14 ~ Ending

Seperti biasa, Sandrina berangkat sekolah dengan seragam rapi. Tak lupa membawa topi untuk upacara. Meneliti perlengkapan seragamnya lagi, agar tidak dihukum saat upacara berjalan nanti. “Oke. Udah rapi, lengkap. Saatnya berangkat,” ucapnya pada diri sendiri setelah bercermin.

“Non, ada Mas Arel di depan.” Mbak mengatakan dari balik pintu kamar yang masih tertutup.

“Iya, Mbak.” Sandrina langsung turun untuk menemui Arel.
Pagi-pagi Rian sudah bersiap untuk hadir ke kepolisian. Shita membantunya menyiapkan segala bukti yang ada di atas meja.

“Pagi Ma, Pa. Sandrina nggak sarapan, ya. Udah ditungguin temen di depan.” Setelah berpamitan, Sandrina berjalan ke depan.

“Nih,” Arel memberikan helmnya saat Sandrina sudah di depannya.

“Ngapain jemput? Yang ada nanti satu sekolah ngomongin kamu yang enggak-enggak, setelah papa Deandra dipenjara, lo deket sama gue.” Sandrina memakai helmnya.

“Ngapain peduliin omongan orang? Hidup nggak ngerepotin mereka, kok. Yang penting nggak ngerugiin mereka.”

Perjalanan diwarnai keheningan. Sandrina tidak berniat untuk mengajak Arel ngobrol. Ia lebih memilih mendiamkannya untuk mengingat bagaimana sikap Deandra selama ini padanya.

“San, lo deket sama Arel, ‘kan? Salam buat dia, ya?”

“Lo deket sama Arel di Teater, ‘kan? Nitip surat buat dia, ya?”

“San, minta tolong, ya. Nanti kasihin suratnya.”

“Eh, San. Lo jadi Cinderella, ya, di Teater? Gue denger Arel yang jadi Pangerannya? Jangan baper sama peran lo. Ada gue yang jadi ceweknya.”

“Gue seneng banget seharian jalan sama Arel kemarin. Dia beliin gue boneka gede banget, belum lagi beli barang yang kecil-kecilnya. Sampe nggak bisa bawanya.”

Dan masih banyak cerita dari Deandra tentang Arel yang membuat Sandrina hanya tersenyum kaku saat itu. Sandrina sudah merelakan Arel untuk sepupunya, tetapi Arel tidak bisa.

Arel tidak bisa membohongi dirinya sendiri perihal perasaannya. Perasaan yang ia tujukan untuk Sandrina. Segenap hati hanya untuk Sandrina.

“Udah sampe. Lo nggak mau turun?” Arel sudah mematikan motornya, dan berdiri di depannya.

“Hah?” Sandrina celingukan melihat kanan kiri sudah banyak murid yang datang.

Suara yang Sandrina benci. Cuitan tentang Sandrina yang mengambil Arel dari sepupunya, tentang Arel yang tidak setia pada Deandra, juga tidak sedikit yang mendukung hubungan Sandrina dengan Arel.

Berlaku bodo amat, Sandrina terus berjalan menuju kelasnya.

Baru saja mendudukkan bokongnya, sudah banyak serangan dari teman-temannya yang menanyakan tentang kabar Deandra.

“San, lo harus cerita dari awal sampe akhir tentang kabar bokapnya Deandra.” Indri tampak paling semangat mendengar hal ini.

Bela juga mendekat. “Deandra nggak masuk, mungkin malu kali bokapnya ditangkep polisi. Lo harus cerita dari awal sampe akhir, lo deket sama Arel.” Ia tidak kalah semangat dari Indri.

Sheina tiba-tiba datang tepat saat Sandrina akan menceritakan awal mulanya. “San,” teriaknya dari pintu. Ia baru saja datang saat bel berbunyi. Semua menoleh ke arah pintu. “Lo harus ceritain semuanya. Sekarang!”

“Lo dateng-dateng berisik. Ini Sandrina mau cerita kepotong gara-gara lo dateng.” Bela mencibir.

“Gue bakal cerita, tapi lo diem semua.” Sandrina menampakkan wajah seriusnya.

“Iya,” jawab semuanya. Para murid di kelas IPS1 memasang telinga mereka dengan seksama agar tidak terlewat satu kata pun.

“Awalnya gue nggak tau berita itu. Lo tau sendiri, kan, gue saat itu lagi pentas. Tau-tau Bu Hani nyuruh gue pulang. Gue juga nggak sempet megang hape karena Arel buru-buru. Pas sampe rumah, mama cuma bilang kalo bokapnya Sandrina ditangkap polisi. Udah itu doang.” Tidak mungkin Sandrina menceritakan keburukan pamannya. Bagaimanapun juga dia adalah bagian dari keluarga besarnya.

“Tapi, yang gue denger dan baca di berita, bokapnya Sandrina korupsi, ya?” tebak Sheina terlihat lebih antusias.

“Hah? Gue yang keponakannya aja nggak tau. Nyokap juga nggak bilang apa-apa. Anak sekolah ngurusin mata pelajaran aja, jangan ngurusin urusan orang dewasa kata nyokap gue.” Sandrina membuka tasnya. “Udah, ah. Sana balik ke meja kalian! Tuh, Pak Jo udah dateng.”

Akhirnya mereka kembali ke meja masing-masing. Hari ini upacara ditiadakan karena ada hari nasional nanti hari Kamis. Sandrina melupakan itu.

“San, jawab jujur! Lo nggak mungkin nggak tau, kan, masalah bokap Deandra?”

Indri masih saja menanyai Sandrina. Sandrina tahu jika ia berbohong, Indri akan mengetahuinya karena mereka sudah berteman sejak dari sekolah pertama.  

Jam berjalan dengan cepat, Sandrina berjalan ke kantin bersama Indri. Tiba di sana, Nindi dan Adis masih terlihat enggan untuk bertegur sapa. Gosip yang beredar pun membuat telinga Sandrina sakit karena dihubungkan dengan status hubungan Deandra, Sandrina dan Arel.

Sandrina sebagai perebut lah, sebagai pelakor lah. Banyak juga yang mendukungnya untuk bersama dengan Arel. Arel tidak pantas bersama Deandra.

Hal ini membuat Sandrina memutuskan untuk membenarkan keadaan yang sebenarnya, tepat saat Arel tiba-tiba berjalan dari arah berlawanan dan menggenggam tangannya di depan kantin.

Sandrina berbalik, menatap Arel yang menatapnya intens.
“Di sini, banyak orang yang ngira gue sama Deandra putus karena masalah bokapnya. Yang kalian denger, kalian lihat kemarin saat Nindi dan Adis ngelabrak Sandrina itu cuma sandiwara atau gimana? Kalo kalian ada diposisi gue? Apa yang bakal kalian lakuin saat tau cewek kalian jadi tukang bully? Kalian nggak mau anak-anak kalian nanti ngikutin emaknya yang perundung, ‘kan?” Arel mensejajarkan dirinya dengan Sandrina.

“Gue di sini mau jujur biar kalian nggak nganggep Sandrina sebagai orang ketiga dihubungan gue sama Deandra.” Arel menatap Nindi dan Adis bergantian.

“Gue jadian sama Deandra itu karena Sandrina.”

Jantung Sandrina sudah berdegup kencang. Ia merasakan udara semakin sesak saat Arel mulai membicarakan hubungan antara dirinya dengan Arel selama ini. Terlebih tentang perasaannya.

Semua pasang mata ada yang terkejut dan tidak sedikit yang siap-siap pasang telinga saat Arel mengungkapkan perasaannya. Mentari yang membakar bumi sama seperti semangat Arel yang membakar hatinya untuk mengungkap kebenaran.

“Kok, bisa?”

“Udah ketebak dari cara Arel ngebela Sandrina kemarin, sih.”

“Kasian Sandrina apa Deandra, nih, jadinya?”

Dan masih banyak terdengar bisik-bisik yang membuat Arel ingin segera menjelaskan semuanya.

“Gue nggak maksa kalian buat dengerin sampe gue kelar ngomong, yang pasti gue bakal jujur sama perasaan gue selama ini. Intinya gue tertekan saat Sandrina nyuruh gue buat jadian sama sepupunya, yang katanya dia suka sama gue sejak Sandrina kelas satu.”

“Itu emang bener, gue saksinya.” Nindi menyela ucapan Arel, sambil melirik Sandrina. Ia melayangkan tatapan permusuhan.

“Oh. Jadi, di sini, udah ketahuan kalo emang Deandra yang ngerebut gue dari Sandrina karena ucapan lo barusan.”

“Kok?”

“Gue udah jadian sama Sandrina saat Sandrina lulus sekolah pertama, dan masuk ke sekolah ini adalah saran dari gue. Itu kenapa gue selalu melindungi dia dari saat MOS dulu. cuma, Sandrina nggak kepengen ngumbar yang dia sendiri merasa ini adalah aib dia karena punya cowok saat masih SMP. Gue masih setuju karena ucapan dia ada benarnya.

“Gue juga nggak terlalu pusing sama kemauan Sandrina. Tapi, setelah Sandrina bilang kalo Deandra suka sama gue, saat itu gue nggak terima karena bukan dia yang gue mau, tapi hubungan gue sama Sandrina terungkap. Bukan malah semakin ditutupi. Di sini, gue rasa lo berdua... bukan cuma lo berdua, sih, tapi kalian semua yang di sini tau kalo Sandrina emang cewek gue dari awal.”

“Wah, lo nggak cerita sama gue, San.” Indri menyenggol lengan Sandrina.

“Gila... dua tahun nyembunyiin hubungan. Udah kayak artis Korea aja lo, San. Jago banget nutupin hubungan.”

“Kalo gue jadi Arel, sih, nggak sanggup nyembunyiin selama itu.”

Dan masih banyak lagi celotehan dari mereka, termasuk Nindi dan Adis yang membuka mulutnya lebar-lebar. Mereka sama terkejutnya dengan yang lain. tidak menyangka jika selama ini mereka telah berpacaran.

Waaahhh....

Sungguh di luar dugaan, batin Nindi. Ia langsung menarik tangan Adis dan berlalu dari kantin, menuju kelas mereka.

“Wah... selamat, San. Akhirnya kalian ngumumin rahasia yang selama ini lo pendem sama Arel.” Indri langsung memeluk Sandrina hingga pegangan tangan Arel terlepas, Bela tidak mau kalah, juga memeluk mereka.


Ending

Makasih buat Biger yang mau membaca cerita ini

See you on next my project

Pupuy . . .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top