Asumsi

Kalau kamu nggak suka dengan ulah mereka, bilang nggak suka! Jangan memasang tampang malaikat tapi berulah iblis! Kamu manusia, bukan malaikat.

Mata Fajar terpejam, ingatannya singgah pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ucapan Jingga terus berdengung di telinganya, seperti sebuah lantunan lagu yang ingin ia resapi. Meski waktu sudah berlayar jauh, tapi ucapan itu terus tertambat di ruang ingatan Fajar. Dia tidak pernah membenci ucapan itu, justru ucapan itu seperti tamparan untuk monster di dalam dirinya. Mematahkan semua yang ia bangun selama bertahun-tahun, membuatnya terus dilanda resah di tahun-tahun sesudahnya. Dia seperti manusia penuh dosa.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Kamu pulang naik apa?

Usai mengetik pesan singkat melalui facebook messenger Fajar menyandarkan punggung, menautkan kedua jari dan matanya menatap lurus ke arah Jingga. Satu detik berlalu tanpa ada pergerakan dari Jingga, hingga pada detik ke enam puluh—lebih tepatnya satu menit—Jingga langsung menoleh ke arah Fajar. Ekspresi Fajar terlihat begitu datar, dia sedang menanti ponselnya berdenting.

Alis Fajar tertukik ketika melihat Jingga sama sekali tidak membalas pesannya, wanita itu malah sibuk membereskan benda-benda di atas meja. Fajar meraih lagi ponsel yang masih menyala itu, lalu melihat tanda bahwa pesannya sudah terbaca.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Aku menawarkan tumpangan.

Kali ini dia terus memegang ponselnya, berharap cemas-cemas kalau pesannya tidak akan dibalas oleh Jingga. Ujung jemari telunjuknya mengetuk pelan meja kerja. Sesekali matanya melirik ke ponsel yang masih menyala. Dilihat dari gerak-gerik Jingga, sepertinya wanita itu mengabaikan pesan yang ia kirim. Fajar langsung berdiri dari kursi setelah mengetahui Jingga memang tidak menggubrisnya, terbukti dari gerakan Jingga yang akan bergegas pulang, melangkah pergi meninggalkan meja kerja.

Fajar mengumpat lirih mengetahui itu semua, dia membuka pintu kantornya dengan gerakan terburu-buru. Mencoba mengikuti Jingga yang sudah keluar ruangan bersama dua teman wanitanya.

Dari lantai atas, Aryo baru saja mengunci pintu kantor. Langkah Aryo terhenti ketika melihat Fajar setengah berlari keluar dari ruang tim produksi. Dia yang merasa penasaran, ikut berlari kecil—menuruni tangga—mengikuti Fajar yang sudah keluar.

"Ingga," panggil Fajar dari kejauhan. Dia tidak peduli dengan pandangan orang tentang sikapnya. Dia lebih memilih sebuah keberanian untuk dapat meletakkan hatinya. Tidak akan melewatkan sedikit pun kesempatan yang bertandang dalam skenario ini.

Langkah Jingga dan kedua temannya terhenti ketika panggilan itu menggema di lorong dekat lift. Lintang yang sedang menggelayutkan tangan di lengan besar Jingga menoleh ke sumber suara.

"Pak Fajar?" gumam Lintang dengan nada heran.

Jingga menelan ludah ketika mendengar nama itu keluar dari bibir Lintang. Anna ikut menoleh lalu melirik ke arah Jingga.

"Hidup memang seindah drama Korea," sindir Anna.

Jingga hanya melirik Anna dengan mulut mencebik. Dia tidak mau memutar tubuhnya barang se-senti.

"Aku mau naik lift." Jingga baru saja melangkah, tapi lengannya sudah ditarik Lintang.

"Mbak, dicari Pak Fajar, tuh." Lintang mengedikkan dagu ke arah Fajar yang sudah mendekat.

"Ingga tunggu." Fajar sudah berada di dekat Jingga, napasnya sedikit terengah. Dia melihat Anna dan Lintang dengan senyuman lebar. "Saya mau bicara sebentar dengan Jingga."

Anna dan Lintang saling melirik usil lalu Lintang memutar tubuh Jingga hingga menghadap ke arah Fajar. Tubuh bergelantungan lemak itu hampir saja roboh ketika dipaksa untuk berputar.

"Apaan sih?" Mata Jingga melotot.

"Tuh, Pak Fajar mau ngobrol sama Mbak. Aku bilang apa, mati satu tumbuh seribu, Mbak," ujar Lintang diiringi dengan tawa yang menderai.

"Ooh, begitu." Anna yang mengerti maksud Lintang ikut terkikik.

Mata Jingga semakin melebar, kali ini dibarengi dengan mulut mencebik.

"Aku pulang dulu, ya, Mbak. Permisi Pak Fajar," pamit Lintang yang langsung menarik Anna untuk menjauh dari mereka, berdiri di depan lift.

Fajar masih tersenyum lebar, namun Jingga malah menundukkan kepala. Sendi lututnya mulai berdisko ria, menahan keinginan untuk lari pontang-panting. Dia takut kalau Fajar masih memiliki dendam dengan dirinya.

"Apa ada yang aneh dengan wajahku?"

Kepala Jingga langsung mendongak, matanya mengerjap lalu disusul dengan gelengan patah-patah.

"Eum ... kamu baca pesanku, 'kan?"

"Ng.... " Jingga masih diam membeku, dia tidak tahu harus beralasan apa.

Fajar tertawa lebar melihat wajah wanita bulat itu mulai pias. "Kamu seperti melihat hantu. Aku hanya menawarkan tumpangan. Kamu pulang naik apa?"

"Ak-aku ... naik kendaraan umum."

"Naik angkot?" Jingga mengangguk. "Aku antar." Jingga langsung menggeleng cepat, seumur hidup dia tidak akan mau terlalu dekat dengan pria psikopat ini. "Tunggu di sini, aku mau ambil barangku habis itu aku antar naik taksi. Mobilku malam ini baru diantar ke Surabaya, jadi kita naik taksi aja."

"Nggak usah." Lidah yang semula kelu akhirnya melemas juga, dia mulai membuka mulut dengan ucapan penolakan yang cukup tegas.

"Kenapa? Kamu nggak mau naik taksi? Bu—"

"Jingga pulang denganku." Terdengar ucapan Aryo dari arah belakang, memutus pembicaraan Fajar.

Wajah Fajar seketika berubah menjadi datar, namun matanya menyiratkan sesuatu yang menakutkan.

Jingga langsung menelan ludah saat melihat sorot itu lagi. Sorot yang sangat ia kenal tujuh tahun lalu, yang mampu membuatnya panas dingin tak keruan. Matanya beralih menatap ke arah Aryo yang mendekat, dia ingin menampik ketakutan yang luar biasa dalam dirinya. Sekaligus meminta bantuan Aryo untuk bisa melarikan diri dari pria psikopat ini.

"Ayo kita pulang," ajak Aryo tanpa melihat Fajar.

Fajar melipat tangannya ke depan dada, melihat Aryo menarik Jingga. "Ingga." Jingga menoleh ke arah Fajar. "Hati-hati di jalan."

"Tentu saja dia akam selamat karena dia pulang bersama tunangannya." Ucapan Aryo terdengar penuh dengan ketegasan, melambangkan bahwa Fajar tidak akan bisa menggantikan posisinya. Jingga tetap tunangannya, meskipun acara pernikahan diundur.

Fajar tertawa lebar mendengarnya, dia ingin sekali membalas ucapan Aryo, namun dia tidak mau wibawanya turun. Dia akan membalas pria ini dengan balasan yang indah. Dengan caranya sendiri.

Jingga yang baru akan memutar tubuh langsung terhenti ketika bola matanya terkunci pada satu benda. Sebuah benda yang sangat familiar baginya, benda yang sudah lama tidak pernah ia lihat tengah melingkar di pergelangan Fajar. Dia terpaku melihat benda yang sudah berpindah pemilik.

"Ayo," ajak Aryo sambil menarik tangan Jingga.

Mata Jingga beralih melihat Fajar, dan entah kenapa dia merasakan darahnya berdesir hebat ketika melihat senyuman itu. Sebuah senyuman yang baru pertama kali ia temui dari bibir Fajar, senyuman yang menyiratkan ketulusan. Jingga memutar tubuhnya ragu-ragu, kepalanya masih ingin melihat ke arah Fajar, memastikan bahwa pengelihatannya memang benar.

Apakah Fajar sudah berubah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top