9. Menanti dalam Rindu
🏪🏪🏪🏪🏪🏪🏪🏪🏪🏪
"Kamu pulang saja malam ini, Hasbi. Biar nenek saja ya, yang jaga kakekmu malam ini." Nenek yang tadinya berada di samping kakek, kini berpindah duduk di hadapanku begitu kakek terlelap.
"Tapi, Nek ...." Hendak aku menolak, tapi nenek menyanggah omonganku duluan.
"Nggak ada penolakan Hasbi, sudah beberapa hari ini kamu menginap di sini. Belum lagi mondar-mandir ngurusin ke balai desa sampai ke kantor kecamatan pula mengurus surat tanah Kakekmu. Jadi ... malam ini kamu istirahatlah dengan nyaman di rumah. Biar Nenek yang jaga Kakek di sini ya." Tatapan teduh nenek mengurungkan ucapanku, pada akhirnya berlanjut aku menganggukkan kepala pasrah.
Memang tak bisa dielakkan kebenaran hadits Nabi.
Bahwa orang yang cinta dunia adalah pokok kejelekan.
Banyak cerita, putusnya persaudaraan sebab memperebutkan harta. Padahal mereka saudara kandung.
Ini saja kakek bertengkar hebat gara-gara adik kandung satu-satunya itu ingin memperebutkan tanah yang sudah jelas-jelas bagian milik kakek. Menyebar fitnah ke masyarakat bahwa kakeklah yang merebut tanah warisan bagiannya.
Na'udzubillah min dzalik.
Semoga kita dijauhi dari cinta dunia sehingga membuat kita buta akan hal yang sudah jelas kita ketahui kebenarannya.
RINDU....
5 huruf inilah yang mampu berakibat banyak hal dalam hati. Mulai dari gelisah, khawatir, sedih, lesu, ingin, gemas, sesal, setres, frustasi dan lain sebagainya.
Tiga hari sudah aku berada di sini. Di desa terpencil yang jauh dari keberadaan kota. Memang sih, keberadaan listrik di zaman sekarang ini sudah sampai masuk desa. Tapi untuk sinyal handphone masih agak kesulitan.
Apalagi sebelum kaki ini menginjak di tempat ini, sempat terjadi angin kencang yang menyebabkan pepohonan tumbang dan aliran listrik terputus.
Jadilah, sekarang aku semakin sulit menemukan sinyal meski hanya untuk sekedar telepon atau kirim pesan, sehingga sampai saat ini aku tak bisa mengirimi ia pesan perihal kelanjutan ta'arufku yang tiga hari lalu kuajukan padanya.
Aku menyesal, mengapa tak menyempatkan diri untuk mengabarinya terlebih dahulu sebelum aku berangkat ke sini?
Saat itu, sepulang dari rumah makan bersama Ferdi, selepas sholat dhuhur. Ummi memberi kabar bahwa Kakek Yunus yang merupakan ayah dari ummi. Serangan jantungnya kambuh akibat adu pertengkaran dengan adik sepupunya perihal tanah warisan.
Jadilah ... Aku sebagai cucu laki-laki satu-satunya kakek, diutus ummi agar segera menuju ke rumah kakek untuk membereskan semuanya.
Alhamdulillah ... baru tadi sore telah beres semuanya. Kakek pun kondisinya mulai pulih saat kutinggalkan tadi bersama nenek di rumah sakit.
Malam ini, dalam kesendirianku. Setelah sholat isya', kembali kucoba aktifkan handphon dan berusaha ke sana kemari untuk mendapatkan sinyal. 📱
Tapi Nihil, tetap saja tak bisa kuhubungi siapa pun.
Aku menyerah, frustasi rasanya jika terus seperti ini.
Aku diam tertegun, duduk di kursi teras rumah seorang diri. Menatap jalan yang mulai sepi, tak ada lagi lalu lalang kendaraan. Sunyi senyap disekitarku.
Kuputar MP3 dari ponselku yang berjudul "ahlam Ma'aya (bermimpilah denganku)". Lagu yang disenandungkan oleh Muhammad Yusuf ini bernada sendu, membuat pikiranku melayang dan semakin menyentuh qolbu yang sekarang dilanda rindu.
Mata coklat dengan bulu mata yang lentik itu seakan menembus pandanganku saat ini, senyum teduhnya merenyuhkan hatiku yang kini menahan rindu.
Apakah yang ia lakukan sekarang? Masih ingatkah ia kepadaku? Rindukah ia kepadaku seperti aku yang merindukannya saat ini?.
Kegelisahanku seakan memuncak malam ini. Khawatir dengan dia,
masihkah ia setia menungguku?
Ataukah ia menganggapku hanya main-main? mengingat aku yang tak mengabarinya sama sekali sampai beberapa hari ini.
Aku frustasi, frustasi akan pemikiranku sendiri yang takut kehilangan dirinya.
Ya Allah....
Apa yang harus hamba lakukan???
Kuraup wajah ini dengan kasar, kemudian kuhirup udara dalam lalu menghembuskannya pelan mencoba untuk tenang.
Kudongakkan kepalaku, langit malam ini begitu cerah. Bintang-bintang berkelip ditemani sang rembulan yang bulat sempurna.
Ingatlah Allah, jika hatimu mengalami kegelisahan.
Sebuah pesan yang terngiang oleh salah satu ustadzku dulu di pesantren kembali kuingat.
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram."
(Q. S Ar-Ra'du : 28).
📖📖📖📖
Astaghfirullahal'adhziim.
Kurapalkan kalimat istighfar ini berkali-kali penuh sesal, begitu sadar, hatiku saat ini dikuasai oleh nafsu dan pengaruh bisikan syetan.
Untuk apa aku berpikir terlalu jauh, mengkhawatirkan sebuah taqdir masa depan yang telah Allah tentukan untuk hamba-hambanya.
Bukankah Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Jadi aku tak perlu khawatir. Jodoh pun telah Allah catat di lauh mahfudh saat kita tercipta di dunia yang fana ini.
Dalam gemingku, tiba-tiba satu ide muncul dipikiranku bersamaan berhentinya lagu ini.
Tak menunggu lama lagi, aku langsung beranjak masuk ke dalam rumah.
Kaki ini terus melangkah menuju kamar yang memang khusus diperuntukkanku malam ini untuk beristirahat.
Kuraih bulpoin dan beberapa kertas.
Dengan membaca basmalah, tanganku mulai mengukir kertas yang masih kosong itu.
Tak mudah kumerangkai kata menjadi kalimat. Karena aku bukanlah penyair yang pandai mengarang kata demi kata. Kni kali pertamanya aku menulis surat untuk perempuan. Tapi aku terus berusaha semampuku.
Setelah satu jam berlalu. Barulah kertas ini telah hampir penuh dengan tulisan.
Aku tersenyum membacanya kembali, lalu melipatnya dengan sedemikian rapi dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna hijau.
Kembali senyumku merekah, saat teringat warna hijau amplop ini senada dengan note booknya yang menjadi perantara pertemuan kami.
Kuletakkan di atas meja amplop ini dan jangan lupakan kertas-kertas berserakan yang tadi kuremas dan terbuang sembarangan. Kuambil satu persatu, kemudian kubuang ke tempat sampah.
🌱🌱🌱🌱🌻🌻🌱🌱🌱🌱
Nisa Pov's
"Hei ... kok ngelamun sih." Tiba-tiba sebuah pukulan pelan menghantam lenganku. Tentu saja aku terkejut dan hanya bisa menghembuskan napas jengah saat tau dia yang kini berada di sampingku.
Siapa lagi dia kalau bukan Dira.
"Assalamu'alaikum Dira," bisikku ke dekat telinganya, respon cengiranlah yang kudapatkan dan kemudian terdengar ia menjawab salamku.
"Kamu kenapa nona cantik? Pagi-pagi udah menyendiri saja. Ngelamunin apaan sih?"
Seperti biasa, hari-harinya datang ke kampus. Dira tak pernah absen membawa sebungkus snack dan sebotol minuman di tangannya. Kini ia mulai merobek bungkusan itu, kemudian menyodorkannya kepadaku.
"Kamu makan aja. Terimakasih," tolakku menyodorkan kembali kepadanya.
"Puasakah?"
Aku hanya menggeleng.
"Kamu kenapa sih??? Kok murung gini. Cerita dong!" Suaranya agak meninggi saat mengucapkan kalimat terakhirnya itu. Dia pun mulai menyantap cemilannya.
Aku hanya bisa menggeleng, kemudian memejamkan mata sembari menghirup udara sejuk pagi ini mencari ketenangan di tengah kegelisahan yang melanda hati ini.
Sudah 5 hari berlalu. Tak ada kabar apapun dari pak Hasbi, meski hanya sekedar sebuah pesan yang mungkin masuk ke ponselku.
Kenapa aku tak mengirim pesan atau menelpon dia duluan? Aku kan sudah punya nomernya?
Jawabannya sangat sederhana yaitu
"MALU"
Rasa maluku lebih besar dari pada rasa penasaranku akan dirinya saat ini. Kemana ia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Di kampus pun aku tak pernah bertemu dengannya? Sibukkah ia ? Sampai lupa tak mengabariku sama sekali.
Tapi ... siapakah aku? Berharap ia akan mengabariku?
Terus gimana dengan pernyataannya waktu itu? Serius nggak sih dia ngajak aku ta'aruf ?
Aku kesal jika mengingat ini.
Tapi disamping itu, aku juga khawatir dengan keadaannya.
Fiiiuhhh ... aku frustasi. Ingin aku menjerit. Tapi aku sadar di mana posisiku saat ini, nanti disangkanya apaan kan?
"Nisa ... kenapa malah mencak-mencak gini sih?" Suara Dira menyadarkan segala lamunanku. Tanpa kusadari kaki ini menghentak-hentak saking kesalnya pada dia yang tak ada kabar.
Kepalaku menoleh ke arahnya dan hanya bisa nyengir menatapnya.
"Ayo sekarang cerita, kelihatan banget tuh muka kamu kusut banyak pikiran. Sapa tau bisa aku setrika nanti tuh. Hahaha" Dia yang baru selesai meneguk minum langsung mendesakku.
"Ish ... kamu nih seneng banget kayaknya kalo sahabatnya lagi galau gini." Kupukul lengannya melihat tawanya.
"Hehe nggak gitu, Nis. Aku kan niatnya ngehibur kamu. Kurang apa coba aku sebagai sahabat kamu." Dengan PD nya dia membanggakan dirinya sendiri.
Dia pun menatap ke arahku, saat aku tak meresponnya.
"Ayolah, Nis. Aku tuh ikutan suntuk kalau kamu kayak gini. Biasanya ceria bercanda bersama. Sekarang kamu jadi pendiam gini. Kayak kerupuk melempem tau nggak. Ngegalauin apa sih kamu ini?
Atau ... jangan-jangan kamu jatuh cinta tapi si doi nikah dengan orang lain?" Dia sudah mulai bersungut-sungut karena aku yang tak kunjung membuka mulut.
Entahlah aku lagi nggak mood saat ini bercanda. Kutengok jam yang bertengger di lenganku menunjukkan pukul 6 lebih 55 menit. Aku pun beranjak tanpa bersuara.
Dira melongo, netranya mengikuti gerak-gerikku. Tak lama kemudian ia bergegas mengejar langkahku.
"Tega amat sih kamu, Nis. Ninggalin gitu aja. Di ajak ngomong juga gak ada komen."
Dengan cepat ia menyeimbangi langkahku.
"Maaf Dira. 5 menit lagi kelas dimulai. Yuk.
Lagian kamu juga omongannya makin ngawur aja gitu." Aku menarik tangannya, melangkah bersama menelurusi koridor kampus menuju kelas.
-----***-----
"Alhamdulillah ... Akhirnya aku bisa bernapas lega. Untung yang ditunjuk tadi bukan aku," ungkap Dira setelah menghembuskan napasnya dengan kasar, sèakan telah menghempaskan beban berton-ton dari dalam tenggorokannya.
Aku tak heran sih, karena dosen bahasa arab yang baru saja mengisi mata kuliah hari ini memang terkenal killer. Jarang senyum, makanya kata teman-teman "mukanya serem". Beliau pakek kaca mata plus sebagian kepalanya tak berambut, alias be o te a ka.
Aku hanya diam, tak menimpali keluh kesahnya.
"Ke kantin yuk, Nis.
Aku laper nih, sarapan tadi pagi sudah habis terkuras oleh keteganganku tadi." Setelah rapi meresleting tasnya, ia menoleh ke arahku.
"Aku nggak laper, Dir. Aku mau ke Masjid, tadi belum sholat dhuha, ungkapku membalas tatapannya sembari menyelempangkan tasku.
"Ya udah. Aku ke kantin dulu kalo gitu. Entar aku susulin ke Masjid ya." Kami beranjak mulai berjalan beriringan.
"Entar dari Masjid aku langsung ke Perpus. Kamu susulin aku ke sana aja gimana?" usulku menghentikkan langkah sebelum aku berbelok, karena jalan ke kantin dan Masjid yang berlainan arah.
"Oke." Dia menunjukkan jempolnya ke arahku.
"In syaa Allah Dira." Kugenggam jempolnya, sedangkan netraku menatapnya.
"Hehe iya-iya In syaa Allah Ustadzah Ziyadah," ucapnya cengengesan sembari melangkah ke arah kiri.
Ziyadah?
Dia baru saja memanggil aku Ziyadah. Panggilan yang membuatku kini terpaku, karena ingat seseorang.
Yah ... aku jadi ingat dia. Dia yang sebenarnya tak ingin kurindukan, tapi hatiku memaksakan rasa rindu ini tertinggal di dalamnya.
Pak Hasbi ... Sebenarnya Pak Hasbi ke mana sih? Kok ngilang gini? tak ada kabar sama sekali. Mengapa Pak Hasbi mengajukan ta'aruf saat itu jika pada akhirnya seperti ini? Apakah Pak Hasbi hanya PHP in aku?. Batinku kembali berkecamuk gelisah
Memang benar apa yang di katakan oleh Imam Syafi'i R.A. :
"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain Dia. Maka, Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya."
Saat ini ... aku merasa gelisah karena berharap kepadanya. Aku harus bisa mengenyahkan ini, aku nggak mau murung terus hanya gara-gara ia yang kunantikan kehadirannya untuk memenuhi niatannya itu. Aku juga tak mau Allah mencemburui hatiku yang kini telah muncul harapan kepada makhluknya secara berlebihan.
Astagfirullohal'adhzim. Mulai kurapalkan kalimat ini begitu menyadari kesalahanku beberapa hari ini, tak nafsu makan, malas pergi ke kampus, dan tak fokus setiap mengikuti mata kuliah gara-gara kepikiran soal ini.
Saat kaki ini tiba di teras masjid dan setelah melepas sepatu. Kaki kanankulah yang pertama kali menginjak ke lantai Masjid seraya bibir ini melantunkan doa masuk Masjid.
Allahummaf tahlii abwaaba rohmatik
Artinya:
"Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu"
📲📲📲
Drrrt drrtt
Ponselku bergetar. Aku pun mengeluarkannya dari dalam tas. Saat kutengok panggilan dari nomor asing, langsung saja kumasukkan lagi ke dalam tas, tanpa berniat menerimanya.
Akhir-akhir ini aku sering ditelepon nomor asing. Begitu diangkat ternyata hanya orang-orang iseng.
Jadilah ... saat ini, aku enggan untuk menerima panggilan ini.
Kulanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk bersuci.
Setelah bersuci dan merapikan himark. Langkahku terhenti, ponselku kembali bergetar.
📲📲📲
Kulihat, tertera dilayar yang telah menyala dengan panggilan dari nomor yang sama seperti tadi.
Mungkin ini bukan orang iseng kali. Ini kan panggilannya sudah beberapa kali. Batinku
Kugeser tombol hijau lalu menerima panggilannya.
Terdengar suara salam di seberang sana. Aku pun menjawab salamnya, dan kami mengobrol sebentar.
---***---
Selepas sholat Dhuha, di sinilah aku duduk, di bangku taman yang tak jauh dari halaman Masjid. Kubuka buku yang berjudul "Sejarah Pendidikan Islam" berniat membacanya sembari menunggu kedatangan seseorang yang mendadak mengajak ketemuan.
Selang beberapa menit.
"Assalamu'alaikum. Mbak Ziyyadah Khoirunnisa'?" Kudongakkan kepala begitu suara lembut tiba-tiba terdengar, lalu menjawab salamnya.
Kutangkap senyumnya, bibirku pun ikut menarik senyum kemudian menganggukkan kepala.
Dia menjulurkan tangannya. Aku pun berdiri kemudian membalas jabatan tangannya
"Kenalkan namaku Nur Lailah adik sepupu Mas Hasbi yang tadi telpon kamu."
Degh...
Hatiku seakan tersentak begitu nama seorang laki-laki yang beberapa hari ini mengusik pikiran ini terdengar.
Benar-benar tak kusangka seseorang yang berdiri di hadapanku saat ini adalah kerabatnya.
Ada apa gerangan? Ia tak muncul di hadapanku. Tapi malah ia mengirim seseorang untuk bertemu.
Apakah ia baik-baik saja?
Pikiranku mulai khawatir. Menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
Jabatan tangan kami pun terlepas, berlanjut kami duduk berdampingan. Tampak ia sibuk merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop biru berukuran sedang dan menyerahkan kepadaku.
Keningku berkerut, tanpa suara ia mengerti. "Ini dari Mas Hasbi buat kamu." Aku mengulurkan tanganku menerimanya meski dengan ragu-ragu dan rasa penasaran yang membuncah. Jangan lupakan hatiku yang kian berdebar.
"Baru kemarin sore surat ini sampai rumah. Dan aku tak tau isinya apa. Katanya ini rahasia." Tampak ia terkekeh begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Aku hanya bisa tersenyum kaku.
Entah mengapa berhadapan dengan wanita berkerudung lebar warna navy ini terasa canggung, gugup merasa sungkan.
Mungkin karena keberadaan ia bersangkutan dengan orang yang telah berhasil mengusik hatiku.
"Terima kasih ya, Mbak. Maaf jadi ngerepotin mbak ... "
"Laila. Panggil aja aku laila. Lagian kayaknya kita seumuran. Nggak usah sungkan begitu. Aku nggak merasa direpotin kok. Ini juga tadi kebetulam suamiku ada urusan di kampus ini." Ia tersenyum setelah menyahuti kebingunganku mengenai nama panggilannya.
"Hehe iya Laila. Sekali lagi Terima kasih. Jazakillah Khoir."
Ia mengangguk. "Iya sama-sama, Aamiin."
"Ngomong-ngomong. Udah semester berapa nih kuliahnya?" Ia berujar santai sembari meresleting, menutup tasnya kembali.
"Masih semester 6. Kalau Laila? Kuliah juga?" Aku berusaha menormalkan detak jantungku yang sedari tadi berdegup abnormal semenjak nama HASBI disebut.
Beginikah cinta? Mendengar namanya saja, efeknya luar biasa. Hati berdebar, degup jantung berlalu cepat, kegugupan menyergap.
Jika ini memang cinta, semoga cinta ini tak mengalahkan cintaku kepada Allah dan Rosul-Nya. Aamiin.
Tampak ia mengangguk. "Iya aku kuliah semester 5, tapi ambil cuti semester ini. Karena kemarin sempat kecelakaan pasca acara pernikahanku."
"Mmm berarti kita itu sebenarnya seangkatan ya." Akhirnya aku mulai mencair dengan keadaan, mulai bisa mengakrabi obrolan diantara kami.
"Iya ya. Tapi sayangnya, karena kecelakaan yang cukup parah itu, aku diharuskan istirahat total sampai hampir satu bulan dan akhirnya suamiku menyuruhku cuti kuliah dulu sampai kondisiku benar-benar pulih.
Padahal ... aku pinginnya cepat lulus agar segera bisa ngajar dan fokus menjadi ibu rumah tangga." Kulihat dia tersenyum getir, kesedihan tampak di raut wajahnya.
Kuusap punggungnya pelan berusaha menenangkannya. "Yang sabar ya, semua kejadian yang kita alami pasti ada hikmahnya. Allah tidak akan memberi ujian kepada Hambanya diluar batas kemampuannya.
Bersyukurlah kamu masih diberi kenikmatan oleh Allah, sekarang kamu sudah sehat wal'afiyat kan?" Dia menatapku lalu kembali tersenyum kemudian mengangguk.
📖📖📖📖
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاۚ .......
(Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya,.....)
Q.S Al Baqoroh: 286
📖📖📖📖
"Iya juga sih, kamu benar. Dibalik kecelakaan itu aku seharusnya bersyukur masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Bisa menikmati posisi sebagai istri. Jadi selama cuti kuliah aku bisa fokus ngurus suami dan alhamdulillah ... malah sekarang saya sudah mengandung." Tampak binaran kebahagiaan dari wajahnya kini tercetak. Aku ikut senang.
"Alhamdulillah ... selamat ya. Semoga lancar sampai lahiran."
"Aamiin ..."
Cukup panjang obrolan ini berlangsung. Sekitar 15 menit berlalu, tiba-tiba Handphonenya berdering.
Setelah selesai mengobrol dengan sang penelpon. Ia tersenyum ke arahku. " Maaf ya, Nisa. Aku harus segera menemui suamiku yang sudah menunggu di parkiran. Padahal aku masih ingin ngobrol banyak nih sama kamu. Kamu orangnya asyik ya kalau diajak ngobrol. Aku seneng deh bisa berbagi cerita sama kamu." Ia berujar senang dengan wajah sumringah, tapi berubah sendu saat mengingat dia akan pamit.
"Ya udah nggak pa pa. Kapan-kapan kita bisa ketemuan in syaa Allah. Aku minta nomer HP kamu ya." Aku merogoh tasku mengambil ponsel dan mulai mengetikkan nomor yang ia diktekan.
"Iya-iya kamu benar. Itu nomorku yang tadi telpon kamu. Aku tunggu secepatnya ya bisa ketemuan lagi." Dia mulai beranjak dan aku pun ikut berdiri.
"Iya In syaa Allah." Aku membalas senyumnya.
"Ayo aku antar." Aku mulai melangkah tapi urung saat ia memegang lengan tanganku. Aku menoleh ke arahnya, tampak ia menggeleng.
"Udah nggak usah. Kamu pasti masih sibuk kan?".
Aku menengok jam di pergelangan tanganku. Aku tersenyum menatapnya dan berucap,"Iya ada jam di kelasku beberapa menit lagi."
"Ya udah. Aku pamit ya. Semangat belajarnya. Assalamu'alaikum." Tangan kami berjabat kemudian pipi kanan kiri kami saling beradu.
Aku menjawab salamnya, ia pun berlalu menjauh dari tempatku kini berdiri.
Perempuan itu, meski baru kali ini kita bertemu. Tapi entah mengapa serasa ketemu teman lama. Ia begitu gampangnya terbuka, berbagi cerita. Dan aku pun begitu gampangnya menanggapi semua keluh kesahnya.
Ya Allah...
Mudah-mudahan ini langkah awal yang baik aku dekat dengan keluarganya.
Tanganku yang membawa sebuah amplop ini tertangkap netraku. Membuatku tersenyum, teringat dia.
Jadi makin penasaran sih dengan isinya. Tapi nggak mungkin juga kan aku baca sekarang, ini sudah menunjukkan waktu hampir kelas dimulai.
💖💖💖💖💖💖💚💖💖💖💖💖💖
"Rindu ini tertahan sebelum adanya ikatan halal"
Hasbi
💗💗💗
Beginikah cinta? Mendengar namanya saja efeknya luar biasa. Hati berdebar, degup jantung berlalu cepat, kegugupan menyergap.
Nisa
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
.
.
.
.
.
Bersambung..
7 J. Akhir 1440 H
*Assalamu'alaikum sahabat pembaca.
Alhamdulillah baru up lagi.
Maaf ya lama banget nih up nya.
Yang kemarin kehapus. 😢
Jadi bad mood mau ngetik lagi.
Baru kelar nih mumpung ada ide. 😆
Semoga ada pelajaran yang bermanfaat di part ini ya.
Adakah yang pernah mengalami persahabatan seperti Dira dan Nisa???
Jangan lupa vote komentarnya dong
☺ kasih semangat tuk yang nulis ya ya 😉😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top