Pernyataan Terbuka Fajar
Surabaya, 2016.
Satu persatu kancing kemeja berwarna putih dengan garis hitam memanjang itu tertutup sempurna. Celana kain hitam berkualitas bagus membalut indah kaki panjang Fajar. Jemarinya mulai menautkan kancing yang berada di bagian lengan, namun gerakan itu terhenti sejenak ketika mengingat kejadian semalam.
Tolong maafkan aku, aku ingin hidup dengan tenang.
Dia mengambil atmosfer di sekitar untuk menangkan dada yang sesak, kemudian manik cokelatnya bergulir menatap pantulan dirinya. Beberapa helai rambut ia biarkan tumbuh menutupi bagian dahi, serasi dengan wajah oval sempurna miliknya. Dagunya terlihat licin setelah bercukur tadi pagi, menyisakan jambang memanjang di dekat telinga. Sempurna. Pagi ini dia tampil begitu sempurna dan tampan, namun tidak dengan hatinya. Sakit itu masih berdenyut perih di dada, memaksanya untuk terus menarik napas dalam-dalam.
Fajar memejamkan mata sejenak kemudian membukanya dengan sekali sentakan. Tidak. Dia tidak boleh terus terhanyut dengan kesedihan ini, dia tidak boleh meratapi sesuatu yang sudah berlalu. Fajar hanya perlu bangkit dan memperbaiki semuanya, menunjukkan kepada Jingga kalau dia sudah berubah. Ya, dia pasti bisa berubah demi merebut hati Jingga. Bisa dipastikan kalau dia tidak akan pernah menyerah dalam perang ini. Kehadiran Aryo hanya secuil upil yang bisa dengan mudah ia singkirkan. Lagi pula, waktu juga ikut berperan dalan semua ini sehingga dia memiliki peluang yang besar untuk masuk.
"Ingga, aku akan masuk tanpa permisi," gumamnya dengan senyuman miring.
..........
"Makasih adekku yang cakep!" ucap Jingga sambil menarik-narik pipi tembam Ringgo.
Saat ini Jingga sudah berada di depan kantor tempatnya bekerja bersama Ringgo yang duduk di atas motor matic. Ringgo mengantar Jingga berangkat kerja setiap pagi, karena kebetulan kantor Jingga sejalan dengan kampusnya. Kalau jadwal Ringgo tidak bentrok dengan jam pulang kerja Jingga, dia pasti menjemput kakak kesayangannya itu.
Tangan Ringgo mencoba melepas kejahilan tangan Jingga dari pipi. "Mbak Ingga, nggak usah lebay, deh!" Tangan Jingga berhasil terlepas dari pipi Ringgo.
Jingga mengedipkan matanya berkali-kali. "Berkat kamu, Ibu berhenti marah-marahnya. Makasih, ya!"
Ringgo hanya nyengir jijik melihat kakaknya berlagak sok imut. "Mbak tahu nggak, aku malu kalau kelakuan Mbak kayak begini."
Mulut Jingga mencebik tak keruan. "Ya udah kalau gitu aku nggak jadi traktir kamu makan di warung Pak Dji."
"Eh ... anu ... bukannya gitu Mbak, aku cuma menunjukkan sisi cool-ku." Ringgo menaikturunkan alisnya. "Mbak Ingga...." Sekarang giliran Jingga yang nyengir jijik. "Nanti aku jemput, ya." Ringgo mencoba merayu Jingga demi mendapatkan makanan seafood gratis di warung langganan mereka.
Jingga menonyor kepala adiknya secara refleks. "Dasar penjilat!" umpat Jingga. "Ya udah aku masuk dulu."
"Mbak," cegah Ringgo.
"Hem?"
"Salam buat Mas Fajar, gebetan baru." Sekejap kilat, tangan Jingga sudah mendarat kasar di kepala Ringgo. "Aw!"
"Rese'!" Jingga langsung belok kanan meninggalkan Ringgo yang menggosok-gosok kepala.
Wajah Jingga semakin bulat karena menahan kesal setelah mendengar ucapan Ringgo. Mempunyai adik yang sudah tumbuh dewasa dengan tingkat usil luar biasa benar-benar merepotkan. Ringgo selalu sukses membuatnya sebal dengan ucapan sederhana. Namun, Jingga begitu menyayangi adiknya. Dia beruntung mempunyai adik yang pandai membaca pikiran orang sehingga ada satu orang di dalam rumah yang membelanya dari amukan massa—ibu dan ayahnya. Jingga menghela napas panjang sekali lagi saat mengingat omelan ibunya.
"Mbok kamu yang ngalah, Ingga. Jadi wanita itu harus nriman," ucap Ibu yang sudah duduk di meja makan, di hadapan Jingga yang sedang melahap makan.
Mata Jingga melirik ke kanan untuk melihat sang Ayah yang duduk di sofa dengan memandang sendu ke arahnya.
"Kamu itu termasuk beruntung, Ingga. Tubuhmu itu gemuk tapi alhamdulillah ada yang mau denganmu!"
Jingga semakin cepat melahap nasinya untuk meluapkan sakit hati. Apa dia seburuk itu? Apa semua pria melihat wanita dari fisiknya? Apa dia termasuk wanita jauh di bawah standar?
Setiap kali Jingga mendengar ibunya mengomel seperti itu, semakin membuatnya jatuh terpuruk ke lubang keputusasaan. Padahal sebelumnya, Jingga benar-benar percaya diri dengan dirinya. Apa lagi setelah menonton beberapa drama Korea yang menyajikan cerita-cerita tentang orang bertubuh subur dan beberapa buku motivasi yang semakin menumbuhkan rasa percaya dirinya. Kekuatan omelan Ibu benar-benar luar biasa.
"Pokoknya hari ini kamu harus bilang sama Aryo kalau kamu akan berhenti bekerja!"
"Nggak, Bu. Enggak! Aku nggak mau. Titik!"
Bukan masalah terima atau tidak terima, dia hanya tidak mau dibatasi, hanya itu keinginan Jingga. Memang benar kalau dia sangat beruntung mempunyai calon suami yang tidak menilai seseorang dari penampilan. Namun, dia merasa terkekang dengan segala aturan Aryo. Intinya; meskipun tubuhnya gemuk, bukan berarti dia bisa dengan mudah dikendalikan orang lain. Big no bagi Jingga.
"Pagi." Sebuah sapaan menyeruak ke telinga Jingga hingga membuat langkahnya terhenti. Dia menoleh ke sumber suara dan mendapati manik cokelat itu mengilat terang.
*
*
*
Masih Open PO niiih. Intip IG anie_bunda , kuy!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top