8. Ta'aruf (2)

🏵🏵🏵🏵🏵🏵🌹🌹🌹🏵🏵🏵🏵🏵🏵

**
Tit litut litut
Layar HP nya kembali menyala. Saat ia minum dan baru saja menyelesaikan makanannya.
Ia pun buru-buru menggeser layar sebentar, nada dan getaran hpnya tak terdengar lagi.

"Maaf, Pak. Alarm hp saya bunyi." Cengirannya langsung dipersembahkan untukku saat aku terdiam menatapnya. Aku sedikit bingung, alarm apa yang ia maksud jam segini???

"Alarm?" Jadilah aku mengulangi kata itu dengan nada bertanya untuk menepis rasa penasaranku.

"Iya, Pak. Alarm pengingat sholat dhuha. Sering lupa soalnya kalau lagi ada kegiatan atau kesibukan kayak gini." Ia terkekeh setelah menyelesaikan penjelasannya.

Alhamdulillah ... aku tak salah memilih, wanita ini benar-benar beda dengan yang lain. Ibadah sunnah saja ia jaga agar istiqomah, apalagi kewajibannya. Pasti lebih dijaga kan?. Batinku takjub.

"Maasyaa Allah ... sudah istiqomah ya sholat dhuhanya?" Raut wajahku menatapnya penuh takjub.
Ia menggeleng dengan seulas senyuman di bibir merahnya.

"Masih berusaha, Pak. Do'anya ya."
Tak terasa bibir ini ikut mengulas senyum seraya kepalaku mengangguk.

"Maaf ... tadi Bapak mau ngomong apa ya?" Ia kembali bicara setelah beres membersihkan mulutnya dengan tisu di tangannya.

Aku menggeleng.
"Lain kali saja mungkin saya sampaikan. Bukankah tadi alarm kamu sudah berbunyi. Mari ke Mushola." Kuletakkan handphone ke dalam saku baju.

"Bapak juga akan sholat dhuha?" Tangannya ikut membereskan hp di depannya yang sedari tergeletak di atas meja.

"Saya sudah tadi sebelum ke sini. Saya bayar dulu ya." Aku beranjak dan ia mengekori langkahku.

"Maaf Bu. Saya mau bayar," ucapku begitu kaki ini berdiri tepat di depan ibu-ibu yang duduk di depan meja kasir.

"Pesan apa saja tadi Pak?"

"Secangkir kopi, bubur ayam dan es teh." Ia mengangguk-anggukkan kepala kemudian berujar, "Total semua tiga puluh ribu, Pak." Aku merogoh isi dompet dan menyodorkan uang dua puluh ribuan dan sepuluh ribuan.

Setelah mengucapkan terima kasih. Aku pun membalikkan badanku.
Tampak Nisa setia berdiri di belakangku.

"Ayo," ajakku saat ia masih diam berdiri.

"Saya mau bayar dulu Pak."

"Sudah saya bayarin," ucapku lalu melangkah berlalu dari tempatnya berdiri. Tampak ia terkejut.

"Lo ... ini Pak saya bayarnya ke Bapak aja kalau gitu. Berapa tadi?" Ia mengejar langkahku seraya mengeluarkan dompetnya.

"Sudah Ziyadah, nggak usah ya." Kuhentikkan langkah berdiri tepat di hadapannya.

"Terima kasih, Pak." Ia menunduk kemudian mengangguk.

"Iya sama-sama." Kembali kuberjalan menelusuri koridor rumah sakit yang tampak mulai ramai dengan para pengunjung.

Sepanjang langkah kaki ini melangkah, pikiranku terus sibuk dengan pertanyaan penuh kegelisahan.
Kapan lagi aku akan mengutarakan ta'aruf jika tak sekarang?. Bukankah besok aku akan sibuk kembali dengan kegiatan harianku?.

Apa lagi mengingat aku yang bertemu dengannya 2 kali hanya karena sebuah kebetulan. Bagaimana jika takdir tak mempertemukan kita kembali karena kami sama-sama sibuk?.

Aku khawatir jika terlalu lama, nantinya diriku keduluan oleh laki-laki lain. Bukankah ia adalah seorang muslimah cantik yang pasti banyak di sukai oleh laki-laki normal pada umumnya.

Aku tak mau bernasib sama dengan Fadhil, sahabatku yang akhirnya patah hati karena wanita yang ia incar keduluan dikhitbah laki-laki lain sebab ia terlalu lama memendam cintanya terhadap wanita itu.

Dalam kebimbangan hati, akhirnya muncul ketekatan karena rasa takut kehilangannya lebih dominan. Aku tak mau menyesal. Perkara jodoh tidaknya itu hak Allah yang menentukan. Setidaknya aku sudah berusaha mendapatkannya kan?

Tepat di depan Mushola aku berbalik menghadap ke arahnya. Tanganku yang mulai terasa dingin kumasukkan ke dalam saku samping celana. Kegugupan kembali menyergapku.

"Ziyadah." Ia berhenti kemudian mendongak sebentar.

"Iya Pak?" Kembali ia tertunduk.

Kuhembuskan napas dalam lalu mengucapkan basmalah.

"Bismillahirrohmanirrohim," ucapku lirih lalu melanjutkan kata, "Maaf jika apa yang akan saya katakan ini sepertinya memang terlalu cepat. Tapi saya tidak mau terlalu lama bergelimang dengan dosa karena selalu memikirkan kamu." Kuhela napas. Tampak ia hanya diam dan semakin menunduk. Sepertinya terkejut, hanya saja ia mampu menyembunyikannya.

"Terus terang saya tertarik kepada kamu semenjak pertemuan pertama kita. Dan beberapa malam kemarin saya sudah melakukan sholat istikhoroh.
Alhamdulillah saya semakin yakin."

Kutarik napas kembali cukup dalam, untuk mengurangi rasa gugupku.

"Apakah kamu mau jika saya ajak ta'aruf?" Sontak ia mendongak, pandangan kami bertemu, hanya sesaat, karena kami sama-sama tertunduk setelahnya.

Hening ... tak ada jawaban. Dia hanya terdiam.

Aku merogoh sakuku mengambil handphone. Kusodorkan ke arahnya.

"Simpanlah nomormu di handphone ini, jika kamu mau ta'aruf denganku."

Setelah sekian detik aku menunggu. Akhirnya tangannya terangkat meraih handphoneku dengan tetap posisi menunduk.

Bibirku menyungging senyum, desiran kebahagiaan menyergap hatiku. Bukankah ini pertanda bahwa ia menyetujui permintaan ta'aruf dariku.

Ya Allah ... semoga kami memang benar berjodoh. Batinku penuh harap.

Dengan cepat ia mengetik nomor di HP ku. Kemudian menyerahkan kepadaku dengan tetap menunduk.

"Terima kasih ya. Aku pamit." Seketika wajah cantiknya mendongak seakan keberatakan saat aku berpamit. Bibirku menarik senyum, senang dengan ekspresinya saat ini. Matanya mengerjap-ngerjapkan bulu mata lentiknya.
Semakin cantik. Batinku

"In syaa Allah secepatnya aku kirim identitasku dan lain-lainnya yang diperlukan dalam CV ta'aruf ini. Kuharap kita berjodoh." Tampak ia gugup dan salah tingkah, jangan lupakan pipinya yang kini memerah. Bikin aku gemas dan tak sabar ingin segera menghalalkannya.

🌱🌱🌷🌱🌱

Nisa Pov's

"Aamiin" ucapku lirih dalam tundukku. Hatiku berdebar kencang tapi kebahagiaan yang sangat melingkupinya.
Aku sama sekali tak menyangka, secepat ini dia mengajukan ta'aruf. Padahal ini baru kali ke tiga kami bertemu.

Beginikah jodoh itu ya Robb?. Begitu cepat merasakan debaran, dan prosesnya semoga dipermudah. Aamiin.

Aku hanya mampu mengangguk perlahan, kegugupan benar-benar membuat lidah ini kelu meski sekedar untuk bilang "iya"
Senyuman sejak tadi tak hentinya tersungging, tapi kusembunyikan dalam ketertundukanku bersamaan pipi yang pasti kini bersemu kemerah-merahan.

"Saya pamit dulu ya. Kamu hati-hati di sini. Kalau ada apa-apa nggak usah sungkan untuk hubungi saya," ucapnya seraya memainkan handphone ditangannya.

Terasa getaran HP dari dalam tas selempangku. Buru-buru aku merogohnya.
"Itu nomor HP saya. Disimpan ya."
Tanganku berhenti, terkejut karena ternyata dia yang misscall.

Aku pun mengangguk seraya mengambil ponselku untuk mengsave nomernya.

"Ya sudah aku pamit ya. Assalamu'alaikum."
Langkahnya pun akhirnya mulai menjauh setelah aku jawab salam darinya.

Hfft Fiuuhh.

Napasku akhirnya bisa kuhembuskan dengan penuh kelegaan. Sedari tadi, napasku seakan tertahan karena kegugupanku yang luar biasa.
Kulihat punggung yang gagah itu sampai menghilang seraya bibir yang tak lepas dari senyuman.
Aku benar-benar bahagia. Semoga memang dialah yang akan menjadi imamku Yaaaa Robb. Aamiin.

Kakiku pun akhirnya melangkah menuju mushola untuk menunaikan sholat dhuha 8 Rokaat. Selepasnya tak lupa kulakukan sujud syukur seraya berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik dalam proses ta'aruf kami berjalan lancar sampai pernikahan.


🌱🌱🌱🌷🌱🌱🌱

"Assalamu'alaikum," ucapku begitu kaki ini tepat berdiri di samping seseorang yang mungkin telah lumayan lama menungguku di sini.

"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. ya Allah ... ente tega amat sih, membuat ane nunggu segini lamanya. Lihat nih udah hampir tiga cangkir kopi yang mau ane habisin," tunjuknya ke cangkir-cangkir yang bertengger di atas meja setelah membalas jabatan tangan dariku.

Aku hanya bisa terkekeh. Kemudian duduk diseberangnya.

"Sorry Fer. Tadi masih ada urusan penting. Jadi hampir lupa kalau sudah janjian sama ente di sini."

"Bener-bener ente ya. Ampek lupa gitu. Emangnya urusannya sepenting apa sih sampai ane dilupain? Nggak biasa-biasanya ente kayak gini." Dia masih berucap dengan nada kesalnya.

"Hehe iya-iya maafin lah. Urusannya sangat penting dan untuk kali ini belum saatnya ente tau." Mataku beringsut dari tatapannya.

"Mbak." Kuangkat tangan kanan memanggil pelayan di rumah makan ini.

Aku kembali terkekeh dengan ekspresi wajah sahabatku yang masih tertekuk.
"Udahan dong cemberutnya. Ilang tuh muka cakepnya." Setelah memesan kuraih handphone dalam saku.

"Berarti kalau nggak cemberut aku cakep dong." Kini senyuman di wajahnya mulai terukir sembari mengerjap-ngerjapkan mata.

Aku hanya bisa menghendikkan bahu acuh.
"Yah ... dasar ente ya. PHP in ane." Dia kini malah memukul lenganku kesal.
Kembali kutertawa.

"Iya deh. Ente cakep kok, ketimbang itu." Aku menunjuk ke arah belakangnya. Di situ ada 3 boneka monyet berbagai ekspresi yang duduk di atas buah pisang sebagai hiasan di pojok Tempat makan ini.

"Astaghfirullahal'adhziim ... segitunya ya ente ngehina ane." Dia makin kesal, terlihat dari tatapan tajamnya seakan menusuk netraku.

Dengan tenang dan serius aku berucap.
"Ish ... siapa yang ngehina coba. Ane kan bilang lo cakepan kan tadi." Kembali aku terkekeh. Suka sekali bikin dia kesel kayak gini.
Jadi kangen ngumpul bareng lagi.
Beginilah diriku, suka bercanda dan akrab dengan sahabat-sahabatku. Karena memang sahabatku semuanya laki-laki.

Kalau dengan wanita, aku tak bisa bersahabat. Karena menurutku, dengan wanita banyak sekali batasannya jika bukan mahram.

"Ngomong-ngomong. Ada apaan nih. Ente sampai ngajak ane ketemuan di sini? Tengah malam lagi ngajaknya, ada yang darurat?" Aku menatapnya yang kini kerutan kesal di wajahnya mulai luntur.

" Ane mau nyeraiin istri Ane," ucapnya to the point. Reflek kepalaku menoleh ke arahnya yang tadi pandanganku sempat menyapu sekitar. Tampak ia menunduk dengan muka sendunya.

"Alasannya apa ente sampai berpikiran kayak gini?. Ente tau kan perceraian itu salah satu perkara yang Allah benci, meski pada dasarnya memang dihalalkan. Lagian ... bukankah pernikahan kalian masih belum genap satu tahun? " Aku mencerca beberapa pertanyaan kepadanya. Karena bagiku pernikahan bukanlah hal yang main-main. Apalagi jika ada perceraian, itu adalah hal yang benar-benar tak ingin terjadi di sekitarku.

"Iya sih, Bi. Tapi ane sudah berusaha merubah dia, baik melalui usaha dhohir maupun do'a. Tetap saja dia tak menurut terhadap Ane. Padahal apa yang ia lakukan itu melanggar syari'at islam. Lebih-lebih ... kemarin ane liat dengan mata kepala ane sendiri. Dia bentak-bentak dan hampir memukul ibu ane, Bi. Untung ane pulang cepat kemarin, jadi bisa langsung mencegahnya." Dia menunduk tampak raut wajahnya seakan berputus asa.

"Selama ini Ane sudah berusaha sabar menghadapi dia. Tapi apa yang Ane terima? Dia malah sudah berani membentak ane akhir-akhir ini."

Pandanganku kini teralih dari Ferdi, ya ... dia yang ada di hadapanku saat ini adalah Ferdi. Salah satu dari 3 sahabatku yang lainnya.

Persahabatan kami terjalin sejak kami sekolah menengah atas di pondok pesantren. Persahabatan kami terkenal dengan istilah two eight two ef yang disingkat menjadi 2H2F.
Istilah itu diambil dari huruf pertama dari nama kami.
2 H yaitu Hasbi dan Hasan. Sedangkak 2F yaitu Ferdi dan Fadhil.

Meski kuliah dengan jurusan yang berbeda, kami masih sering berkumpul. Tapi semenjak lulus dan dua diantara kami telah menikah, sedangkan dua sisanya juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jadilah kami hanya bisa berkumpul dalam momen-momen tertentu.

"Terima kasih," ucapku kepada pramusaji yang telah meletakkan makanan dan minuman di depanku.
Ia mengangguk dan berlalu pergi.

"Apakah sampai saat ini diantara kalian masih ada cinta?" Tampak ia berpikir mendapat pertanyaan dariku. Sedangkan aku dengan santainya mencomot kentang goreng di depanku yang masih hangat. Ini adalah makanan kesukaanku.

"Jujur... Ane sih masih cinta sama dia. Dan dia pun sama, buktinya kalau Ane ancam untuk pisah dia nggak mau." Dia kembali menatapku yang hanya aku respon dengan anggukan kepala seraya mengunyah kentang goreng dengan cocolan saos sambal yang mulai membuat pedas lidahku.

"Ane kadang pusing, Bi. Dia tuh plin plan. Nurutnya sama ane begitu cepat berubah kembali. Lelah ane rasanya ngingetin."

Sedikit bibir ini menarik senyum.
"Apakah ente ingat apa yang ane, Fadhil dan Hasan lakukan ke ente saat ente berniat hijrah dulu?"
Dia menatapku lekat, sepertinya memori pikirannya berputar kembali mengingat masa lalu kami. Dimana kami bertiga tak bosan-bosannya mengingatkan dia, agar tak melanggar larangan Allah dan tak meninggalkan apa yang Allah perintahkan.

Dengan kompak berbekal telaten dan sabar kami bergantian mengingatkan ia untuk meninggalkan kebiasaan buruknya, sukanya bangun kesiangan sehingga hampir tak pernah sholat subuh. Serta suka melanggar peraturan pondok lainnya.

Saat kuliah pun begitu, ia suka gonta ganti cewek. Padahal cewek yang dipacarinya pun hanya berniat mengincar hartanya.
Dari tampang, Ferdi memang tak bisa mengalahkam kami bertiga. Tapi untuk hal ekonomi keluarganya, ia lah yang paling punya banyak. Jadilah kebanyakan wanita mendekatinya hanya ingin bersenang-senang dengan hartanya.

"Emmm iya sih. Ane jadi ingat, bertahun-tahun kalian semua dengan tak kenal namanya menyerah menuntun Ane ke jalan yang benar sampai Ane jadi seperti ini." Ia memukul-mukul lenganku pelan.

"Terimakasih ya, Bi. Ente sudah menyadarkan ane. Kalau ane nggak boleh menyerah sampai di sini." Dia meraup mukanya kasar kemudian menatapku dengan senyuman.

"Ane juga sadar. Kalau Ane masih sangat mencintai Lidya, jadi Ane harus terus berusaha dan bersabar membimbing dia sampai suatu saat mudah-mudahan ia bakalan menjadi istri sholihah yang Allah Ridhoi nantinya."

"Aamiin yaa Robbal'alamiin." Kutimpali doanya dengan harapan semoga terkabul.

"Yang semangat ya, Fer. Perjuangan Ante in syaa Allah tak akan sia-sia asalkan tetap Allahlah yang Ente jadikan sebagai sandaran.
Ingatlah Hadits Rosulullah
"Yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada istri nya". (HR Turmudzi)."

Dengan pelan aku memukul pundaknya memberi semangat.

"Iya, Bi. Sekali lagi terima kasih ya. Ente emang sohib Ane yang paling the best pokoknya." Akhirnya kutemukan raut wajahnya kembali ceria dengan semangatnya yang memburu.

"Dekat, debaran dan candu.
Jauh, kepikiran dan rindu.
Itulah cinta"
💗💗💝💗💗

Akhwatul_Iffah


⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘

.
.
.
.
.
.
Bersambung
17 J.Awwal 1440H

Assalamu'alaikum sahabat 😊
Alhamdulillah bisa up ya.
Semoga part ini ada manfaat yang bisa dipetik.😄

Ditunggu vote dan komentarnya ya 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top