31. Keributan Di Cafe
Part 31 Keributan Di Cafe
Dashia menggeleng, mengenyahkan pikiran yang muncul di benaknya. Tentu saja ialah yang paling memahami gejala-gejala kehamilan Eiza. Saat hamil Ezlin, ialah yang sering menemani Eiza jika Danen sedang ada pekerjaan yang begitu penting dan tak bisa ditinggalkan.
“Kau sakit, Eiza.” Serra menyodorkan handuk bersih untuk mengeringkan wajah Eiza.
“A-aku hanya begitu terkejut dengan informasi yang dibawa oleh Dashia.” Eiza kembali memberikan perhatiannya pada Dashia.
Dashia segera menguasai kepucatannya. Menampilkan ekspesi sesal yang dibuat-buat. ”Maafkan aku, Eiza. Aku … sama sekali tak bermaksud mengejutkanmu."
“Aku hanya tak mempercayai apa yang membuat Danen bersikap nekat seperti ini.”
“Ya, aku juga,” desah Dashia penuh keputus asaan. “Dia hanya sangat putus asa.”
“Kau ingin teh hangat?” Serra menawarkan di tengah pembicaraan yang kembali serius. Lebih mencemaskan keadaan Eiza yang masih terlihat pucat.
Eiza mengangguk. “Terima kasih. Serra.”
Serra pun merangkul pundak Eiza, membawa wanita itu keluar dari pintu kamar mandi. “Tunggu sebentar,” ucapnya setelah memastikan letak bantal di belakang punggung Eiza membuat wanita itu lebih nyaman.
Dashia duduk di sofa tunggal. Menatap kepergian Serra sembari mengamati Eiza yang mulai menormalkan napas dan memijit pelipis dengan lembut. Mata wanita itu terpejam saat Dashia mendengar getar pelan dari arah meja.
Dashia menjulurkan kepalanya. Menatap notifikasi pesan singkat yang mumcul di atas layar ponsel milik Dashia.
‘Marcuss akan menjemputmu sepulang dari kantor. Sebaiknya kau tak membuat masalah, Eiza. Dia sedang dalam suasana hati yang buruk.’
Tangan Dashia segera terulur. Meraih benda pipih tersebut dan langsung menghapusnya. Meletakkannya kembali di meja tepat ketika Serra muncul dengan secangkir teh hangat.
Eiza menyesap beberapa kali sebelum kembali kembali berbaring.
“Kau ingin istirahat sebentar?”
Eiza menggeleng. “Aku harus pulang, jam berapa ini?”
“16.05.”
“Kalau begitu aku akan istirahat sepuluh menit saja.”
“Ya, tidurlah. Aku akan membangunkanmu.”
“Kau harus menghabiskan tehmu lebih dulu, Eiza. Agar perutmu lebih nyaman lagi. Nanti terburu dingin.” Dashia mengulurkan tangan, mengambil cangkir teh di meja. “Serra, bisakah kau mengambil sendok?”
Serra mengangguk dan beranjak pergi. Sementara Dashia berpindah menggantikan posisi Serra yang duduk di tepi kursi.
“Tanganmu dingin, Eiza.”
“Benarkah?” Eiza sedikit mengangkat tangannya.
“Kau butuh dokter untuk memeriksamu?”
“Tidak perlu.” Eiza menggeleng. “A-aku … menurutmu, di mana Danen sekarang?”
“Aku juga tidak tahu. Aku dan mama masih berusaha mendapatkan informasi sebisa kami.”
“Apakah menurutmu dia bukan menyendiri? Tetapi …” Eiza menjilat bibirnya yang kering, kengerian tampak di kedua matanya ketika membayangkan kemungkinan yang terjadi pada pria itu. “Mungkinkah Marcuss yang sudah melenyapkannya secara diam-diam?” Suaranya semakin lirih dan dipenuhi getaran yang hebat.
Begitu pun dengan Dashia, yang tak kalah ngerinya dengan bayangan tersebut. Wanita itu menggeleng. “Tidak mungkin, Eiza.”
“Tidak ada yang tidak mungkin dengan kekejaman Marcuss, Dashia.”
“Aku berharap tidak.”
“Aku akan bertanya pada Marcuss. Aku harus bertanya pada Marcuss secara langsung.” Eiza menurunkan kakinya. Hendak berdiri ketika Dashia menahan pergelangan tangannya.
“Tidak, Eiza. Marcuss akan semakin murka jika kau menuduhnya tanpa bukti seperti ini.”
“Tapi ini tentang nyawa Danen, Dashia. Aku tak bisa tinggal diam.” Eiza melepaskan pegangan Dashia. Beranjak dari sofa dan langsung menyambar tasnya di meja. Lekas-lekas menuju pintu dengan langkah besar.
“Dia sudah pergi?” Serra muncul dengan sebuah sendok di tangan.
Dashia mengangguk. Kemudian pandangannya turun ke arah meja dan meraih ponsel Eiza. “Dia meninggalkan ponselnya. Aku akan menyusulnya.”
***
Marcuss menggeram marah oleh panggilannya yang tak kunjung dibalas oleh Eiza. Entah berapa belas kali ia menghubungi nomor Eiza. Panggilannya masuk, hanya saja sengaja diabaikan.
Marcuss melompat turun. Eiza benar-benar mencari masalah dengannya. Dan seolah belum cukup dengan mengabaikan panggilannya, wanita itu ternyata bahkan sudah meninggalkan apartemen Serra sejak hampir satu jam yang lalu.
“Kupikir tadi aku menyuruhmu memberitahunya, Marco,” sergahnya begitu masuk ke dalam lift dan sambungannya pada Marco terhubung.
“Aku sudah. Dan pesannya juga langsung dibaca olehnya.”
“Ke mana dia sekarang?”
“Aku akan melacak posisi ponselnya.”
Marcuss langsung memutus panggilan tersebut. Ia berhenti di lantai satu, tetapi tak langsung menuju pintu keluar. Berbelok menuju lorong di samping lift khusus. Menuju ruang keamanan dan menunjukkan kartu nama miliknya.
“Aku butuh rekaman CCTV satu jam yang lalu.”
***
Eiza melewati pintu putar dan menuruni undakan di teras gedung. Marcuss sudah meninggalkan kantor setengah jam yang lalu dan ia juga tak bisa menghubungi pria itu karena ponselnya yang tertinggal di apartemen Serra.
Sepertinya ia harus langsung pulang dan menemui pria itu untuk bicara. Ia baru saja duduk di balik kemudi ketika pintu penumpang di sampingnya terbuka dan seorang pria duduk di jok depan.
Eiza sudah akan menjerit saking kagetnya, tetapi begitu pria itu menurunkan topi hitam yang dikenakan. Eiza membekap mulutnya, “Danen?”
“Kita bicara di suatu tempat.”
Eiza mengangguk, menyalakan mesin mobil dan meninggalkan area perkantoran. Keduanya menemukan sebuah café kecil yang berlokasi tak lebih dari lima belas menit dari gedung perkantoran Marcuss. Duduk di salah satu meja.
Eiza tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana melihat penampilan kusut Danen. Yang mengenakan pakaian serba hitam. Ada lebam di kedua mata ketika pria itu menurunkan kacamata hitamnya.
“Apa yang terjadi, Danen?”
Danen melengkungkan senyum dan balik bertanya. “Bagaimana kabarmu?”
“Itu tidak penting. Apa yang terjadi padamu? Dashia bilang kau sengaja membuat masalah dengan Marcuss.”
“Kau sudah tahu?”
Eiza mendesah berat. “Kenapa kau lakukan ini, Danen?”
“Dia berhak mendapatkan balasan untuk perbuatan jahatnya pada kita, Eiza.”
“Marcuss bukan orang yang bisa kita beri pelajaran untuk perbuatannya, Danen. Dia … kau tahu kekuasaannya.”
“Nyatanya aku berhasil mencuri desain itu,” dengus Danen dengan nada mencemooh. “Dan dia bahkan tidak berani menuntutku karena memang tak ada buktinya.
Eiza terdiam sesaat. “Tidakkah kau berpikir bahwa ini sebuah jebakan?”
“Jebakan?”
Wajah Eiza semakin pucat ketika mempertimbangkan pertanyaannya sendiri. Ya, bukan Danen yang membuat masalah dengan Marcuss, tetapi Marcusslah yang sengaja memancing Danen untuk membuat masalah pada pria itu.
Kepala Eiza seketika berputar ke sekeliling mereka. Kepanikan memenuhi wajahnya. Hingga ia tersentak keras dengan kedatangan pelayan yang membawakan minuman mereka.
“Tenanglah, Eiza.” Danen menggenggam tangan Eiza dan menyuruh pelayan untuk lekas pergi setelah gelas minuman mereka diletakkan di meja. “Tidak ada yang membuntuti kita.”
Danen baru saja menyelesaikan kalimatnya ketika seorang wanita berdiri di antara keduanya. Meraih minuman di meja dan menuangkannya ke kepala Eiza.
Eiza belum sempat menelaah keterkejutannya, wajahnya terangkat dan matanya membeliak dengan keberadaan Jessi dipenuhi amarah.
“Di tengah pernikahan kita yang berantakan, kau bersenang-senang dengan mantan istrimu?” geram Jessi. Melempar gelas di tangannya ke lantai. Menarik perhatian beberapa pengunjung café, yang untungnya tak seberapa. Belum puas melampiaskan amarahnya, tangan Jessi terangkat. Mencengkeram rambut Eiza yang basah dan menjambaknya dengan kuat.
Tubuh Eiza melengkung ke belakang. Rasa sakit dan pusing datang bersamaan, tubuhnya terdorong ke belakang dan ia sudah bersiap punggungnya akan mendarat di lantai yang keras. Namun, pundaknya ditahan oleh lengan Danen.
“Apa yang kau lakukan, Jessi?” Satu tangan Danen menahan punggung Eiza dan tangannya yang lain menyentakkan pegangan Jessi dengan kasar. Wanita itu hampir terjungkal, semakin berang bukan main denagn pembelaan Danen untuk Eiza.
“Kau lebih membelanya ketimbang aku?” Jeritan Jessi memenuhi seluruh ruangan. Menjadi pusat perhatian orang-orang yang mulai berbisik dengan tatapan keingin tahuan yang begitu jelas. “Aku istrimu, Danen!”
“Hentikan kalian berdua!” Tak hanya kemunculan Jessi yang begitu tiba-tiba. Keberadaan Maria dan Dashia yang datang di saat bersamaan pun mengejutkan Eiza dan Danen.
Eiza sendiri terlalu sibuk dengan kemarahan Jessi yang semakin membabi buta hendak menyerangnya. Danen berusaha menghentikan dengan menghalangi serangan Jessi. Berbagai macam caci maki dilontarkan Jessi hingga petugas keamanan datang dan karena pemberontakan Jessi semakin menjadi, Danen pun turun tangan untuk menjauhkan Jessi dari Eiza.
“Aku akan membuatmu membayar ini, Danen. Kau juga, Eiza. Kalian berdua akan mendapatkan bayaran untuk pengkhianatan ini!” Ancaman Jessi perlahan semakin menjauh keluar dari café.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top