Pelemparan Kotak Pensil
Surabaya, 2009.
Sejak kejadian di kantin dua hari yang lalu, ada sesuatu yang aneh pada saraf-saraf mata Fajar. Entah kenapa mata Fajar bergulir dengan sendirinya ketika mendapati Jingga berada di sekitarnya. Berkali-kali Fajar membuang pandangan, berkali-kali juga matanya kembali lagi menatap Jingga. Bahkan saat rapat tentang pembahasan malam pentas seni pun, matanya juga sesekali melirik ke arah Jingga. Dia baru bisa nyaman menatap Jingga saat Jingga menerangkan keuangan yang telah digunakan untuk keperluan pentas seni, tanpa ada rasa takut ketahuan teman-temannya. Fajar sepenuhnya tidak mengerti tentang apa yang sedang melanda dirinya.
Lalu sekarang, saat persiapan menuju ke lab untuk ujian praktek biologi, ia kembali menatap Jingga dari kursinya. Dia melihat dalam diam ke arah Jingga yang sedang sibuk menggoda Jesti dan tertawa dengan lebar. Kepalanya menggeleng dengan samar saat mendengar tawa Jingga yang membahana. Dia baru menyadari kalau tawa Jingga begitu menyenangkan hingga hatinya ikut gembira. Jingga sedang sibuk menggoda Jesti yang jijik dengan katak—bahan untuk ujian praktek. Wajah bulatnya terlihat memerah saat keusilannya berhasil membuat Jesti uring-uringan. Apa cewek gendut selalu usil seperti itu? Dan ... apa cewek gendut selalu menggemaskan saat tertawa?
Fajar membuang pandangan ke arah lain saat hatinya berkata yang aneh-aneh. Tidak mungkin dia menyukai cewek gendut seperti Jingga dan tidak mungkin juga dia terlena dengan cewek yang jauh dari kata cantik. Cantik? Fajar rasa Jingga sedikit cantik hingga membuatnya kagum dengan sosok gendut itu. Sebuah helaan kasar mencuat dari diri Fajar, batinnya saling sahut menyahut. Satu dengan yang lain saling beradu dengan argumen yang berbeda.
"Tuh anak kalau ketawa kelewat gede." Suara Renzo membuyarkan pergulatan batin Fajar.
Cebi sudah berdiri dari kursinya sambil membawa toples yang berisi katak. "Kalian nggak berangkat? Ayo cari tempat biar kita bisa satu meja."
Fajar dan Renzo langsung berdiri dari kursinya dengan membawa katak mereka masing-masing. Hari ini kelas XII MIPA I ada ujian praktek biologi yang mengharuskan murid-muridnya untuk membedah katak. Mereka disuruh meneliti organ-organ bagian dalam katak, menjelaskan semua bagian-bagian organ dalam katak dan menggambar organ-organ tersebut. Semua penelitian itu dituangkan dalam bentuk laporan yang harus dikumpulkan dua hari setelah melakukan pembedahan.
Tiga sekawan itu sudah keluar lebih dahulu dari kelas yang masih ramai, meributkan katak mereka masing-masing. Berbicara kegugupan mereka yang jijik bila harus membelah katak. Beberapa anak termasuk Jesti sudah mengeluarkan keringat dingin saat membayangkan hal mengerikan itu.
Renzo yang menangkap gelagat aneh dari Fajar mulai angkat bicara, "Kamu kenapa akhir-akhir ini jadi pendiam?"
Fajar mengangkat pandangan yang sedari tadi melihat katak miliknya. "Enggak, enggak ada apa-apa, kok."
"Tersinggung sama omongan Jingga?" tebak Cebi.
Tersinggung? Tentu saja dia tidak tersinggung, justru dia kagum dengan ucapan Jingga yang begitu mengena. Fajar menggelengkan kepala.
"Ada masalah?" Fajar menggeleng sekali lagi untuk menjawab pertanyaan Renzo.
Tangan pendek Cebi berusaha merangkul pundak Fajar. "Udah, perkataan Jingga nggak usah dimasukin ke hati. Namanya juga anak gendut, anak gendut biasanya ceplas-ceplos dan kamu lihat ketawanya kayak gimana?"
Entah kenapa, Fajar kesal mendengar perkataan Cebi. Dia menyingkirkan tangan Cebi dari pundaknya. "Apa bagimu cewek gendut itu mainan?" ucapnya yang lalu berjalan mendahului mereka.
Cebi dan Renzo saling menatap penuh heran ke arah Fajar. Mereka tidak mengerti kenapa Fajar tiba-tiba membela Jingga. Biasanya Fajar masa bodoh jika mereka berdua membicarakan Jingga, menghina tawa Jingga yang membahana dan menertawai tingkah Jingga yang kelewat konyol. Fajar tidak peduli dengan semua itu, tapi kali ini Fajar benar-benar aneh. Renzo dan Cebi saling menyikut di tengah-tengah perjalanan mereka menuju lab. Mereka saling mengedikkan dagu ke arah Fajar, bertanya tentang keanehan Fajar.
Lima belas menit berlalu, satu persatu labolatorium sudah dipenuhi murid-murid XII MIPA I. Mereka sudah siap melakukan ujian praktek. Alat-alat sudah tertata rapi di meja begitu juga dengan katak yang masih tersimpan rapi di dalam toples. Mereka sedang menunggu kedatangan Pak Ongko untuk memulai ujian praktek kali ini. Guru berkepala botak dan gendut itu adalah guru paling sabar yang pernah mengajar di kelas mereka. Pak Ongko selalu telaten membantu murid-muridnya ketika melakukan sebuah praktek. Meskipun sabar dan baik, beliau juga cukup kritis tantang hasil praktek para muridnya, sehingga beliau tidak begitu mudah memberikan nilai bagus kepada setiap murid. Beliau adalah guru yang pelit ketika memberi nilai praktek, tapi itu bukan masalah bagi mereka.
Keadaan lab masih terlihat ramai karena perbincangan yang lari ke sana kemari. Jesti sedari tadi membersihkan dahinya yang terus mengeluarkan keringat dingin. Wajahnya sudah pucat pasi dan menelan ludah berkali-kali. Dia adalah perempuan berhati lembut sehingga dia tidak tega menyakiti semut sekali pun.
Renzo dan Cebi yang berada di belakang sebelah kanan meja Jesti cekikikan melihat wajah pucat Jesti. Fajar yang sebangku dengan mereka sama sekali tidak memedulikan kedua temannya yang menertawakan Jesti. Dia hanya melihat datar ke arah Jingga yang berusaha menghibur Jesti. Mengalihkan pikiran Jesti supaya bisa melakukan ujian praktek ini dengan baik.
"Eh, aku punya ide," bisik Cebi.
"Apa?" tanya Renzo dengan berbisik juga.
"Kita kerjain dia, gimana?"
Fajar langsung melirik kearah kedua temannya yang sedang bersekongkol. Dia menghela napas, mereka berdua selalu saja usil. Selama itu tidak mengusik dirinya, dia sama sekali tidak peduli dan satu lagi, selama itu tidak menyangkut Jingga dia juga tidak peduli.
"Boleh boleh." Renzo mengamini usul Cebi. Mereka saling melempar tatapan licik.
Cebi mulai mengangkat kataknya untuk ia lemparkan ke arah Jesti, tapi tiba-tiba pintu lab terbuka dan Pak Ongko sudah melangkah masuk ke dalam lab.
"Selamat pagi!"
"Selamat pagi, Pak!" jawab mereka serempak. Cebi meletakkan katak ke telapak tangannya, dia tidak akan mengurungkan niatnya untuk menggoda Jesti.
"Hari ini kita ujian praktek tentang organ dalam katak. Kalian sudah mengambil peralatan yang diperlukan?" tanya Pak Ongko.
Mereka menjawab serempak, sudah mengambil peralatan yang diperlukan.
"Baik kita mulai sekarang."
Sedetik setelah Pak Ongko mengakhiri kalimatnya, semua murid sudah mengambil cairan eter untuk membius katak suapaya mudah dibedah. Namun Cebi dan Renzo masih berbisik, sibuk meluncurkan niat untuk menggoda Jesti. Fajar melirik sekilas ke arah kedua temannya saat katak miliknya sudah tertidur. Dia mulai membalikkan katak itu untuk membuka kulit bagian dada katak.
Renzo yang berada di paling ujung tempat duduk, membawa katak Cebi dengan perlahan untuk ia letakkan ke tengkuk Jesti. Tanpa sepengetahuan teman-teman dan Pak Ongko, Renzo berhasil meletakkan katak itu ke tengkuk Jesti.
"KYA!!!" Jesti berteriak histeris saat katak itu mulai bergerak masuk ke dalam bajunya. "Ingga, Ingga!" pekiknya untuk meminta tolong kepada Jingga sambil mengibas-ngibaskan bajunya.
Jingga ikut panik melihat Jesti melompat-lompat dan seluruh anak yang ada di sana melihat ke arah Jesti. Tangan mereka terhenti untuk melihat kehebohan Jesti, tapi tidak dengan Fajar.
"Kenapa, Jes?" Jingga masih tidak mengerti maksud Jesti.
Mata Jesti melotot saat tangannya menangkap benda yang tak asing lagi. "KATAK!"
"HAHAHA .... " Cebi dan Renzo tertawa lebar melihat Jesti yang kelabakan.
"Kalian yang lempar ini, hah?!" bentak Jesti, namun mereka tetap terbahak tanpa menjawab.
Sontak Jesti langsung melempar katak itu dengan penuh emosi, tapi lemparan Jesti meleset. Katak yang semula ingin ia lemparkan kepada Cebi ternyata melesat mengenai tangan Fajar hingga tangan Fajar terlalu dalam membelah dada katak. Darah dari katak itu langsung terciprat hingga mengenai masker dan kelopak mata Fajar.
Nada terkejut mulai menyeruak, memenuhi dinding-dinding lab. Wajah Jesti langsung pias begitu juga dengan Jingga, sedangkan Cebi dan Renzo memasang wajah bersalah.
"Apa yang terjadi?" Suara Pak Ongko tak sanggup meredam gumaman murid-muridnya.
Mata Fajar yang semula tertutup kini menyalang tajam ke arah Jesti, tangannya meremas kuat pisau kecil yang sudah berlumur darah.
"Fajar, maaf," ucap Jesti.
Fajar melepas maskernya sambil melirik ke arah Cebi dan Renzo lalu dia membanting pisaunya dengan melirik sinis ke arah Jesti. Jingga langsung menelan salivanya melihat ekspresi mengerikan itu, dia tahu tentang apa yang akan terjadi kepada Jesti ketika melihat ekspresi itu.
"Fajar!" panggil Jesti saat Fajar berjalan keluar lab. Tangannya sudah meraih kotak pensil yang tidak hanya berisi pensil melainkan ada tisu basah di dalam sana.
Jingga mencegah Jesti yang berniat akan menyusul Fajar. "Biar aku yang ngomong." Dia cukup tahu apa yang akan ia katakan kepada Fajar, sebisa mungkin dia harus meminimalisir niat buruk Fajar.
Dari depan Pak Ongko bertanya kepada Fajar, namun Fajar sama sekali tidak menggubris panggilan gurunya. Dari belakang Jingga mencoba menyusul Fajar sambil membawa kotak pensil milik Jesti.
"Fajar, tunggu!" Fajar masih tidak menggubris Jingga, dia sudah diselimuti oleh amarah. "FAJAR BERHENTI!" teriak Jingga ketika sudah berada di depan lab.
Langkah Fajar langsung terhenti mendengar suara Jingga. Jingga mengejarnya? Sontak Fajar langsung memutar tubuhnya dan ternyata memang cewek bertubuh bulat itu sudah berdiri di depan pintu.
"Maafin Jesti, dia enggak sengaja," ucap Jingga. Fajar melirik ke arah jendela untuk melihat Jesti yang cemas berada di dalam. "Itu karena ulah temanmu. Jadi, maafin dia."
Fajar hanya menatap datar ke arah Jingga, memerhatikan wajah bulat menggelembung itu dengan seksama. Dia sama sekali tidak mendengar ucapan Jingga.
Jingga memangkas jarak antara mereka, kepalanya mendongak untuk menatap tajam ke arah Fajar. "Jangan berbuat jahat kepada Jesti, lihat dulu siapa yang salah."
Bibir Fajar tersenyum miring, dia bukan manusia bodoh yang dengan sembarangan menyalahkan orang. Dia tahu siapa yang salah dalam hal ini dan dia tahu harus membalas seperti apa.
"Bagiku, mereka bertiga salah." Fajar menahan tawanya ketika wajah Jingga sudah menggelembung kesal, entah kenapa dia terhibur melihat wajah itu. Fajar membungkukkan badannya untuk mensejajarkan pandangan. "Termasuk temanmu, Jesti," ucapnya dengan nada dingin. Dia menegakkan badan lalu memutar tubuh untuk melangkah pergi.
Buku-buku tangan Jingga meremas kotak pensil yang terbuat dari besi itu dengan kuat. "FAJAR!"
Belum genap Fajar memutar tubuhnya tiba-tiba benda keras membentur dahinya.
'Tak'
Kotak pensil itu berbunyi nyaring ketika menyentuh dahi Fajar. Teman-teman mereka terperangah kaget melihat peristiwa yang terjadi di luar lab dari balik jendela.
"Dasar psikopat!"
Dan peristiwa itu membuat mereka berdua mengikuti ujian praktek susulan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top