. "Kenapa?"

"Simpan nomor Bu Anjar di sini. Kalau kamu kabur lagi, biar aku bisa mencarinya." Dia terkekeh hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Siapa yang kabur? Bisa kena denda kalau aku kabur." Kembali dia terkekeh.

Semburat sinar mentari membiaskan indah rona di wajah gadis itu. Membuatnya terlihat semakin memesona di mataku. Cantiknya alami, dan semakin elok saat dia tertawa lepas seperti ini.

Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum melihatnya. She is my energy. Begitu mudah dia membuatku tersenyum, setelah seharian kemarin memorakporandakan pikiran.

"Barangkali kamu punya niat kabur karena jengah dengan sikapku semalam." Aku menyahuti asal, tapi sukses membuatnya berubah mimik wajah.

Binar menyelipkan rambut di kuping dan membetulkan duduknya. "Reyhan, apa kamu pernah berpikir kalau suatu saat akan berpisah dengan orang yang kamu sayangi?"

Aku menatapnya tajam. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tahu siapa orang yang kusayangi?"

"Maksudku bukan sayang yang cinta-cintaan gitu, Rey. Akan tetapi sayang pada keluarga. Orang tua, misalnya?"

Ck! Selalu punya cara untuk lepas dari pertanyaanku yang menjurus padanya." Papa sudah meninggal, dan aku tahu bagaimana rasanya ditinggal orang tua."

"Kalau mamamu?"

"Terserah dia mau mati atau hidup, tak ada bedanya bagiku. Karena bagiku dia sudah mati belasan tahun lalu!" Aku menjawab sewot. Kenapa Binar bertanya tentang Mama di saat aku enggan memikirkannya?

Hening.

Dia terdiam cukup lama. Entah apa yg dipikirkan, terlihat jelas ada kesedihan di matanya.

Sampai saat aku menegurnya, " Binar!"
Gadis itu justru berkaca-kaca menatapku sendu. Semakin yakin, beban yang tersirat tak bisa dia tahan.

"Aku mungkin menjengkelkan buatmu, juga bukan orang baik bagimu. Namun percayalah, aku bisa jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu," ucapku mencoba membujuk.

Mulutnya terkunci, tapi bulir bening berhasil menerobos keluar dari mata indahnya.

"Reyhan ... Ibuku ... dia sekarang mengidap HIV AIDS. Kau tahu 'kan, penyakit itu mematikan dan tidak ada obatnya? Itu artinya, tak lama lagi ... aku akan kehilangan ... Ibu ... selama-lamanya."

Kini, bahu gadis mungil itu bergetar karena terisak. Astaga ... ternyata ini yang membuat Binar murung sejak tiba tadi pagi.Entah kebapa, tapi perasaanku menduga ada yang tak beres terjadi padanya.

Refleks, aku mendekat, duduk di sampingnya dan membawa kepalanya ke bahuku. Binar semakin tersedu-sedu. Aku bisa merasakan kesedihannya, saat Papa meninggalkanku. Seperti orang buta yang kehilangan tongkatnya untuk membantu berjalan. Apalagi Binar baru saja diakui sebagai anaknya kembali setelah lama dia berjuang tanpa lelah.

Kelak, pasti akan engkau temukan kebahagiaan sejati, Binar. Percayalah!

Bersambung.

Silakan dikrisan, terima kasih untuk krisan, vote, komentar dan follow-nya.😍🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top