29. Kegilaan Marcuss

Part 29 Kegilaan Marcuss

Setelah berbicara dengan mamanya, Marcuss berpapasan dengan Dashia di pintu penghubung. Dan seperti biasa, wanita itu memasang raut ketenangan. Bahkan tersenyum tanpa dosa untuk menyapa Marcuss. Sebelum kemudian menampilkan raut penuh sesal.

“Apa yang terjadi beberapa hari lalu, itu semua rencana Eiza, Marcuss. Sebagai sahabat yang baik, aku tak mungkin menolak untuk membantunya dalam kesulitan,” jelasnya dengan kesedihan yang dibuat-buat. “Meski kau sangat menginginkannya, hati Eiza dipenuhi oleh Danen. Kau harus memakluminya. Cinta mereka sudah tertanam bertahun-tahun yang lalu dan bah …”

Marcuss menggeram. Telinganya benar-benar panas mendengarkan semua omong kosong yang tak perlu dibeberkan tersebut. Tentu saja ia sangat tahu, amat sangat tahu setipa detail tentang Eizara Nada. 

“Sebaiknya mulai sekarang kau menggunakan anak kami untuk memanfaatkan Eiza, Dashia. Sekali lagi jika aku tahu kau mengiriminya foto atau video baby Ezlin ke ponselnya, kupastikan kau tak akan berani menginjakkan kaki di rumah ini.” Tatapan Marcuss berpindah pada Loorena. “Dan jika mama memberinya kelonggaran, terpaksa baby Ezlin akan tinggal di rumah kami.”

Ancaman yang terlontar tersebut berhasil membuat Dashia dan Loorena terbungkam. Keseriusan dan kegelapan yang memekati kedua mata Marcuss menaikkan bulu kuduk di tengkuk Dashia. Jika mau, Marcuss memang bisa semenakutkan itu. Pun begitu, Loorena berusaha menampilkan ketenangannya.

“Menurutmu, sampai berapa lama kau akan membuat dirimu menyedihkan dan direndahkan olehnya, Marcuss?” Pandangan Loorene melewati lengan sang putra, menatap Eiza yang duduk di sofa panjang. Menatap baby Ezlin dengan penuh kebahagiaan sekaligus keharuan. Tak berhenti tersenyum pada baby Ezlin. Akan tetapi, dalam pandangannya semua kebahagiaan itu tak layak dirasakan oleh Eiza. Tanpa pantas diterima oleh wanita rendahan yang telah merendahkan darah keturunannya. “Meski kau memilikinya, dengan pemaksaanmu. Hatinya tak akan pernah menjadi milikmu.”

Geraman Marcuss kali ini lebih kuat. Tatapan gelapnya menusuk lebih tajam pada sang mama. “Belum,” koreksinya penuh penekanan. “Jika Ezlin saja mampu membuatnya bertahan dengan semua ini, tak akan sulit bagiku untuk menguasainya dengan keberadaan anak kedua kami.”

Kalimat tersebut berhasil memucatkan Loorena. 

“Dan aku akan memastikannya hamil. Untuk kedua ketiga, dan berapa banyak pun yang dibutuhkan untuk menghapus masa lalunya dengan mantan, yang bahkan tak lebih dari seorang pengecut.” Marcuss beralih menatap Dashia. “Apakah kelicikan memang sudah turun temurun di keluargamu?”

Dashia pun berhasil dibuat membantu dengan pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut, yang secara tak langsung menyindir keluarganya.

“Jaga ucapanmu, Marcuss,” peringat Loorena. Yang langsung merangkul Dashia. “Kata-katamu sangat kasar.”

Marcuss hanya mendengus tipis. Sebelum kemudian berbalik dan berjalan menghampiri Eiza dan putrinya, duduk di samping wanita itu dan ikut bergabung menatap wajah baby Ezlin.

“Sekarang, kau tak membutuhkan foto dan video dari Dashia untuk melihatnya,” ucap Marcuss. Mengangkat pandangannya dari wajah baby Ezlin ke arah Eiza. Sesaat wanita itu membeku, mengerjapkan mata dan membalas tatapannya. Seolah masih mencerna apa yang baru saja ia katakan.

“K-kau tahu?” Suara  Eiza tercekat di tenggorokannya.

Marcuss mendengus. “Kau tak benar-benar bertanya bagaimana caraku mengetahuinya, kan?”

Eiza menurunkan pandangannya. Jika Marcuss saja tahu ia memasukkan obat perangsang ke minuman pria itu, tentu saja lebih mudah melacak aktivitas di ponselnya. “Kau menyadap ponselku?”

“Kau tak suka?”

“Kau bilang akan memberiku kebebasan, Marcuss.”

“Dan aku memberimu kebebasan bukan untuk bermain-main di belakangku, Eiza.”

Eiza menjilat bibirnya yang mendadak kering. Salah satu tangannya hendak meraih gelas air putih di meja, tetapi Marcuss lebih dulu melakukan untuknya. Mendekatkan bibir gelas tersebut di bibirnya untuk membasahi tenggorokannya yang juga ikut kering.

“Jika kau tak bersungguh-sungguh dengan kesepakatan kita, kau tahu aku bisa membuat kesepakatan itu menjadi hanya menguntungkan diriku sendiri.”

“Maaf,” ucap Eiza dengan segera. Sebelum ancaman Marcuss menjadi lebih serius dan terlalu menakutkan untuk sekedar dibayangkan. “A-aku …”

Marcuss terkekeh tipis, mengambil baby Ezlin dari gendongan Eiza. Wanita itu sempat menolak, tetapi tak berkutik. “Ucapanmu tak pernah sampai di kedua matamu, Eiza. Kau mengatakannya karena demi keuntunganmu semata.”

“Kau membawaku ke rumah ini juga demi keuntunganmu semata, kan?”

“Untuk pernikahan kita,” koreksi Marcuss. “Meski konsep pernikahan kita sedikit berbeda dengan pernikahan pada umumnya. Tetap saja kita adalah suami istri dan baby Ezlin adalah putri kita. Dan aku tak ingin orang lain mengambil keuntungan dengan pernikahan kita yang sedikit kurang sempurna karena hatimu masih dipenuhi oleh mantan.”

“Kau juga tak menggunakan hatimu dalam pernikahan ini, Marcuss.”

“Karena aku memang tak punya hati. Apakah kau membutuhkannya? Jika kau memang begitu membutuhkannya, mungkin aku akan memilikinya. Hanya untukmu.”

Eiza membeku. Kata-kata yang terdengar sambil lalu tersebut, entah kenapa terdengar seperti sebuah ungkapan keromantisan. 

“Jangan menjadi begitu serakah, Eiza. Kau tak akan mendapatkan semuanya. Bahkan tak akan ada yang tersisa jika kau tetap keras kepala mempertahankan keserakahanmu yang tidak pada tempatnya. Ada hal-hal yang harus kau korbankan untuk satu hal yang terpenting. Putuskan mana yang hal itu, dan relakan yang lain.”

“Kau ingin baby Ezlin menjadi yang terpenting untukku?” Dan itu bukan pertanyaan. Tapi sebuah pernyataan yang membuat tak pernah berkutik. Pandangannya kemudian turun ke arah baby Ezlin. Yang mengemut jemarinya dengan kedua mata jernih dan polosnya membalas tatapannya. Seolah bayi itu berbicara, untuk tetap memeluknya dengan penuh kehangatan. Seolah memanggilnya mama.

“Kau bahkan tak mengijinkanku merawatnya, Marcuss.”

“Karena kau belum layak melakukannya.”

“Aku ibu kandungnya.”

“Kau dengan lantang mengatakan tak menginginkannya karena dia darah dagingku. Ingat?”

Mulut Eiza yang membentuk celah seketika merapat. Dengan seringai Marcuss yang semakin tinggi.

Marcuss beranjak, dengan baby Ezlin yang masih berada dalam gendongannya. “Kita pulang.”

Eiza melompat berdiri, kedua tangannya terulur hendak meraih baby Ezlin. “Tapi aku masih ingin melihatnya.”

“Minggu depan, kita akan ke sini.” Marcuss menatap Eiza lebih dalam. “Jika kau bersikap baik.”

*** 

“Sekarang, kau benar-benar ingin mundur dari posisimu dan membuatku menikahi Dashia?” Marcuss langsung mencecar Eiza dengan pertanyaan tersebut saat mobil mulai melewati pintu gerbang kediaman Loorena. Juga mobil Dashia yang masih terparkir di halaman.

Eiza tak yakin dengan jawaban yang akan diberikannya pada Marcuss. 

“Kau masih dibimbangkan oleh Lee?” dengus Marcuss mengejek. Ujung bibirnya membentuk seringai dan ekor matanya mengamati keraguan sang istri.

“Apakah kebimbanganku membuatmu cemas kalau-kalau itu akan membuat pernikahan kita hancur?”

“Tidak. Aku hanya tak suka meniduri wanita yang masih sibuk memikirkan mantannya.”

“Dan kau tetap meniduriku, Marcuss. Apa bedanya?”

Marcuss terkekeh. Kakinya menekan pedal gas lebih dalam, menambah kecepatan mobil hingga membuat Eiza mulai beringsut ketakutan. Kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman, menatap ke arah jalanan di depan mereka dengan ketakutan yang merebak di seluruh permukaan wajahnya.

“Apa yang kau lakukan, Marcuss?”

“Bermain-main.”

“Kau sudah gila!” jerit Eiza histeris. Menggigit bibir bagian dalamnya dengan jantung yang berdegup kencang. Napasnya tercekat dengan keras. “Hentikan, Marcuss!!”

Marcuss malah terkekeh, lalu tertawa terbahak melihat Eiza yang memejamkan mata. Menjerit ketakutan dengan kepala tertunduk. Hingga wanita itu benar-benar sudah kewalahan dengan ketakutannya, barulah ia mulai mengurangi kecepatan mobilnya. Menghentikannya di tepi jalan dan mematikan mesinnya.

Suara isak tangis Eiza terdengar pelan, tubuh wanita itu bergetar ketika Marcuss melepaskan sabuk pengaman. Menarik lengan Eiza hingga duduk di pangkuannya dengan kedua kaki yang terbuka.

“Jika aku mati, itu tidak akan menjadi kematianku sendiri, istriku. Tapi kematianmu akan menjadi milikmu sendiri.” Tangan Marcuss menarik

“Lalu kenapa tidak kau bunuh saja aku?” jerit Eiza bercampur isakan pelannya. Emosi bercampur aduk di wajahnya yang basah. Kedua tangannya terangkat, hendak mendaratkan pukulan di dada Marcuss, tetapi dengan sigap ditangkap oleh pria itu. Kemudian dirangkulan di lehernya. Yang membuat tubuh mereka saling merapat.

Marcuss menangkap bibir Eiza, satu tangan menekan tengkuk wanita itu sebelum kemudian memperdalam ciuman mereka. Membungkam isakan Eiza.

Eiza berusaha memberontak, akan tetapi kekuatan Marcuss tak pernah tidak membuatnya berhasil melawan. Satu sentakan pelan dan pengait branya berhasil dilepaskan pria itu. Kemudian serangan pria itu berganti, menelusup di balik dressnya, meraih celana dalam. 

Eiza mendelik, menunjukkan penolakannya. Yang dibalas senyum di mata hitam dan gelap Marcuss. Ia hanya bisa terlegakan, tempat mereka berhenti adalah jalanan sepi dengan pepohonan yang rindang. Berharap keduanya tak tertangkap mata oleh siapa pun yang melintasi jalanan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top