Part 15

#BINAR 15
Kolab CommelSsi dan Ellinda
#Commel
Pov Binar

Entah mengapa, aku masih saja terus teringat kata-kata Daffa. Ditambah, Intan yang ternyata menaruh hati kepada lelaki itu. Tak salah memang, wanita mana yang tidak terpesona oleh karisma lelaki sepertinya, dia baik dan tampan selain itu pula dia ramah ... lelaki yang tahu sopan santun. Tentu saja, Intan akan menjadi wanita yang sangat beruntung jika bisa mendapatkan hati Daffa.

Hanya saja, aku takut jika dia terluka. Entah bagaimana perasaan Daffa pada Intan. Jika pun dia tidak memiliki perasaan lebih pada adikku, kuharap dia tak memiliki perasaan berbeda padaku. Ini akan sangat menyakitkan, aku tak bisa dan tak akan sanggup. Sekalipun sekarang aku tak memiliki perasaan lebih pada Daffa, tapi untuk belajar mencintainya, kurasa akan begitu mudah. Sekali lagi aku tak mau, aku tak mungkin menjadi duri di hati adikku. Itu salah, dan akan menyakitkan.

Memikirkan hal itu membuatku tak bisa memejamkan mata, hingga akhirnya kuputuskan menghirup udara malam di teras samping. Langit malam ini tampak indah dengan hiasan bintang yang berkerlip. Sampai Lelaki yang akhir-akhir ini ingin mengubah diri menjadi lebih baik datang dan berdiri di sampingku.

Dia bertanya kenapa aku belum tidur. Bagaimana bisa tidur? aku terus termenung mengingat tentang perasaan Intan, juga Daffa, belum lagi tadi siang di kantor, Rey hampir membuatku salah tingkah dengan tindakannya. Aku tahu banyak beban hidup yang menganggu pikirannya. Kali ini kami berdiri bersisihan. Menatap langit yang sama, dan bicara tentang filosofi kehidupan.

"Mulailah dengan berdamai pada dirimu sendiri, maka secara perlahan hidupmu akan turut berdamai dengan setiap orang di sekelilingmu. Percayalah!" ucapku padanya.

Ya ... hanya itulah yang bisa aku beri untuknya, sebuah kata dan prinsip yang telah lama terpatri dalam jiwa. Semoga saja, dapat bermanfaat pula untuknya.

"Binar ...," panggilnya. Aku yang masih menatap langit, segera menoleh. Temaram lampu di taman, mampu memperlihatkan wajah maskulin lelaki itu. Disadari atau tidak, banyak sekali perubahan dalam dirinya akhir-akhir ini.

"Maukah kamu menemaniku berdamai dengan kehidupan ini?" tukasnya.

Aku sedikit terkejut, meski masih bisa mengatasi dentum jantung yang tiba-tiba lebih cepat berdetak. Tetap saja, raut wajahnya tak bisa aku cerna dan abaikan begitu saja dengan kata yang baru saja terlontar dari mulutnya.

"Apakah ada pilihan lain, selain menerimanya? Bukankah menjadi pelayanmu itu artinya aku akan berada di dekatmu sampai waktu yang telah di tentukan itu usai," jawabku.

"Dan jika aku tak ingin waktu itu usai, bagaimana?"

Apa maksud orang ini? Kenapa bicaranya membuatku takut.

"Jadi, kau ingin aku menikmati sisa hidup sebagai seorang pelayan selamanya?"

"Apa jadi pelayanku sangat berat buatmu?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah lelaki macam apa sebenarnya dia? Aku mengenalnya sebagai lelaki mesum, arogan dan tak punya perasaan. Jika tiba-tiba dia menjadi sosok yang lembut seperti ini. Apa yang terjadi padanya?

Tak mungkin semua karena aku, seseorang bisa saja mengubah kehidupan orang lain. Dan itu hanya ada dua alasan, pertama karena menghormati dan yang kedua karena ... cinta. Ah tidak, apa yang sudah aku pikirkan. Tak mungkin lelaki seperti dia menyukaiku, kita sama sekali tidak cocok.

"Adakah pilihan lain selain itu?" Aku tak menjawab, tapi balik bertanya.

"Ada," balasnya.

"Menjadi asistenmu?" tebakku.

"Tidak, jadilah orang yang selalu ada di sisiku. Bukan jadi pelayan ataupun asisten. Akan tetapi ...."

"Kau ingin, aku menjadi temanmu? Oke karena kamu sudah baik padaku, aku mau menjadi temanmu."

"Binar."

"Tidurlah! Ini sudah begitu larut, kita harus istirahat. Aku sudah sangat mengantuk," tukasku.

Tentu saja, aku sengaja tak ingin menanggapi perbincangan itu terlalu jauh. Aku tak pernah memiliki perasaan lebih kepada lelaki itu. Dulu, ada rasa murka karena sifat dan sikapnya, yang sekarang berubah dengan rasa iba akan masa lalunya yang membuatnya menjadi lelaki tak berperasaan. Kesulitan berdamai dengan dirinya sendiri adalah masalah terbesar baginya.

Aku pun meninggalkannya di samping tembok bercat putih itu. Keheningan di tengah malam, membuat detak jarum jam lebih keras terdengar. Tak tahu lagi bagaimana wajah lelaki itu, semoga saja dia bisa terbangun dan sadar. Aku bukanlah perempuan yang pas untuknya. Meski jika dia sungguh berkeinginan untuk berubah, dengan senang hati aku siap membantunya. Melupakan segala lara dan luka di masa silamnya.

***

Pagi yang cukup melelahkan, bahkan sang surya masih malu-malu menampakkan cahaya diri. Langit biru hampir menyeluruh tertutup awan, meski tidak begitu gelap. Tetap saja, mendung perlahan menyelimuti.

Usai membantu membuat sarapan, aku menengok jam dinding. Sudah pukul tujuh lebih, tapi Reyhan masih tak terlihat. Aku pun berjalan menuju kamarnya.

"Rey, kamu belum bangun, ya?"

"Rey!" panggilku seraya mengetuk pintu. Beberapa kali kuulangi, tapi tak ada jawaban. Hal itu membuatku semakin penasaran, dan akhirnya kuraih knop pintu untuk membukanya.

Benar saja, lelaki itu masih meringkuk di bawah selimut. Entah jam berapa dia tertidur, usai perbincangan semalam. Kurasa Reyhan semakin sulit memejamkan mata.

"Rey! Bangun. Nanti kamu terlambat!" seruku.

"Sudah jam setengah delapan. Kamu nggak ngantor hari ini?" lanjutku. Beberapa kali hanya dengan suara, akhirnya kuberanikan diri untuk mengoyangkan tubuh kekarnya.

"Rey!" panggilku lagi. Kugoncang pundaknya yang tertidur miring.

"Reyhan!" Lelaki itu tetap bergeming, napasnya terasa berat kudengar. Saat kubuka sedikit selimutnya, rupanya dia sedang menggigil.

"Rey, kamu sakit?" Aku menenpelkan telapak tangan di dahinya, ternyata Panas.

"Ya Allah, kamu demam."

Segera aku turun untuk mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres.

"Kamu demam Rey. Aku antar ke dokter, ya?" tawarku setelah memasangkan handuk kompres di dahinya. Lelaki berwajah pucat itu hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah, kaau begitu aku panggilkan Bu Dillah dulu, dia yang sudah merawatmu dari kecil. Kurasa dia lebih tahu apa yang harus dilakukan kalau kamu sedang deman begini," ujarku.

Aku pun berdiri. Namun Reyhan segera menarik tanganku. "Temani aku! Kumohon." Dia berujar lirih.
Aku semakin tak tega. Lelaki yang dulu kukenal begitu arogan, sekarang dalam kondisi tak berdaya.

"Baiklah, Rey. Namun jika sampai siang panasmu tak kunjung menurun, kita ke dokter ya," pintaku.

Lelaki yang masih memejamkan mata itu pun hanya tersenyum tipis merespons. Aku kembali menduduk kursi di samping ranjang. "Tak menyangka, lelaki sepertimu juga bisa sakit," lirihku. Dia bergeming, bibirnya terlihat begitu kering, aku kembali membantunya membetulkan selimut.

"Tidurlah, mungkin semalam kamu kurang istirahat, lalu masuk angin."

Aku mengedarkan pandangan ke beberapa arah, sampai akhirnya terpaku pada satu album yang tergeletak di kolong meja. Mungkin saja Reyhan sempat melihatnya, tapi tidak menyimpannya kembali. Aku pun berjalan mendekat, lalu mengambil benda tersebut.
Lembar demi lembar kubuka, foto keluarga yang cukup menarik.

Beberapa lembar terlihat seperti telah diremas, tapi kemudian diluruskan kembali dan di masukan ke dalam album. Ya ... foto keluarga yang terdapat gambar ibunya. Wanita cantik dan anggun dengan rambut tebal dan mengembang. Kurasa dialah mama Reyhan. Beberapa lembar foto yang lainnya terlihat begitu bagus. Foto keluarga harmonis dan bahagia.

Lama berkutat dengan album berwarna biru muda itu, aku pun menutupnya setelah tiap helai usai kupandangi. Aku membereskan bagian lain yang perlu dirapikan dari kamarnya. Sampai akhirnya  mendengar suara pintu terbuka, kurasa Bu Dillah sudah pulang dari pasar.

Aku memperhatikan Reyhan. Lelaki itu masih terlelap, saat ku periksa kembali tubuhnya. Tak ada perubahan, demam masih melanda meski telah dikompres.

***

"Reyhan, demam. Panasnya tinggi, meski sudah kukompres. Aku memintanya untuk ke dokter tapi dia menolak," ucapku. Wanita yang sedang meletakan beberapa sayur ke kulkas segera menoleh.

"Dia paling pantang pergi ke dokter," tukasnya.

"Benarkah? Lalu jika dia sakit?" Bu Dillah tersenyum menatapku.

"Beri dia paracetamol di kotak obat, nanti akan sembuh sendiri."

"Baikalah aku akan mencarinya sekarang," ucapku.

"Dia sedang tidur?"

"Iya."

"Apalagi yang sedang dia pikirkan, sampai membuatnya tidak bisa tidur dan demam?" Wanita itu bergumam, dengan tatapan menerawang. Seolah sudah biasa terjadi jika Reyhan banyak pikiran.

"Semenjak ada kamu, banyak sekali perubahan dalam dirinya. Apa kalian ... berpacaran?" sambungnya.

"Tidak, bukan. Kami tidak pacaran. Seperti yang kubilang dulu, aku hanya memiliki hutang yang cukup banyak padanya, hingga  terpaksa menjadi pelayannya untuk melunasi hutang-hutang," jelasku.

"Benarkah? Anak itu seolah perlahan kembali menjadi jati dirinya seperti sedia kala," tuturnya. Aku mulai mencerna, kurasa memang benar. Reyhan sebenarnya orang baik.

"Namun semenjak kejadian waktu itu, dia seolah berubah menjadi pribadi yang berbeda," tambahnya.

"Jadi ...."

"Ya, aku begitu kenal dengannya. Semenjak ada kamu, lambat laun dia berubah," paparnya kembali. Bu Dillah menatapku intens, seolah sedang menerka sesuatu.

"Ya, bukankah itu bagus," ucapku. Wanita paruh baya itu semakin tajam menatapku.

"Dia tidak pernah sembarangan mengajak wanita ke rumah ini. Dan dia bukan lelaki yang mau di permainkan oleh wanita. Kurasa Reyhan memiliki perasaan lebih padamu. Jika kau tidak berniat untuk menerimanya, jangan buat dia terlalu nyaman berada di sisimu. Aku hanya tak ingin dia kembali merasa kecewa karena seorang wanita, yang akhirnya akan membuatnya semakin benci dan dendam."

Bagai tertancap duri-duri besi, ucapannya begitu tajam menusuk hati. Aku tahu, akan sangat menyakitkan baginya jika itu terjadi, karena sejujurnya aku pun tak mengerti bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Masih banyak hal yang ingin aku selesaikan, terutama tentang Ibu. Soal cinta, sama sekali belum pernah terbesit dalam diriku.

"Baiklah, aku mengerti dengan perkataanmu barusan. Sebaiknya aku mencari obat untuknya sekarang," ucapku, lantas melangkah menuju kotak P3K.

Setelah beberapa saat mencari tak ada satu pun obat penurun deman, sampai akhirnya Bu Dillah berkata kalau dia lupa, persediaan obatnya telah habis. Akhirnya aku putuskan untuk ke apotek untuk membeli paracetamol.

***

"Tega kamu Mas, apa salahku padamu? Jadi ini yang kau sebut cinta?" Wanita itu terisak dengan lunglai. Seberkas kertas telah ia genggam dengan erat.
Entah apa yang merasuk, rasa rindu di hati tak bisa kutahan lagi. Akhirnya aku mencuri waktu kerjaku untuk datang ke tempat di mana ibu berada. Gang Merak.

"Apa maksudmu? Kau wanita lacur, dari mana kau tau aku penyebabnya? Kau telah tidur dengan pria mana saja. Kutahu itu."

"Tidak, kau salah. Apa kau lupa, saat menawarkanku cinta. Tak pernah sekali pun aku tidur dengan pria lain selain kamu."

"Aku tidak yakin. Wanita sepertimu, mana bisa setia hanya dengan satu lelaki?"

"Kau bajingan, kau sengaja kan menularkan aku penyakit laknat itu." Lelaki itu, membisu matanya merah dan tajam menatap ke arah Ibu. "Lepaskan aku, aku tak akan menemuimu lagi!" tegas lelaki yang pernah kutemui di tempat parkir. Lelaki itu pun mendorong Ibu, dan membuatnya terjerembap di tanah. Lalu dia berlalu pergi tak lagi menghiraukan Ibu, wanita yang terlihat berbeda dari beberapa waktu lalu. Dia begitu kurus dan pucat sekarang.

Ibu semakin tak berdaya, dengan tangis yang nyaris tak berjeda. Menyaksikan itu hatiku mencolos tak karuan. Ada sesuatu yang tiba-tiba mencabik bagian ulu hati, begitu menyakitkan.

Beberapa wanita berbaju mini hanya melihat ibu seolah bahan tontonan. Tak ada iba atau pun belas kasih, mereka saling berbisik dan menatap takut.

"Retno, jadi benar kamu terjangkit HIV?" tanya seorang temanya dari kejauhan.

"Awas-awas minggir, jangan dekat-dekat dengannya!"

"Sebaiknya suruh dia pergi dari sini. Jangan sampai kita tertular oleh penyakitnya," timpal wanita sebelahnya.

"Betul, betul, betul," tambah yang lainnya secara serentak.

"Bahaya banget penyakit itu, nanti kita bisa ketularan," sambungnya.

Ibu hanya menangis lemah, dan menghambur di tanah. Lihatlah, sesama kaum menjijikkan sepertimu tak lagi memedulikan, meski kalian pernah bercanda gurau bersama dalam status teman dunia malam.

"Ayo, kita ambil semua barang-barang miliknya di kamar. Dia harus cepat-cepat pergi dari sini," seru salah seorang lainnya.

Tiga wanita tuna susila itu segera berjalan masuk ke kamar, sedang yang lainnya masih menatap ibu dengan jijik. HIV, Astagfirullah, Tuhan ... padahal belum sempat aku mendapatkan kembali kasih sayangnya. Tapi sekarang, penyakit mematikan perlahan akan menggerogoti tubuhnya. Ya Allah, inikah keadilan dari-Mu? Ataukah ini permainan untukku? Ya Allah. Bukankah aku tak pernah sekali pun mengeluh. Namun kenapa? Inikah balasan setimpal untuk buah kesabaran dan ketegaranku selama ini? Aku lelah Tuhan.

"Pergi sana kamu, Retno! Jauh-jauh dari tempat ini. Kami tak mau tertular penyakit mematikan sepertimu!" Wanita itu melempar tas hitam berisi baju dan barang-barang Ibu yang tak tertata.

Ibu masih menangis, bergeming dengan uraian air mata yang tak putus membasahi pipinya.
"Retno! Apa kamu tidak dengar, cepat pergi dari sini!"

Aku semakin geram, aku menampakkan diri dari persembunyian. Ku berjalan mendekat arah Ibu, " Ayo kita pergi." Seketika Ibu mendongak dan menatapku dengan mata yang terus bercucuran air mata. Pecah. Tangisnya semakin pecah.

"Retno, sebaiknya kamu pergi sekarang. Ini beberapa uang dari kami, semoga bisa membantumu," ucap seseorang yang kurasa tidak begitu kejam dari wanita-wanita lacur lainnya.

Ibu bergeming, dia seolah tak punya tenaga untuk berbicara, apa lagi bergerak. Hingga akhirnya wanita itu menaruh beberapa lembar uang ratusan ribu dan lima puluhan ribu di tangan ibuku.

Aku segera mengambil uang itu, lalu berjalan menuju gerombolan para wanita malam tersebut, dan segera melempar uang itu ke arah mereka.

"Ambil uang ini, kami tidak butuh!" tegasku. Lantas berbalik mendekati Ibu, kuangkat kedua pundaknya agar bisa berdiri.

"Ibu, ayo kita pergi dari tempat laknat ini."
Meski payah, akhirnya Ibu mencoba berdiri dan berjalan bersamaku.

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top