Awal Ketakutan Jingga

Surabaya, 2009.

Bel pulang sekolah telah berkumandang setengah jam yang lalu; menyisakan beberapa anak yang berseliweran melewati koridor, kelas yang kosong dengan cepat, lapangan sekolah yang padat, pun dengan kantin yang terlihat ramai dan riuh. Siang ini begitu teduh, matahari di Surabaya sedang loyo, bersembunyi malu-malu dari balik awan abu-abu. Angin semilir berhembus cukup kencang, mengundang banyak murid untuk berlama-lama sejenak di lapangan sebelum kembali pulang ke rumah.

Beberapa panitia pentas seni sedang berkumpul di ruang osis, mereka mengadakan pertemuan kecil-kecilan untuk membahas malam pentas seni yang sebentar lagi akan diadakan. Panitia yang berada di sana tidak sepenuhnya membahas tentang malam pentas seni, kebanyakan mereka membicarakan masalah pribadi dan persiapan UN yang sebentar lagi akan diadakan. Siswa yang duduk di kelas XII menyerahkan sementara tugas mereka kepada adik kelas sebulan sebelum UN diadakan dan tugas akan kembali diserahkan seminggu setelah UN terselenggara.

Begitu juga dengan Jingga yang saat ini sedang menjelaskan keuangan kepada adik kelasnya. Tapi tidak semua kakak kelas mendiskusikan penyerahan tugas, beberapa sedang asik bergosip dan menggunjingkan seseorang.

"Iya, iya Mbak. Aku udah paham," ujar Lia—adik kelas yang diberi kepercayaan Jingga untuk memegang keuangan selama dua bulan. Jingga cukup mengenal Lia dengan baik, sehingga dia bisa mempercayakan tugasnya kepada Lia.

"Jangan iya-iya aja." Jingga mulai mengomel.

Lia mengacak rambut sebahunya. "Santai napa, Mbak. Semuanya nggak seserius Mbak."

Jingga memutar bola matanya, "Ini masalah keuangan, tahu nggak? Ini riskan, kalau kamu sepelekan begitu aja, salah satu angka bakalan salah semua. Kamu sebagai anak IPS yang makananya akuntansi pasti ngerti, 'kan?"

"Iya, Mbak." Lia mengangguk-angguk berkali-kali.

Tiba-tiba dari arah belakang Jingga, ada yang sedang memukul meja berkali-kali, meminta perhatian semua panitia yang ada di sana.

Aira, cewek cantik, bertubuh bak model dengan rambut hitam tergerai dan baju yang serba ketat sedang meminta perhatian teman-temannya. Dengan cepat, seluruh perhatian tertuju kepada gadis cantik itu. Jingga hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap buku yang bertuliskan angka-angka.

"Mumpung nggak ada Fajar di sini, gimana kalau kita membicarakan rencana tentang makan-makan yang akan kita adakan sebelum malam pentas seni."

Gumaman mulai terdengar dan menyeruak di dalam ruangan osis yang tidak cukup luas itu. Terdengar nada antusias dari mereka termasuk Lia yang langsung berjalan mendekati meja Aira. Namun Jingga, dia sama sekali tidak tertarik, dia tahu siapa yang akan dijadikan tumbal oleh Aira.

"Memangnya kamu punya rencana apa?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku inginnya sih, makan-makan di cafe yang dekat sama tempat pentas seni kita."

Terdengar lagi suara gaduh dari mulut mereka masing-masing.

"Itu tempat mahal, Ra."

"Tapi enggak bagi Fajar."

Jingga menarik napas lalu disusul dengan gelengan kepala. Sedangkan mereka, kembali ramai dan banyak yang menyetujui pemikiran Aira. Mereka semua menganggap Fajar adalah gudang uang dan juga berpikir bahwa Aira adalah satu-satunya cewek yang bisa menaklukan hati Fajar.

"Tapi kita nggak boleh bergantung sama Fajar, dong. Kita juga harus bawa uang buat jaga-jaga." Cewek berambut cepak mengutarakan pendapatnya.

Aira mengibaskan tangannya sekali lalu bertolak pinggang. "Udah tenang aja, selama ada Aira semua bisa diatur. Fajar kan tergila-gila padaku," sanggahnya yang langsung disusul dengan tawa riuh dari mereka.

Sedangkan di balik tembok ruang osis itu, berdiri seorang Fajar yang memasang wajah datar tanpa ekspresi. Dia mendengar semua perkataan Aira, dia mendengar semua yang terjadi di dalam ruangan itu. Jemari yang berada di balik kantong celananya mengepal dengan kuat, namun wajahnya masih terlihat begitu tenang. Dadanya bergemuruh mendengar semuanya, dia kesal karena hingga detik ini tidak ada yang pernah bersikap tulus dengannya. Semua mendekati dirinya karena ingin memanfaatkan apa yang ia punya. Pemikirannya selama ini juga salah; bahwa jika ia memberikan segalanya yang ia punya, itu berarti mereka akan memberikan ketulusan untuk membalas semua yang telah ia berikan. Fajar merasa pemikirannya begitu dangkal.

Telinga Jingga mulai terasa panas mendengar perkataan Aira dan teman-teman yang lainnya. Dia menutup bukunya, memasukkan peralatan tulis dan berdiri dari kursi. Dia malas mendengar rencana busuk teman-temannya. Meskipun dia membenci Fajar, bukan berarti dia harus ikutan membalas dendam atas rasa kesalnya kepada Fajar. Jingga hanya berpikir bahwa menjauhi Fajar sudah cukup baginya, dia tidak mempunya hati busuk seperti teman-temannya.

"Ingga, mau ke mana?" tanya Aira saat bola matanya menangkap tubuh berbalut lemak itu berjalan mendekati pintu.

Jingga menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Aira. "Pulang, kenapa?"

"Kamu ikutan juga, 'kan?"

Jingga hanya mengangkat bahunya sekilas tanpa mengucapkan sepatah kata lalu dia kembali melangkah meninggalkan teman-temannya. Setelah keluar dari ruang osis dan akan berbelok kanan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya terpaku pada satu sosok yang tengah memasang tatapan dendam ke arahnya. Dengan susah payah, Jingga menelan salivanya. Dia melihat sosok yang tengah diperbincangkan di dalam sana. Sosok yang dijadikan tumbal oleh teman-temannya.

Fajar menyeringai sinis ke arah Jingga. "Kamu senang dengan rencana mereka?"

Jingga hanya terdiam dengan lutut yang gemetar, dia tidak suka melihat sorot mata seperti itu. Sorot mata yang menunjukkan sisi iblis Fajar. Bukan hanya sekali atau dua kali Jingga menangkap sorot itu, tapi berkali-kali Jingga mendapati sorot itu dan tidak lama kemudian hal buruk selalu terjadi. Bagi Jingga, sorot itu seperti tatapan mata malaikat pencabut nyawa.

"Bukannya kamu juga membenciku?"

Jingga masih terdiam.

Fajar mengeluarkan tangan kirinya yang tengah memegang bolpoin. Matanya menatap lekat-lekat bolpoin itu lalu kembali menatap Jingga. "Bahkan bolpoin yang terbuat dari kaca ini bisa aku hancurkan dengan sekali remas." Tangan Fajar meremas bolpoin yang ada di genggamannya hingga patah dan berbunyi 'tak'.

Wajah Jingga langsung pias melihat tingkah Fajar yang menakutkan.

Fajar maju beberapa langkah untuk memangkas jarak di antara mereka. "Apalagi kalian yang memiliki otak dungu seperti kerbau."

Jingga menelan salivanya sekali lagi, mulutnya masih membisu dan wajahnya terlihat pias sepenuhnya. Dia tidak pernah mendengar Fajar berbicara terus terang seperti ini, biasanya Fajar hanya menyeringai sinis dan memberikan sorot mata penuh dendam.

Fajar menutup matanya sambil mendongakkan kepala, kemudian disusul dengan kekehan. "Jangan takut seperti itu, awas rokmu basah gara-gara kencing di celana," ucapnya yang langsung berjalan menjauhi Jingga.

Fajar sudah malas untuk masuk ke dalam ruang osis yang berisi manusia berhati busuk. Dia engggan menatap wajah mereka satu-satu, lebih baik dia pulang ke rumah dan merencakan sesuatu untuk menghancurkan mereka semua, melumuri wajah mereka dengan kotoran kerbau. Kotoran dari hewan yang memiliki otak yang sama dengan mereka: dungu. Dia akan bermain halus, menyikat semua dengan sekali jentikan.

Tiba-tiba langkahnya terhenti saat berada di ujung koridor sekolah. Dia memutar tubuhnya saat menyadari sesuatu. Apa yang telah ia lakukan tadi? Kenapa dia menunjukkan sisi buruknya di hadapan Jingga begitu saja? Kenapa dia begitu mudah melakukan itu semua, setelah sekian lama dia menutupinya rapat-rapat?

Dia mulai bingung dengan dirinya sendiri. Kehebatan dalam menyembunyikan dirinya yang sebenarnya lemah begitu saja saat berhadapan dengan cewek berlapis lemak itu.

Tidak ada yang menarik dalam diri Jingga, tapi kenapa Fajar terlihat begitu lemah di hadapan Jingga?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top