Pertemuan
Surabaya, 2016.
Mata cokelat itu menatap langit pagi yang begitu cerah di balik kaca taksi. Memerhatikan dengan seksama jalanan kota Surabaya, membandingkan perubahan yang sangat drastis kota kelahirannya ini. Memang benar kata Cebi, kota Surabaya lebih rindang dan tertata dengan rapi. Seluruh trotoar di jalanan protokol ditanami pohon-pohon besar, menambah asri kota ini. Ditambah lagi tidak ada pedagang kaki lima yang nangkring di pinggiran trotoar. Fajar mengagumi kehebatan walikota dalam menangani tata kota Surabaya, menambah kenyamanan bagi warga yang tinggal di sini.
Pukul lima pagi, pesawat yang ditumpangi Fajar mendarat dengan mulus. Dia sempat meletakkan barangnya ke apartemen yang telah disediakan ayahnya, membersihkan diri, sarapan, setelah itu dia berangkat ke tempat kerja dengan menaiki taksi. Dan sekarang, dia sedang dalan perjalanan menuju kantor barunya. Dia sudah tidak sabar untuk segera sampai di kantor barunya.
Senyumnya terus mengembang tanpa mengendur sedikit pun. Keceriaannya menyaingi sinar matahari pagi di Surabaya yang panas ini. Dadanya merasakan gemuruh yang luar biasa setelah menginjakkan kaki di sini. Keinginan untuk bertemu Jingga membuncah di dalam dirinya. Apalagi setelah dia menyatakan niatnya dengan terang-terangan. Masa bodoh dengan tanggapan Jingga, yang jelas ... dia merasa puas karena sudah mengungkapkan maksudnya kepada Jingga. Jadi, dia berharap Jingga tidak akan kaget dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis. Dia berjanji akan menjadi sosok yang lebih hangat dan lebih berterus terang—seperti yang diucapkan Jingga di malam sebelum acara pentas seni dimulai.
Taksi yang dinaiki Fajar sudah berhenti di depan gedung yang bertuliskan 'Warna-Warni Advertising'. Dia terdiam sejenak, memandang gedung yang hanya bertingkat lima, tingginya hanya setengah dari tinggi gedung pusat. Dia mulai mengayunkan kakinya menuju pintu masuk gedung itu. Maniknya menyapu setiap orang yang ia lewati, berharap dia menemukan satu orang yang sedang ia cari. Dia terlihat begitu anggun dan memesona dengan setelan kemeja putih garis-garis hingga membuat beberapa wanita yang melihatnya memusatkan perhatian kepadanya. Dari dulu, pesonanya tidak pernah luntur, selalu saja menjadi pusat perhatian lawan jenisnya. Tapi bagi Fajar, mereka hanya seonggok daging yang tidak bisa menaikkan gairahnya.
Dia sudah berada di depan meja receptionist, mencari informasi di mana lantai tempatnya bekerja. Tidak membutuhkan waktu lama untuk berbicara dengan bagian receptionist, dia langsung dipersilakan masuk dan diberi name tag yang telah disediakan sebelumnya. Ayahnya merencanakan semuanya dengan cepat dan matang, hingga dia tidak perlu berlama-lama mengurus ini-itu. Tapi tetap saja dia tidak peduli dengan keinginan ayahnya, dia hanya ingin bertemu dengan seseorang, bukan menjalankan perintah ayahnya.
Kini, Fajar sudah ada di depan lift bersama beberapa karyawan lainnya. Menunggu lift yang akan membawa mereka ke lantai tujuan. Sedangkan dari jarak lima meter di belakang Fajar, terdapat Jingga yang baru memasuki gedung tempatnya bekerja. Mukanya begitu kucel, matanya sembab dengan kaca mata yang sengaja ia letakkan di atas kepalanya. Semalam, dia lelah memikirkan cara untuk menyampaikan perihal pernikahannya yang diundur. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana histerisnya sang ibu ketika mengetahui itu semua, ayahnya pasti akan langsung masuk kamar dan mengurung diri, belum lagi adiknya yang akan bergoyang gergaji ketika mengetahui kakaknya menjadi the next perawan tua. Dia seperti prajurit yang menyerah sebelum berperang, hatinya tak sebesar lemak yang menggelayut di tubuhnya.
Dengan langkah gontai, Jingga mengusap wajahnya yang kebas. Lamunanya buyar ketika sebuah tangan merengkuh pundaknya. "Pagi, Mbak Jingga," sapa Lintang—teman satu timnya di bidang produksi.
"Pagi," balas Jingga sekenanya.
"Kok sedih, sih? Habis bertengkar dengan mas Aryo?"
"Kepo!" balas Jingga ketus. Dia tidak ingin urusan pribadinya meluber ke mana-mana. Cukup Jesti yang tahu semua hal dalam hidupnya, dia tidak mau ranah pribadinya disentuh oleh orang lain.
Lintang melingkarkan tangannya ke lengan Jingga. "Enak ya, punya kakak gendut kayak Mbak Jingga. Bisa buat dipeluk-peluk."
Mulut Jingga mencebik tak karuan, badannya yang subur ini selalu menjadi sasaran empuk topik pembicaraan.
"Udah nggak usah dipikirin. Putus cinta itu hal yang biasa dalam hidup. Seperti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Cowok mah banyak di dunia ini, Mbak. Kalau mas Aryo ninggalin mbak Jingga, cari aja yang lain, beres kan?"
Tangan Jingga sudah tidak tahan lagi untuk mendorong kepala Lintang.
"Ih, Mbak Jingga selalu dorong-dorong kepala!" gerutu Lintang sambil merapikan rambut panjang tergerainya. "Mbak nggak lihat kalau aku udah dandan cantik mati-matian pagi ini."
Bola mata Jingga memerhatikan Lintang dari ubun-ubun hingga ke ujung sepatu hak tingginya. Memang benar, tidak biasanya Lintang berdandan seheboh ini. "Mau ke kondangan?" tanya Jingga yang kini sudah berada di depan lift, bergabung dengan beberapa teman kerjanya.
"Ye ... emangnya kalau dandan beginian mesti ke kondangan, gitu?"
"Siapa tahu." Jingga menaikkan bahunya sekilas.
"Mbak Jingga nggak denger kalau ada manager baru di bagian produksi?"
Tiba-tiba mata Jingga terpaku kepada satu sosok yang menjulang tinggi di depan pintu lift. Sosok itu terlihat familiar bagi Jingga. "Enggak," jawab Jingga singkat. Pikirannya sedang terfokus pada satu orang yang berada tepat di depannya, berdiri membelakanginya.
"Katanya sih cakep, Mbak. Masih muda, siapa tahu dia jodohku."
"Semuanya kamu anggap jodoh, jangan-jangan orang gila yang lewat di depan rumahmu juga kamu anggap jodohmu."
"Mbak Jingga selalu nyebelin!" Suara Lintang terdengar begitu melengking. Kesal dengan ucapan sarkasme dari Jingga.
Fajar yang semula memerhatikan angka di bagian atas lift langsung tercengang. Darahnya berdesir mendengar seseorang di belakangnya memanggil nama kramat yang ia simpan baik-baik dalam otaknya. Perlahan dia menoleh ke belakang, belum genap dia menoleh, Jingga sudah tahu pria yang berada di barisan depan itu. Matanya mendelik dan secara spontan dia langsung berlari—sesuai kecepatan orang bertubuh gemuk—menuju pintu keluar. Menghindari kesadaran Fajar akan kehadiran dirinya.
"Eh, Mbak, Mbak Jingga!"
Sedangkan Fajar tersenyum lebar saat melihat tubuh gemuk itu pontang-panting menghindari dirinya. Dia tahu pasti kalau Jingga takut akan kehadiran dirinya. Pintu lift berdesing terbuka, dia masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan lainnya. Dia berharap Jingga bisa mengikuti rapat yang diadakan untuk menyambut dirinya.
.....
Napas Jingga terengah-engah ketika sudah berada di depan pintu masuk gedung. Kedua tangannya langsung menangkap pipi bulatnya, menepuk perlahan untuk meyakinkan bahwa semua ini bukan mimpi.
Matanya mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan pengelihatannya. Kacamata yang bertengger di kepala, ia geser untuk diletakkan ke tempat yang semestinya. Jingga mulai menggigiti ibu jarinya, memikirkan kenapa Fajar tiba-tiba berada di tempat kerjanya. Gerakan giginya berhenti saat mengingat sesuatu, Fajar pasti tahu tempatnya bekerja lewat akun sosial medianya. Ya Tuhan ... apa salahnya hingga Fajar memburunya sampai ke sini? Benar-benar monster berbulu domba!
Dia merogoh tas jinjingnya untuk mengambil ponsel pintarnya. Dia tengah mencurigai sesuatu yang terjadi kemarin, dia curiga dengan gelagat Jesti yang sempat memegang ponselnya. Pupil matanya melebar saat melihat deretan chat yang dia sendiri tidak pernah mengetik tulisan itu.
"Jesti ...," rengek Jingga yang begitu kesal dengan ulah sahabatnya itu.
"Kenapa dengan Jesti?"
Jingga langsung terkesiap ketika mendengar suara berat yang akhir-akhir ini menjadi bahan pemikirannya. "Oh, Mas Aryo," ucapnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Enggak, nggak ada apa-apa sama Jesti."
Mulut Aryo membentuk bulatan, "Nggak masuk?"
"Iya, sebentar lagi."
"Ayo sama-sama naik ke atas," ajak Aryo, namun Jingga hanya terdiam. Aryo tersenyum lebar, dia tahu pemikiran Jingga. "Pernikahan diundur bukan berarti hubungan kita merenggang. Aku tetap calon suamimu, hanya saja persiapan pernikahan yang belum matang."
Jingga menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum singkat. Bagi Jingga, pernikahan diundur itu sama saja merenggangkan hubungan di antara mereka. Memberi peluang kepada rasa untuk bermetamorfosis hingga berubah menjadi bentuk yang lain. Entah pemikiran Jingga yang terlalu berlebihan atau pemikiran Aryo yang terlalu sederhana. Mereka berdua selalu mempunyai jalan pemikiran yang berbeda.
Aryo berjalan sepelan mungkin untuk menyeimbangkan langkah Jingga yang sedikit alot berjalan dengannya. Aryo hanya menghela napas lelah, dia merasa Jingga sedikit menghindarinya. Dia tahu kalau ucapannya kemarin membuat hati Jingga terluka, namun dia mempunyai tujuan lain atas ucapannya kemarin. Dia ingin Jingga merubah pikirannya yang kaku itu. Dia ingin mengajari Jingga bagaimana menjadi seorang istri yang semestinya. Mengutamakan keinginan suami di atas keinginannya sendiri.
"Hari ini ada pegawai baru." Aryo mencoba mencairkan suasana. "Semalam aku ditelepon mendadak oleh kepala pimpinan Jakarta, mereka akan menempatkan satu karyawan di cabang Surabaya."
"Oh." Jingga hanya menanggapi singkat perkataan Aryo.
"Kamu nggak tanya, dia ditempatkan di mana?"
Kepala Jingga langsung mendongak, ucapan Aryo membuat Jingga tersadar akan sikap dinginnya. "Oh, aku nggak begitu tertarik."
Mereka sekarang sudah berada di depan lift, Aryo menghembuskan napas kesal. "Aku tahu apa maumu. Sebaiknya kita tidak bicara untuk saat ini daripada kamu semakin membuatku kesal."
Jingga tercenung mendengar perkataan Aryo yang seperti anak panah, melesat tepat mengenai jantungnya. Sedangkan hatinya seperti tertusuk jarum di tempat yang sama, berkali-kali hingga terasa perih. Aryo selalu saja membuat matanya memanas karena hati yang teremas oleh ucapan.
"Nanti seluruh staf disuruh hadir di rapat penyambutan manager baru. Kamu juga harus datang."
Lift berdesing terbuka, Aryo mulai melangkah masuk tanpa mengajak Jingga untuk ikut bersamanya. Jingga hanya menatap nanar ke arah Aryo yang tak sudi melihatnya hingga pintu lift itu tertutup. Setitik air menggelayut samar di ujung mata Jingga. Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan rasa sedih yang meraung-raung. Dia ingin sekali menangis pagi ini, seharusnya dia tidak berangkat bekerja hari ini. Melanjutkan tangisnya di atas tempat tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top