Biduk Cinta Di Sungai Musi

Siapa pun yang meminum air Sungai Musi pasti akan kembali ke Palembang. Katakanlah itu mitos yang beredar di kalangan masyarakat, tetapi aku adalah perempuan modern yang tidak memercayai hal-hal semacam itu. Kalau memang mau datang, ya datang saja. Tidak perlu dikaitkan dengan mitos.

Namun, apa yang terjadi setelah kunjungan pertamaku tiga tahun lalu? Aku benar-benar kembali ke Palembang. Menyusuri jalanan di sekitar Sungai Musi sambil sesekali melihat Jembatan Ampera di kejauhan. Jembatan Megah yang membelah sungai itu dan menjadi ikon kebanggan masyarakatnya.

Aku masih melangkah pelan-pelan, memperhatikan orang lalu lalang yang sudah pasti menuju Kawasan Benteng Kuto Besak. Berjalan di antara kerumunan, aku jadi ingat momen pertama saat mengunjungi kota tertua ini.

Saat itu, aku bekerja sebagai staf di sebuah universitas swasta di Jakarta. Di sana aku mengenal Langit. Orangnya biasa saja. Tinggi, berkulit sawo matang, dan berusia tiga puluh tiga tahun. Dia adalah dosen yang menjabat sebagai Kaprodi di Fakultas Ilmu Komputer tempatnya mengajar. Dia juga dikenal sebagai pembuat aplikasi untuk berbagai keperluan. Hidup terlihat begitu mudah untuknya. Apalagi Langit juga sering dipanggil sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan pelatihan.

Beberapa kali kami pulang bersama karena kebetulan rumah kami searah. Lebih tepatnya, sih, aku numpang kendaraannya. Singkat kata, aku terpesona. Kepribadian Langit yang hangat membuatku merasa berbunga-bunga. Diambah kebiasaannya yang selalu mengingatkanku supaya tidak terlambat makan atau tidur. Memang hanya perhatian kecil, tetapi memiliki arti yang besar untukku.

"Kamu harus datang ke pernikahanku," ujar Langit. "Aku tidak mau tahu alasanmu, cukup kamu datang dan duduk. Biarkan aku membereskan sisanya."

Langit berkata dengan nada biasa saja pada suatu sore setelah sampai di rumah kost-ku. Aku jelas terkejut karena tidak menyangka akan mendengar ucapan itu. Namun, aku berhasil menyembunyikan rasa sedihku. Hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, bukan? Yang bisa kulakukan adalah menggigit bagian dalam bibir. Menahan supaya tidak ada air mata saat tahu pria pujaanku akan mengikat janji dengan perempuan lain.

Di usiaku yang tidak lagi muda, jelas ini kuanggap sebagai cobaan. Aku tidak pernah memiliki perasaan khusus kepada lawan jenis dan saat mengalaminya ... aku harus siap merasa kehilangan. Tadinya, aku ingin bercerita kalau orang tuaku ingin aku segera pulang. Ada pria yang melamarku dan mereka menerimanya. Aku mengerti kekhawatiran bapakku. Usiaku tiga puluh tahun lebih dan wajar jika beliau memilih pria mana pun yang telah melamar putrinya. Aku memang termasuk terlambat menikah. Teman-temanku sudah memiliki anak dan ada juga yang anaknya sudah lulus sekolah dasar.

Tak ada percakapan apa-apa setelah Langit mengundangku. Dia berlalu setelah aku turun dari mobil. Mau bersiap-siap untuk pulang, katanya. Aku akan menyusulnya dalam empat hari. Berharap ketika saat itu tiba, aku sudah bisa menata hatiku yang rasanya telah menjadi puing-puing. Bapakku tak berkata apa-apa, jadi kupikir aku akan pulang setelah menghadiri pernikahan Langit.

Hari itu pun tiba. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II tepat pada pukul sepuluh pagi. Setelah menyelesaikan urusan bagasi, aku melangkah menuju pintu keluar dan menemukan Langit sedang berdiri. Matanya sudah menemukanku, sementara senyum manis yang tak pernah gagal membuat jantungku berdebar lebih cepat itu sudah merekah di bibirnya.

Kulangkahkan kaki menuju ke arahnya. Dia juga melangkah ke arahku hingga kami bertemu dalam sapa yang manis. Terlalu manis karena saat ini aku merasa bahwa apa yang dia tampilkan adalah sesuatu yang lebih dari biasa. Aku tak tahu apa, tetapi di mataku Langit terlihat sangat berbeda.

Ada kebahagiaan terpancar dari wajah bersihnya. Tentu saja Langit bahagia karena akan melepas masa lajangnya dalam dua hari. Apalagi, dia berada dalam usia matang dan cukup mapan. Tentu semua merupakan pencapaian hidup yang diinginkan oleh siapa pun.

"Penerbanganmu menyenangkan?" sambutnya begitu kami berdiri berhadapan.

"Sangat," sahutku. "Mereka juga memberikan makanan kecil yang rasanya cocok di lidahku."

"Syukurlah kalau begitu." Langit mengambil alih koperku. "Ayo! Kurasa aku harus memberimu makan. Bagaimanapun, makan pempek terasa jauh lebih nikmat saat kamu nikmati di kota asalnya."

Sesampainya di mobil, aku memindai benda bagus yang pintunya sudah terbuka untukku. Aku mencari keberadaan seseorang yang kupikir pasti menemani Langit. Namun, sampai mataku kembali pada Langit, tetap tak kutemukan siapa pun.

"Cari siapa?" tanya Langit.

"Calon istrimu. Tidakkah dia merasa perlu untuk ikut denganmu?"

Meski sambil menahan sedih harus tetap kutanyakan. Semua harus terlihat wajar di mata Langit karena baginya aku hanyalah teman baik. Setidaknya kesan yang kuberikan adalah wajar mengingat kedatanganku adalah untuk menghadiri pernikahannya juga.

"Pikirkan saja dirimu," tukas Langit. "Penerbangan singkat tadi jelas tidak membuatmu merasa lelah. Bagaimana kalau aku mengantarmu jalan-jalan? Ke mana pun yang kamu mau, aku tidak keberatan."

"Aku ingin keliling Palembang dan melakukan apa pun sampai lelah." Sebelum Langit mengatakan hal lain, aku sudah mengatakan keinginan yang aku tahu akan sulit disetujui olehnya. Dia itu tipe orang yang benar-benar peduli. Bagaimanapun, aku ingin melupakan bahwa tak lebih dari dua hari, pria ini akan menjadi milik orang lain.

Langit menyetujui keinginanku tanpa protes. Tidak ada hal yang bisa kukeluhkan tentang kemurahan hatinya. Dia mengajakku mengelilingi kota yang indah ini. Aku menyukai semua yang kulihat. Jangan lupakan kulinernya. Apa yang dikatakan Langit terbukti benar. Makan pempek di sini memang terasa lebih nikmat dibanding tempat lain. Entah mengapa, semua yang kucicipi membuatku merasa seperti pulang. Palembang seolah menyambutku dengan segala keramahannya. Rasa yang baru kudapatkan dan ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Sorenya, kami berdiri di tepian Musi. Langit mengatakan kalau siapa pun yang meminum airnya maka dia pasti akan kembali. Aku tertawa, menganggap bahwa di zaman modern ini sudah tidak ada yang namanya mitos. Kuambil air sungai itu dengan tangan dan meminumnya.

Tidak higienis? Lupakan. Untuk seseorang yang menyukai kebebasan dan keindahan alam, minum air sungai bukan hal yang aneh bagiku. Aku bisa melihat ekspresi Langit yang tampak tak percaya. Mungkin dia berpikir bahwa aku tak akan melakukan hal ini.

Menjelang pukul delapan, setelah makan malam Langit mengantarku ke hotel. Dia mengatakan kalau aku harus istirahat. Aku yang masih ingin menikmati keindahan Palembang jelas protes. Namun, aku bisa apa? Ketika Langit memutuskan sesuatu, maka itu harus dilakukan.

Aku masuk kamar, berjalan menuju jendela dan berdiri sambil menatap ke bawah sana. Mobil-mobil masih mendominasi keramaian jalan. Lampu yang berasal dari gedung-gedung pun terlihat seperti kerlip bintang. Hanya saja yang ini lebih terang. Kemegahan kota ini tidak bisa disamakan dengan Jakarta. Keduanya memiliki perbedaan yang meskipun sama-sama indah, hatiku lebih condong untuk Palembang.

"Aku pamit dulu. Jangan tidur terlalu malam karena aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali," kata Langit.

"Ini masih terlalu sore, Mas. Bagaimana kalau kamu menemaniku ngobrol sebentar?"

Langit menyetujui permintaanku. Kubuatkan dia secangkir kopi yang selalu menjadi kegemarannya. Sementara dia menikmati kopinya, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh.

Sebentar yang kukatakan tak menjadi kenyataan. Aku merayu Langit dan kami menghabiskan beberapa jam dengan sangat menyenangkan. Menyenangkan bagiku karena pikiran impulsifku mengatakan kalau aku tidak bisa memilikinya seumur hidup, maka cukup bagiku untuk memilikinya selama beberapa jam.

Ketika Langit jatuh tertidur, mataku justru terbuka lebar. Aku tak menangis saat menatap wajah damainya. Wajah yang masih terus kunikmati di antara kesibukanku membereskan seluruh barang-barangku.

Setelah memaksa diri untuk merasa cukup, aku melangkah pelan sambil menarik koper. Aku keluar dari kamar dan meninggalkan Langit, pria yang diam-diam telah merebut hatiku dalam lelap tidurnya. Aku mencintainya, sudah pasti aku tak akan sanggup untuk menyaksikan pernikahannya hari ini pada pukul empat sore. Selamat tinggal, Sayang. Semoga kamu bahagia.

Aku menarik napas panjang. Sebisa mungkin mengendalikan perasaan supaya tak ada tangis karena hati yang tergigit kenangan. Semua yang sudah terjadi merupakan pilihanku. Rasa putus asaku yang seakan tak bisa menerima kenyataan. Namun, tak ada yang kusesali. Bahkan ketika ada di kota ini kembali ... aku tetap menikmati keindahannya.

Langit terus menggelap. Matahari meninggalkan bias jingga yang secara perlahan mulai berbaur dengan pekat. Ada pendar ungu juga di langit sana. Ini adalah pertama kalinya aku melihat keindahan yang seperti ini. Kemewahan yang benar-benar memanjakan mataku. Tak sia-sia aku menempuh perjalanan sejauh ini ketika mendapatkan semua keindahan pasti tak pernah lekang waktu.

Angin bertiup dari arah Sungai Musi membawa kesejukan dan kedamaian untuk hatiku. Mestinya aku datang agak siang, sehingga bisa mengikuti tour menuju Pulau Kemaro. "Mungkin lain kali ...," gumamku.

"Tidak ada lain kali ketika kamu sudah berada di sini dan kali ini untuk selamanya."

Aku terperanjat. Itu adalah suara termerdu yang pernah kudengar. Cepat-cepat aku berbalik dan apa yang kulihat benar-benar membuat mataku membola. Langit ... mengenakan celana panjang serta kemeja yang digulung hingga siku adalah objek yang melengkapi seluruh keindahan yang kulihat.

"Mas!" seruku. "Bagaimana kamu ...."

Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Lidahku kelu, tak sepatah kata pun sanggup kuucapkan karena sadar ada kemarahan di wajah Langit. Kenapa dia marah? Sejak kedatangannya, aku tidak berbuat sesuatu yang memancing kemarahannya, bukan?

Langit maju dua langkah. Aku mundur dua langkah juga supaya kami tetap berada dalam jarak aman. Maksudku ... supaya jarak kami tidak terlalu dekat.

"Kenapa meninggalkanku? Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu sudah hebat? Pernah terpikir tidak kalau kelakuanmu itu bisa mencelakakan bapakmu? Atau kamu memang benar-benar ingin ibumu menjadi janda?"

Aku terkejut Langit memberondongku dengan banyak pertanyaan. Apa hubungannya meninggalkan dia dan keadaan bapakku? Lagi pula, kenapa dia bertanya seperti itu?

"Mas, aku ti—"

"Tidak mengerti maksudku? Merayuku, meninggalkanku. Baik tidak perbuatanmu itu, Lin?"

Tak ada kata yang bisa kugunakan untuk menjawab ucapan Langit. Kalau sebelumnya aku tidak pernah melihat kemarahannya, maka aku baru tahu kalau kemarahannya sangat mengerikan. Dia pasti berusaha mengendalikan kemarahan itu karena aku melihatnya menarik napas panjang berkali-kali.

Tiba-tiba Langit mendekat dan memegang tangan kananku. "Ayo ikut!" ajaknya. Lebih tepatnya memaksaku untuk ikut.

"Tidak!" tolakku. "Aku mau pulang.

"Kamu tak akan ke mana-mana, Lintang." Langit semakin erat menggenggam tanganku. Dia menarikku supaya mengikuti dirinya yang sudah mulai melangkah meninggalkan tepian Musi.

"Aku suka di sini," tegasku. Entah dapat kekuatan dari mana, aku berhasil mengibaskan tangan dan berhasil lepas darinya. "Aku tidak datang untuk menemuimu. Lagi pula, apa kata istrimu saat tahu kelakuan suaminya yang seperti ini?"

Dalam putus asaku, mengingatkan Langit tentang keberadaan istrinya jelas merupakan pilihan terakhir. Meski lukaku berdenyut, tetapi itu adalah satu-satunya pilihan supaya dia segera pergi. Bertemu dengannya saat ini tak pernah menjadi harapanku karena aku hanya datang untuk mengusik kenangan.

"Bukan urusanmu. Lagi pula, aku hanya ingin kamu bertanggung jawab atas perbuatanmu. Kamu harus menjadi istri yang baik dan jangan ada bantahan lagi."

"Is-istri?" Aku tergagap mendengar ucapan Langit. "Maksudmu istri—"

"Istriku. Ayo kita pulang dan temui mertuamu!"

"Tidak!" Aku mulai jongkok dan menangis. Dalam keadaan begitu, Langit jelas tak akan memaksa meskipun satu tanganku kembali berada dalam genggamannya.

"Apa yang kamu tangisi, Istriku?"

Kalimat Langit membuat isakku keluar semakin banyak. Aku menumpukan dahi di lutut dan terus menangis dalam isakan-isakan pelan seperti anak kecil yang sedang ketakutan. Langit? Jangan tanya lagi. Dia sedang duduk nyaman di sampingku. Satu tangannya mengusap kepalaku, mencoba untuk menenangkanku dan memang itu berhasil.

"Jangan seperti ini, Mas. Aku minta maaf karena sudah merayumu dan pergi. Tapi, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya me—"

"Kamu hanya mencintai aku dan kenapa disembunyikan? Kamu mengacaukan pernikahan kita, Lintang."

Aku mendongak dan menoleh ke arahnya. "Pernikahan kita?" Aku tak mengerti ungkapan ini. Pernikahan kita? Kapan? Seingatku aku tidak pernah membicarakan urusan pernikahan dengan siapa pun.

"Aku melamarmu. Bapakmu menerima dan segera kusiapkan segalanya. Kondisi ayahku yang sedang sakit tak memungkinkan untuk berkunjung ke rumahmu sehingga aku meminta Bapakmu untuk ke Palembang."

"Tapi, Bapak bilang ...."

"Bapak bilang menerima lamaran. Kupikir tidak masalah akad nikah di rumahku dan masalah resepsi bisa dipikirkan kemudian."

Aku mencerna ucapan Langit. Pernikahan yang direncanakan secara diam-diam dengan mempertimbangkan kondisi orang tua masing-masing. Aku tak bisa berkata-kata saat tahu bagaimana dia membagi semua momen dengan begitu adil. Langit bahkan membayar transportasi bapak dan ibuku hingga sampai di Palembang.

Aku tak mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah kulakukan. Meski semua orang akan mengerti perasaanku, tetapi aku memang terlalu impulsif. Berpikir terlalu banyak dan menolak memercayai keputusan orang tua. Langit benar, bukankah akan lebih baik jika aku jujur daripada berpikir rumit yang berakhir dengan menyakiti hati banyak orang?

"Maaf," bisikku. "Aku menyesal."

Tak ada kata yang bisa kuucapkan untuk Langit yang sudah begitu baik hati mengurus orang tuaku. Selama tiga tahun ini, hanya sesekali aku menghubungi Bapak dan kesibukan selalu menjadi alasanku untuk tidak pulang. Bagaimana pernikahan itu dilakukan tanpaku, itu juga membuat dada ini berdebar. Langit bilang, Bapak meminta supaya pernikahan tetap dilanjutkan karena aku yang tidak enak hati pasti akan kembali.

"Aku hanya percaya bahwa kamu akan kembali. Cepat atau lambat hal itu pasti terjadi. Hampir setiap akhir pekan aku datang ke sini saat bisa pulang. Berharap melihatmu pada suatu sore."

Aku terharu. Kupeluk lengan suamiku dan menyandarkan kepala di bahunya. Aku ingin seperti ini dulu. Abaikanlah angin yang mulai dingin. Ini semua setara dengan kebahagiaan yang kurasa. Bahkan lebih. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Ketakutankulah yang membuat kisah yang mestinya manis ini menjadi sedikit berantakan. Langit masihlah pria baik, terencana, dan sabar seperti yang kukenal.

"Ayo pulang! Temui mertuamu dan minta maaflah karena kesalahan yang kamu lakukan. Setelah itu, kita bisa pulang dan menemui Bapak. Termasuk merencanakan syukuran pernikahan kita seperti yang kamu inginkan."

Langit bangkit terlebih dulu dan mengulurkan tangannya padaku. Kali ini aku menyambutnya. Dia berencana mengajakku untuk langsung pulang dan membiarkan seseorang mengambil barang-barangku di hotel.

"Tidak!" Aku menolaknya dengan halus. "Aku ingin membereskan semuanya sendiri. Mas Langit mau mengantarku, 'kan?"

Anggukannya sudah cukup memberiku jawaban. Perjalanan menuju ke hotel yang tak seberapa jauh ditempuh dalam keheningan. Walau tak ada percakapan, tangan kami selalu bertaut. Begini saja aku bahagia dan berharap semua ini berlangsung selamanya.

Aku menatap deretan angka-angka yang menyala bergantian di dinding lift. Empat orang yang berada di dalamnya membuatku dan Langit berdiri lebih dekat. Tepatnya aku berdiri di belakang sedang dia di depanku. Menutupi aku dari pandangan orang lain yang kebetulan semuanya pria.

Aku membiarkan keheranan Langit saat mengetuk pintu kamarku sendiri. Namun, kubiarkan saja. Kutarik dia untuk masuk dan langsung melihat sosok yang berbaring di sana. Laki-laki kecil sedang meminum susu dari botol. Takut-takut aku melirik suamiku lalu kembali memperhatikan si bocah yang sudah membuang botolnya. Anak itu tengkurap lalu bangun dan menatapku.

"Mama," panggilnya. Segera kuraih anak yang kuberi nama Angkasa itu dan membawanya pada Langit.

"Dia ...."

Aku mengangguk. Aku mendapati diriku hamil dalam pelarianku setelah merayu Langit. Aku memang tak pernah kembali ke Jakarta. Pilihanku adalah ke Bali dan memulai hidup baru di sana. Meski tak mudah di awal kehamilan, aku berhasil menjalaninya dengan baik.

Langit meraih putranya. Tak peduli anak itu meronta, dia tetap mendekapnya erat. Aku tak menghalangi seorang pria yang terlambat mengenal anaknya. Kubiarkan saja karena aku yakin Langit akan memenangkan hati Angkasa sementara aku membereskan barang-barang dibantu oleh pengasuh anakku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top