14. Pernikahan Berdarah

Part 14 Pernikahan Berdarah

Eiza bangkit berdiri, mempererat pelukan kedua lengannya pada tubuh mungil baby Ezlin. Tubuh Danen bergerak menghadang di hadapannya, melindunginya dari tubuh Marcuss yang bergerak semakin dekat.

Marcuss mendengus mencemooh dengan sikap Danen yang berlagak seperti pahlawan. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Danen, membuatnya dengan mudah menangkap raut pucat Eiza yang mengintipnya. 

“Jadi kau si berengsek Rodrigo yang …”

“Menggantikanmu malam itu,” lanjut Marcuss. Keangkuhan pria itu melengkapi kebrengsekannya. Bahkan pria itu terkekeh, tak repot-repot menyesali keisengannya yang berdampak besar pada pernikahan Danen dan Eiza hingga menghadirkan baby Ezlin. “Tak hanya menggantikanmu, aku juga yang berhasil menghamili istrimu. Ah. Mantan istrimu.”

Danen menggeram. Wajahnya pucat tampak mengeras dengan kedua tangan yang mengepal hingga buku-buku jari pria itu memutih.

“Salam kenal, tuan Lee. Setelah uluran dana yang sudah saya berikan pada Nyonya Lee, tampaknya kita akan lebih sering bertemu.” Marcuss setengah serius setengah bercanda dengan kalimatnya. Sama sekali tak peduli dengan kemurkaan yang membakar wajah Danen. Tatapan pria itu kemudian beralih ada Eiza. Wajahnya berubah lebih ceria. Terlalu ceria. “Kita hampir terlambat, sayang. Aku tak suka membuat tamu undangan kita kecewa dengan keterlambatan kita.”

Bulu kuduk di tengkuk Eiza bergidik meski nada suara Marcuss yang terlalu tenang. Ancaman yang pekat bercampur dengan badai kemurkaan di kedua mata pria itu yang menggelap. Firasat buruk itu tak pernah meleset, satu dua detik menunggu, suara jeritan Serra membuat bayi dalam gendongannya menangis terkejut. Tak hanya itu, tubuh wanita itu yang tersungkur ke tanah.

Pekikan Eiza tertahan telapak tangannya. Tubuhnya terguncang hebat melihat darah yang mengucur dari lengan Serra. Sang sahabat sempat tersadar, merintih kesakitan sebelum kemudian jatuh pingsan dan tak bergerak di tanah.

Marcuss meniup ujung pistol sudah dipasangi peredam, seringai jahat tertarik di salah satu ujung bibir pria itu ketika tatapannya bertemu dengan kengerian di kedua mata Eiza yang mulai basah. “Sedikit meleset. Seharusnya aku menghancurkan kepalanya,” ucapnya. Melemparkan kerlingan mata nakalnya pada wanita itu.

Kedua kaki Eiza melemah, tetapi masih mampu berdiri dengan bayi dalam gendongannya yang menangis semakin histeris oleh gemetar ketakutan yang memeluk tubuh mungil tersebut. Tiga di antara barisan pengawal Marcuss yang mengelilingi mereka bergerak mendekat. Dua menahan kedua lengan Danen sementara yang satu mengambil bayi dalam gendongannya. Yang kemudian diberikan pada Marco yang berdiri lebih depan di antara pengawal yang berbaris.

“Ini akan menjadi kebaikan terakhirku untukmu, wanita muda.” Marcuss tersenyum lebih lebar pada Eiza yang sudah sepucat mayat. 

“Lepaskan, berengsek! Beraninya kau menyentuhku.” Danen meronta, berusaha membebaskan diri dari kedua cekalan pengawal Marcuss yang menyeretnya ke hadapan sang tuan. Satu tinju bersarang tepat di hidung Danen sebelum pria itu mengucapkan kata makian lebih banyak lagi. 

Darah muncrat dari hidung Danen yang patah ketika kepala pria itu bergerak ke samping dengan cara yang mengerikan. Eiza menjerit, tubuhnya jatuh ke tanah dan menangis tersedu-sedu. “Aku akan pergi!” jeritnya hingga tenggorokannya terasa sakit. “Lepaskan mereka dan aku akan pergi bersamamu.”

Kepalan tangan Marcuss yang sudah mengambil ancang-ancang untuk pukulan selanjutnya sempat tertahan dengan kalimat penyerahan Eiza. Seringai puas tersungging tinggi ketika kedua mata Eiza yang dipenuhi air mata bertemu dengannya. Sama sekali tak menghentikan pukulan keduanya di rahang Danen. Yang bahkan belum sepenuhnya mencerna rasa sakit dari pukulan sebelumnya. Kepala pria itu terlunglai ke belakang, dengan kesadaran yang perlahan melayang dari tubuh lemah tersebut. 

Marcuss mendengus keras dengan Danen yang sudah tak sadarkan diri. Kedua pengawalnya melepaskan cekalan di kedua lengan Danen, yang kemudian jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Ujung kaki Marcuss menggoyang paha Danen, memastikan pria itu benar-benar jatuh pingsan sebelum melangkah di atas tubuh itu.

Langkah Marcuss berhenti tepat di depan Eiza, berjongkok dan mengulurkan tangan ke arah calon istrinya. Memasang senyum apiknya dan bertanya, “Kita pergi sekarang?”

Eiza menggigit bibir bagian dalamnya. Air mata yang semakin membanjir menghalangi pandangannya, tetapi ia bisa melihat dengan jelas kekejian sesungguhnya seorang Marcuss Rodrigo. Pandangannya kemudian bergerak turun pada pistol yang ada di tangan kiri pria itu “A-apa kau akan membunuh mereka?”

“Mereka masih bernapas.” Jawaban Marcuss terdengar begitu ringan. “Kau ingin mereka datang dan menyaksikan pernikahan kita? Aku sudah berjanji pernikahan kita akan lebih meriah dan mewah dari pernikahan mantanmu. Sepertinya membawa mereka akan menyempurnakan kebahagiaanmu. Sahabat dan mantan suami yang sangat kau cintai hadir di pernikahan kita. Merayakan kebahagiaan kita.”

Rasa anyir memenuhi mulutnya saking kuatnya gigitan. Mengaburkan rasa sakit di bibir bagian dalamnya. “Kumohon lepaskan mereka. Aku tak akan melakukan kebodohan ini lagi. Aku akan melakukan semua keinginanmu tapi kumohon. Ampuni mereka dan biarkan mereka pergi. Dalam keadaan hidup.” Suara permohonannya begitu kental di antara isak tangis yang tak bisa berhenti. Berharap dengan sungguh sedikit kebaikan masih tersisa untuknya di hati Marcuss yang gelap. Semudah menyarangkan peluru di lengan Serra, Eiza sangat yakin apa yang mampu Marcuss lakukan dengan kekejaman dan keberengsekan pria itu.

Marcuss tertawa kecil. “Aku akan mempertimbangkannya.  Dan keputusan ada di tanganmu sampai kau menjadi istriku.”

Eiza mengangkat tangannya, menyambut uluran tangan Marcuss yang kemudian membawanya berdiri. Menyeretnya keluar dari halaman samping motel menuju mobil pria itu yang sudah menunggu di tepi jalanan. Berjajar di antara mobil-mobil hitam lainnya dengan tipe yang berbeda.

Marcuss sama sekali tak melepaskan pegangannya dari tangan Eiza. Eiza sendiri tak berani mencoba melepaskan diri. Pandangan wanita itu menatap kosong ke arah jalanan. Sepanjang perjalanan ia tak berhenti mencemaskan Danen dan Serra. Tetapi tak berani bertanya. Hanya berharap keduanya bisa datang di pernikahannya dan Marcuss. Sebagai satu-satunya pentunjuk bahwa mereka masih hidup dengan kedua matanya sendiri.

Lamunan Eiza terpecah ketika kecepatan mobil melambat dan berhenti di depan halaman gedung yang tinggi. Marcuss turun lebih dulu, menarik tubuhnya turun dengan sedikit kasar, bahkan tak peduli ketika ia tersandung kakinya sendiri karena kecepatan langkah pria itu yang sulit ia samai dengan kaki pendeknya.

Keduanya menyeberangi lobi yang luas dan sunyi. Sepanjang mata Eiza memandang, ia hanya bisa melihat pria berpakaian serba hitam. Berjaga di titik-titik tertentu. Langkah mereka sempat terhenti di depan pintu lift yang bergeser membuka, Marcuss mendorong Eiza masuk lebih dulu. Untuk pertama kalinya melepaskan pegangan tangan mereka.

Tubuh Eiza sempat terhuyung, berdiri tegak dan berputar menghadap Marcuss yang melangkag masuk dan berhenti di sampingnya. Keduanya masih berada dalam keheningan sepanjang naik ke lantai paling tinggi. 

Saaat pintu bergeser terbuka, dua orang wanita menunggu di depan lift. Marcuss mendorong tubuh Eiza ke hadapan kedua wanita itu. “Persiapkan dia dalam sepuluh menit,” perintahnya.

“Baik, Tuan.”Kedua wanita itu mengangguk patuh. Memegang kedua lengan Eiza dengan sopan dan lembut. “Mari, Nona.”

Eiza menurut, membiarkan kedua wanita itu menuntunnya melewati lorong pendek, berbelok ke kanan dan masuk ke dalam ruangan yang cukup luas. Tak lebih luas dari kamar tamu yang ia tempati di rumah Marcuss. Di dalam sana sudah ada gaun penganti yang familiar yang ia lempar ke lantai sebelum melarikan diri dan membawa baby Eiza. 

Kedua wanita itu membimbingnya ke meja rias, memperbaiki riasan dan tatanan rambut sebelumnya. Tak selama sebelumnya. Kemudian keduanya membawanya berdiri, membantunya melepaskan jubah tidur yang masih menempel di tubuhnya dan mengenakan gaun pengantinnya. Tak sampai sepuluh menit, ia sudah siap. Tetapi ia menolak melihat penampilannya di cermin dan meminta keduanya lekas membawanya keluar dari ruangan ini.

Satu orang membimbing jalannya sementara yang lain memegangi ekor gaunnya yang cukup berat. Ketiganya melangkah keluar dari ruang tunggu tersebut, berbelok ke arah sebaliknya. Lorong kali ini lebih panjang, menuju pintu ganda yang lebih tinggi dan berwarna coklat tua. Suara ribut-ribut dari arah depan membuat Eiza mengangkat kepalanya dengan perlahan.

Pekik terkejut menyambut begitu ia muncul di hadapan orang-orang yang saling bersitegang di depan sana. Tak jauh dari langkahnya yang membeku. Dan yang pertama kali ia lihat adalah Danen, yang salah satu lubang hidungnya ditutup tisu. Bercak darah masih menghias sekitar wajah pria itu. Di sisi pria itu, berdiri Jessi yang mengenakan gaun putih selutut dengan mahkota yang masih menghias di kepala. Kemudian pandangannya beralih pada wajah pucat Maria dan Dashia Lee. Yang tercengang dengan keberadaannya.

“Sebenarnya apa maksud semua ini, Tuan Rodrigo?” Maria menahan kekecewaan yang teramat besarnya tak sampai di permukaan wajahnya ketika menatap Marcuss yang berdiri di hadapannya. Menatap Eiza yang tampak sempurna cantik dan Marcuss yang sempurna tampan bergantian. Dengan bola mata yang nyaris melompat keluar saking tercengangnya.

 ***

  Next part 15. Resmi
Part 16. Seutuhnya

Di karyakarsa sudah tamat, ya. Tersedia paketan full sampai end plus bonus part dengan harga yang murmer. Hanya 70k.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top