Part 1
#BINAR
Kolab CommelSsi dan Ellinda
#Comel
Pov Binar
"Memangnya berapa yang kau minta? Sepuluh juta, dua puluh juta, atau lima puluh juta?" Dengan pongah, Reyhan bertanya merendahkanku. Lelaki itu berdiri, mendekatiku yang masih mematung di samping meja kerjanya.
Walau sangat menjijikkan, kujawab juga, "Seratus juta!" tegasku dengan bibir gemetar.
"Apa?" Dia tertawa mengejek, "bahkan kau lebih mahal dari yang kukira. Memangnya apa kelebihanmu? Masih perawan?" Lelaki bermata elang itu menatapku hina. Ya ... memang aku gadis hina sekarang.
Dia tersenyum miring. Mata tajamnya menatapku lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Merasa sangat jijik dengan tubuh yang dari dulu kujaga mati-matian. Aku meembisu. Menunggunya mengatakan sesuatu yang membuat hati lega.
"Kau lupa, baru kemarin kau menolakku mentah-mentah. Bahkan berani menampar wajah tampan ini dan keluar dari pekerjaan di kantor. Sekarang justru kau memohon-mohon untuk membelimu ...."
Lelaki itu tertawa jahat. Menertawakan kebodohanku. Ya ... memang aku perempuan yang sangat bodoh. Tidak tahu malu karena mau menjual tubuh pada orang yang beberapa hari lalu kutampar wajahnya. Bukan tanpa alasan, karena berulang kali ia mencoba melecehkanku. Tidak puas dengan penolakan, diiming-iminginya sejumlah uang sebagai imbalan. Hal itu membuatku murka dan memutuskan untuk berhenti kerja sebagai office girl di kantornya.
"Begitu cepatkah kau berubah pikiran? Atau ini hanya trik agar bisa lebih banyak mendapatkan uang?" cerca Reyhan.
Aku tidak pernah tahu sejauh apa keberengsekan lelaki itu di luar sana. Tapi bagiku ... dia memang orang yang sangat keterlaluan.
"Kupikir kau berbeda ... rupanya sama saja dengan wanita-wanita lain yang murah dan gampangan. Cuih! Paras lugumu terlalu munafik!" celanya dengan pandangan jijik ke arahku.
Aku masih tegar, ini tak seberapa. Hinaan ini bukan hal baru. Aku memang pantas menerimanya. Atas dasar apa anak seorang pelacur mendapat pembelaan. Aku memang menjijikkan dari lahir hingga sekarang.
"Buat apa uang sebanyak itu? Gayamu biasa saja. Semua yang kau kenakan bukan barang bermerek. Lihat, bahkan penampilanmu lusuh seperti ini. Atau kau gadis kampung yang akan memperkaya diri di desa?" umpatnya.
Aku masih terdiam, tanganku mulai lembab menahan desir darah yang sudah tak karuan memuncak. Andai saja aku memiliki jalan lain, tangan ini sudah mengayun tepat di wajah angkuhnya.
"Kenapa kau diam saja?" ucapnya lagi. Dia mengulurkan tangan menyentuh bagian rambutku.
"Lepaskan! Kau belum membayarku. Kau belum berhak menyentuhku!" tegasku lantang.
Aku menampik tangannya, tak peduli biarpun harga diri telah kutawarkan tetap saja diri ini bukan perempuan lemah yang mudah dilecehkan.
"Kau itu gadis murahan. Nggak usah sok-sok jual mahal!" ejeknya dengan raut sinis.
Telunjuk tangannya mendorong keningku berkali-kali. Ingin sekali merobek mulut itu, lalu mematahkan jemarinya. Ah ... sayangnya, aku hanya singa kelaparan yang tak memiliki taring untuk memangsa.
"Ok ok. Aku terima tawaranmu. Akan kubayar kau seratus juta," tukasnya.
Seharusnya aku lega. Akan tetapi justru dada ini semakin naik turun tak berjeda. Gelisah karena mengambil keputusan besar yang pasti kusesali selamanya. Menjual kehormatan yang selama ini ku jaga.
"Beri uangnya sekarang. Setelah itu aku akan kembali menemuimu," pintaku tanpa ragu.
"Apa? Di mana pun. Ada barang dulu baru ada uang. Kau mau meminta uang sebelum kutiduri!" maki Rey dengan meninggikan suara.
"Aku berjanji, besok akan datang menemuimu. Aku tidak akan berbohong. Kalau perlu KTP ini bisa kau bawa sebagai jaminan," tawarku penuh harap.
Reyhan tersenyum miring. "Apa itu satu-satunya barang berharga milikmu? KTP?" tanya Rey dengan mengerutkan dahi.
Entahlah apa yang aku punya. Bahkan harga diri pun, kini telah terjual. Apa lagi yang tersisa? Tak ada. Intan. Ya ... tentu saja aku masih memiliki sesuatu yang lebih berharga dari harga diri sendiri. Intan, sabarlah. Mbak sedang berusaha untukmu.
"Baiklah, tapi kau harus berlutut dulu di depanku!" pinta Reyhan angkuh. Wajah lelaki itu kembali menorehkan kepuasan karena telah berhasil menginjak-injak harga diriku dengan bebas.
Emosiku semakin bergemuruh, andai bukan karena dia satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Intan. Tak peduli hukum alam dan seisinya, aku telah merutuki lelaki berdasi yang penuh kesombongan itu.
Aku menghela napas panjang, tubuh ini terasa panas. Perih yang terasa, tak seberapa, Binar. Kamu sudah melalui begitu banyak cerca dan hinaan. Kamu pasti kuat dan mampu melaluinya. Perlahan, aku pun menekuk lutut di hadapan lelaki yang dikenal sebagai pengusaha muda tampan dan gemar mempermainkan wanita.
Dia tertawa pongah. "Menyenangkan sekali menjadi orang kaya," kelakarnya penuh kepuasan.
"Baiklah, sekarang berdiri. Kau harus ikut aku ke Bank," ucapnya setelah puas melihatku berlutut tak berdaya.
Aku bangkit dengan perasan campur aduk. Rey mengambil kunci mobilnya lalu berjalan ke luar. Mengelap mata yang tadi berembun, kususul langkah kaki jenjang milik mantan bosku itu.
***
"Masuk!" perintah Rey sembari membuka pintu mobil.
"Aku duduk di belakang saja."
"Di belakang? Kau pikir aku sopir? Cepat masuk!" tegasnya.
Aku tak bisa lagi menolak lelaki itu karena dia melotot. Bukan takut. Sekali lagi, karena tak punya pilihan lain sekarang. Aku pun masuk ke dalam mobil mewah itu untuk pertama kali.
Rey menutup pintu lalu berputar menuju sisi lain. Dia mengenakan kaca mata hitam sebelum akhirnya memacu mobil, melaju di padatnya lalu lintas jalan.
"Kau tunggu sebentar di sini," pinta Rey ketika sampai di bank.
Aku tak merespons. Masih tetap diam, tanpa menoleh sedikit pun ke arah lelaki yang telah beranjak keluar mobil.
Tak lama kemudian.
"Seratus juta, seperti yang kau minta," ucap Rey sembari melempar amplop coklat berisi uang tunai 100 juta.
Aku langsung menerimanya dengan rasa yang tak lagi bisa dijelaskan. Terjual sudah harga diri ini. Malu pun tak pantas lagi untuk wanita sepertiku.
"Terima kasih. Besok aku akan datang ke kantor," tukasku.
"Mau ke mana?"
"Selain transaksi ini, tak ada lagi yang menjadi urusanmu," paparku tanpa menatapnya. Lalu berjalan menjauh dari mobil Rey.
Aku menyimpan uang itu di dalam tas. Berjalan terburu-buru mencari tukang ojek untuk mengantar ke suatu tempat.
"Tolong antarkan saya ke Rumah Sakit Siaga Medika, Pak."
"Baik, Neng. Silakan pakai helmnya."
***
Setelah tiba di rumah sakit, aku bergegas lari ke ruang resepsionis. "Suster ... Suster, saya sudah mendapatkan uangnya. Jadi tolong operasi adik saya sekarang juga." Aku berucap gugup dengan menyodorkan ampol coklat yang baru saja kuterima.
"Sabar, Mbak. Tenang dulu, saya akan mengambil berkas yang harus Mbak tandatangani."
Beberapa berkas sudah kutandatangani. Pihak rumah sakit memutuskan akan mengoperasi Intan esok hari. Lega. Beberapa hari sudah tubuh lemasnya terbaring di ruang UGD.
Seketika aku kembali mengingat peristiwa naas waktu itu.
Aku menampar pipi tirusnya saat mengetahui Intan mencoba menggugurkan kandungan. Berat. Aku tahu berat sekali cobaan hidupnya.
"Ini semua gara-gara Mbak Binar, coba saja kita tidak ke sini untuk mencari pelacur itu. Mereka tak akan menganggapku remeh. Tidak cukupkah deritaku selama di desa dengan cerca dan hinaan orang-orang sekitar. Karena memiliki ibu seperti Retno, itu!" Intan menyeru dengan berurai air mata.
"Maafkan mbak, Intan. Ini semua memang salahku karena tidak bisa menjagamu. Tapi mbak mohon, jangan lakukan itu. Katakan siapa yang telah memerkosamu. Setidaknya bagaimana ciri-cirinya?" Aku membujuknya agar mau memberi tahu yang sebenarnya.
"Bagaimana bisa ingat, Mbak. Mereka memberiku obat. Aku lupa semuanya. Hanya hinaan dari mulut mereka yang sempat terdengar. 'Anak seorang pelacur, nantinya juga bakal jadi pelacur, kita nikmati tubuhnya sebelum jadi sampah masyarakat.' Suara mereka terdengar mengecil, lalu semua gelap."
Setelah bercerita, Intan berteriak histeris. Kembali ia merutuki diri sendiri dan memukul-mukul perutnya. Kupeluk tubuhnya yang merosot di lantai.
"Semua salah mbak. Mbak akui. Intan, sabarlah. Kau pasti bisa. Kau pasti kuat. Mbak akan selalu ada di sampingmu."
Aku pun terluka. Bahkan sangat. Aku selalu mencoba tegar di hadapannya, adik semata wayang yang kuurusi sejak dia berusia tiga tahun. Sejak ibu memutuskan untuk merantau hingga melupakan kami. Hanya Nenek yang sudah tua renta yang mengurus kami dengan tak berdaya, dan ketika usiaku menginjak dua belas tahun, Nenek pun pergi menemui Sang Khalik.
Bertahun-tahun lamanya tak ada kabar. Hingga beredar berita Ibu menjadi seorang pelacur di Jakarta. Sampai aku berumur 22 tahun dan Intan sekarang 18 tahun. Aku putuskan untuk mencarinya. Intan memang sangat membenci Ibu, namun kupaksa untuk tetap ikut. Mencari di mana keberadaan Ibu. Seorang wanita yang ternyata tak mau mengakui kami.
Kuputuskan untuk mengontrak rumah kecil yang tak jauh dari gang tempat di mana Ibu bekerja sebagai wanita malam. Entahlah, aku merasa memiliki tanggung jawab tersendiri untuk membuatnya keluar dari dunia kelam tersebut. Berbeda dengan Intan, dia sangat benci dengan Ibu, bahkan tak sudi untuk bertemu dengannya. Aku memahami bagaimana perasaan Intan. Sakit. Sangat.
Sekarang Intan terbaring di rumah sakit karena berusaha bunuh diri. Kehamilannya tak bisa diterima, ditambah beban hidup yang seolah tak pernah usai silih berganti. Sekali pun bahagia tak pernah berpihak padanya. Miris.
Usai menusukkan pisau di perut, dia mencoba menenggelamkan diri di bak mandi berisi air penuh. Keadaannya sangat kritis, membuat adikku koma selama tujuh hari. Dokter mengharuskannya untuk operasi, karena ada luka dari tusukan pisau yang mengenai organ dalam. Membuat ia harus kehilangan bayi sekaligus rahim. Itulah kenapa aku membutuhkan uang seratus juta. Biaya operasi yang sangat mahal bagi kaum rendahan sepertiku.
Setelah menengok ruangan Intan, aku berencana pulang sebelum hari terlalu gelap.
Jaraknya memang tidak terlalu jauh apabila ditempuh dengan sepeda motor. Tapi jika berjalan, membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Tak peduli, kakiku masih kuat untuk terus berjalan.
Setibanya di tempat kontrakan, aku terkejut dengan tas milikku yang tiba-tiba berada di depan teras.
"Kamu sudah pulang rupanya!" sapa Bu Asih-- pemilik kontrakan--mengagetkanku dan membuat sedikit menganga dengan mata membulat menolehnya.
"Bu, kenapa semua barang-barangku bisa berada di luar?" tanyaku menatapnya sendu.
"Aku baru tahu, ternyata kalian anaknya si Retno, pelacur itu. Aku tak mau rumahku ditempati oleh perempuan-perempuan kotor seperti kalian. Sebaiknya kamu pergi jauh-jauh dari sini sekarang," umpatnya tanpa belas kasihan.
"Tapi ini sudah malam." Aku mencoba mengiba.
"Ibumu kan wanita malam, masa anaknya takut malam. Udah sana pergi, aku sudah berbaik hati sama kamu. Untuk bulan ini kamu nggak usah bayar uang sewa," ucapnya sinis. Lalu dia pun pergi tak menghiraukan aku lagi.
Lemas. Niat ingin mengistirahatkan diri dari lelah dan penatnya hari ini. Justru malam pun kian jadi pedang yang terus menghunus sekujur tubuh. Perih! Napasku terasa berat. Ah, sudah biasa, menghadapi kerasnya hidup. Lihat. Bahkan aku tak pernah menangis, aku begitu tangguh dan kuat.
Kuambil barang-barang milik kami yang memang tak seberapa. Hampir dua bulan sudah kami menempati rumah kontrakan ini. Akhirnya aku memang benar-benar sampah sekarang, tak tahu lagi arah yang dituju. Tiba-tiba terbesit niat untuk menemui Ibu. Barangkali dengan kondisiku dan Intan yang memprihatinkan seperti ini akan membuatnya sedikit terketuk pintu hatinya.
Seperti biasa, setibanya di Gang Merak. Wanita-wanita berpakaian mini telah mengambil pose terbaiknya di depan rumah-rumah jahanam. Aku terus melangkah, lelaki hidung belang berkeliaran mencari wadah pemuas nafsu birahi. Menjijikkan.
Kulihat wanita yang seharusnya dipanggil ibu itu tengah bergurau mesra dengan lelaki yang tengah duduk bermain kartu dengan lelaki keparat lainnya.
Dengan berat aku semakin mendekat.
"Intan akan dioperasi," tukasku parau. Wanita yang masih terlihat muda dan mulus itu tak acuh. Meski beberapa detik sempat terdiam. Namun kemudian kembali berhaha hihi dengan orang-orang di sekitar.
"Siapa dia?" tanya lelaki berperut buncit di sampingnya yang melirikku sinis.
"Gembel. Beri saja dia uang, nanti juga pergi," ucapnya tanpa menatapku.
"Berapa, berapa, nih nih. Ambil semuanya." Pria itu mengambil dompet di sakunya.
Aku tak kuasa lagi menahan diri. Berbalik, lalu berlari menjauh dari mereka. Kenapa Ibu harus bersikap begitu pula pada Intan? Seharusnya tidak. Ia harus peduli pada anak yang pernah ia harapkan kehadirannya. Intan.
Tidak seperti aku. Aku adalah anak haram bawaan dari luar negri, mata bulat dengan bulu-bulu lentik yang menaunginya. Kulitku tidak putih, tapi juga tidak hitam, kuning kecoklatan. Rambut hitam pekat dan sedikit mengembang, hidung mancung layaknya orang India. Untuk itu, tetangga di desa menyebutku anak haram bawaan luar negri. Anak dari seorang pakistan yang Ibu kencani saat dia merantau di Singapura.
Tidak seperti Intan, dia adalah anak dari pernikahan Ibu dengan Pak Riyan. Meski akhirnya ayah tiriku harus mengalami kecelakaan tragis dan meninggal dunia bertepatan dengan hari kelahiran adikku. Tentu saja itu bukan salah Intan, Bu. Dia bukan pembawa sial!
Ah, aku lelah berdebat dalam hati yang tak mungkin bisa dipahami olehnya.
Intan, kau harus kuat. Kau harus kembali menemaniku untuk menyelamatkan Ibu dari lubang gelap.
Sial. Suara perut terus berbunyi, entah kapan terakhir aku menyuapkan nasi ke mulutku. Roti lima ratus perak adalah menu pagi, siang dan malamku.
Ini sudah malam, warung klontong tempat biasa aku membeli roti sudah tutup. Tanganku merogoh saku kumal di baju, ada dua ribu rupiah hasil kembalian dari tukang ojek.
Kulihat tukang gorengan di pinggir jalan. Dengan menenteng dua tas hitam yang sudah usang, kubergegas menghampiri.
"Gorengangannya berapaan Pak?"
"Lima ribu dua, Neng."
"Oh, kalau satu?" Ah bodoh. Sekalipun aku tidak sekolah tinggi, setidaknya aku tau lima ribu bagi dua itu berapa. Yang pasti bukan dua ribu.
"Kalau satu tiga ribu, Neng. Mau berapa biji?"
Lihatlah perhitunganku pun masih salah.
"Emmm ... maaf, Pak, nggak jadi. Permisi!"
Kuayunkan kembali kaki untuk melangkah menyusuri bebatuan di tepi jalan.
Ke mana lagi aku harus pergi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top