9 ~ Hutang

Hari libur nasional sebelum perayaan hari ulang tahun sekolah membuat Sandrina sibuk dengan latihannya memerankan Cinderella. Di rumah Indri, para pemain berlatih hingga dua kali untuk memaksimalkan peran mereka.

“Mau diulang lagi atau nggak?” Sandrina mengambil botol minum yang ada di pinggir tempat pelatihan.

Mereka sedang istirahat, meluruskan kaki dan Indri juga Rina dan Sila terlihat sedang latihan lagi sambil memegang naskah.

“Gue rasa cukup. Kita udah ngulang dua kali, ‘kan?” Rina berselonjor meluruskan kakinya, dan bersandar pada sofa di belakangnya. Sandrina hanya mengangguk.

“Ndri, gue mau numpang ke kamar mandi, boleh?” Rendi sudah terlihat ingin membuang hajat sambil menggoyangkan ke dua kakinya.

“Ikut gue.” Mereka berjalan ke arah kamar tamu. 

“Gue juga ikut.” Andi langsung berdiri dan langsung berlari menyusul Rendi dan Indri.

Mereka bertiga membicarakan tentang hubungan Arel dan Sandrina yang terlihat semakin menjauh. Sandrina yang selalu menolak kebaikan Arel, meskipun Arel sudah mengatakan jika ia tidak akan mengkhianati Deandra selama pacarnya tidak bertingkah.

“Kalian pada ngerasa kalo Sandrina menjauh dari Arel nggak, sih? Setiap Arel berbuat baik pasti Sandrina nolak?” Indri yang jalan lebih dulu berbalik menghadap Rendi dan Andi.

“Biarin aja. Malah bagus, dong. Setidaknya biar Deandra nggak bertingkah sama Sandrina lagi.” Rendi membalik bahu Indri agar mempercepat jalannya mengantar ke kamar mandi. “Udah, ayo, buruan! Gue kebelet banget ini.”

“Tapi, gue rasa Arel emang ada hati sama Sandrina, deh.” Andi tampak mengingat-ingat dulu saat masa orientasi siswa. “Kalian ingat nggak? Dulu waktu MOS, Sandrina telat dan nggak bawa alat peraga yang dari kardus? Arel dateng nyelamatin dia, ‘kan? Dari sana gue pertama ngira itu kebaikan yang biasa kakak kelas kasih ke adik kelas. Tapi lama-kelamaan kebaikan terus ngalir dari diri Arel buat Sandrina sampe sekarang.” Indri telah membuka pintu kamar tamu, dan Rendi langsung berlari menuju toilet.

“Itu bocah, udah kebelet banget apa ya.” Indri kaget saat Rendi langsung menerobos masuk. Ia langsung duduk di sofa sebelah pintu. “Gue lupa-lupa inget, sih. Cuma dulu pernah, waktu Sandrina nggak bawa kaos olah raga. Kita olah raga barengan sama kelas Arel, dia nemenin Sandrina di pinggir lapangan, dan nggak ikut olah raga dengan alasan yang sama kayak Sandrina.”

“Iya, itu gue juga inget. Emang Sandrina yang susah buat dideketin, sih. Dan Arel nggak sabar buat nunggu Sandrina. Jadilah dia sama sepupunya.” Andi menunggu di depan pintu toilet.

“Bukan karena susah dideketin, tapi Sandrina selalu dapet titipan surat dari Deandra buat dikasih Arel. makanya dia nggak mau jadian sama Arel. Dia juga bilang nggak ada rasa sama Arel, sih.”

Pintu kamar mandi terbuka, dan Andi langsung masuk begitu saja. “Jangan tinggalin gue!” teriaknya dari dalam.

“Bentar lagi juga Arel putus sama si ratu gosip.” Rendi berdiri di sebelah Indri.

“Dukun lo. Gue ke dapur bentar, ntar balik aja sama Andi, ya!” Indri berdiri dan meninggalkan Rendi sendirian.

Di tempat Sandrina duduk ada Bela, Sila, Rina dan Arel. Mereka tampak saling diam, tanpa ada pembicaraan selain dari Bela dan Rina. Terlebih Sila yang jutek terhadap Sandrina.

Arel berjalan ke arah Sandrina duduk. Sila tampak selalu mengawasi gerak-gerik Arel. “San, lo ngehindar dari gue?” tanyanya pelan saat mendudukkan pantatnya di sebelah Sandrina.

“Enggak. Biasa aja.”

“Nggak usah ngerasa jadi orang ketiga yang ngerusak hubungan gue sama Deandra, ini juga kemauan lo, 'kan?”

“Kalopun gue ngehindarin elo, pasti gue pilih mundur dari drama ini biar nggak ketemu sama lo.” Sandrina berdiri dan saat itu Indri sudah kembali membawa rujak buah di tangannya. “Ndri, gue mau ke toilet.”

“Oh, di sana!” Indri menunjuk dengan jari telunjuknya. Lagi pula, sudah biasa Sandrina ke toilet saat bermain ke rumahnya. Jadi tidak perlu untuk diantar.

Saat berjalan ke kamar tamu, Sandrina berpapasan dengan Rendi dan Andi.

“Mau ke sini juga? Nih, nggak gue tutup.” Rendi membiarkan pintunya terbuka.

“Makasih.”

Setibanya Rendi dan Andi, Arel mendapat telepon dari Deandra.

“Iya, kenapa?”

“Kamu lagi di mana?”

“Lagi latian drama di rumah Indri.”

“Bisa ke sini?”

“Iya, gue ke sana ntar.” Arel sudah tidak ber-aku kamu dengan Deandra semenjak kejadian lalu, di mana Deandra membuat gosip murahan itu. Toh, tidak ada protes juga dari Deandra. Arel langsung menutup teleponnya saat Deandra ingin mengucapkan sesuatu, terdengar dari suaranya yang mengatakan aku tapi terpotong.

“Nggak baik kalo orang lagi ngomong malah ditutup teleponnya.” Sila yang mengawasinya sejak tadi protes.

“Emang ada urusan apa sama lo? Hak gue mau nutup telepon atau enggak.” Arel mendekat ke arah Sila dan mengatakan sesuatu dengan pelan tepat di telinga Sila yang membuat cewek itu langsung diam. “Jangan coba jadi mata-mata kalo nggak mau masalah lo kebongkar.” 

Sila langsung melotot, ia tidak menyangka jika masalahnya juga diketahui oleh Arel. Ia berpikir jika masalahnya hanya Deandra saja yang tahu.

Saat di mal, Sila sedang berbelanja beberapa pakaian. Namun, ia juga menyelipkan sepasang underwear ke dalam jaketnya yang saat itu ia memakai jaket besar dan bersaku di dalamnya. Jadi, muat untuk underwear incarannya yang harganya selangit bagi Sila.

Saat akan keluar, mesin pendekteksi menyala dan ia ketahuan jika mencuri underwear. Di sana, Deandra sedang berada di pintu dan mengenalnya sebagai adik kelas. Saat itu juga, Deandra menjaminnya dan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Sebagai gantinya, Deandra yang tahu jika Sila tergabung satu grup dengan Arel di dalam teater pun memintanya untuk mengawasi dan melaporkan kegiatan Arel selama di teater. Sila menyetujui asalkan rahasia ini tidak bocor.

Sila marah pada Deandra, ia menyesal telah memata-matai Arel karena nyatanya terbongkar juga akan rahasianya. Ia langsung mengirim pesan pada Deandra meluapkan segala amarahnya. Lalu, berpamitan pada Indri.
“Ndri, gue pulang dulu. Udah selesai, ‘kan?”

“Eh, udah, kok. Hati-hati di jalan, ya!”

Selepas kepergian Sila, Bela juga pamit, begitu juga Rina.
“Gue juga pamit, deh, Ndri. Ntar, bilang sama Sandrina, gue pulang duluan.” Rina merapikan sweeter-nya, lalu bercipika-cipiki pada Indri, disusul Bela.

“Hati-hati di jalan, ya, kalian. Entar gue bilang Sandrina kalo kalian duluan.”

Hanya tinggal Arel, Rendi dan juga Andi yang sedang mengobrol di tepi kolam ikan. Indri membereskan meja dan membawa piring kotor bekas rujak ke dapur. Saat itu, Sandrina kembali dari toilet.

“Ndri, sorry lama. Gue sakit perut. Udah pada pulang? Kok, sepi.” Sandrina memegang perutnya dan berdiri di depan Indri.

“Iya, udah pada pulang. Tinggal Arel, Rendi, sama Andi, tuh, di pinggir kolam.”

“Oh. Gue pamit, deh, ya. Udah ditelepon nyokap suruh pulang.” Sandrina ke tempatnya menaruh tas dan juga hoodie-nya. Ia berpamitan sama yang lain, dan Arel langsung berdiri.

“Gue anter, kebetulan gue mau ke rumah Deandra.”

“Nggak usah. Gue udah pesen taksi online, kok.”

“Nggak apa-apa lagi, San. Biar nggak kena macet,” timpal Indri, dan diiyakan oleh Rendi dan Andi.

“Batalin.” Arel langsung merebut ponsel Sandrina dan membatalkan pesanannya.

Sandrina terkejut atas aksi Arel yang merebut paksa ponselnya. Ia belum mengatakan keputusannya, dan Arel langsung membatalkan pesanannya. Apa yang akan ia katakan pada Deandra nanti jika sekutunya mengetahui ia akan diantar pulang oleh Arel.

Keputusannya sudah tepat. Ia tidak mau hubungannya dengan Deandra hancur hanya gara-gara cowok.

Ia tidak akan merebut Arel dari Deandra, juga tidak akan menjadi orang ketiga dalam hubungan sepupunya. Sandrina sangat anti dengan label perusak hubungan orang, terlebih jadi orang ketiga.

‘Nih.” Arel memberikan ponsel Sandrina, dan mengambil tas kecil yang selalu ia bawa ke manapun pergi. “Ayo!” Arel berpamitan pada Indri setelah mengagetkan Sandrina yang melamun.

“Nyokap udah telepon lagi. Bisa ngebut nggak entar?” tanya Sandrina setelah melihat ponselnya menyala dan menggeser tombol merah pada ponselnya. Ia mengetik pesan pada Mamanya.  

“Bisa.” Arel langsung menggandeng tangan Sandrina setelah dia memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Indri, Andi, dan Rendi langsung mengedipkan mata dan tersenyum melihat itu. Mereka yakin jika Arel masih ada rasa meskipun sudah memiliki Deandra. Mereka yakin jika Arel memacari Deandra agar bisa sedikit lebih dekat dengan Sandrina.

Saat akan menjalankan motornya, Arel sudah berpesan agar Sandrina berpegangan pada dirinya, tapi pesannya tidak digubris malah memegang handle belakangnya. Alhasil, tubuh Sandrina jadi terlalu mepet ke tubuh Arel saat tidak sengaja menabrak lubang di jalan.

Tubuh Arel yang didesak dari belakang membuatnya sulit untuk memegang setang dan kakinya jadi terasa kebas. Sandrina langsung memegang pinggang Arel dan sedikit memundurkan duduknya.

“Maaf,” ucap Sandrina pelan. Arel hanya tersenyum meskipun yang di belakang tidak mengetahui raut wajahnya.

Senyum yang membuat cewek kelepek-kelepek. Senyum yang membuat para mantannya selalu menatapnya tanpa berkedip. Lesung pipit terlukis jelas di wajahnya kala senyum itu muncul.

Hanya seperti ini saja bisa membuat Arel merasa bahagia. Ia rela menjadi tukang ojek tanpa bayaran asal bisa berduaan terus sama Sandrina. Berharap jadi nyata rasanya tidak mungkin, Arel hanya bisa memimpikannya. Tidak mungkin dirinya akan mengkhianati Deandra selagi dia masih baik-baik saja pada Sandrina.

Setiba di gerbang rumah Sandrina, ia melepas helm dan tidak lupa mengucap terima kasih. Sandrina langsung masuk dan tidak menawarkan Arel untuk mampir.

Shita berdiri mondar mandir menunggu sang anak pulang sambil memegang ponselnya. melihat Sandrina memasuki rumah, ia langsung berjalan mendekat.

“Kenapa, Ma?”

“Perusahaan papamu mengalami rugi besar, San.”



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top