28. Kerinduan Ibu Dan Anak
Part 28 Kerinduan Ibu Dan Anak
“Ini benar-benar tak bisa dibiarkan, Dashia.” Maria tak berhenti berjalan mondar-mandir di tengah kamar tidur sang putri. Kedua tangan saling meremas di depan perut, tak berhenti menggigiti bibirnya dengan penuh kecemasan. “Danen benar-benar tak lagi bisa diandalkan. Satu-satunya harapan mama hanya kau. Kau tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan mama Marcuss.”
Dashia tetap bergeming di sofanya. Dengan posisi setengah berbaring, rambutnya masih kusut setelah bangun tidur. Ia bahkan sudah menghabiskan berjam-jam di salon untuk merubah model rambut. Melakukan perawatan tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala untuk bersiap menyenangkan Marcuss. Hanya untuk ditendang keluar dari rumah megah itu seperti sampah. Marco sialan. Eiza sialan.
Kepalanya juga masih pening setelah menghabiskan beberapa botol anggur dan pulang dalam keadaan mabuk.
Langkah Maria terhenti ketika pandangannya menangkap lingeri berwarna ungu yang tergeletak di samping kaki ranjang. Duduk di samping sang putrid an bertanya penuh keantusiasan. “Apakah rencanamu tadi malam berhasil?”
Dashia dibuat semakin kesal dengan pertanyaan tersebut. “Menurut mama, Apakah aku akan ada di sini jika semua rencanaku berjalan dengan sempurna? Marcuss bahkan tidak meminum obat itu.”
“Apa? Kau bilang Eiza akan melakukannya, kan?”
Dashia tak menjawab, kedongkolan masih mendekam di dadanya. Bercampur cemburu dan rasa iri mengingat semua fasilitas yang diberikan Marcuss untuk Eiza.
“Kau yakin Eiza melakukannya dengan benar? Kau yakin wanita itu bisa dipercaya?”
Dashia masih bergeming. Ia sendiri mulai tak yakin dengan pertanyaan tersebut.
“Apakah menurutmu dia bisa dipercaya?”
“Dia masih mencintai Danen.”
Maria terdiam. Tampak berpikir sebelum kemudian ide itu muncul di kepalanya. “Sepertinya kita harus merubah taktik kita, Dashia.”
“Apa maksud mama?”
Kedua mata Maria berkilat dengan licik. “Kita akan memikirkan rencana baru.”
***
Eiza menolak janji temu yang ditawarkan oleh Dashia setelah rencana mereka yang gagal tiga hari yang lalu. Selain itu, ia harus menenangkan kecurigaan Marcuss agar pria itu tak mencari masalah dengan Danen. Meski ia sendiri tak benar-benar tahu apa permasalahan di antata kedua pria itu yang tidak ada hubungan dengannya.
“Maafkan aku, Dashia. Hari ini Marcuss menyuruhku ke kantornya.”
“Kenapa?”
“Aku tak tahu. Dia hanya bilang kalau kami akan pergi ke suatu tempat.”
“Ke mana?”
“Aku juga tak tahu. Dia hanya mengatakan itu.”
Di seberang, Dashia tampak berpikir sejenak dan kembali bertanya, “Apakah dia menyuruhmu mengenakan pakaian tertentu?”
“Tidak.”
“Baiklah. Kita akan bertemu lain waktu.”
“Untuk sementara ini, sebaiknya kita tidak saling bertemu, Dashia.”
“Kenapa?”
Eiza mengedarkan pandangan ke sekitarnya, memastikan tak ada siapa pun yang akan mencuri dengar pembicaraannya. “Bisakah kau mencari tahu, apa yang sedang Danen lakukan akhir-akhir ini?”
“Apa maksudmu?”
“Ehm, aku tak tahu. Aku … aku hanya ingin memastikan sesuatu dan tak ingin Danen terlibat masalah.”
Dashia mengangguk paham. “Aku mengerti. Aku akan segera mengabarimu. Akan lebih baik jika kau pergi ke apartemen Serra untuk mencegah kecurigaan Marcuss lagi.”
“Ya, kau benar. Terima kasih untuk semuanya, Dashia.”
Dashia mengakhiri panggilan setelah mengatakan akan mengirim video terbaru Ezlin yang membuat Eiza sedikit terhibur.
“Kau sudah siap?” Suara Marco menyela fokus Eiza pada layar ponselnya yang sudah menggelap. Menunggu pesan video dari Dashia yang belum muncul.
Eiza mengangguk, lekas memasukkan ponselnya ke dalam tasnya dan menuruni undakan. Masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan Marco untuknya. “Apa kau tahu ke mana kami akan pergi?” tanyanya kemudian.
“Kalaupun aku tahu, aku tak bisa memberitahumu karena Marcuss melarangku, Eiza.”
Eiza pun tak bertanya lagi dan sepanjang perjalanan hanya diselimuti keheningan seperti biasa.
***
Setelah Marco mengantarnya ke ruangan Marcuss, yang rupanya sedang ada di ruang pertemuan dan menyuruhnya menunggu kurang lebih 5-10 menit, akhirnya pria itu muncul.
Pria itu langsung menghampirinya yang duduk di ujung sofa. Menyempatkan mencium bibirnya sekilas sebelum duduk di belakang meja. Mendengarkan beberapa penjelasan dua sekretaris pria itu. Memeriksa berkas yang disodorkan lalu menggoreskan tanda tangan dan kedua wanita muda itu berpamit keluar. Sempat memberikan satu anggukan hormat kepadanya.
"Kau ingin makan dulu?"
Eiza menggeleng. Marco menjemputnya setelah makan siang. Tentu saja perutnya masih kenyang. "Ke mana kita akan pergi?" tanyanya. Berusaha ingin mencari tahu lagi.
Marcuss tak menjawab. Menarik lengan Eiza sekaligus tas wanita itu di meja. Dengan lengan yang tersampir posesif di pinggang sang istri, ia membawa Eiza keluar dari ruangan.
"Hari ini kau tidak keluar," gumam Marcuss ketika keduanya sudah berada di dalam lift. "Selama tiga hari terakhir. Tak ingin membuat masalah lagi?"
"Kau lebih suka aku membuat masalah?"
Marcuss terkekeh. Menarik tubuh Eiza semakin merapat ke arahnya sebelum menyambar satu lumatan dalam di bibir wanita itu. "Ya. Aku suka menghukummu menggunakan tubuhmu," desahnya dengan bibir yang masih menempel pada ujung bibir Eiza.
Eiza hanya mendengus dalam hati akan kemesuman Marcuss. Isi otak pria itu memang tak jauh-jauh dari seks. Tak berhenti menganggap tubuhnya sebagai pelampiasan nafsu pria itu semata. Akan tetapi, saat ini memang hanya tubuhnya satu-satunya hal yang bisa digunakannya untuk menenangkan Marcuss.
Pintu lift berhenti di lantai basement. Sebuah mobil hitam mengkilat sudah menunggu keduanya. Pintu penumpang bagian depan terbuka dan Marcuss mendorongnya duduk di sana. Memastikannya memasang sabuk pengaman dengan baik lalu duduk di balik kemudi.
Eiza tak mempertanyakan lagi ke mana pria itu akan membawanya. Jalanan yang mereka lewati semakin asing bagi Eiza. Dan satu-satunya yang ia tahu, mereka sedang menuju tepi kota. Bangunan di sekitar mereka mulai berubah menjadi jalanan yang sepi. Hanya ada pepohonan rindang yang mengapit jalanan.
Kecepatan mobil mulai berkurang ketika pemandangan berubah menjadi lapangan rumput hijau yang luas. Dan benar-benar berhenti ketika sampai di ujung jalanan. Tepat di depan gerbang berwarna biru gelap. Yang kemudian bergeser terbuka untuk mereka.
Sebuah rumah bertingkat tiga berdiri kokoh dan megah di hadapan mereka. Dengan air mancur tinggi yang mengapit di sisi kanan dan kiri dan enam pilar yang besar dan tinggi. Bangunan bergaya eropa klasik dengan desain ala Victorian tersebut berwarna putih gading.
"Turunlah." Marcuss yang tiba-tiba sudah membuka pintu di samping Eiza. Mengalihkan perhatian Eiza dari bangunan tersebut.
"Rumah siapa ini?" tanya Eiza, yang kemudian pandangannya teralihkan pada mobil putih yang terparkir tak jauh dari mereka. Rupanya tak hanya dirinya yang terkejut, Marcuss pun terkejut mengenali mobil itu adalah milik Dashia.
Tanpa menjawab pertanyaan Eiza, Marcuss menarik tangan wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Dua pelayan yang muncul menyambut keduanya dengan hormat.
Begitu memasuki ruang tamu yang luas, Eiza mendapatkan jawabannya. Eiza menatap pigura besar bergambar foto Loorena Rodrigo dan seorang pria paruh baya yang mirip dengan Marcuss. Jadi ini rumah mama Marcuss. Yang artinya ada Ezlin di rumah ini.
Dada Eiza mengembang. Kakinya setengah terseret oleh langkah besar-besar Marcuss. "Di mana mama?" tanya Marcuss pada pelayan yang menyapanya di ruang tengah.
"Di halaman belakang."
Marcuss berbelok ke samping, ke arah yang ditunjuk si pelayan. Melewati pintu ganda berwarna putih yang terbuka lebar. Berbelok ke sebelah kanan dan langsung menemukan Loorena dan Dashia yang duduk di kursi santai. Dengan baby Ezlin dalam gendongan Dashia. Suara canda tawa keduanya terdengar dari kejauhan, Loorena yang pertama kali menyadari kedatangan Marcuss dan Eiza.
"Marcuss?" Loorena menampilkan senyum lebarnya setelah sempat terkejut. "Kalian datang tanpa kabar."
"Kenapa kami harus membutuhkan ijin untuk mengunjungi putri kami sendiri," jawab Marcuss dingin, sedingin tatapannya pada Dashia. Pria itu kemudian mendekati Dashia dan mengambil baby Ezlin. Memberikannya pada Eiza sebelum kembali berbicara pada sang mama. "Ada yang ingin kukatakan pada mama. Kita bicara di dalam," ucapnya singkat. Membawa Eiza kembali ke dalam, dengan langkah yang lebih pelan karena baby Ezlin yang berada dalam gendongan Eiza.
Loorena dan Dashia saling pandang. Laku Loorena mengangguk pada Dashia dan menyusul langkah Marcuss.
Eiza masih cukup tercengang dengan keberadaan baby Ezlin dalam gendongannya. Masih tak mempercayai apa yang baru saja Marcuss lakukan padanya. Jadi, Marcuss membawanya kemari untuk mengunjungi baby Ezlin. Putri mereka. Senyum bahagia menghiasi seluruh permukaan wajahnya. Membiarkan Marcuss membawanya ke mana pun.
"Tunggu di sini." Marcuss mendudukkan Eiza di sofa ruang keluarga. Sebelum kemudian berjalan ke ruangan di samping mereka, diikuti Loorena.
Eiza tak peduli dengan apa yang akan keduanya bicarakan. Yang ia tahu, sekarang adalah kesempatannya untuk meluapkan semua kerinduannya pada sang putri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top