1. Tepiskan Prasangka
Aku Terperanjat. Suara ponsel berdering. Ternyata aku ketiduran. Pandanganku sedikit kabur, aku mengusap wajah sebelum mengambil ponsel yang berada di sampingku. Di sana tertera nama, Dilla. Sahabat baikku.
"Hallo."
"Chubby. Kamu belum tidur, kan?"
Aku tersenyum mendengar suaranya yang khas ketika menyebut panggilan yang disematkan khusus untukku.
"Iya. Kamu juga?" tanyaku.
Terdengar Dilla menghela napas pelan, "Gerah sekali. Kak Arfan sudah pulang?" tanyanya.
Aku menarik napas. Mataku melirik jam dinding. Sudah hampir jam sembilan malam dan suamiku belum juga pulang. Lembur kerja. Ini bukan kali pertamanya. Sudah hampir sebulan lamanya.
"Belum. Lembur la—"
"Lagi?" Dilla memotong kalimatku. "Besok aku akan marahin Kak Arfan. Kalian itu baru saja kembali, masa sudah sibuk kerja? Urusin istri dong," ujarnya terdengar berapi-api.
Aku tersenyum. Dilla masih seperti dulu. "Enggak apa-apa. Namanya juga nyari nafkah."
"Tapi, ngapain lembur terus? Harta itu enggak dibawa mati. Aku laporkan ke Mama mertua kamu juga, nih." Aku membayangkan wajah Dilla yang sedang mengomel di seberang sana.
Kami pun mengobrol lama. Sampai akhirnya, aku mendengar suara mobil yang masuk ke pekarangan. Aku segera berlari ke arah jendela. Mengintip keluar. Walaupun harusnya sudah tahu siapa yang datang. Tetap saja aku ingin melakukannya.
"Dilla. Sudah dulu. Suamiku pulang. Lagipula Bumil enggak boleh bergadang. Tidur," ucapku sebelum menutup sambungan telepon.
Setengah berlari, aku menuju ruang tamu. Namun, kalah cepat. Pintu sudah terbuka. Tubuh tinggi itu berjalan gontai. Dasi yang tadi pagi terpasang rapi, tidak ada lagi. Begitu pula dengan jas yang aku pakaikan padanya.
"Mau mandi atau makan dulu?"
Ia tampak terkejut. "Kenapa belum tidur?"
Aku tersenyum. "Nunggu suamiku pulang." Aku segera mengambil jas yang menyampai di lengan kirinya. "Hari ini banyak kerjaan? Tanyaku lagi?
Ia hanya mengangguk.
Kami berjalan menuju kamar tidur. Aku menahannya sebelum masuk. Ia menatapku heran. Aku pun menunjuk ke bawah. "Sepatunya lepas dulu."
"Lupa," ujarnya tertawa kecil.
Aku mengajaknya duduk di ruang tengah. Ia sibuk membuka sepatu. Sebenarnya, hal tersebut sudah akan aku lakukan, tapi ditolak. Suamiku tidak pernah mau jika aku hendak membukakan sepatu yang dipakainya. Seperti sekarang ini.
"Mandi atau makan?" tanyaku kembali.
"Mandi." jawabnya singkat sambil melepaskan kaus kakinya. "Ada mi instan?" tanyanya. Kali ini menatapku.
"Ada. Mau?" Aku melihatnya mengangguk.
Aku pun segera pergi ke dapur untuk memasak mi instan. Sementara suamiku pergi mandi. Aku mengambil mi yang berada di lemari. Satu sudah cukup. Lalu, aku mengambil telur dan sayuran. Aku melihat cabe rawit. Tanganku sudah terulur untuk mengambilnya. Namun urung, suamiku tidak suka pedas.
Tepat saat mi selesai dimasak, ia muncul. Rambutnya basah. Tanpa berbicara, ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Hanya satu?" tanyanya ketika melihat satu mangkuk yang berada di atas meja.
"Aku sudah makan tadi. Masih kenyang," jawabku.
Ia mendaratkan satu ciuman di pipi. Kemudian melepaskan tangannya dari pinggangku, lalu duduk di kursi makan. Aku pun duduk di depannya.
Ia makan dengan lahap. Sepertinya memang belum makan malam. Tidak perlu lama baginya untuk memindahkan isi mangkuk ke dalam perutnya. Setelah merasa kenyang, ia mengajakku ke kamar tidur. Kami tidak tidur.
Hanya menonton TV.
Kami duduk sampingan di atas karpet, bersandar pada ujung tempat tidur. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia memelukku. Hangat. Aku juga mencium wangi sabun yang masih samar-samar tercium dari tubuhnya.
"Maaf."
"Untuk apa?"
Aku mendongakkan kepala. Ia menatapku. Sekilas tersenyum. Lalu, mendaratkan satu kecupan di keningku. "Kenapa minta maaf?" tanyaku lagi.
Ia mengalihkan pandangannya ke layar TV. "Kamu harus bergadang karena nunggu aku pulang. Banyak hal yang harus aku urus," ujarnya.
Aku memeluknya. "Enggak perlu minta maaf. Kamu kan kerja."
Ada sesuatu yang menelusup ke dalam hatiku. Mataku mungkin melihat kea rah TV, tapi pikiranku sedang terbang ke sana sini. Ia terus bercerita tentang pekerjaannya di kantor.
"Nah, begitu. Lucu kan, Yang?"
"Eh, apa tadi?" Ketahuan sudah kalau aku melamun dan tidak mendengarkan ceritanya.
Ia menatapku lekat. "Lagi mikirin apa?" Telapak tangan kirinya mengelus lembut rambutku. "Kesal karena aku lembur terus?"
Aku menggeleng. Rasanya ingin segera menjawab pertanyaannya. Akan tetapi, seperti ada yang menyangkut di tenggorokanku. Tanpa sadar mataku pun rebas.
"Kamu nangis?" Ia tampak panik. "Sakit?"
Aku kembali menggeleng. "Maaf," ucapku pelan.
"Kamu itu sebenarnya kenapa? Apa aku sudah berbuat salah?" tanyanya lagi.
Aku memeluknya erat. Menumpahkan air mata di dadanya. Ia balsa memelukku tanpa bertanya lagi. Setelah puas menangis, aku mengangkat wajah. Disambut tatapan lembutnya.
"Maaf belum bisa memberikan keturunan."
Ia tersenyum, lantas kembali memelukku. "Enggak apa-apa. Mungkin memang belum waktunya. Kita terus berusaha dan berdoa."
"Tapi, pasti kamu juga sangat ingin segera punya penerus," ujarku sembari mengurai pelukannya.
"Kalau begitu, kita berusaha makin giat." Ia mengerling nakal.
Aku belum sempat menjawab ketika ia tanpa aba-aba menggendong tubuhku ke atas tempat tidur. Kemudian dengan sigap menarik selimut dan mematikan lampu.
"TV-nya belum," kataku. Dan ia tidak peduli.
Malam ini aku lewatkan sebagai seorang istri yang melakukan tugasnya.
Paginya kami bangun sedikit terlambat. Tak masalah karena hari ini akhir pekan. Sudah dari semalam ingin mengajak suamiku ke rumah orang tuanya yang berjarak hanya tiga blok saja.
Sekalian mengunjungi Dilla. Rumah sahabatku itu berada di blok yang sama dengan rumah mertuaku serta orangtuanya. Setelah menikah aku memang ikut suami pindah ke luar negeri dan ketika kembali langsung menempati rumah ini.
Sekitar jam sepuluh siang, kami tiba di rumah mertuaku. Kedatangan kami langsung disambut hangat. Terutama oleh Mama mertua. Suamiku ini anak tunggal yang sangat dimanja.
"Mama masak ayam panggang. Ayo kita makan," ajak Mama mertua.
"Kami sudah makan," tolak suamiku.
Raut wajah Mama mertua berubah masam. "Kamu itu tiap kali ditawari makan selalu jawab sudah makan."
"Memang begitu. Tadi kami sarapan di rumah," ujar suamiku tak mau kalah.
"Tapi, kan pasti lapar lagi. Makan sedikit saja lagi. Mama mau kalian coba masakan mama."
Ia sudah mau mendebat, tapi aku segera menyambar obrolan. "Pasti enak. Gia mau, Ma"
Kemudian kami pun menuju meja makan. Di sana memang tersedia ayam panggang. Wanginya menggugah selera. Sejenak aku lupa kalau sudah menghabiskan sepiring nasi goreng tadi.
Mama mertua tak berhenti tersenyum ketika kami sedang makan. Ia juga bercerita banyak hal. Sampai akhirnya satu ajakan terucap dari Mama mertua.
"Besok kita piknik."
"Ke mana, Ma?" tanyaku antusias.
"Bagaimana kalau ke Puncak? Mama pengin lagi jagung bakarnya. Di tempat yang kemarin," ujar Mama mertua.
"Ayo, Ma. Gia juga mau ke sana lagi."
Tiba-tiba Papa mertua muncul. "Masa ke sana lagi? Bosen. Minggu kemarin ke sana. Gantilah."
Mama mertua diam sejenak. Sepertinya sedang memikirkan tempat yang lain. "Kalau ke Bandung? Katanya ada destinasi wisata baru dibuka. Kita ke sana saja," usulnya.
Papa mertua mengacungkan jempol. Kemudian duduk di samping Mama mertua. "Papa setuju. Kita ke sana saja. Papa pengin peuyeum. Sama ubi Cilembu."
"Ubi Cilembu itu di Sumedang, Pa," koreksi Mama.
"Ya, kan bisa sekalian ke sana. Papa pengen dari tempat asalnya langsung," tambah Papa mertua.
"Oke. Siapa takut. Kita berangkat subuh kalau begitu. Mama siapkan bekalnya. Gia sayang, nanti temani Mama belanja, ya?" Aku mengangguk.
"Enggak. Mama enggak perlu meyiapkan bekal. Mubasir. Kemarin saja sisa banyak. Kita beli saja." Papa mertua melirikku. Ia minta dukungan atas pendapatnya.
"Iya, Ma. Kita beli saja. Enggak perlu bawa. Biar Mama enggak perlu repot-repot nyiapin bekal," kataku.
Aku menoleh sebentar kea rah samping tempat suamiku duduk. Sejak tadi ia sibuk dengan ponselnya. Entah sedang berbalas pesan dengan siapa. Padahal aku menunggunya angkat bicara.
"Kalau begitu sudah diputuskan, besok kita pergi ke Bandung," ucap Mama mertua.
Namun, siapa sangka jika suamiku tiba-tiba bicara yang membuat kami semua menatap padanya.
"Aku enggak bisa. Besok ada temu klien. Undur ke minggu depan."
Seperti bom yang dilemparkan. Meledak dan membuat semua orang tercengang. Terutama Mama mertua. Wajahnya tampak masam. Papa mertua juga hampir seperti itu.
"Kamu ada meeting di hari libur?" tanyaku dengan hati-hati.
Ia menyimpan ponselnya, menatapku sebentar. Kemudian menatap Mama dan Papa mertua secara bergantian. Lantas berkata, "Jadwal ketemu klien penting sudah ditentukan dari jauh hari. Jadi nggak bisa dibatalin."
"Masa kamu masih kerja di hari libur? Enggak bisa. Pokoknya besok rencana kita piknik harus jadi." Mama mertua menatap sebal pada suamiku. "Kamu juga keberatan kan?" ia mengalihkan tatapannya padaku.
Aku tersenyum. "Aku enggak apa-apa kok, Ma. Kalau itu penting."
Bohong. Aku kecewa.
"Maaf, Yang. Lain kali kita pergi ke sana," kata suamiku yang aku jawab dengan senyum. Semoga tidak terlihat kalau itu dipaksakan.
"Kamu itu, Arfan. Jangan jadi workaholic. Papa enggak suka. Waktunya libur habiskan dengan keluarga bukan kerja."
Terdengar seperti ultimatum kalimat yang Papa mertua ucapakan. Suamiku diam. Aku pun sama. Hanya menatap Mama dan dan Papa mertua yang pergi meninggalkan kami dengan wajah kesal.
TBC
Bidukku Goyah, pureagiest ©2023
All right reserve || 21 November 2023 || 15. 54 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top