Goyang Gergaji Sang Adik
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Jingga hanya membisu di dalam mobil Aryo. Selain dia malas berbicara dengan Aryo, dia juga sedang memikirkan sesuatu yang baru saja ia lihat dari diri Fajar. Tidak ada lagi rasa curiga yang menyelinap di hati Jingga saat melihat senyuman itu. Namun, dia masih meragukan apakah Fajar sudah berubah.
Ah entahlah, bermain spekulasi hanya membuat pikirannya semakin lelah. Masalahnya sendiri saja belum tuntas, kenapa harus memikirkan orang psikopat macam Fajar. Kurang kerjaan. Yang jelas, dia harus menghindari Fajar sebisa mungkin, dia tidak mau terjebak dalam skema yang dibuat Fajar. Jingga masih memiliki secuil pemikiran kalau Fajar pasti mendendam kepada dirinya.
Aryo yang sedari tadi menghentikan mobilnya hanya terdiam sambil menatap lurus jalan komplek perumahan Jingga. Sesekali dia melirik ke arah Jingga yang masih termangu, tidak menyadari kalau sudah di depan rumahnya sendiri. Aryo bedeham hingga membuat Jingga menoleh ke arahnya.
"Lagi ngelamunin apa?" tanya Aryo. Jingga hanya menggeleng. "Fajar?"
Jingga langsung menggeleng antusias, mengingkari semua tebakan Aryo. "Buat apa aku ngelamunin psikopat itu," ketusnya.
"Sepertinya dulu kamu akrab sama dia."
Jingga menggeleng sekali lagi. "Aku dulu musuh bebuyutannya."
Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang menghampiri Aryo. Rasa cemas yang ia gadang-gadang sedari tadi, langsung luruh mendengar pengakuan Jingga. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Aryo tentang kehadiran Fajar. Dia cukup tahu bagaimana sifat Jingga; seorang wanita yang berpegang teguh dengan pendirian.
"Kalau nggak ngelamunin apa-apa. Kenapa kamu nggak keluar dari mobil?"
Jingga langsung tersadar dan menebarkan pandangan di sekitar. Astaga ... gara-gara Fajar, otaknya langsung kacau balau. Sepertinya, dia akan melahap seisi kulkas untuk menyegarkan otak yang mirip benang kusut. Sebuah pembalasan yang sempurna untuk malam ini. Persetan dengan berat yang semakin bertambah, dia tidak mau jadi gila hanya karena perkara ini.
Jingga mengembangkan senyum lima jari hingga gigi-gigi kecil yang rapi itu terlihat. "Terima kasih. Aku masuk dulu."
"Tunggu dulu," cegah Aryo hingga membuat Jingga menghentikan gerakan lalu kembali menatap Aryo. "Aku ingin bicara dengan orangtuamu."
Dalam hitungan detik, wajah Jingga langsung berubah murung. Dia tahu apa yang akan dibicarakan Aryo dengan kedua orangtuanya. "Aku mohon, jangan sekarang. Biar aku sendiri yang bilang sama mereka."
"Kalau kamu nggak mau ini terjadi, apa salahnya menuruti keinginanku?"
Jingga menghela napas panjang, dia ingin sekali menendang dashboard mobil ini dengan kaki gajahnya. Dia kesal karena Aryo sama sekali tidak pernah memahami keinginannya. "Aku juga punya keinginan, Mas."
Tanpa banyak kata, Aryo langsung membuka seat belt-nya dan langsung membuka pintu mobil. Dada Jingga kembang kempis melihat tingkah Aryo yang seenaknya sendiri, tidak mau secuil pun memahami dirinya. Jingga langsung membuka pintu untuk mengikuti Aryo yang sudah membuka pagar rumah. Dia sudah pasrah sekarang, terserah Aryo ingin melakukan apa. Meskipun Jingga masih belum siap dengan semua reaksi orangtuanya, namun mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Aryo selalu melakukan hal yang selalu diinginkan.
Jingga berjalan mendahului Aryo untuk membuka pintu dan melihat keadaan rumah. Paling tidak, dia memberi sedikit peringatan untuk kedua orangtuanya agar tidak syok. Sekaligus memantau apakah adiknya ada di rumah atau tidak, dia tidak mau melihat adiknya bergoyang gergaji.
*******
"Belum pulang, Mas," sapa Dedi saat melihat Fajar baru keluar dari ruangan.
Fajar tersenyum sekilas. "Ini mau pulang."
Dedi berdiri dari kursi sembari menarik tas yang bergelantungan di sandaran kursi. "Cari bahan untuk promosi malam amal para ibu-ibu sosialita susah banget, Mas."
Fajar hanya menyunggingkan senyum miring, dia malas berbasa-basi dengan orang lain. Apa lagi harus membahas sesuatu yang bukan tugasnya.
Dedi sudah berjalan mengekor di belakang Fajar dengan tas yang sudah bergelantungan di pundak. "Yang ini jelek, yang itu kurang rame, yang satunya warnanya kurang cerah dan satunya lagi temanya kurang wow. Dasar emak-emak borju, bawaannya main tunjuk." Dedi terus menggerutu di belakang Fajar.
Sedangkan Fajar terus berjalan tanpa menghiraukan gerutuan karyawan paling muda ini. Sekali lagi, dia malas berbasa-basi dengan orang lain. Kini, mereka sudah berada di depan lift, sembari menunggu lift mencapai lantai tempat mereka berada, mereka mulai sibuk dengan ponsel masing-masing.
Di lantai ini, hanya tinggal Fajar dan Dedi yang menunggu lift berdesing. Suasana sangat sunyi, lampu sebagian sudah dipadamkan, kecuali lampu lorong menuju lift. Tidak lama kemudian pintu lift berdesing dan terbuka, mereka mengalihkan pandangan dari ponsel masing-masing. Memasuki lift yang tidak ada satu orang pun di dalamnya.
Dedi cekikikan sambil melihat ponsel,tangannya tak berhenti menari-nari di atas layar datar itu. "Mbak Jingga ... mbak Jingga," gumamnya.
Gumaman Dedi langsung membuat Fajar menoleh ke arahnya. "Jingga.... "
Dedi mendongak untuk melihat Fajar. "Kenapa Mas?"
"Tadi kamu bilang Jingga, 'kan?"
"Oh ... ini lagi diledekin di grup, Mas." Fajar mengerutkan dahi. "Pernikahan mereka resmi ... eh Mas belum tahu, ya, kalau Pak Aryo dan Mbak Jingga itu tunangan." Fajar tidak menanggapi apa-apa, dia memasang wajah datar. " Pernikahan mereka resmi diundur dan sekarang lagi diledekin sama yang lain di grup."
"Boleh aku gabung di grup itu?"
Dedi terdiam sejenak, dia memikirkan sesuatu secara jangka panjang. Saat ini, perbincangan di dalam grup sedang menyinggung pimpinan barunya bersama Jingga. Mengaitkan hubungan Jingga dengan Aryo dan kedatangan Fajar yang mungkin akan merenggangkan hubungan mereka. "Eum .... " Mata Dedi bergulir ke kiri dan ke kanan.
Fajar yang mengetahui mimik keberatan itu langsung mengangguk. "Oke, tidak masalah, tapi aku mau minta nomor mereka satu-satu."
"Untuk apa, ya Mas?"
"Bukannya kalian bawahanku? Bukankah itu salah satu bentuk komunikasi?" Mulut Dedi langsung membentuk lingkaran, mengerti dengan maksud Fajar.
*******
"Pada dasaranya semua pria itu egois."
Mata Jingga langsung melirik sinis ke arah seorang pria yang lebih muda tiga tahun darinya. Mulutnya mengunyah mi kuah soto yang masih panas dengan uap mengepul. "Nggak usah buka-buka facebook-ku, ya. Jadi cowok kepo banget!"
Ringgo—adik Jingga—yang juga berbadan gemuk, terpingkal melihat kakaknya putus asa. Setelah mendengar pembicaraan Aryo dengan kedua orangtuanya tentang pernikahan kakaknya yang diundur. Dia langsung masuk ke dapur menyiapkan dua bungkus mi dengan pinggul bergoyang-goyang. Dia girang melihat pernikahan ini akhirnya diundur.
Ringgo tidak peduli melihat Jingga mendapat jurus omelan dari Emak yang super cerwet dan Bapak yang gondok di dalam kamar. Yang jelas, dia tidak suka Aryo yang terlalu mengekang kakaknya.
"Aku itu dari awal udah nggak suka sama Mas Aryo, Mbak."
Mulut Jingga yang penuh dengan mi hanya mencebik. "Seneng lihat aku jadi perawan tua!"
Ringgo mengambil sendok lalu berjalan menghampiri Jingga. Dia langsung duduk di sebelah Jingga dan menyendok mi buatannya.
"Kamu ikhlas nggak, sih, buatin mi ini."
Tanpa menghiraukan bentakan Jingga, dia langsung menyeruput mi itu. "Minta dikit aja, mulut udah kayak knalpot!" Dia meletakkan sendoknya lalu memegang ponsel.
Jingga kembali memakan mi rebusnya dengan muka dilipat-lipat. Kesal dengan Aryo yang menjatuhkan kebahagiaan orang tuanya dan juga kesal dengan adik yang durhaka, senang melihat penderitaannya yang akan menjadi perawan tua. Siapa lagi yang suka dengannya selain Aryo?
"Fajar Anjarseno Soekotjo itu siapa, Mbak?"
Jingga menghentikan makannya lalu mengangkat kepala. "Emang kenapa?"
"Cie .... " Ringgo langsung bangkit dari kursi sambil bergoyang gergaji ala Dewi Persik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top