II

Jenna sedang bermimpi indah, tidur dengan nyenyak setelah akhirnya pertunangan yang terus tertunda bisa dilaksanakan juga, tapi sekarang ketukan bertalu-talu terdengar di pintu kamarnya suara papa terus memanggil namanya.
Karena baru tidur menjelang jam tiga, karena ngantuk nya dia sampai mengabaikan panggilan dari Jenni.
dengan sempoyongan Jenna bangun membukakan pintu untuk papa meski sebenarnya dia ingin mengabaikan ketukan tersebut.
papa berdiri disana dengan mata merah wajah yang pucat dan mimik yang shock.
Jantung Jenna berdetak tau ada yang tidak beres sedang terjadi tapi sedetik pun dia tidak pernah berpikir akan mendengar kabar buruk tersebut dari bibir papa.

"Ada apa.!?" Jenna sendiri mulai gemetar, feeling nya bilang kalau kabar ini pasti sangat buruk sebab papa tidak pernah terlihat seburuk ini semenjak mama meninggal.

"Jenni.. dia.. Jenna, Jenni mati.! Jenni meninggal.!"

Kaki Jenna langsung kehilangan tenaga, papa dengan sigap menangkap hingga sang putri tidak terhempas ke lantai.
Kepala Jenna menggeleng pelan.
"Tidak.! Tidak mungkin.!"
Bisiknya berulang kali.
"Semalam semalam Jenna masih memeluku dan menggoda ku, dia bilang beberapa saat lagi dia juga akan bertunangan, dia tidak mau dilangkahi oleh adiknya.!
Aku boleh bertunangan lebih dulu tapi dialah yang akan menikah terlebih dahulu.
Lalu kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja.?
Bagaimana bisa.?
Apa yang terjadi.?"
Jenna ingat malam itu Jenni sedikit mabuk, dan pria itu Aryaan mungkin dia juga mabuk mengingat sikapnya, apa mereka mengalami kecelakaan saat pulang ke hotel.?
"Dimana Jenni, dimana dia.?"
Jenna coba berdiri berjalan tak tau mau kemana.
"Kau pasti berbohong papa. Kau pasti hanya sedang melakukan prank, main-main, mengerjai aku.!"
Aku bukan gadis kecil yang lugu lagi, tidak semudah itu kalian mengerjai ku lagi.!"
Jenna yang lemas coba memanggil Jenni.
"Jenni keluarlah. Aku sudah tau permainan kalian."

"Jenna, tenanglah. Sekarang bersiap-siap lah, kita harus pergi ke kantor polisi."
Papa melihat pada satu ART yang datang mendekat.
"Atau mungkin sebaiknya kau tunggu disini saja."
Terlihat menyesal, papa bicara lagi.
"Harusnya aku menunggu, memastikan semuanya sampai aku bisa menyampaikan kabar ini dengan cara yang lebih baik."
Papa merangkul Jenna, tubuhnya terisak.
"Maafkan papa. Maafkan papa.!"

Tangis Jenna pecah, dia sedih karena tau satu-satunya orang yang bnar- benar merasa kehilangan hanya dirinya. Papa menangis bukan karena Jenni meninggal tapi karena Jenna terluka.

"Dia meninggal. Tubuhnya tidak akan sama seperti saat dia hidup.
Dia jatuh dari balkon hotel tempatnya menginap, baru ditemukan tadi pagi saat ada petugas kebersihan yang mulai bekerja.
Dia jatuh dari lantai lima belas"

Lutut Jenna lemas, dia tidak sanggup membayangkan apa yang menimpa Jenni.

"Tunggulah. Kau tidak perlu ikut. polisi mengabari,meminta papa datang untuk mengindentifikasi jasad Jenni.
Setelah semuanya beres papa akan membawa Jenni pulang, mengurus penguburan nya, melakukan yang terbaik"
Papa mendorong bahu Jenni pelan menyerahkan pada Mbak Asih yang sudah lama bekerja, semenjak Jenna dan Jenni masih SD.

"Aku ikut.!" Suara Jenna lantang.
"Aku ingin melihatnya.!"

Papa menggeleng.
"Jenna., Jika kau melihatnya aku rasa itu akan terus menghantuimu. Tubuh yang jatuh dari ketinggian seperti itu tidak akan sempurna ketika sampai dibawah, apalagi Jenni dalam keadaan telanjang saat jatuh, tidak akan ada bagian tubunya yang mulus."

Jenna melepaskan diri dari Mbak Asih.
"Di rumah sakit mana dia. Kalau kau tidak ingin membawaku, aku bisa pergi sendiri."

Tuan Luis menatap putrinya yang selalu patuh dan menurut tapi memang ada saatnya Jenna akan membantah dan tidak akan mendengarkan siapapun dan jika itu terjadi sebaiknya Luis mengalah saja karena akan sulit, makan waktu yang panjang tapi berkahir kegagalan jika sudah urusan membujuk Jenna.
"Baiklah tapi sebaiknya ganti bajumu. Berkemaslah.
Papa akan menunggu di bawah."

Jenna menatap papa yang sudah berbalik menuruni tangga dengan bahu yang terlihat kecil dan rapuh, terus disana sampai rasanya kehadiran papa tadi tidak nyata, mencoba mensugesti dirinya sendiri kalau ini hanya mimpi, dia bermimpi buruk berjalan dalam tidur.

"Masuklah ke dalam Jenna. Bersiaplah, jangan biarkan papamu menunggu lebih lama. Kasian dia, kasian Jenni.!"

Jenna berbalik menghadap Mbak Asih yang matanya bengkak dan merah. Mata wanita paruh baya tersebut terlihat berkaca-kaca.
Seperti nya papa lebih dulu mengabarkan hal ini padanya karena kini Mbak Asih sudah bisa mengendalikan dirinya.
Jenna baru ingat kalau Mbak Asih juga sangat sayang pada Jenni meski tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh kembarannya tersebut.

"Menurutmu jika aku melihat nya apakah yang akan tertinggal dalam otakku bayangannya ketiga hidup dan ceria atau tubuh dingin pucat yang terbaring di ranjang kamar mayat.?"
Suara Jenna datar saja.

Mbak Asih menggeleng.
"Aku tidak mau memikirkan atau nelihatnya yang berada di kamar mayat. Aku punya banyak foto dan videonya. Dia yang akan kuingat adalah gadis cantik pemberani yang tidak takut meraih apa yang dia inginkan.!"

Jenna berjalan masuk kamar, meninggalkan mbak Asih yang bergegas membantunya, dia tidak bisa. Andai saja dia bisa tetap di rumah saja. Mengingat Jenni sebatas saat dia hidup mungkin akan lebih baik untuknya tapi ini.. bagaimana bisa. Dia ingin tau, dia tidak ingin percaya dengan semua ini. Dia harus melihatnya sendiri.

Satu jam kemudian dia dan papa beserta Akhi yang sudah dihubungi, berdiri di depan kamar mayat, saling melirik gugup. Akhi tidak melepas jemari Jenna tidak melepaskan pandangan dari wanita yang akan menjadi calon istrinya kelak.
"Ingatlah kau harus merelakan nya. Dia memilih pergi dan kita tidak bisa berbuat apapun lagi.!"

Ya.! Tadi Jenna marah histeris saat dua orang polisi menjelaskan kalau Jenni dianggap melakukan bunuh diri berdasarkan temuan dan bukti yang ada di TKP.
Jenna jelas tidak bisa percaya, terlalu banyak kejanggalan, masa di hotel sebesar itu tidak ada CCTV yang merekam, dengan alasan disaat itu petugas memang sedang melakukan pemeriksaan disebabkan ada masalah hingga semua sistem dimatikan sejenak.
Apalagi katanya Jenni sendirian saat cek in di hotel tersebut, tidak ada pria bernama Aryaan yang datang bersamanya, masuk ke hotel.
Lalu dimana pria itu dimana Aryaan saat Jenni terjun dari lantai setinggi itu.?

"Papa selalu ada bersamamu. Papa tidak akan meninggalkan mu. Kau masih punya papa.!"
Papa merangkul bahu Jenna saat mereka masuk, mendekati satu tubuh yang terbaring di atas ranjang, ditutup kain putih.
Hanya tapak kaki yang panjang dan pucat yang terlihat.

Petugas kamar mayat, melihat kode dari pihak kepolisian, lalu perlahan mengangkat kain putih yang menutupi wajah Jenni, hingga ke bahu.

"Betul ini putri anda yang bernama Jenni, tuan shidavsani.?"

Jenna tau polisi itu hanya menjalankan tugas tapi tidakkah dia melihat betapa shock nya ketiga orang yang ada dihadapannya.
Jenna sampai berhenti bernapas.
Wajah Jenni yang cantik dan mulus kini rusak parah di satu bagian, bagian yang pastinya mengantam lantai beton di mana Jenni ditemukan pagi ini, meski sudah dibersihkan tapi darah masih terus mengalir dari hidung dan telinga Jenni.

"Kenapa.?" Jenna berbisik.
"Jenni kenapa.?"

Punya feeling yang kuat pada apa yang akan Jenna lakukan, Akhi langsung memeluk tunangannya, menahan kedua tangan Jenna yang akan merenggut selimut atau mungkin menarik Jenni.
"Jenna jangan.! Tenangkan dirimu. Kasihan Jenni. Kau akan semakin menyakiti nya.!"

Papa sepertinya tidak sadar dengan apa yang terjadi pada Jenna, dia terpaku pada wajah Jenni. Tangannya yang gemetar menyentuh wajah sang putri sulung.
"Jenni.?" Bisiknya.
"Meskipun kita tidak pernah punya ikatan yang baik tapi kau tetap putriku, aku akan Melakukan apapun untuk membantumu.!"

"Dia bahagia. Dia tidak mungkin bunuh diri. Dia bahkan akan melakukan pemotretan. Papa ingat apa yang dia katakan malam tadi."
Jenna memaksakan setiap kata keluar dari bibirnya yang gemetar dan kering.
"Pria itu. Aryaan dia yang melakukannya. Jenni bersamanya semalam.!"
Jenna berteriak pada dua orang polisi yang masih saja memasang wajah datar.

Polisi itu melirik satu sama lain.
"Maaf tapi itu tidak mungkin, sebelum anda mengatakannya kami sudah langsung menyelidik, tuan Aryaan tidak bersama nona Jenni semalam, dia pergi, kembali ke rumahnya malam itu juga dengan pesawat jet yang disewanya. Para petugas dipesawat bersaksi untuknya."

"Secepat itu kalian menyelidik dan menghapuskan namanya dari daftar orang yang dicurigai.?"
Jenna jelas sedang menghina polisi tersebut.

"Kami melakukan tugas kami dengan cepat.
Tuan Aryaan juga sudah kami hubungi, dia sudah dalam perjalanan.
Tentu kami akan melakukan penyelidikan lebih dalam lagi tapi menurut kami hanya ada satu persen kemungkinan lain yang menyebabkan kematian nyonya Jenni selain bunuh diri.!"

"Kalian bahkan belum melakukan otopsi.!" Jenna menjerit.

"Tidak.!" Papa mengeram.
"Jenni tidak boleh disakiti lagi. Tubuhnya tidak akan dipotong atau disayat-sayat.
Dia tidak boleh kesakitan lagi.!"

Jenna terpaku.
"Kenapa, kenapa papa.?"

"Aku tidak ingin dia nenderita lebih lama lagi.
Aku hanya ingin memberikan penguburan yang layak untuk putri sulungku.
Aku tidak akan menyiksa Jenni hanya karena aku terluka dan kehilangan.
Aku akan melepasnya dengan ikhlas!
UNTUK terakhir kalinya dalam hidupku, aku akan melakukan yang terbaik untuknya.!"

Jenna menetap papa tidak tau apa yang harus dia katakan agar papa berubah pikiran tapi dilain sisi dia tau keputusan papa juga tidak salah.

Haruskah Jenna mengikhlaskan kepergian Jenni sebagaimana papa.?!

*****************************
(08072022) PYK

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top