8 ~ Cinderella

“Pagi, Om, Tante,” sapa Deandra yang sudah menyambangi rumah Sandrina pagi-pagi begini.

“Pagi, De. Udah sarapan? Sini, sarapan dulu.” Shita mengajak Deandra untuk duduk di samping Sandrina dan sarapan bersama.

“Iya, Tante.”

“Nih!” Sandrina memberikan selai roti yang ada di depan Mamanya.

“Makasih. Gue bareng lo, ya, soalnya Bang Jean biasa, nggak bisa nganter.” Deandra memasukkan rotinya ke dalam mulut.

“Iya.”

“Ke sini saja, De, kalau abangmu atau mang Slamet tidak bisa mengantar. Soalnya belakangan ini papamu lagi sibuk di kantor. Otomatis mang Slamet sudah berangkat pagi-pagi buta.” Rian menghabiskan suapan terakhirnya. Ia bersiap untuk ke kantor bersama dengan sang istri.

“Mama berangkat dulu, ya, Sayang.” Shita mencium pipi Sandrina, lalu berjalan lebih dulu untuk mengambil tasnya di sofa depan.

“Nana, jangan lupa kata Wisnu untuk belajar yang rajin biar bisa menyusulnya ke Jerman.” Rian mencium pucuk kepala Sandrina.

“Iya, Pa.”

“Eh, San, keren juga, ya, Wisnu. Bisa kuliah di Jerman dengan beasiswa. Pinter banget, gila.”

Deandra jadi membayangkan saat di mobil Wisnu, ia menanyakan siapa cowok di sebelah Sandrina yang terlihat seperti pendamping senam dari porsi badannya. Sandrina menjawab jika Wisnu adalah sepupunya dari keluarga Mamanya. Sandrina mengenalkan Wisnu pada Deandra. Cowok itu terlihat sangat bugar dan juga... tampan.

“Wisnu.” Wisnu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya lebih dulu. Itu membuat Deandra speechless. Cowok ramah, muka tampan, badan bak iklan L-Man, murah senyum. Banyak pujian yang ia batin untuk cowok di depannya.

“Deandra, sepupu Sandrina dari papanya.” 
Deandra pun berbisik pada Sandrina setelah berkenalan dengan Wisnu. "Kalo gue belum punya pacar, udah gue gebet, tuh, sepupu lo. Gans, Cuy."  Sandrina hanya tersenyum.

“Ya, gitu.” Sandrina merapikan makannya, lalu bersiap untuk berangkat sekolah.

Pagi ini, dengan suasana hati yang sudah tenang karena gosip beberapa hari yang lalu sudah meredup, Sandrina bersenandung selama di mobil. Deandra juga terlihat asyik dengan ponselnya hingga hanya suara deru mobil yang berjalan mengelilingi kota Metropolitan yang terdengar.

Selama dua puluh menit sampai di sekolah, Sandrina turun terlebih dahulu setelah mengucap kata terima kasih pada Mang Udin. Disusul Deandra di belakangnya setelah memasukkan ponsel ke dalam saku roknya.

“De, kok, sama Sandrina? Bukannya dia yang nyoba ngerebut Arel dari lo?” tanya Nita penasaran dengan kelakuan Deandra yang masih saja baik pada orang yang sudah merebut pacarnya.

Ternyata gosip yang sudah beberapa hari berlalu, kini terdengar lagi di telinga Sandrina. Mungkin murid di sini kekurangan tugas, sehingga gosip murahan seperti ini masih mereka gibahkan.

“Apaan, sih, lo. Dia nggak kayak gitu lagi. Ya, kan, Na?” Deandra merangkul Sandrina sambil tersenyum. Yang dirangkulnya hanya menarik ujung bibirnya saja.

“Bukannya gosip itu emang dari elo, ya, De? Waktu itu lo bilang sendiri buat nyuruh gue nyebarin. Kok, lo malah baikan sama Sandrina?” Chika tampak heran dengan kelakuan teman satu kelasnya itu. Dia yang menyuruh Chika untuk menyebarkan gosip yang dibuatnya sendiri agar seolah-olah gosip itu bukan dari Deandra, melainkan orang lain.

Deandra langsung membungkam mulut Chika saat membongkar rahasianya. Sudah dikatakan jangan menyebut namanya jika menyebarkan gosip yang ia suruh, malah disebut saat di depan Sandrina. Cewek bergigi gingsul itu terlihat kelabakan dengan kesalahannya sendiri saat melihat Sandrina masih menatapnya dengan mata terkejut.

Mereka masih berada di pinggir lapangan upacara, sehingga suara Chika didengar murid yang baru tiba, juga oleh Noval dan Arel. Ternyata selama ini yang membuat gosip adalah Deandra. Banyak pasang mata yang melihat mereka di tengah lapangan hingga terdengar bisik-bisik jika Deandra terlalu cemburu pada Sandrina karena menjadi sepasang kekasih dalam ekstra kurikuler.

Benar kata orang, apabila kamu kehilangan sesuatu yang wajib dicurigai adalah orang terdekatmu karena yang berpotensi mengambil milikmu adalah orang yang mengenalmu.

"Bukan gitu, Na. Gue bisa jelasin," ucap Deandra gelagapan.

Sandrina langsung melepaskan tangan Deandra, dan berlalu begitu saja mengabaikan panggilannya.

Ini bukan sekali dua kali Deandra berbuat demikian. Dulu, saat masih berada di sekolah pertama, Deandra pernah membuat ulah dengan mengkambing hitamkan Sandrina. Ia dituduh mengambil bolpoin yang berada di kantin sekolah. Juga saat berada di kantin, Deandra memesan bakso dengan nama pemesan Sandrina karena dirinya lupa membawa uang saku. Masih banyak hal yang membuat Sandrina mengelus dada atas kelakuannya itu. Ternyata hingga kini masih diulang lagi.

“De.” Arel menarik tangan Deandra, dan menghentikan langkahnya. Lalu Arel menoleh pada Noval. “Lo duluan aja, Val. Gue ada urusan sama Deandra.”  

“Ok.” Noval berlalu, ia tidak ingin mencampuri urusan Arel jika tidak diminta untuk membantunya. Arel menoleh pada Deandra dan menatapnya lagi.

“Lo tau, kan, akibat dari perbuatan lo? Bukan cuma persaudaraan kalian yang bakal hancur, tapi rasa percaya Sandrina ke elo bakalan ilang. Semua tergantikan sama kecewa. Kalaupun Sandrina masih baik ke lo itu mungkin karena hubungan saudara kalian, selebihnya adalah rasa kecewa.”

Arel tahu jika perbuatan ini adalah ulah Deandra. Ia menanyakan pada Deandra tempo hari dan dia masih belum mengakui. Ia bilang dengar dari temannya. Meskipun Arel sudah memaksanya untuk mengaku, tapi tetap saja Deandra tidak mengaku.

“Lo mau belain dia? Salah gue apa, sih, Rel? Gue nggak ngapa-ngapain aja lo begini, gimana kalo gue bertindak?”
Arel membawa Deandra menepi dari keramaian karena suasana sekolah mulai berdatangan para penghuninya.  Sepuluh menit lagi bel sekolah akan berbunyi, Arel mengucapkan hal yang membuat Deandra menutup mulutnya rapat-rapat.

“Kalo sampe gue denger gosip murahan lagi tentang Sandrina dari lo, atau lo pembuatnya. Gue rasa kita harus jalan masing-masing. Gue nggak mau punya cewek yang suka nyakitin orang lain, terlebih sepupunya sendiri. Gimana sama anaknya nanti?”

Deandra menelan ludah mendengar kalimat yang Arel ucapkan. Ia tidak menyangka Arel akan membela Sandrina hingga mempertaruhkan hubungan mereka.

Apa hebatnya, sih, Sandrina? Lebih cantik gue daripada dia. Kata itu hanya bisa terucap di dalam hati Deandra, ia tidak berani mengucap langsung di depan Arel karena hubungan mereka yang akan menjadi taruhannya. Deandra sudah menantikan hubungan ini sejak mereka kelas sepuluh, kesempatan ini tidak mungkin akan Deandra sia-siakan.

“Apa untungnya coba gosipin Sandrina? Gue udah punya elo yang setiap hari bikin jantung gue kayak ruang disko, juga bikin hari-hari gue sibuk mikirin elo,” ucap Deandra sambil membentuk dua jari. “Ke kelas, yuk! Bentar lagi bel.” Deandra menggamit jemari Arel, mengajaknya ke gedung lantai tiga.

Deandra terus tersenyum, menampilkan gigi gingsulnya yang putih. Berjalan bersisian dengan Arel. Ia tampak bahagia karena ucapan Arel yang terakhir. Ia ingin menjadi cewek yang disukai Arel.

“Masuk kelas sana! Belajar yang rajin.” Arel mengantar Deandra hingga depan pintu, usapan di pucuk rambut tidak lupa Arel sematkan agar Deandra tahu jika Arel memang pacarnya.

Arel pun berlalu menuju kelasnya sambil bersenanndung pelan, menikmati pagi hari saat mentari menyinari bumi.

Baru saja mendudukkan bokongnya ke kursi, ia dipanggil oleh Bu Hani. “Rel.”

Arel menatap ke sumber suara, dilihatnya guru kesenian yang juga pembimbingnya di teater. “Iya, Bu?” Arel berjalan mendekat.

“Kita latihan sekarang, karena minggu depan sudah ulang tahun sekolah. Saatnya menunjukkan dramamu.”

“Tapi nanti pelajarannya?”

“Ibu sudah meminta izin gurumu yang mengajar hari ini. Untuk hari ini saja, karena ibu ingin tahu, sejauh mana kalian sudah mendalami perannya. Ayo!”

“Baik.” Arel mengikuti di belakang Bu Hani.

“Nanti kamu yang manggil Sandrina sama teman-temannya ya! Ibu mau memanggil tim Rakyat Jelata di kelas sepuluh.”

“Iya.”

Mereka berpisah di lantai dua. Arel langsung ke kelas Sandrina sambil mengajak Indri, Bela, Rina, Rendi, Andi dan juga Sila yang berada di kelas sebelah Sandrina.

“San, ntar pulang sekolah kita belanja bahan buat rias sekolah, ya!” Rendi menyejajarkan langkahnya dengan Sandrina dan Bela. Arel mengamatinya dari belakang.

“Eh, emang harus sekarang?”

Indri yang berjalan di depan menoleh. “Iya lah, San. Masa tahun depan.”

“Bukan. Maksud gue, gue harus ikut? Gue ada janji sama nyokap ntar sore.”

“Ntar gue anterin pulangnya, gimana? Biar lo bisa ikut pergi sama temen-temen lo dulu. Itu juga kalo lo mau.” Arel tiba-tiba menjawab pertanyaan Sandrina. Ia tidak tega jika sepupu pacarnya harus memilih antara ikut temannya atau nyokapnya.

“Ide bagus, tuh.” Bela merangkul lengan Sandrina dan mengedipkan kedua mata padanya. “Daripada lo nggak ikut kami, kan, ide Arel bagus.”

“Cewek lo cemburu, nggak?” Rendi menengahi. Ia tidak mau teman baiknya menjadi sasaran empuk para news-tizen di sekolah yang membela Deandra.

“Enggak bakal. Ntar gue ke rumah dia seabis nganter Sandrina.” Arel menatap Sandrina penuh harap saat mereka sudah duduk di ruang teater.

“Ntar lo yang nganter aja, Ren,” putusnya.
Arel yang mendengar jawaban Sandrina terlihat kecewa. Sangat susah untuk bisa mendekat pada Sandrina saat dirinya sudah memiliki Deandra. Yang Arel mau adalah mereka bisa berteman baik, tidak lebih. Apalagi setelah ada gosip yang membuat Sandrina kecewa pada Deandra, hingga dia menjaga jarak dengan Arel.

“Oke. Gue juga nggak bakal khianatin dia kalo dia nggak macem-macem. Pegang omongan gue!” Arel menatap Sandrina.

Barengan dengan Arel mengucap, Bu Hani masuk ruangan bersama dengan tim Rakyat Jelata. Di dalam itu ada dua ruangan. Ruangan Bunga yang kini tempati Arel dan teman-temannya, sedangkan tim Rakyat Jelata akan berlatih di ruangan Pohon dengan pintu yang saling terhubung.

“Ayo bentuk formasi kalian. Ibu akan lihat bagaimana lakon kalian dalam drama ini. Yang kurang masih bisa diperbaiki.”

Mereka berdiri sesuai perannya masing-masing. Ruangan itu sudah didesain sesuai dengan peran mereka, yaitu Cindrella. Balkon buatan untuk peran Cinderella, juga ruang utama seperti ruang tamu untuk saudara tirinya, depan balkon yang merupakan area bawah panggung tempat Pangeran berada.

Arel yang sebagai Pangeran membawa satu buah sepatu kaca yang akan dipasangkan ke setiap wanita yang hadir di pestanya. Namun, sepatu itu tidak ada yang cocok dengan kaki mereka.

Tinggal satu rumah yang belum Pangeran datangi, yaitu rumah megah yang berada di ujung. Setelah mengetuk pintu, dua perempuan cantik membuka pintu sambil tersenyum, Anastasia dan Drizella. Pangeran langsung masuk, dan melihat sekeliling rumah. Di sana, ada Tremaine, ibu dari Anastasia dan Drizella. Pangeran memakaikan sepatu kaca, tapi tidak muat saat memasukkan kakinya.

Pangeran melihat seisi ruangan, dilihatnya perempuan yang memakai gaun selutut berwarna biru tua. Anastasia dan Drizella membenci hal ini.

Hal yang membuat saudara tiri itu merasa tak diacuhkan, tidak dianggap ada, juga tidak dihargai keberadaannya saat Cinderella terlihat di depan mata Pangeran. Padahal Tremaine sudah menyuruh Cinderella untuk bersembunyi di kamarnya, dan jangan keluar jika tidak disuruh.

Ucapan tinggal lah ucapan. Kini pangeran sudah mengetahui keberadaan Cinderella. “Bolehkah saya memasangkan sepatu ini ke kakimu? Saya hanya ingin memastikan jika sepatu ini pas untuk kakimu.”

Ragu-ragu Cinderella memajukan kakinya yang telah dipegang pangeran. Ia tidak melihat ke arah saudara tirinya, melainkan ke arah kakinya yang dipegang Pangeran.

Dan ternyata....

Sepatu itu pas. Pangeran tersenyum senang melihat sepatunya pas di kaki Cinderella. Tidak untuk Tremaine dan juga kedua saudara tirinya. Mereka mencebikkan bibir dan menggerutu saat Pangeran telah menemukan pemilik sepatu itu.

“Maukah kau menikah denganku?” Pangeran berlutut di depan Cinderella dengan mencium tangannya.

Anastasia dan Drizella terkejut melihat perlakuan Pangeran pada Cinderella. Harusnya mereka yang berada di posisi Cinderella saat ini. Hingga Bu Hani mengucap kata stop untuk mengakhiri latihan drama siang ini, dengan tepukan yang meriah. Para pemain pun menghentikan perannya, dan berkumpul ke arah Bu Hani.

“Udah bagus akting kalian. Semoga bertahan hingga nanti pas ulang tahun sekolah, ya!”

 “Siap, Bu.” Rendi menjawabnya dengan semangat, disusul yang lain menarik lengannya ke atas sambil berucap, “Sukses untuk kita semua.”

“Saya suka semangat kalian untuk menampilkan yang terbaik untuk sekolah kita. Kalian istirahat dulu, Ibu mau ke ruang pohon dulu.” Bu Hani undur diri setelah puas melihat pentas Cinderella.

Setelah pintu tertutup, Arel langsung mendekat ke Sandrina saat di depan panggung pelatihan. Cewek dengan rambut sebahu itu sedang berbicara dengan Bela dan Indri. “San.”

Indri dan Bela saling menyikut dan Arel menyadari hal itu. “Kita duluan, ya, San,” pamit Indri.

“Duluan, ya, San, Rel.” Yang dipamiti pun mengangguk dan Bela melangkah bersama Indri.

“Ada apa?” Sandrina menatap Arel yang tersenyum manis padanya. Senyum yang membuat para cewek sangat mendambanya, tapi tidak bagi Sandrina.

“Gue tadi naruh roti di tas lo. Sorry, kalo buka-buka tas tanpa izin. Jangan lupa dimakan! Gue pulang dulu.” Sandrina langsung membuka tasnya saat Arel sudah menjauh beberapa langkah setelah mengucapkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top